Teori kesempurnaan media

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Teori kesempurnaan media (Inggris: Media Richness Theory, disingkat MRT) adalah kerangka yang digunakan untuk menggambarkan kemampuan media komunikasi untuk mereproduksi informasi. Teori ini diperkenalkan oleh Richard L. Daft dan Robert H. Lengel pada tahun 1986 sebagai perluasan dari Teori Pengolahan Informasi Sosial.[1] MRT digunakan untuk menentukan peringkat dan mengevaluasi kesempurnaan media komunikasi tertentu, seperti telepon, konferensi video, dan surat elektronik. Misalnya, telepon tidak dapat mereproduksi isyarat sosial yang visual seperti gerakan sehingga media ini kurang sempurna dibandingkan konferensi video yang memungkinkan transmisi gerak dan bahasa tubuh. Berdasarkan teori kontingensi dan teori pemrosesan informasi, MRT menjelaskan bahwa media komunikasi personal yang lebih lengkap biasanya lebih efektif untuk mengkomunikasikan hal-hal yang lebih ambigu daripada media lain yang kurang lengkap.

Latar belakang[sunting | sunting sumber]

Teori kesempurnaan media diperkenalkan pada tahun 1986 oleh Richard L. Daft dan Robert H. Lengel.[1] Mengacu pada pada teori pemrosesan informasi sebagai landasan teoretis, MRT pada awalnya dikembangkan untuk menggambarkan dan mengevaluasi media komunikasi yang digunakan dalam organisasi. Dalam menyajikan teori kesempurnaan media, Daft dan Lengel berusaha untuk membantu organisasi mengatasi tantangan komunikasi, seperti pesan yang tidak jelas dan membingungkan, atau interpretasi pesan yang saling bertentangan.[1]

Ahli komunikasi lainnya telah menguji teori ini untuk mengembangkannya, dan baru-baru ini teori kesempurnaan media telah diadaptasi dengan menambahkan media komunikasi baru seperti video dan konferensi online. Meskipun teori kesempurnaan media berkaitan dengan penggunaan media, bukannya pilihan media, studi empiris dari teori ini sering mempelajari media apa yang akan dipilih oleh seorang manajer untuk berkomunikasi, dan bukan efek dari penggunaan media tersebut.[2]

Sejak diperkenalkan, teori kesempurnaan media telah diterapkan untuk konteks di luar komunikasi organisasi dan bisnis.

Teori[sunting | sunting sumber]

Kesempurnaan informasi didefinisikan oleh Daft dan Lengel sebagai "kemampuan informasi untuk mengubah pemahaman dalam interval waktu tertentu”[1]

Teori kesempurnaan media menyatakan bahwa semua media memiliki kemampuan yang bervariasi untuk memungkinkan pengguna berkomunikasi dan mengubah pemahaman. Tingkat kemampuan ini dikenal sebagai ‘kesempurnaan’ media.[3] MRT menempatkan semua media pada skala berkesinambungan berdasarkan kemampuan mereka untuk mengkomunikasikan pesan kompleks.[4] Media yang dapat mengatasi perbedaan kerangka acuan referensi dengan efisien dan mengklarifikasi isu-isu yang ambigu dianggap lebih sempurna dibandingkan media komunikasi yang membutuhkan waktu lebih lama untuk menyampaikan pemahaman.

Alasan utama dalam memilih media komunikasi untuk pesan tertentu adalah untuk mengurangi ketidakjelasan pesan ataupun penafsiran pesan yang salah.[3] Jika pesan kurang tegas, maka pesannya akan menjadi ambigu dan sulit dimengerti oleh penerima pesan. Semakin tidak jelas sebuah pesan, semakin banyak isyarat dan data yang diperlukan untuk menafsirkannya dengan benar. Misalnya, pesan sederhana yang dibuat untuk mengatur waktu dan tempat pertemuan dapat dikomunikasikan dalam email singkat, namun pesan terinci seperti tentang hasil kerja dan ekspektasi terhadap kinerja seseorang akan lebih baik dikomunikasikan melalui interaksi tatap muka.

Teori ini mencakup kerangka kerja dengan rentang ketidakjelasan dan ketidakpastian dari rendah ke tinggi. Ketidakjelasan dan ketidakpastian yang rendah menggambarkan situasi yang terdefinisi dengan baik, sedangkan ketidakjelasan dan ketidakpastian tinggi menggambarkan peristiwa ambigu yang membutuhkan klarifikasi oleh manajer. Daft dan Lengel juga menekankan bahwa kejelasan sebuah pesan dapat dikompromikan ketika terjadi komunikasi antar departemen, mengingat setiap departemen bisa jadi dilatih untuk memiliki keahlian yang berbeda atau norma komunikasi yang saling bertentangan satu sama lain.

Menentukan kesempurnaan media[sunting | sunting sumber]

Pada artikel mengenai teori kesempurnaan media yang ditulis pada tahun 1988, Daft dan Lengel menyebutkan, "Semakin banyak pembelajaran yang dapat diperoleh melalui media, maka makin sempurnalah media tersebut.” Kesempurnaan media adalah fungsi dari karakteristik-karakteristik berikut ini:[5][6]

  • Kemampuan untuk menangani beberapa tanda-tanda informasi pada saat bersamaan
  • Kemampuan untuk memfasilitasi umpan balik yang cepat
  • Kemampuan untuk membangun fokus pribadi
  • Kemampuan untuk memanfaatkan bahasa alami

Memilih media yang tepat[sunting | sunting sumber]

Teori kesempurnaan media memprediksi bahwa manajer akan memilih mode komunikasi berdasarkan kejelasan sebuah pesan dengan kekayaan sebuah media. Dengan kata lain, saluran komunikasi akan dipilih berdasarkan tingkat komunikatifnya. Namun, sering kali faktor lain turut mempengaruhi, seperti sumber daya yang tersedia bagi komunikator. Daft dan Lengel memprediksi bahwa manajer akan lebih berkonsentrasi pada efisiensi tugas (mencapai tujuan komunikasi seefisien mungkin) dan tidak mempertimbangkan faktor-faktor lain, seperti mengembangkan dan mempertahankan hubungan.[7] Peneliti-peneliti selanjutnya juga menunjukkan bahwa sikap terhadap sebuah media mungkin tidak dapat memprediksi kemungkinan penggunaannya, mengingat tidak semua orang menggunakan sebuah media berdasarkan pilihan pribadi. Jika norma dan sumber daya organisasi mendukung satu jenis media, akan sulit bagi seorang manajer untuk memilih bentuk media lain untuk mengkomunikasikan pesannya.[8]

Kehadiran sosial mengacu pada sejauh mana sebuah media memungkinkan seorang komunikator merasakan kehadiran lawan bicara secara psikologis atau sejauh mana media dapat menunjukkan kehadiran partisipan komunikasi yang sebenarnya. Tugas yang melibatkan keterampilan interpersonal, seperti menyelesaikan perbedaan pendapat atau melakukan negosiasi, menuntut adanya kehadiran sosial yang tinggi; lain halnya dengan tugas pertukaran informasi rutin yang tidak begitu memerlukan kehadiran sosial. Oleh karena itu, media tatap muka seperti pertemuan kelompok lebih tepat untuk tugas-tugas yang membutuhkan kehadiran sosial tinggi; sedangkan surat elektronik atau surat lebih sesuai untuk tugas-tugas yang membutuhkan kehadiran sosial rendah.[9]

Model lain yang berhubungan dengan teori kesempurnaan media sebagai alternatif, khususnya dalam memilih media yang tepat, adalah model pengaruh sosial. Bagaimana kita memandang media, dalam hal ini untuk memutuskan skala kesempurnaan media, tergantung pada “persepsi karakteristik media yang diciptakan secara sosial,” yang mencerminkan kekuatan dan norma sosial dan konteksnya.[10] Setiap organisasi memiliki tujuan dan misi yang berbeda. Dengan demikian, dengan budaya dan lingkungan organisasi yang berbeda, cara masing-masing organisasi memandang sebuah media juga tidak sama, begitupun cara tiap organisasi menggunakan dan mengukur kesempurnaan sebuah media.

Komunikator juga mempertimbangkan seberapa pribadi sifat sebuah pesan untuk menentukan media yang tepat untuk berkomunikasi. Secara umum, media yang lebih kaya dianggap lebih pribadi karena melibatkan isyarat verbal dan nonverbal, bahasa tubuh, nada suara, dan gerak tubuh yang menandakan reaksi seseorang terhadap sebuah pesan. Media yang kaya dapat menciptakan hubungan yang lebih dekat antara seorang manajer dengan bawahan. Sentimen sebuah pesan juga dapat memiliki pengaruh terhadap media yang dipilih. Manajer mungkin ingin menyampaikan pesan negatif secara langsung atau melalui media yang lebih kaya, meskipun pesan cukup jelas, untuk memfasilitasi hubungan yang lebih baik dengan bawahan. Di sisi lain, menyampaikan pesan negatif pada media yang kurang kaya akan menghindarkan komunikator dari rasa bersalah dan juga reaksi penerima pesan.[7]

Dengan berubahnya model bisnis yang memungkinkan karyawan untuk bekerja di luar kantor, organisasi harus mempertimbangkan kembali jenis komunikasi tatap muka. Lebih lanjut, kekhawatiran terhadap saluran yang miskin harus disingkirkan. Dalam konteks saat ini, manajer harus memutuskan media mana yang sebaiknya digunakan melalui trial and error, misalnya perbandingan antara karyawan yang bekerja di kantor dengan yang bekerja di luar kantor. Bisnis saat ini dapat dilakukan pada skala global. Demi penghematan dan mengurangi waktu perjalanan, organisasi harus mengadopsi jenis media komunikasi baru agar tetap mengikuti perkembangan fungsi bisnis di zaman modern.

Konkurensi[sunting | sunting sumber]

Pada bulan April tahun 1993, Valacich et al. Menyarankan konkurensi dimasukkan sebagai karakteristik tambahan untuk menentukan kekayaan sebuah media. Mereka mendefinisikan konkurensi lingkungan untuk mewakili “kapasitas komunikasi lingkungan untuk mendukung episode komunikasi berbeda tanpa mengurangi episode lain yang mungkin terjadi secara bersamaan antara individu yang sama atau berbeda.”[11] Lebih lanjut, mereka menjelaskan meskipun ide dari konkurensi ini bisa diterapkan pada media yang dijelaskan dalam teori Daft dan Lengel, media baru memberikan kesempatan lebih besar terhadap konkurensi dibandingkan sebelumnya.

Aplikasi[sunting | sunting sumber]

Industri[sunting | sunting sumber]

Komunikasi organisasi dan bisnis[sunting | sunting sumber]

Teori kesempurnaan media awalnya disusun dengan konteks komunikasi organisasi untuk lebih memahami interaksi dalam perusahaan. MRT digunakan untuk menentukan media "terbaik” bagi seorang individu atau organisasi untuk berkomunikasi.[12] Misalnya, organisasi dapat mengetahui bahwa keputusan penting harus dibahas dalam interaksi tatap muka; di mana penggunaan email tidak akan memadai.[13]

Dari perspektif organisasi, pemangku kebijakan mungkin membutuhkan media lisan untuk membantu memecahkan masalah, sedangkan karyawan yang tugasnya cukup jelas, cukup menggunakan bentuk media tertulis saja. Meskipun demikian, dari perspektif individu, orang lebih menyukai bentuk komunikasi lisan karena adanya isyarat komunikasi yang memungkinkan interpretasi pesan yang lebih akurat dan efisien.

Perspektif pemrosesan informasi organisasi juga menyoroti peran penting dari komunikasi. Perspektif ini menunjukkan bahwa organisasi mengumpulkan informasi dari lingkungan, memproses informasi tersebut, dan kemudian menindaklanjutinya. Komunikasi organisasi meningkat ketika kompleksitas lingkungan, turbulensi, dan beban informasi meningkat. Efektivitas organisasi dalam mengolah informasi menjadi sangat penting ketika lingkungan bisnis lebih kompleks dan selalu berubah.

Saat ini, perusahaan menggunakan teknologi seperti konferensi video yang memungkinkan para peserta untuk melihat satu sama lain bahkan ketika berada di lokasi yang berbeda. Teknologi ini memungkinkan organisasi untuk melakukan komunikasi lebih baik dibandingkan telepon konferensi tradisional yang hanya menawarkan isyarat audio kepada peserta yang terlibat.

Sensitivitas media dan kinerja[sunting | sunting sumber]

Daft dan Lengel juga menegaskan bahwa tidak semua eksekutif atau manajer dalam organisasi memiliki kemampuan yang sama dalam memilih media yang efektif untuk berkomunikasi. Eksekutif atau manajer dengan kinerja lebih tinggi cenderung lebih “sensitif” terhadap kekayaan media yang dibutuhkan dibandingkan manajer dengan kinerja rendah. Dengan kata lain, para eksekutif yang kompeten memilih media yang lebih kaya untuk pesan non-rutin dan begitu pula sebaliknya.[14]

Dari pandangan konsensus dan kepuasan, kelompok dengan media komunikasi yang terlalu ramping untuk tugas mereka tampaknya mengalami lebih banyak kesulitan daripada kelompok dengan media komunikasi yang terlalu kaya untuk tugas mereka.[15] Selain itu, kelompok lebih sering bertatap muka mencapai perubahan konsensus yang lebih tinggi, kepuasan keputusan yang lebih tinggi, dan keputusan skema kepuasan yang lebih tinggi.

Bursa kerja dan perekrutan[sunting | sunting sumber]

Dalam konteks rekrutmen pekerjaan, interaksi tatap muka dengan perwakilan perusahaan, seperti di bursa kerja, harus dirasakan oleh pelamar sebagai media yang kaya. Bursa kerja

memungkinkan umpan balik instan dalam bentuk pertanyaan dan jawaban, serta penggunaan isyarat komunikasi seperti pesan verbal dan bahasa tubuh yang disesuaikan dengan minat dan pertanyaan dari pencari kerja.

Sebagai perbandingan, pesan stasis seperti membaca informasi di website perusahaan atau papan pengumuman elektronik dapat didefinisikan sebagai media yang lebih ramping karena informasinya tidak disesuaikan dengan kebutuhan pencari kerja, umpan baliknya tidak terjadi secara langsung; dan karena berbentuk tulisan, tidak melibatkan nada suara ataupun bahasa tubuh. Interaksi antara pencari kerja dan pemberi pekerjaan mempengaruhi bagaimana kandidat memproses informasi mengenai organisasi. Interaksi kandidat dengan perusahaan melalui media yang kaya maupun media yang miskin dapat membentuk keyakinan pencari kerja.[16] Beberasa perusahaan telah mulai menggunakan alat yang lebih hidup untuk menjawab pertanyaan tentang perekrutan pekerjaan seperti video, animasi dan agen virtual. Elemen yang lebih interaktif seperti penggunaan agen virtual Angkatan Darat Amerika Serikat, Sersan Starr, telah terbukti meningkatkan transfer informasi untuk pesan ambigu atau kompleks seperti nilai atau misi perusahaan.[17]

Tim virtual dan teleworking[sunting | sunting sumber]

Banyak organisasi memiliki karyawan yang tersebar di zona waktu berbeda. Untuk memfasilitasi kerjasama produktif dan dinamika tim, organisasi dapat memanfaatkan teknologi komunikasi dan coworking. Workman, Kahnweiler, dan Bommer (2003) menemukan bahwa idealnya teleworking menggunakan berbagai jenis media, mulai dari miskin hingga kaya, di mana pekerja dapat memilih media yang paling cocok dengan tugas dan cara kerja mereka.[18]

Selanjutnya, pekerjaan yang berbeda mungkin memerlukan jenis media yang berbeda pula. Pekerjaan yang lebih konkret dan terstruktur seperti perencanaan, administrasi atau operasi mungkin lebih cocok dengan pilihan media yang miskin, sementara pekerjaan desain dan pengembangan perangkat lunak yang lebih memiliki ketidakpastian atau jenis pekerjaan yang membutuhkan negosiasi lebih menuntut penggunaan saluran media yang lebih kaya.[18]

Sebuah studi tentang dinamika tim virtual pada tahun 2009 menunjukkan bahwa penggunaan media yang lebih kaya di lingkungan kerja virtual dapat mengurangi kebiasaan membuang-buang waktu atau kemungkinan timbulnya perasaan tidak dihargai oleh anggota kelompok yang berkontribusi secara individu.[19]

Belanja online[sunting | sunting sumber]

Kekayaan yang dirasakan dari sebuah toko online harus dipertimbangkan ketika menganalisis konten jual beli online. Pengalaman yang didapatkan saat online, pendapatan, serta kepercayaan konsumen terhadap toko online memiliki efek positif yang signifikan terhadap niat konsumen untuk melakukan pembelian secara online. Pengalaman yang didapatkan konsumen saat online memiliki efek positif yang signifikan terhadap kekayaan yang dirasakan dari toko online, sedangkan risiko yang dirasakan terkait dengan penggunaan toko online memiliki efek negatif yang signifikan pada kepercayaan konsumen terhadap toko online . Menurut teori kesempurnaan media, sebuah toko online akan lebih efisien untuk tugas-tugas yang dapat dianalisis sedangkan toko fisik lebih efisien untuk tugas-tugas yang tidak dapat dianalisis.

Pengetahuan ini akan memungkinkan perusahaan untuk secara efisien beradaptasi terhadap cara menggunakan toko online dan bagaimana menggunakan strategi multi-channel untuk memenuhi kebutuhan konsumen dengan lebih baik. Oleh karena itu, toko online perlu memahami sifat dari tugas konsumen dalam proses belanja dan bagaimana konsumen memandang kekayaan sebuah toko online ini.[20] Dengan kata lain, perusahaan harus memutuskan keefektifan susunan saluran dengan tingkat kekayaan berbeda yang membantu konsumen untuk mencari dan membeli barang.[21]

Media[sunting | sunting sumber]

Pesan instan dan SMS[sunting | sunting sumber]

Teori kesempurnaan media menyiratkan bahwa pengirim pesan harus memilih media dengan kekayaan yang tepat untuk mengkomunikasikan pesan yang diinginkan atau memenuhi tugas tertentu.[5] Pengirim pesan yang menggunakan media komunikasi yang kurang kaya harus mempertimbangkan keterbatasan media tersebut dalam hal umpan balik, isyarat, adaptasi pesan, dan emosi. Misalnya, menentukan apakah sebuah SMS bernada serius atau sarkastis yang relatif sulit.[22] Miskinnya sebuah meniadakan transmisi nada dan ekspreksi wajah yang berguna dalam mendeteksi sarkasme. Namun, hasil dari studi yang dilakukan oleh Anandarajam et al. pada penggunaan pesan instan oleh Generasi Y menyimpulkan bahwa "lebih banyak pengguna menganggap pesan instan sebagai media komunikasi yang kaya, semakin besar kemungkinan mereka percaya media ini berguna untuk bersosialisasi".[23] Meskipun Generasi Y menganggap SMS sebagai media yang kaya, bukti-bukti menunjukkan bahwa media yang mudah diakses dan non-intrusif (seperti SMS dan Twitter) lebih sering digunakan untuk berbagi peristiwa positif daripada negatif, dan media yang lebih kaya dan intrusif (seperti telepon) lebih sering digunakan untuk berbagi peristiwa negatif daripada positif.[24]

Lebih lanjut, untuk lebih memahami penggunaan MSN (kemudian disebut Microsoft Messsenger service) oleh remaja, Sheer meneliti efek dari kekayaan media dan kontrol komunikasi. Di antara temuan lain, studi Sheer ini menunjukkan bahwa "fitur yang kaya, seperti kamera web dan MSN Spaces tampaknya memfasilitasi peningkatan jumlah kenalan, teman-teman baru, teman-teman lawan jenis, dan, dengan demikian, jumlah total teman."[25]

Surat elektronik[sunting | sunting sumber]

Dalam beberapa tahun terakhir, seiring dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat terhadap penggunaan surat elektronik garis antara komunikasi tatap muka dan pesan elektronik menjadi kabur. Pesan elektronik sekarang dianggap sebagai alat verbal karena memungkinkan untuk mendapatkan umpan balik dengan cepat, penggunaan bahasa alami, dan emosi melalui akronim dan emoticon.

Namun, pesan elektronik juga memiliki kelemahan: volume overload. Surat elektronik sering berisikan informasi yang tidak berhubungan dengan pekerjaan dalam jumlah besar atau spam. Penyaringan ‘sampah’ ini dapat menghabiskan waktu. Waktu yang dihabiskan saat mengelola surat elektronik dapat mengakibatkan informasi berlebihan. Dengan kelebihan surat elektronik, orang mungkin merasa ketinggalan informasi dari banyaknya konten yang mereka terima. Hal ini dapat menjadi penghalang bagi individu untuk memberikan respon dengan lebih cepat.[26]

Surat elektronik memiliki kapasitas untuk mengirimkan lebih banyak konten informasi daripada saluran lain seperti pesan suara.[27] Meskipun demikian, persepsi terhadap Surat elektronik sebagai platform yang kaya juga bervariasi.[28] Persepsi yang berbeda ini memberikan kontribusi terhadap bagaimana saluran ini digunakan. Bagi beberapa pengguna, pilihan konten akan berbeda. Mereka mungkin akan menggunakan gambar atau video bila mereka menganggap surat elektronik sebagai saluran yang kaya, di mana sisanya mungkin hanya memanfaatkan teks. Persepsi ini juga mempengaruhi pilihan fitur linguistik. Pengguna yang memandang surat elektronik sebagai saluran yang mirip dengan saluran lisan akan mengetik dengan cara berbeda dari mereka yang memandang email sebagai saluran tertulis.[29]

Konferensi video

Perangkat lunak konferensi video telah digunakan tidak hanya oleh tim virtual di perusahaan besar, tetapi juga di ruang kelas dan percakapan santai. Perangkat lunak atau Video Conferencing Systems (VCS) seperti Skype dan Google Hangouts memungkinkan adanya isyarat visual dibandingan percakapan audio. Penelitian menunjukkan bahwa VCS adalah titik tengah antara penggunaan telepon dan pertemuan tatap muka dalam hal kekayaan media.[30] Meskipun konferensi video tidak memiliki kekayaan yang sama dengan percakapan tatap muka, sebuah studi mengenai konferensi video telah mengemukakan bahwa jenis presentasi konten yang lebih kaya berkorelasi positif terhadap tingkat konsentrasi yang lebih tinggi namun menunjukkan hasil yang beragam ketika berkorelasi dengan manfaat yang dirasakan.[31]

Pendidikan jarak jauh dan e-book[sunting | sunting sumber]

Dalam mengevaluasi kepuasan siswa terhadap kursus jarak jauh, Sheppherd dan Martz menyimpulkan bahwa penggunaan teknologi dengan media yang lebih kaya mempengaruhi bagaimana siswa mengevaluasi kualitas kursus. Kursus yang menggunakan alat-alat seperti "forum diskusi, fitur berbagi dokumen, dan video broadcast” dipandang lebih menguntungkan.[32] Lai dan Chang pada tahun 2011 menggunakan kekayaan media sebagai variabel penelitian mereka untuk memeriksa sikap pengguna terhadap e-book, yang menyatakan bahwa penggunaan konten media yang kaya seperti hiperlink dan multimedia lainnya, menawarkan pengalaman membaca yang berbeda dari buku cetak.[33] Penelitian lebih lanjut oleh Lan dan Sie (2010), tentang kategori saluran komunikasi berbasis teks, menemukan bahwa ada perbedaan yang signifikan yang seharusnya membantu instruktur menentukan pilihan teknologi.[34] Lan dan Sie mempelajari penggunaan SMS, email dan RSS; dan menemukan bahwa SMS lebih cocok untuk pengiriman cepat, email memungkinkan kekayaan konten yang lebih besar, dan RSS adalah format ideal untuk presentasi konten pada perangkat mobile.

E-book dan e-learning menjadi alat berguna dalam dunia akademik. Salah satu karakteristik kunci dari e-learning adalah kemampuan untuk mengintegrasikan berbagai media, seperti teks, gambar, audio, animasi dan video untuk membuat materi pembelajaran multimedia.[35] Pemilihan media dalam e-learning merupakan hal penting karena biaya pengembangan materi e-learning non-tekstual yang terus meningkat. Peserta didik bisa mendapatkan keuntungan dari penggunaan media yang lebih kaya pada kursus yang berisi konten ambigu dan kompleks, begitu pula sebaliknya.[36]

Keterlibatan masyarakat[sunting | sunting sumber]

Media yang digunakan secara online juga telah terbukti merangsang keterlibatan masyarakat. Memanfaatkan Internet untuk memfasilitasi musyawarah masyarakat telah terbukti menjadi cara yang sukses dan hemat biaya untuk melibatkan masyarakat dalam jumlah besar.[37] Penelitian telah menunjukkan bahwa media modalitas campuran (baik kaya dan miskin) dapat berguna dalam pendidikan dan keterlibatan masyarakat.[37] Melalui jaringan sosial baru dan berbagai platform online, media membuka kesempatan terhadap “visibilitas dan potensi pembangunan komunitas yang lebih besar dibandingkan praktik budaya kewarganegaaran yang ‘fana’ terdahulu.”[38] Ledakan kreativitas di internet dapat dihubungkan ke lembaga formal seperti pemerintah dan pendidikan untuk memungkinkan basis partisipasi yang lebih luas, yang mengarah ke keterlibatan kuat dari warga dan mendapatkan akses ke sumber pengetahuan dan wawasan yang lebih luas.

Contoh[sunting | sunting sumber]

Indonesia[sunting | sunting sumber]

Teori Kesempurnaan Media jika dilihat dari penerapannya dalam kehidupan perkantoran di Indonesia, dapat dilihat bahwa manajer tetap lebih memilih media tatap muka untuk memberikan informasi yang penting. Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Daft & Lengel bahwa media tatap muka tetap menjadi media yang paling kaya karena melibatkan bahasa verbal dan nonverbal sekaligus.[1]

Namun berkaitan dengan munculnya media baru, masyarakat Indonesia pun tidak bisa melarikan diri dari teknologi. Budaya tatap muka, walaupun masih menjadi yang paling kaya, kini tidak lagi harus berada di dalam satu temoat yang sama. Teknologi dapat menembus ruang dan waktu. Budaya komunikasi yang dilakukan belakangan ini telah menjadi komunikasi tatap muka bermedia dengan bantuan teknologi informasi dan komunikasi. Bahasa verbal dapat digantikan dengan emoji atau simbol sehingga interpretasi maknanya pun akan semakin mudah.

Budaya masyarakat Indonesia juga berevolusi mengikuti teknologi. Karena disadari atau tidak, masyarakat banyak dipengaruhi oleh media elektronik. Pemakaian sistem untuk berkomunikasi antar sesama karyawan dalam sebuah perusahaan salah satunya. Hal ini sesuai dengan Teori Ekologi media yang disampaikan oleh McLuhan, yang melihat bahwa sebuah teknologi telah menjadi pusat untuk seluruh bidang profesi dan juga kehidupan.[39]

Kritik[sunting | sunting sumber]

Lingkup teori[sunting | sunting sumber]

Teori kesempurnaan media telah dikritik oleh apa yang peneliti pandang sebagai sifat deterministiknya. Markus berpendapat bahwa tekanan sosial dapat mempengaruhi penggunaan media jauh lebih kuat daripada kekayaan, dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kunci MRT.[40] Perlu ditekankan juga bahwa teori kesempurnaan media tidak boleh berasumsi bahwa pandangan terhadap media yang lebih kaya benar-benar berlawanan dengan penggunaan media yang lebih miskin . Bahkan, pilihan media sangat kompleks sehingga meskipun sebuah media yang kaya dianggap sebagai media “terbaik” untuk mengkomunikasikan pesan, media yang lebih miskin tetap dapat digunakan.[41] Selain itu, untuk beberapa tugas, pilihan jenis media yang digunakan tidak berpengaruh terhadap akurasi pesan yang disampaikan.[42]

Dalam memilih media untuk transmisi pesan, seseorang juga akan mempertimbangkan nyaman atau tidaknya ia terhadap pilihan yang ada. Jika seorang individu tidak nyaman atau tidak terbiasa menggunakan sistem surat elektronik untuk mendistribusikan pesan, dan menganggap bahwa mempelajari cara mengirim surat elektronik lebih memakan waktu dan tidak efisien dari sekadar mengadakan pertemuan kelompok, ia dapat dapat memilih media yang lebih kaya dibandingkan media yang lebih efisien. Perilaku ini, meskipun irasional, tentu merupakan refleksi terhadap pengalaman yang sebelumnya telah didapatkan.[43]

Keterbatasan budaya dan sosial[sunting | sunting sumber]

Ngwenyama dan Lee menunjukkan bahwa latar belakang budaya dan sosial mempengaruhi pilihan media dalam cara-cara yang tidak sesuai dengan prediksi teori kesempurnaan media; penelitian mereka menerima Paper of the Year Award pada jurnal MIS Quarterly.[44] Ngwenyama dan Lee bukan satu-satunya peneliti yang mengkritik keterbatasan teori kesempurnaan media, terutama dalam hal karakteristik budaya dan individu. Penelitian oleh Ook Lee menunjukkan bahwa dalam lingkungan kerja virtual Konghucu di mana rasa hormat sangatlah penting, kemampuan saluran komunikasi untuk menyampaikan protokol budaya lebih penting daripada kekayaan sebuah saluran.[45] Pada tahun 2009, studi Gerritsen menyimpulkan bahwa dalam konteks bisnis, budaya memainkan peran dalam menentukan pilihan media oleh penerima pesan, mungkin dalam batas budaya tertentu untuk menghindari ketidakpastian.[46]

Selain itu, Dennis, Kinney, dan Hung menemukan bahwa dalam hal kinerja aktual tugas yang lebih ambigu, kekayaan media memiliki efek yang paling menonjol pada tim yang terdiri dari perempuan. Di sisi lain, "menghubungkan kekayaan media dengan tugas yang ambigu tidak mempengaruhi kualitas keputusan, waktu, konsensus, atau kepuasan komunikasi untuk tim yang terdiri dari laki-laki atau tim campuran."[47] Barkhi menemukan bahwa modus komunikasi dan gaya kognitif dapat memainkan peran dalam preferensi dan seleksi media, menunjukkan bahwa dalam situasi dengan pesan dan niat yang sama pun, pemilihan media “terbaik” dapat bervariasi dari orang ke orang.[48]

Aplikasi media baru[sunting | sunting sumber]

Selain itu, karena teori kesempurnaan media dikembangkan sebelum meluasnya penggunaan internet, yang juga memperkenalkan media baru seperti surat elektronik, chat room, pesan instan, ponsel cerdas,[49] dan lainnya; orang-orang juga telah mempertanyakan kemampuannya untuk memprediksi secara akurat media baru apa yang mungkin dipilih oleh pengguna. Beberapa penelitian yang meneliti pilihan media saat diberikan pilihan yang dianggap "media baru", seperti voice mail dan email juga telah dilakukan. El-Shinnaway dan Markus mengeluarkan hipotesis bahwa, berdasarkan teori kesempurnaan media, seseorang akan memilih untuk mengkomunikasikan pesan melalui media yang lebih kaya seperti voicemail dibandingkan melalui email; tetapi menemukan bahwa bahkan ketika mengirim pesan yang lebih samar-samar, media yang lebih miskin seperti surat elektronik digunakan.[27] Lebih lanjut, penelitian menunjukkan bahwa dengan adanya media baru yang memiliki kemampuan lebih luas, pendekatan konsep dimensi tunggal dari teori kesempurnaan media untuk mengkategorikan media komunikasi yang berbeda tidak lagi cukup untuk menggambarkan semua dimensi jenis media yang bervariasi.[50]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e Daft, R.L., and Lengel, R.H. "Organizational Information Requirements, Media Richness and Structural Design,"[pranala nonaktif permanen] Management Science, 32 (5), 2001, pp. 554- 571.
  2. ^ Dennis, A.R.; Kinney, S.T. (September 1998). "Testing Media Richness Theory in New Media: The Effects of Cues, Feedback, and Task Equivocality". Information Systems Research. 9 (3):
  3. ^ a b Dennis, Alan R.; Valacich, Joseph S. (1999). "Rethinking Media Richness: Towards a Theory of Media Synchronicity".
  4. ^ Carlson, John. R.; Zmud, Robert W. (April 1999). "Channel Expansion Theory and the Experiential Nature of Media Richness Perceptions". He Academy of Management Journal. 42 (2): 153–170.
  5. ^ a b Lengel, Robert; Richard L. Daft (August 1989). "The Selection of Communication Media as an Executive Skill". The Academy of Management Executive (1987-1989). 2: 225–232.
  6. ^ Daft, R.L.; Lengel, R.H. (1984). Cummings, L.L.; Staw, B.M., eds. "Information richness: a new approach to managerial behavior and organizational design". Research in organizational behavior. Homewood, IL: JAI Press. 6: 191–233.
  7. ^ a b Sheer, Vivian C.; Ling Chen (2004). "Improving Media Richness Theory: A Study of Interaction Goals, Message Valence, and Task Complexity in Manager-Subordinate Communication".Management Communication Quarterly. 18 (76): 76–93.
  8. ^ Trevino, Linka Klebe; Jane Webster; Eric W. Stein (Mar–Apr 2000). "Making Connections: Complementary Influences on Communication Media Choices, Attitudes, and Use". Organization Science. 11 (3): 163–182.
  9. ^ King, Ruth C.; Weidong, Xia (1997). "Media appropriateness: Effects of experience on communication media choice.". Decision Sciences. 28.4: 877–910.
  10. ^ Turner, Jeanine (January 2007). "The Business Communicator as Presence Allocator". International Journal of Business Communication.
  11. ^ Valacich, Joseph; Paranka, David; George, Joey F; Nunamaker, Jr., J.F. (1993). "Communication Concurrency and the New Media: A New Dimension for Media Richness". Communication Research. 20 (2): 249–276.
  12. ^ Rice, Ronald (June 1993). "Media Appropriateness: Using Social Presence Theory to Compare Traditional and New Organizational Media". Human Communication Research. 451-484
  13. ^ Allen, D.G.; Griffeth, R.W. (1997). "ertical and lateral information processing: The effects of gender, employee classification level, and media richness on communication and work outcomes": 191–120
  14. ^ Lengel, Robert H.; Richard L. Daft (August 1989). "The selection of Communication media as an Executive skill". Academy of Management (1987-1989): 225–232.
  15. ^ Raman, K.S.; Tan, B.C.Y.; Wei, K.K. (January 1993). "An empirical study of task type and communication medium in GDSS". In System Sciences. 4 (Proceeding of the Twenty-Sixth Hawaii International Conference): 161–168
  16. ^ Cable, D.M.; Yu, K.Y.T. "Managing job seekers' organizational image beliefs: The role of media richness and media credibility.". ournal of Applied Psychology. 91 (4): 828–840. doi:10.1037/0021-9010.91.4.82.
  17. ^ "Media richness and information acquisition in internet recruitmentnull". Journal of Managerial Psychology. 29(7): 866–883. 2014-09-02. doi:10.1108/JMP-05-2012-0155. ISSN 0268-3946.
  18. ^ a b Workman, Michael; Kahnweiler, William; Bommer, William (2003-10-01). "The effects of cognitive style and media richness on commitment to telework and virtual teams". Journal of Vocational Behavior. Special Issue on Technology and Careers. 63 (2): 199–219. doi:10.1016/S0001-8791(03)00041-1
  19. ^ Bryant, Stephanie (2009). "The effects of reward structure, media richness and gender on virtual teams". International Journal of Accounting Information Systems. 10 (4): 190. doi:10.1016/j.accinf.2009.09.002.
  20. ^ Brunelle, E.; Lapierre, J. (August 2008). "Testing media richness theory to explain consumers' intentions of buying online.". Proceedings of the 10th international conference on Electronic commerce: 31.
  21. ^ Brunell, Eric (2009). "Introducing Media Richness into an Integrated Model of Consumers' Intentions to Use Online Stores in Their Purchase Process". Journal of Internet Commerce. 8 (3): 222. Retrieved 28 March 2016.
  22. ^ Newberry, Brian (2001). "Media Richness, Social Presence and Technology Supported Communication Activities in Education". Retrieved 2007-09-04.
  23. ^ Anandarajan, Murugan; Zaman, Maliha; Dai, Qizhi; Arinze, Bay (June 2010). "Generation Y Adoption of Instant Messaging: Examination of the Impact of Social Usefulness and Media Richness on Use Richness". IEEE Transactions on Professional Communication. 53 (2): 132–143. doi:10.1109/tpc.2010.2046082.
  24. ^ Choi, Mina; Toma, Catalina L. (2014-07-01). "Social sharing through interpersonal media: Patterns and effects on emotional well-being". Computers in Human Behavior. 36: 530–541. doi:10.1016/j.chb.2014.04.026.
  25. ^ Sheer, Vivian C. (January–March 2011). "Teenagers' Use of MSN Features, Discussion Topics, and Online Friendship Development: The Impact of Media Richness and Communication Control". Communication Quarterly. 59 (1): 82–103. doi:10.1080/01463373.2010.525702.
  26. ^ O'Kane, Paula; Owen, Hargie (2007). "Intentional and unintentional consequences of substituting face-to-face interaction with e-mail: An employee-based perspective.". Interacting with Computers. 19 (1): 20–31. doi:10.1016/j.intcom.2006.07.008.
  27. ^ a b El-Shinnaway, Maha; M. Lynne Markus (1997). "The poverty of media richness theory: explaining people's choice of electronic mail vs. voice mail". International Journal of Human-Computer Studies. 46 (4): 443–467. doi:10.1006/ijhc.1996.0099.
  28. ^ Schmitz, Joseph; Fulk, Janet (1991-08-01). "Organizational Colleagues, Media Richness, and Electronic Mail A Test of the Social Influence Model of Technology Use". Communication Research. 18 (4): 487–523. doi:10.1177/009365091018004003. ISSN 0093-6502.
  29. ^ Baron, Naomi S. (1998-04-01). "Letters by phone or speech by other means: the linguistics of email". Language & Communication. 18 (2): 133–170. doi:10.1016/S0271-5309(98)00005-6.
  30. ^ Kydd, Christine T.; Ferry, Diane L. (1994-12-01). "Managerial use of video conferencing". Information & Management. 27 (6): 369–375. doi:10.1016/0378-7206(94)90017-5
  31. ^ Liu, Su-Houn; Liao, Hsiu-Li; Pratt, Jean A. (2009-04-01). "Impact of media richness and flow on e-learning technology acceptance". Computers & Education. 52 (3): 599–607. doi:10.1016/j.compedu.2008.11.002.
  32. ^ Shepherd, Morgan M.; Martz, Jr., WM Benjamin (Fall 2006). "Media Richness Theory and the Distance Education Environment". Journal of Computer Information Systems. 47 (1): 114–122.
  33. ^ Lai, Jung-Yu; Chang, Chih-Yen (2011). "User attitudes toward dedicated e-book readers for reading: The effects of convenience, compatibility and media richness". Online Information Review. 35 (4): 558–580. doi:10.1108/14684521111161936.
  34. ^ Lan, Yu-Feng; Sie, Yang-Siang (2010-09-01). "Using RSS to support mobile learning based on media richness theory". Computers & Education. 55 (2): 723–732. doi:10.1016/j.compedu.2010.03.005.
  35. ^ P.C, Sun; H.K., Cheng (2007). "The design of instructional multimedia in e-Learning: A Media Richness Theory-based approach". Computers & Education. 49 (3): 662–676. doi:10.1016/j.compedu.2005.11.016.
  36. ^ Liu, S.H.; Liao, H.L.; Pratt, J.A. "Impact of media richness and flow on e-learning technology acceptance". Computers & Education. 52 (3): 599–607. doi:10.1016/j.compedu.2008.11.002.
  37. ^ a b Brinker, David L.; Gastil, John; Richards, Robert C. (2015-09-01). "Inspiring and Informing Citizens Online: A Media Richness Analysis of Varied Civic Education Modalities". Journal of Computer-Mediated Communication. 20 (5): 504–519. doi:10.1111/jcc4.12128. ISSN 1083-6101.
  38. ^ Burgess, Jean and Foth, Marcus and Klaebe, Helen (2006) Everyday Creativity as Civic Engagement: A Cultural Citizenship View of New Media. In Proceedings Communications Policy & Research Forum, Sydney.
  39. ^ West, R. &. (2007). Introducing Communication Theory, Analysis and Application. New York: The McGraw-Hill Companies Inc.
  40. ^ Markus, M.L. (1994). "Electronic Mail as the Medium of Managerial Choice". Organization Science. 5 (4): 502–527. doi:10.1287/orsc.5.4.502. JSTOR 2635179
  41. ^ Rice, Ronald E. (November 1992). "Task Analyzability, Use of New Media, and Effectiveness: A Multi-Site Exploration of Media". Organization Science. 3 (4): 475–500. doi:10.1287/orsc.3.4.475.
  42. ^ Dennis, Alan R.; Joseph Valacich; Cheri Speier; Michael G. Morris (1998). "Beyond Media Richness: An Empirical Test of Media Synchronicity Theory". 31st Annual Hawaii International Conference on System Sciences: 48–57.
  43. ^ King, Ruth C.. Media Appropriateness: Effects of Experience on Communication Media Choice, p. 877-910
  44. ^ Ngwenyama, Ojelanki K.; Lee, Allen S. (1997). "Communication richness in electronic mail: Critical social theory and the contextuality of meaning". MIS Quarterly. 21 (2): 145–167. doi:10.2307/249417. JSTOR 249417.
  45. ^ Lee, Ook (June 2000). "The role of cultural protocol in media choice in a confucian virtual workplace". IEEE Transactions on Professional Communication. 43 (2): 196. doi:10.1109/47.843646.
  46. ^ Gerritsen, Marinel (2009). "The Impact of Culture on Media Choice: The Role of Context, Media Richness and Uncertainty Avoidance". Language for Professional Communication: Research, Practice and Training: 146–160.
  47. ^ Dennis, Alan R.; Kinney, S.T.; Hung, Y.C. (August 1999). "Gender Differences in the Effects of Media Richness" (PDF). Small Group Research. 30 (4): 405–437. doi:10.1177/104649649903000402.
  48. ^ Barkhi, Reza (2002). "Cognitive style may mitigate the impact of communication mode". Information & Management. 39 (8): 677–688. doi:10.1016/s0378-7206(01)00114-8.
  49. ^ Levy, Eilat Chen; Rafaeli, Sheizaf; Ariel, Yaron (2016-11-01). "The effect of online interruptions on the quality of cognitive performance". Telematics and Informatics. 33(4): 1014–1021. doi:10.1016/j.tele.2016.03.003.
  50. ^ Dennis, A. R.; Fuller, R. M.; et al. (2008). "Media, Tasks and Communication Processes: A Theory of Media Synchronicity". MIS Quarterly. 32 (3): 575–600.

Bacaan terkait[sunting | sunting sumber]

  • Daft, R.L. & Lengel, R.H. (1984). Information richness: a new approach to managerial behavior and organizational design. In: Cummings, L.L. & Staw, B.M. (Eds.), Research in organizational behavior 6, (191-233). Homewood, IL: JAI Press.
  • Daft, R.L., Lengel, R.H., & Trevino, L.K. (1987). Message equivocality, media selection, and manager performance: Implications for information systems. MIS Quarterly, September, 355-366.
  • Lengel, R.H. & Daft, R.L. (1988). The Selection of Communication Media as an Executive Skill. Academy of Management Executive, 2(3), 225-232.
  • Suh, K.S. (1999). Impact of communication medium on task performance and satisfaction: an examination of media-richness theory. Information & Management, 35, 295-312.
  • Trevino, L.K., Lengel, R.K. & Daft, R.L. (1987). Media Symbolism, Media Richness and media Choice in Organizations. Communication Research, 14(5), 553-574.
  • Trevino, L., Lengel, R., Bodensteiner, W., Gerloff, E. & Muir, N. (1990). The richness imperative and cognitive style: The role of individual differences in media choice behavior. Management Communication Quarterly, 4(2).