Wisata temporer

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Wisata temporer merupakan kegiatan pariwisata yang dibuat mirip dengan keadaan nomaden yang dilakukan oleh penduduk Mongolia.[1] Dalam kepariwisataan, wisata temporer merupakan salah satu gaya pariwisata yang membuat pengunjung menetap dalam kurun waktu tertentu di suatu destinasi wisata dengan amenitas yang mudah dipindahkan dan dapat berpindah-pindah.[2] Kegiatan wisata dilakukan secara berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya oleh turi berusia produktif yang memiliki pendapatan dan mengandalkan informasi terkini.[3] Konsep yang digunakan pada wisata temporer adalah turisme nomadik dari segi akses dan amenitas.[4] Konsep wisata temporer yang berpindah-pindah ini diharapkan dapat menjangkau destinasi-destinasi wisata alam secara luas.

Jenis[sunting | sunting sumber]

Wisata temporer dalam pengembangan destinasi wisata dibedakan atas 3 bagian, yaitu:[2]

  1. Amenitas turisme nomadik adalah tempat dan cara atau fasilitas yang dibutuhkan oleh para wisatawan wisata temporer sebagai tempat tinggal mereka selama wisata tersebut. Fasilitas yang dimaksud yaitu; (a) Karavan, hotel karavan ini bisa berpindah harian atau mingguan untuk mencari spot–spot terindah di suatu destinasi wisata; (b) Glamping, semacam tempat berkemah tetapi dengan fasilitas akomodasi kelas bintang. Glamping kini menjadi tren berlibur gaya baru di seluruh dunia dimana wisatawan ingin mendapatkan pengalaman menyatu dengan alam tetapi tetap mendapatkan layanan akomodasi layaknya di hotel berbintang; (c) rumah telur, juga merupakan fasilitas atau akomodasi wisata temporer yang juga bisa dipindahkan. Namun, rumah telur lebih sulit untuk dipindahkan dibandingkan dengan caravan dan glamping. Hal ini disebabkan bentuk rumah telur yang semi-permanen dengan berat sekitar 2 ton sehingga memerlukan waktu dan tenaga yang cukup besar jika ingin memindahkan rumah telur tersebut.
  2. Akses turisme nomadik, adalah kemudahan yang diperoleh wisatawan wisata temporer selama menuju ke destinasi yaitu berupa transportasi.[3] Fasilitas transportasi yang dimaksud dapat berupa pesawat terbang air, heliks, dan hidup di kapal.
  3. Atraksi turisme nomadik, adalah adanya bentuk atraksi yang memberikan hiburan kepada wisatawan wisata temporer yang disajikan dalam bentuk atraksi alam maupun buatan.[3] Atraksi tersebut dimaksudkan agar para wisatawan wisata temporer dapat menikmati kegiatan selama wisata temporer ini.

Turisme nomadik merupakan sebuah konsep pariwisata yang diharapkan mampu menjangkau destinasi-destinasi wisata alam di Indonesia yang mana beberapa bagian merupakan kepulauan dengan akses yang sulit dijangkau. Konsep turisme nomadik ditargetkan untuk semua wisatawan pada umumnya dan generasi milenial pada khususnya karena generasi milenial dinilai memiliki mobilitas yang tinggi dan sebagian besar adalah para backpacker dengan totalnya yang mencapai 39,7 juta backpacker.[4]

Hingga saat ini, pengembangan ekosistem Nomadic Tourism di Indonesia dibedakan menjadi 3 jenis atau tipe wisatawan nomad dengan kategori wisatawan backpacker. Ketika mendengar kata ‘wisatawan backpackers’ maka yang akan terbayangkan adalah wisatawan atau turis yang hanya membawa tas gendong atau ransel besar dalam setiap perjalanannya. Dalam pengertiannya sendiri, yang disebut dengan wisatawan backpackers adalah seseorang yang melakukan perjalanan, baik sendiri maupun dengan orang lain tanpa mengikuti paket wisata berpemandu dan memilih menggunakan tas punggung dan bukan koper maupun jenis bagasi lainnya selama perjalanan mereka (Sicroff et al. 2003) [5],Wisatawan ini biasanya sangat mengandalkan referensi buku panduan wisata (Lonely Planet, Eyewitness Travel, Frommer’s), website dan pengalaman dari para pendahulu mereka dalam merencanakan perjalanan wisatanya (Pitaya et al. 2019) [6]. Meskipun demikian, dalam wisata nomad beberapa tahun belakangan ini, kategori backpacker menjadi sangat bermanfaat bagi kelompok destinasi atau tujuan, sebab kelompok wisatawan backpacker ini memanfaatkan teknologi digital dalam setiap perjalanannya. Ketiga tipe wisatawan nomad tersebut menurut Kemenpar (2018) [2], adalah:

a) Glampacker, atau biasa disebut sebagai wisatawan dengan kategori ‘millennial nomad’. Wisatawan ini melakukan perjalanan untuk melihat sisi dunia yang ‘instagrammable’, atau wisatawan yang memanfaatkan kemajuan modern digitalisasi dalam mendokumentasikan momen perjalanan untuk di unggah ke media sosial seperti instagram maupun facebook.

b) Luxpacker, atau bisa disebut sebagai wisatawan dengan kategori “luxurious noma”; dimana wisatawan ini melakukan perjalanan mengembara untuk melupakan dunia daerah asal mereka dengan menggunakan fasilitas media online. Terdapat 7,7 juta wisatawan dengan kategori luxpacker ini, dan mereka menggunakan fasilitas perjalanan dengan frekuensi tertentu di media pemesanan tiket online.

c) Flashpacker, atau disebut sebagai wisatawan Digital Nomad yang menetap sementara pada suatu tempat, sambil bekerja dari mana saja. Terdapat 5 juta wisatawan dengan kategori flashpacker yang memiliki afinitas terhadap Indonesia dan tertarik dengan dunia digital nomad.

Perbedaan dengan wisata konvensional[sunting | sunting sumber]

Kegiatan wisata yang dilakukan berdampingan merupakan suatu kegiatan wisata untuk menikmati wisata, mendapatkan pelayanan, dan pengalaman wisata (Mahadewi 2018)[3]. Menurut Kemenpar (2018) [2],, keunikan dari wisata nomad ini salah satunya adalah bahwa wisata nomad bisa dilakukan dengan menetap disuatu kawasan wisata dan mudah untuk berpindah (portable). Usia pengunjung pada wisata nomad pada umumnya antara antara 35–55 tahun, pendidikan setara dengan SMA dan kuliah, memiliki pendapatan menengah serta tidak memiliki anak berusia 12 tahun kebawah (UNWTO 2016) [1]. Menurut Heliany (2019) keuntungan penerapan wisata nomad (Nomadic Tourism) itu mudah dan murah, selain itu sangat cocok diterapkan untuk menjangkau destinasi alam yang potensial pada kepulauan yang sulit dijangkau. Namun daya dukung amenitas (faktor pendukung dalam suatu kawasan wisata) yang masih rendah [7].

Berbeda dengan wisata konvensional atau wisata seperti pada umumnya yaitu kegiatan wisata yang tidak terencana untuk meningkatkan sumberdaya yang tersedia, hanya mementingkan pengunjung dan tidak memperhatikan masyarakat sekitar kawasan wisata dalam pengelolaannya. Sehingga wisata nomad merupakan solusi yang baik karena memiliki tujuan yang jelas yaitu menambah pengalaman baru, dengan aktivitas baru dengan berpindah–pindah dalam tempat bekerja.

Perbedaan wisata konvensional dan wisata nomad yaitu pada wisata konvensional hanya mementingkan keuntungan, tidak terencana dalam pelaksanaan, selain itu waktu berwisata dalam kurun waktu yang relatif sebentar, kegiatan yang dapat dilakukan dalam berwisata menerapkan prinsip hiburan dan melupakan pekerjaan, serta barang yang dibawa ketika berwisata hanya untuk bermain–main. Menurut Sari et al. (2019), 3 dimensi dalam wisata temporer adalah ekonomi, sosial dan budaya [8]. Fokus yang diutamakan dalam wisata nomad adalah meningkatkan perekonomian. Fungsi sosial budaya merupakan aspek yang sangat baik untuk menaikkan perekonomian dan memperkenalkan kebudayaan masyarakat kepada pengunjung (Gholamrezaei et al. 2012)[9]. Lama waktu berwisata berbeda dengan wisata konvensional yaitu lebih lama dan barang yang dibawa lebih dalam kegunaan dalam menunjang pekerjaan.

Kelebihan dan Kekurangan[sunting | sunting sumber]

Dilihat dari segi sosial media saat ini trend yang sangat pesat perkembangannya adalah pariwisata. Para wisatawan berlomba-lomba untuk memamerkan pesona alam Indonesia. Apalagi saat pandemi Covid-19 ini wisatawan ingin menghilangkan penat sejenak dengan kesibukan di depan laptop, atau kesibukan lainnya yang anak milenial sekarang menyebutnya self healing. Beberapa konsep juga muncul untuk menggambarkan pariwisata baru sesuai dengan gaya hidup baru dan inovasi teknologi yang sedang berlaku saat ini (Patino et al. 2016)[10]. Tanggal 22 dan 23 Maret 2018, di Bali Nusa Dua Convention Centre, Bapak Menteri Pariwisata Arief Yahya mengusulkan wisata global yaitu nomadic tourism atau disebut dengan wisata temporer (Adiakurnia 2018) [11]. Menurut Kemenpar (2018), wisata temporer adalah gaya berwisata baru di Indonesia yaitu wisatawan yang menetap dalam kurun waktu tertentu di suatu destinasi wisata dengan amenitas yang portable dan dapat berpindah-pindah [2]. Menurut Hasan (2008) perilaku wisatawan merupakan pelaku psikologis yang kompleks timbul dalam bentuk perilaku secara langsung terlibat dalam usaha memperoleh dan menggunakan produk untuk pengambilan keputusan[12].

Wisata temporer (nomad tourism) sudah dilaksanakan di Indonesia contohnya terutama pada kota Bandung dan Bali. Perilaku wisatawan dalam memilih akomodasi wisata temporer bergantung pada preferensi. Terlebih untuk akses akomodasi wisata temporer (nomad tourism) ini masih bisa dijangkau menggunakan akses darat, udara, maupun laut. Wisata temporer (nomad tourism) mempunyai potensi yang tinggi untuk mengembangkan dimensi ekonomi, sosial, dan juga budaya (Yazdi dan Saghaei 2007)[13]. Terutama di Indonesia memiliki banyak suku, budaya, seni, makanan khas yang dapat menunjang wisata temporer pada suatu daerah yang menjadikan tempat itu sebagai ciri khas. Tujuan dari wisata temporer juga untuk memperbaiki perekonomian yaitu membuka lapangan pekerjaan baru. Dampak negatif yang ditimbulkan yaitu ketertarikan wisatawan temporer untuk bermigrasi dari asal daerah yang kemudian menetap pada wisata yang mereka inginkan. Mengakibatkan banyaknya penduduk yang tinggal pada daerah tersebut, dan perlahan dapat menghilangkan ciri khas atau budaya yang berada di daerah wisata tersebut. Contoh wisata temporer (nomad tourism) adalah negara Iran, wisata Iran memiliki banyak cara dengan program kegiatan peternakan, produksi ternak susu hewan, pertanian, dan kerajinan tangan. Jenis pakaian, dan jenis perumahan juga dapat memberikan sumber inspirasi untuk para wisatawan (Yazdi dan Saghaei 2007) [13]. Menurut Gholamrezaei et al. (2012) fungsi dari sosial budaya merupakan salah satu cara yang dapat menaikkan perekonomian dan memperkenalkan kepada wisatawan[9]. Menurut Korkeh dan Hosseini (2010), kesulitan dan hambatan dalam wisata temporer adalah masalah yang berkaitan dengan perencanaan wisata yang kurang tepat, masalah sosial, merencanakan keseimbangan hidup, kurangnya tenaga pariwisata yang terampil, dan kurangnya masalah modal keuangan [14]. Kelebihan dari wisata temporer (nomad tourism) salah satunya adalah mempermudah wisatawan dalam masalah pekerjaan tanpa harus keluar ke tempat kerja (kantor), dapat dilakukan secara fleksibel.

Contoh Lokasi Penerapan Nomadic Tourism[sunting | sunting sumber]

Di Indonesia, salah satu tempat yang sudah menerapkan wisata nomad (nomadic tourism) yaitu Bali tepatnya di Desa Tibubeneng, Canggu, Kuta Utara, Badung. Kondisi fisik dan budaya yang masih asri dan terjaga, membuat ketertarikan tersendiri bagi wisatawan lokal maupun mancanegara untuk mengunjungi destinasi di Canggu. Seperti adat-istiadat yang hampir setiap hari dilakukan masyarakat Hindu untuk berdoa atau kegiatan lainnya dan adanya tempat untuk surfing seperti Pantai Berawa dan Pantai Batu Bolong. Dengan adanya pemenuhan fasilitas (facilities), atraksi (attraction), infrastruktur (infrastructure), transportasi (transportation), dan keramahtamahan (hospitality) atau disingkat FAITH yang baik menjadikan Canggu merupakan destinasi yang paling disukai dalam wisata nomad (nomadic tourism) (Mulyana et al. 2020) [15]. Terpilihnya Canggu sebagai wisata nomad terfavorit dikarenakan mudah atau lancarnya wisatawan dalam mengakses internet dan suasana di lokasi wisata yang tenang (Mahadewi 2018)[3]. Selain Canggu, wisata nomad di Bali juga terdapat di Kuta, Seminyak, dan Uluwatu. Hal tersebut dikarenakan, di daerah tersebut dekat dengan Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai yang memudahkan wisatawan untuk menjangkau tempat wisata nomad (Mulyana et al. 2020) [15].

Penerapan wisata nomad (nomadic tourism) pada lingkup dunia internasional dapat dijumpai di negara Mongolia yang merupakan negara pencipta adanya kegiatan wisata nomad ini (Mahadewi 2018) [3]. Bahkan di negara ini, untuk mengenalkan wisatanya, terdapat slogan yaitu ‘Mongolia, Nomadic by Nature’ yang bertujuan untuk memudahkan memberitahu wisatawan wisata seperti apa yang akan dilakukan mengingat kata nomadic ini diambil dari kehidupan masyarakat Mongolia yaitu berpindah-pindah dengan dukungan dari alam yaitu padang rumput yang luas. Sehingga, memudahkan mereka untuk tetap beternak dan bermigrasi selama musim. Selain itu, adanya slogan ini juga digunakan sebagai alat dalam pemasaran dan kegiatan promosi tentang budaya nomaden dan sejarah di Mongolia dengan dilakukan kegiatan di luar ruangan. Kegiatan tersebut meliputi berjalan kaki, mendaki, memancing, berburu, mengamati burung, menunggang kuda, bersepeda gunung, beternak, dan lain-lain. Berkuda merupakan kegiatan yang sangat sering dilakukan dalam kehidupan nomadik karena kuda merupakan alat transportasi utama dan mata pencaharian (Ochirkhuyag 2018)[16].

Dalam Ochirkhuyag (2018) menyebutkan pada wisata nomad di Mongolia, para wisatawan akan mendapatkan kesan yang disajikan oleh alam seperti padang rumput yang luas, langit yang biru, gurun Gobi, dan Genghis Khan[16]. Secara pengalaman, wisatawan dapat memiliki pengalaman berkuda, menunggangi unta, mempelajari astronomi melalui bintang, dan memanah. Sedangkan dalam segi budaya, wisatawan dapat turut andil dalam festival Naadam, mengunjungi museum dinosaur, menikmati orchestra Morin Khuur, menikmati masakan lokal, dan belanja. Dalam segi sejarah, wisatawan akan mendapatkan pengetahuan dari museum sejarah nasional, museum Istana Bogd Khaan, dan museum Chinggis Khan wax. Dengan kegiatan wisata nomad ini diharapkan pengunjung akan memiliki pengalaman yang sangat berkesan.

Hubungan nomadic tourism dengan ekowisata[sunting | sunting sumber]

Ekowisata sendiri merupakan pengembangan dari kegiatan wisata yang berfokus dan bertanggung jawab terhadap pendidikan, upaya konservasi, dan peningkatan ekonomi masyarakat lokal (Nafi 2017) [17]. Menurut Nafi (2017), ekowisata dapat dilihat dari tiga perspektif yang berbeda. Pertama adalah perspektif produk, dimana seluruh hal yang menjadi daya tarik wisatawan berbasis pada alam. Kedua adalah perspektif pasar, dimana seluruh sasaran dan tujuan kegiatan didasari oleh upaya upaya pelestarian alam, Ketiga adalah pendekatan pengembang yang merupakan suatu metode dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada dengan tetap berpegang teguh meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar dan melestarikan alam[17].

Canggu mendapatkan peringkat satu sebagai lokasi favorit wisatawan nomad karena memberikan ketenangan dan kemudahan akses internet yang mudah kepada pelaku wisata temporer. Keindahan alam yang masih asri dan alami di Bali khususnya Canggu mampu memberikan ketenangan yang dibutuhkan oleh pelaku digital nomad. Menurut Monita (2019) [18], Bandung menjadi lokasi tujuan wisatawan nomad dikarenakan memiliki banyak lokasi glamping atau glamour camping. Glamping menjadi kebutuhan akomodasi yang penting bagi para wisatawan nomad yang berada di Bandung. Nomadic tourism access menjadi daya tarik tambahan karena memberikan akses transportasi yang memudahkan wisatawan mencapai destinasi. Keunggulan yang disuguhkan oleh kedua tempat tersebut merupakan metode pariwisata yang pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan yang maksimal kepada wisatawan nomad, namun tetap dengan memperhatikan lingkungan. Misalnya alam di canggu yang masih dijaga keasrian dan kealamiannya, sementara pemerintah di Bandung memberikan transportasi umum yang mudah diakses untuk mengurangi penggunaan transportasi pribadi oleh wisatawan nomad.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b UNWTO G. 2016. Nomadic Tourismfor Mongolia. Critical Issues in SilkRoad Tourism. http://cf.cdn.unwto.org/sites/all/files/pdf/3._gansukh_damba.pdf.
  2. ^ a b c d e [Kemenpar] Kementerian Pariwisata RI. 2018. Materi Rapat Kerja Nasional Pariwisata. Digitalisasi Destinasi dan Nomadic Tourism. 22 Maret. BNDCC Nusa Dua Bali.
  3. ^ a b c d e f Mahadewi NME. 2018. Nomadic tourism, wisata pendidikan, digitalisasi dan wisata event dalam pengembangan usaha jasa akomodasi homestay di destinasi wisata. Jurnal KEPARIWISATAAN. 17 (1): 1 – 13.
  4. ^ a b Parwoto BD, Harjanto AG, dan Peja E. 2020. Dampak komunikasi generasi milenial terhadap perilaku Nomadic Tourism. Kepariwisataan: Jurnal Ilmiah. 14(01): 45-52.
  5. ^ Sicroff S, Alos E, dan Shrestha R. 2003. Independent backpacker tourism: Key to sustainable development in remote mountain destinations. Landscapes of diversity: Indigenous knowledge, sustainable livelihoods and resource governance in Montane Mainland Southeast Asia: 527-543.
  6. ^ Pitaya P, Baiquni M, Marsono M, dan Nopirin N. 2019. Paradigma Historis Backpacking Travel Sebagai Perjalanan Wisata. Jurnal Pariwisata Terapan. 3(1): 34-54.
  7. ^ Heliany I. 2019. Wonderful digital tourism Indonesia dan peran revolusi industri dalam menghadapi era komunikasi digital 5.0. Destinasia Jurnal Hospitality dan Pariwisata. 1(1) : 21 – 35.
  8. ^ Sari P, Rahardjo P, dan Wirawati S. 2019. Pengembangan kawasan wisata Borobudur highland dengan konsep nomadic tourism (objek studi : zona otorita kawasan pariwisata Borobudur, kabupaten Purworejo, Jawa Tengah). Jurnal STUPA: Sains, Teknologi, Urban, Perencanaan, Arsitektur. 1(2) : 2217 – 2228.
  9. ^ a b Gholamrezaei, Saeid, Maryam, Alireza, dan Soheila N. 2012. Tribal tourism, entrepreneurial opportunities in the tourism industry of the country, the National Conference On Economic Development strategies with a focus on regional planning. Sananda : Islamic Azad University.
  10. ^ Patiño, María G, Xavier M, Jose M, dan Puyuelo A. 2016. New trends in tourism from globalization to postmodernism Spanyol. International Journal of Scientific Management Tourism. 2(3): 417- 433.
  11. ^ Adiakurnia MI. 2018. Kemenpar gencarkan nomadic tourism pada 2018, apa itu?. URL: https://www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/travel/read/2018/03/26/063200627/kemenpar-gencarkan-nomadic-tourism-pada-2018-apa-itu. Diakses tanggal 8 November 2021.
  12. ^ Hasan A. 2008. Manajemen Pemasaran dan Marketing. Bandung: CV. Alfabeta.
  13. ^ a b Yazdi P dan Saghaei M. 2007. Tourism Nature And Concepts Second Edition. Tehran : Samt Publications.
  14. ^ Korkeh ATI dan Hosseini MH. 2010. Evaluate the potential of tourism entrepreneurship in Iranian nomadic community, and society magazine, issue. Journal of College of Literature. 120(1): 37-50.
  15. ^ a b Mulyana C, Sudana IP, dan Sagita PAW. 2020. Persepsi dan motivasi digital nomad berwisata di Desa Tibubeneng, Canggu, Kuta Utara. Jurnal IPTA (Industri Perjalanan Wisata). 8(2): 183-190.
  16. ^ a b Ochirkyuyag B. 2018. Country branding: branding Mongolia as a travel destination to Japanese tourists [tesis]. Tokyo: Waseda Business School.
  17. ^ a b Nafi M, Supriadi B, dan Roedjinandari N. 2017. Pengembangan ekowisata daerah. Buku Bunga Rampai. 1(1): 38 – 45.
  18. ^ Monita H. 2019. Pengalaman Wisatawan di Maribaya Glamping Tent, Kabupaten Bandung Barat [skripsi]. Bandung: Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung.