Adok
RODIYA merupakan sastra lisan Minangkabau berbentuk pendendangan pantun-pantun diiringi tabuhan rodiya dan tarian. Nama rodiya ini berasal dari nama instrumen tabuh yang digunakan dalam pertunjukkan ini yaitu rodiya juga. Instrumen ini sejenis rebana berukuran besar. Bagian yang ditabuh ditutupi kulit lembu. Permukaannya lebih besar dari bagian belakangnya. Permukaan instrumen berdiameter 65 cm sementara bagian belakangnya berdiameter 20 cm.[1]
Kelompok-kelompok adok banyak dijumpai di daerah Singkarak, seperti Nagari Koto Sani, Nagari Singkarak, Nagari Aripan, dan Nagari Saniangbaka.[2]
Adok dipelajari dengan berguru. Dalam tradisi lokal, untuk mendaftarkan diri sebagai pemain adok, peserta harus menyembelih ayam sebagai tanda sahnya ia menjadi murid.[3]
Pertunjukkan
[sunting | sunting sumber]Adok dipertunjukkan oleh 5 orang, 1 sebagai pendendang sekaligus penabuh adok dan 4 sebagai penari.[1] Seluruh penampil adalah laki-laki karena penampil perempuan belum begitu berterima di masyarakat umum. Meski demikian, penampil perempuan ada di Saningbakar dan diterima oleh masyarakatnya.[3] Pada permulaan pertunjukkan adok, 2 penari laki-laki tampil berpakaian hitam, disebut guntiang manih, dan bercelana galembong atau endong. Karakter wanita dalam adok, disebut biduan, diperankan oleh laki-laki. Laki-laki ini mengenakan pakaian selayaknya bundo kanduang, bersongket, berbaju kurung, dan batikuluak tanduk.[4][1]
Tarian dalam adok seperti randai, yaitu bergerak melingkar dengan dasar gerakan pencak silat.[1] Gerakan-gerakannya memiliki nama, seperti barabah pulang mandi,[5] tupai bagaluik,[6] barabah tabang duo,[7] dan batu alia[8].[3]
Pertunjukkan adok terdiri dari lima bagian yang disebut limo tunggak. Setiap tunggak memiliki dendang berirama berbeda dari tunggak yang lain. Tunggak pertama berirama pado-pado. Sementara itu, tunggak-tunggak selanjutnya berirama bebas antara adau-adau, dindin-dindin, dendang-dendang, dan buai-buai. Selaras dengan irama yang berbeda tiap tunggak, tarian pun berbeda menyesuaikan irama.[1]
Sastra lisan ini disampaikan dengan irama khas Solok, yaitu dendang Singkarak karena hanya terdapat di daerah Singkarak. Dendang ini berciri pemanjangan bunyi-bunyi vokal dengan bunyi sengau. Contohnya, buyuang akan didendangkan bu-ngu-ngu-ngu-yuang dalam dendang Singkarak ini.[1]
Adok biasanya ditampilkan dalam pesta perkawinan atau baralek, khususnya dalam alek marapulai katurun atau pesta di rumah mempelai laki-laki dan dalam upacara batagak pangulu atau upacara pengukuhan penghulu baru. Adok ini berfungsi sebagai puncak acara sehingga baru ditampilkan pada sore hari (pukul dua atau setelahnya).[3]
Oleh masyarakat lokal, adok dianggap pertunjukkan yang beradat. Adok afdal bila dipertunjukkan di rumah berlantai papan. Masyarakat akan menganggap adok berhasil bila terdapat satu atau dua papan lantai rumah yang patah selama pertunjukkan adok. Dengan demikian, didapatilah tuah adok menurut masyarakat setempat.[3]
Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c d e f Amir, Zuriati & Anwar 2006, hlm. 81.
- ^ Amir, Zuriati & Anwar 2006, hlm. 83.
- ^ a b c d e Amir, Zuriati & Anwar 2006, hlm. 82.
- ^ batikuluak tanduk: selendang tenun bercorak songket dilipat hingga menyerupai tanduk sebagai tutup kepala wanita.
- ^ barabah pulang mandi: berabah pulang mandi.
- ^ tupai bagaluik: tupai berkelahi.
- ^ barabah tabang duo: berabah terbang dua.
- ^ batu alia: batu licin.
Referesi
[sunting | sunting sumber]- Amir, Adriyetti; Anwar, Khairil (2006). Pemetaan Sastra Lisan Minangkabau. Padang: Andalas University Press. ISBN 979109708-9.