Virtue signalling

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Virtue signalling (harfiah: isyarat kebajikan) adalah penyampaian tindakan atau pandangan atau pendapat yang dinilai baik oleh mayoritas, agar penyampai dinilai sebagai individu yang baik, namun pada faktanya, tindakannya berbeda dari ucapannya.[1] Virtue signalling dapat juga disebut hipokrisi.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Istilah "virtue signalling" telah digunakan setidaknya sejak tahun 2004.[2]

Menurut suatu artikel "The Spectator" yang diterbitkan pada tahun 2015, wartawan Inggris bernama James Bartholomew dipercayai sebagai orang yang menjadi sumber penggunaan modern dari istilah ini.[3][4] Ia, melalui sindirannya, menyatakan bahwa virtue signaling adalah bagaikan "tong kosong nyaring bunyinya":[3]

Tidak ada yang harus melakukan apa pun. Kebajikan datang dari kata-kata belaka atau bahkan dari keyakinan yang dipegang diam-diam. Pada masa lalu, orang mengira Anda hanya bisa melakukan kebajikan dengan melakukan hal-hal [seperti: menyeberangi orang buta, menjaga orang tua lansia alih-alih meninggalkan mereka sendirian, tetap hidup di pernikahan yang kurang sempurna demi mengurus anak-anak] yang mana melibatkan usaha dan pengorbanan diri.

Editor Merriam-Webster, Emily Brewster menyebut "virtue signalling" dan "humblebrag" (humble = rendah hati, brag = memamerkan; istilah yang diciptakan oleh Harris Wittels pada tahun 2010) sebagai contoh "perilaku sok baik dalam dunia maya".[5]

Contoh[sunting | sunting sumber]

Media sosial[sunting | sunting sumber]

Orang yang melakukan virtue signalling melakukannya karena ingin dipuji oeh orang banyak. Contohnya, seseorang yang menyatakan di media sosial bahwa ia mendukung hak hidup orang kulit hitam dan menggunakan tagar #BlackLivesMatter, juga mengubah foto profil akun miliknya menjadi sepenuhnya hitam. Tindakan ini disebut juga sebagai slacktivism.


Contoh lainnya, dalam buku Kill All Normies karya Angela Nagle, ia menggambarkan reaksi internet terhadap video Kony 2012 sebagai 'virtue signalling', dan "siklus biasa dari kemarahan online dimulai dengan virtue signalling kompetitif seperti yang diharapkan" terhadap kematian Harambe.[6] BD McClay menyatakan dalam bukunya, The Hedgehog Review bahwa virtue signalling yang berkembang pesat di komunitas online tidak dapat dihindari dalam interaksi digital karena mereka tidak memiliki kualitas kehidupan offline, seperti spontanitas. Ketika seseorang mengisi daftar buku favoritnya untuk Facebook, biasanya ia akan menyadari bahwa daftar tersebut mencerminkan tentang dirinya.[7]

Blackout Tuesday, aksi yang seolah-olah bermaksud menentang rasisme dan kebrutalan polisi pada bulan 2 Juni 2020 dikritik akibat "kurang jelas dan pengarahan".[8][9]

Industri film[sunting | sunting sumber]

Aktor dan artis dapat dianggap melakukan virtue signalling jika tindakan mereka bertentangan dengan pandangan yang mereka ungkapkan.[10]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "Virtue-Signaling: Cara Canggih Tingkatkan Citra Diri di Media Sosial". SINDOnews.com. Diakses tanggal 2022-12-06. 
  2. ^ Shariatmadari, David (January 20, 2016). "Virtue-signalling – the putdown that has passed its sell-by date". The Guardian. Diakses tanggal 2016-04-11. 
  3. ^ a b "The awful rise of 'virtue signalling'". The Spectator. 2015-04-18. Diakses tanggal 2019-11-24. It’s noticeable how often virtue signalling consists of saying you hate things. It is camouflage. The emphasis on hate distracts from the fact you are really saying how good you are. If you were frank and said, 'I care about the environment more than most people do'.. your vanity and self-aggrandisement would be obvious 
  4. ^ "I invented 'virtue signalling'. Now it's taking over the world". The Spectator. 2015-10-10. Diakses tanggal 2019-11-24. The phrase came to me after years of trying to come up with the something. Researching my previous book, The Welfare State We’re In, I came to realise that the Victorians and Edwardians gave vastly more money to charity than people do now. 
  5. ^ "Virtue signaling and other inane platitudes - The Boston Globe". BostonGlobe.com. Diakses tanggal 2019-11-25. 
  6. ^ Nagle, Angela (2017). Kill All Normies. ISBN 978-1-78535-544-8. LCCN 2017934035. Diakses tanggal June 21, 2020 – via Google Books. 
  7. ^ B. D. McClay (2018): "Virtue Signaling", The Hedgehog Review, vol. 20, no. 2, pp. 141–144.
  8. ^ Framke, Caroline (June 2, 2020). "Why Posting Black Boxes for #BlackoutTuesday, or Hashtags Without Action, Is Useless (Column)". this rush to virtue-signal support without providing substantive aid is an all too familiar instinct on social media, where an issue can become a trend that people feel the need to address in some way, whether or not it makes sense or does any actual good. 
  9. ^ Ho, Shannon (June 13, 2020). "A social media 'blackout' enthralled Instagram. But did it do anything?". NBC. Diakses tanggal November 26, 2021. The word "slacktivism" traces to 1995 as a portmanteau of "slacker" and "activism." As elements of life have moved online in the 25 years since, slacktivism has come to represent halfhearted social media-based activity, along with other terms like "virtue signaling" and "performative allyship." 
  10. ^ Shrimsley, Robert (May 10, 2019). "Once you're accused of virtue-signalling, you can't do anything right". Financial Times. Archived from the original on 2022-12-06. Diakses tanggal December 25, 2021. Virtue-signalling, for those who have never felt drawn to the term, is the apparently modern crime of trying to be seen doing the right thing...One regular whipping girl for this abuse is the actor Emma Thompson, who recently rocked up at the Extinction Rebellion protests to give her support, only to be caught days later sipping champagne while flying first class. How her opponents howled.