Zeno dari Sidon: Perbedaan antara revisi
BP21Danang (bicara | kontrib) ←Membuat halaman berisi '{{inuseBP|BP21Danang|27 Juni 2014|23 Mei 2014}} '''Zeno dari Sidon'' adalah seorang filsuf Yunani Kuno yang berasal dari Sidon abad 2 SM.<ref name="Ens">{{id}...' Tag: BP2014 |
(Tidak ada perbedaan)
|
Revisi per 23 Mei 2014 15.49
![]() | Artikel ini merupakan artikel yang dikerjakan oleh Peserta Kompetisi Menulis Bebaskan Pengetahuan 2014 yakni BP21Danang (bicara). Untuk sementara waktu (hingga 27 Juni 2014), guna menghindari konflik penyuntingan, dimohon jangan melakukan penyuntingan selama pesan ini ditampilkan selain oleh Peserta dan Panitia. Peserta kompetisi harap menghapus tag ini jika artikel telah selesai ditulis atau dapat dihapus siapa saja jika kompetisi telah berakhir. Tag ini diberikan pada 23 Mei 2014. Halaman ini terakhir disunting oleh BP21Danang (Kontrib • Log) 3693 hari 965 menit lalu. |
'Zeno dari Sidon adalah seorang filsuf Yunani Kuno yang berasal dari Sidon abad 2 SM.[1] Zeno lahir di Sidon pada tahun BC SM, Phoenicia, dan meninggal di Athena, Yunani pada tahun 70 SM.[2]
Ia adalah pimpinan sekolah Epikuros yang didirikan oleh Epikuros pada Abad 3 SM.[2] Zeno dari Sidon di Athena, sesudah tahun 100 M[2] menjadi kepala Sekolah Epikurea tesebut dan dikenal terutama dari dialog-dialog filsafatnya dengan Marcus Tullius Cicero (seorang filsuf Romawi), yang pernah menjadi muridnya.[1] Pada tahun 79 SM, Cicero menjadi murid Zeno, dan ia sangat terkesan dengan sang guru.[1] Ajaran Zeno bagi Cicero sangat jelas dan cerdas, sayangnya sering disalahgunakan kepada seperangkat ajaran yang begitu sepele dan bodoh, misalnya ajarannya tentang Epikureanisme.[1] Zeno dikenal sebagai filsuf yang sering mencemooh filsuf-filsuf lain, salah satunya Socrates yang ia sebut sebagai badut Attica.[1]
Ajaran Zeno dari Zidon
- Kebahagiaan terletak pada kesenangan saat ini, dan keyakinan bahwa penikmatan kesenangan tersebut akan berlangsung seumur hidup tanpa intervensi derita.[1]
- Jika derita mengintervensinya, hanya sebentar saja, dan hal tersebut berlaku bagi derita yang berat.[1] Atau sebuah derita justru akan mengandung lebih banyak kesenangan daripada sakit jika deritanya justru belangsung lebih lama.[1]
- Renungan akan prinsip-prinsip ini akan membuat orang bahagia, khususnya jika ia pernah merasa puas dengan hal-hal baik yang pernah dinikmatinya, dan tidak ada yang menakutkan entah itu maut atau dewa-dewa.[1]