Teh dan Pengkhianat

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Teh dan Pengkhianat
Berkas:Teh-dan-Pengkhianat.jpg
PengarangIksaka Banu
BahasaIndonesia Indonesia
GenreFiksi sejarah
PenerbitKepustakaan Populer Gramedia
Tanggal terbit
Cetakan: I, April 2019
Halaman164
ISBNISBN 978-602-4811-38-9

Teh dan Pengkhianat adalah buku kumpulan cerita pendek karya Iksaka Banu yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia pada bulan April 2019. Buku setebal 164 halaman dengan nomor ISBN 978-602-4811-38-9 ini mengantarkan penulisnya meraih penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2019 pada Kategori Prosa. Tahun itu, dua sastrawan lainnya juga menerima penghargaan yang serupa, yaitu Irma Agryanti melalui karyanya, Anjing Gunung dan Rio Johan dengan karyanya, Ibu Susu.[1]

Latar belakang[sunting | sunting sumber]

Tiga belas cerpen terangkum dalam Teh dan Pengkhianat. Sekalipun ramuan yang digunakan masih relatif sama, yaitu lebih menitikberatkan kepada tokoh seorang Belanda, baik yang murni maupun tergolong Mestizo—berdarah campuran setengah Eropa—sembari menyebarkan pesan-pesan jikalau sejarah itu tak selalu hitam putih, melainkan berwarna-warni. Kisah-kisah yang dituturkan terasa Lebih menarik karena tak cuma berbicara terkait perang. Lembaran awal hingga akhir dapat menyentuh perkara kemanusiaan, perkara fanatisme buta, harapan, pengorbanan, hingga perjuangan, yang dalam hal ini perjuangan melawan ketidakadilan. Ranah kemanusiaan dalam karya ini dapat dilihat dari Kalabaka. Tulisan tersebut mengangkat fakta sejarah terkait pembantaian orang-orang Banda Neira di Maluku (Banda) yang dilakukan oleh tentara. Serangan itu bahkan diceritakan melibatkan seratus orang samurai bayaran atau ronin. Dikisahkan, seorang schutterij—milisi nontentara dari kalangan terhormat yang mahir menggunakan senjata—yang notabene orang Belanda ternyata masih memliki hati nurani dan menolak keras kekerasan yang dilakukan di daerah tersebut, sekalipun ia dihukum.

Kedua, perkara fanatisme buta. Hal ini tersaji secara renyah dalam tulisan Tegak Dunia. Kisah ini menitikberatkan cerita pada hadirnya globe—tiruan bumi—dalam membungkam opini para pemuka agama saat itu yang meyakini bahwa bumi itu datar, karena saking fanitiknya dengan agama. Karena merasa lelah dengan realita tersebut, seorang petinggi schutterij bernama Kapten Zwarte Van de Vlek menulis di halaman 21: bahwa bumi bulat adalah bid'ah terbesar yang dilakukan orang Kristen kepada kaumnya sendiri. Terkait bumi datar sendiri, walau sudah memasuki abad ke-21, keyakinan itu nyatanya masih diyakini banyak orang hingga hari ini. Diskusi itu dibuka dalam halaman 28. "Ia boleh setia pada keyakinannya, tetapi ia tak bisa mengancam pihak yang sudah memiliki bukti lebih kuat dan diuji banyak orang."

Ketiga, perkara Harapan. Suatu hal yang wujudkan dalam bentuk cerpen Belenggu Emas yang bercerita tentang kekaguman wanita kulit putih kepada sesosok wanita pribumi yang digadang-gadang sebagai pembaharu. Wanita tersebut tak lain ialah Rohana Kudus, salah seorang pelopor emansipasi—selain Kartini—yang menjadi tokoh gerakan perempuan di Sumatera Barat, dan menerbitkan surat kabar yang membawa serta harapan untuk kemajuan kaum perempuan, Soenting Melajoe (SM). Kekaguman wanita kulit putih terlihat jelas di halaman 115 kala ia berucap: Aku harus bertemu dengan wanita Minang yang luar biasa ini. Wanita yang telah menjadi ilham bagi banyak orang di Hindia.

Keempat, perkara pengorbanan, yang dijumpai dari cerpen Variola. Kisah yang mengangkat cara Hindia memerangi wabah cacar yang penyebarannya sangat cepat di Nusantara. Kala itu, orang-orang di Ambon, Ternate, dan Bali bahkan meninggal dunia. Karenanya, pengiriman vaksin dari Belanda muncul sebagai solusi dan dibarengi solusi lain berupa produksi vaksin di Nusantara. Namun, kedua solusi tersebut cenderung lama. Tak cocok dengan situasi genting yang terjadi. Mau tak mau, upaya pencegahan haruslah disegerakan. Solusi lainnya adalah mencari anak yatim piatu di Batavia. Setelahnya, mereka dibawa ke Bali. Dalam perjalanan, tubuh mereka dimasukkan vaksin untuk kemudian dipanen bagi banyak orang agar mereka segera bangkit menaklukkan penyakit. Meski mendapat penolakan, akhirnya solusi ini bisa menjadi bukti bahwa orang-orang kulit putih tak melulu menjajah. Ada rasa kemanusiaan tinggi di dalam diri mereka.

Terakhir, tentang perjuangan. Hal ini dijelaskan dengan apik dalam cerpen yang sama dengan judul buku, yakni Teh dan Pengkhianat. Dalam kisah tersebut kita akan melihat kontradiksi bahwa yang berjuang melawan kemunafikan adalah buruh-buruh dari Tiongkok. Mereka melakukan pemberontakan didasarkan karena dua pokok, yaitu gaji yang jauh dari kesepakatan dan tentu saja karena kekejaman pemimpin yang kerap menghukum berlebihan. Uniknya, justru pemerintah Hindia Belanda, pada saat itu jusetru memanfaatkan orang Indonesia yang cukup terkenal untuk memukul mundur laju pemberontakan. Tokoh yang digunakan jasanya ialah Alibasah Sentot Prawirodirjo, mantan jenderal perang dari Diponegoro. Di sinilah letak berwarnanya sejarah. Siapa yang benar dan siapa yang salah, sekali lagi hanya urusan sudut pandang dan kepentingan.

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Resensi Buku Teh dan Pengkhianat - Bukti Sejarah Tak Selamanya Membosankan Detha Arya Tifada, VOI-Lifestyle. Diakses 21 Juli 2020