Suku Konjo

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Suku Konjo adalah kelompok etnis yang mendiami Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Letak wilayah sekitar 200 km arah timur Kota Makassar. Daerah Konjo Pegunungan terbagi dalam 8 desa dan 6 dusun. Konjo dibagi menjadi dua secara geografis, yaitu Konjo Pesisir dan Konjo Pegunungan (Kajang).

Daerah Kajang[sunting | sunting sumber]

Daerah kajang luar adalah daerah yang sudah bisa menerima peradaban teknologi seperti listrik, berbeda halnya dengan kajang dalam yang tidak dapat menerima peradaban, itulah sebabnya di daerah kajang dalam tidak ada listrik bukan hanya itu apabila kita ingin masuk ke daerah kawasan Ammatoa (Kajang dalam) yang tidak diperbolehkan memakai sandal hal ini dikarenakan oleh sandal yang dibuat dari teknologi modern.

Bukan hanya itu bentuk rumah kajang dalam dan Kajang luar sangat berbeda. Di Kajang luar dapur dan tempat buang airnya terletak di bagian belakang rumah sama halnya dengan rumah-rumah pada umumnya, tidak seperti dengan kajang dalam (kawasan Ammatoa) yang menempatkan dapur dan tempat buang airnya didepan.

Hal ini dikarenakan pada zaman perang prajurit kajang sering masuk ke rumah penduduk untuk mencari makan itulah sebabnya dapur dan tempat buang air kecilnya ditempatkan didepan rumah bukan hanya itu agar prajurit juga tidak melihat anak dari pemilik rumah karena prajurit beranggapan apapun yamg berada di dalam rumah itu adalah miliknya.

Kajang Ammatoa Kabupaten Bulukumba[sunting | sunting sumber]

Daerah Kajang juga terkenal dengan hukum adatnya yang sangat kental dan masih berlaku hingga sekarang. Mereka menjauhkan diri dari segala sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal moderenisasi, kegiatan ekonomi dan pemerintahan Kabupaten Bulukumba. Mungkin disebabkan oleh hubungan masyarakat adat dengan lingkungan hutannya yang selalu bersandar pada pandangan hidup adat yang merekayakini.

Hitam merupakan sebuah warna adat yang kental akan kesakralan dan bila kita memasuki kawasan ammatoa pakaian kita harus berwarna hitam. Warna hitam mempunyai makna bagi Masyarakat Ammatoa sebagai bentuk persamaan dalam segala hal, termasuk kesamaan dalam kesederhanaan. tidak ada warna hitam yang lebih baik antara yang satu dengan yang lainnya. Semua hitam adalah sama.

Warna hitam menunjukkan kekuatan, kesamaan derajat bagi setiap orang di depan sang pencipta. Kesamaan dalam bentuk wujud lahir, menyikapi keadaan lingkungan, utamanya kelestarian hutan yang harus di jaga keasliannnya sebagai sumber kehidupan.

Kondisi Perkampungan[sunting | sunting sumber]

Suku Kajang bermukim di Desa Tana Toa, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. Secara geografis, daerah tersebut merupakan daerah perbukitan yang bergelombang. Dari beberapa wilayah tertentu di desa itu, dapat dilihat deretan pegunungan Lompobattang-Bawakaraeng dan Lembah Bantaeng di sebelah Barat. Selain itu, di sebelah Timur juga terlihat Teluk Bone dengan gugusan pulau-pulau Sembilan.Dilihat dari topografi-nya, desa tersebut berada antara 50-200 meter di atas permukaan air laut dengan curah hujan rata-rata 5.745 mm/tahun. Sedangkan suhu udara di sana rata-rata 13-29 derajat celcius dengan kelembaban udara 70% per tahun.

Secara administrasi, Desa Tana Toa berbatasan dengan beberapa wilayah, yaitu sebelah utara berbatasan dengan Desa Batunilamung; sebelah selatan berbatasan dengan Desa Bonto Baji; sebelah timur berbatasan dengan Desa Malleleng; sebelah Barat berbatasan dengan Desa Pattiroang. Pembagian administrasi tersebut juga membagi wilayah Desa Tana Toa, tempat bermukimnya Suku Kajang, menjadi 13 RK (Rukun Keluarga) dan 19 RT (Rukun Tetangga) yang dikelompokkan ke dalam sembilan wilayah dusun, yaitu Dusun Balagana, Dusun Jannaya, Dusun Sobbu, Dusun Benteng, Dusun Pango, Dusun Bongkina, Dusun Tombolo, Dusun Luraya, dan Dusun Balambina.

Secara total, luas wilayah Desa Tana Toa adalah seluaas 729 Ha dengan pembagian tertentu, antara lain untuk fasilitas umum, pemukiman, pertanian, kegiatan ekonomi, dan lain-lain.[1] Rincian dari pembagian lahan tersebut adalah luas lahan untuk jalan seluas 3,7 Ha; lahan untuk bangunan umum seluas 5Ha; kahan untuk pemakaman seluas 5 Ha. Untuk kebutuhan pertanian, pembagian lahannya adalah sebagai berikut: lahan sawah dan ladang seluas 93 Ha. Sedangkan untuk aktivitas perekonomian, lahan untuk pasar seluas 0,81 Ha; lahan untuk industri seluas 0,36 Ha; lahan untuk pertokoan seluas 0,32 Ha. Sisanya, sebesar 329, 67 Ha dipergunakan untuk pemukiman dengan rincian tanah bengkok seluas 36,08 Ha; lahan perkantoran seluas 1,07 Ha; lahan bangunan peribadatan seluas 1 Ha.[2]

Selain pembagian wilayah tersebut, di pemukiman Suku Kajang ini juga terdapat wilayah hutan adat dan hutan kemasyarakatan. Hutan adat sering disebut sebagai hutan pusaka yang sifatnya keramat dengan total luas 317, 4 Ha. Segala sesuatu yang berada di dalam hutan adat tidak boleh untuk dirusak, termasuk menebang kayu, memburu binatang, apalagi membakar hutan. Hutan adat tersebut disebut juga sebagai Borong Karama’ dipercaya oleh Suku Kajang memiliki nilai magis yang akan berdampak buruk pada kehidupan mereka apabila melanggar aturan-aturan itu. Sedangkan kemasyarakatan memang sengaja dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat. Luas hutan tersebut adalah 144 Ha dimana masyarakat diperbolehkan untuk menggarap atau menebang pohon di dalamnya. Meskipun demikian, mereka diwajibkan untuk menanam terlebih dahulu bibit pohon dengan jenis yang sama sebelum ditebang. Hasil hutan itu mereka garap dan nikmati bersama masyarakat Suku Kajang.[3]

Lebih jauh lagi, wilayah pemukiman Suku Kajang secara umum memiliki ciri geologis berupa lahan berpasir, gambut, dan sebagian wilayah merupakan tanah bebatuan. Dari keseluruhan wilayah yang ada, kawasan hutan merupakan yang terbesar dan terluas yang terdiri dari kawasan hutan adat, hutan lindung, dan hutan rakyat. Tanah hutan tersebut banyak mereka pergunakan untuk sektor pertanian dan perkebunan.

Filosofi Tempat Tinggal[sunting | sunting sumber]

Seluruh rumah Suku Kajang[4] menghadap kea rah Barat. Hal itu bukan tanpa alasan. Barat dianalogikan sebagai sebuah arah dimana simbol dari nenek moyang mereka berada. Konsep rumah yang mereka bangun juga seragam tanpa ada yang berbeda sedikit pun. Hal itu mereka lakukan untuk mengungkapkan nilai kesederhanaan dan simbol keseragaman. Lebih dari itu, material yang mereka gunakan untuk membangun rumah bukanlah batu bata atau tanah. Membangun rumah dengan material tersebut adalah sebuah pantangan bagi mereka. Sebab, mereka percaya bahwa hanya orang mati saja yang diapit oleh liang lahat dan tanah. Kendati demikian, masih ada beberapa keluarga Suku Kajang yang menggunakan batu sebagai bahan bangunan rumahnya. Walaupun mereka masih hidup, oleh Suku Kajang yang lain keluarga mereka dianggap mati, berkaitan dengan pantangan tersebut.[5]

Beberapa sumber penelitian menyebutkan bahwa filosofi membangun rumah tanpa batu bata tersebut sebenarnya dilakukan oleh Suku Kajang dalam rangka melindungi hutan. Hal itu cukup logis mengingat pembuatan batu bata tentu memerlukan lebih banyak kayu untuk pembakarannya. Dengan demikian, jumlah pohon yang harus ditebang juga akan semakin banyak. Larangan untuk membangun rumah dengan batu bata secara tidak langsung juga mengurang penebangan hutan.

Lebih lanjut, bagian-bagian rumah Suku Kajang juga memiliki beberapa filosofi, beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:

- Bagian atas rumah disebut dengan Parra yang merupakan tempat menyimpan bahan makanan. Di bawah atap bagian kiri dan kanan terdapat loteng yang berfungsi sebagai rak (para-para) tempat penyimpanan barang dan alat.

- Bagian tengah disebut dengan Kale Balla yang berfungsi sebagai tempat hunian

- Bagian bawah atau kaki rumah disebut dengan Sirih yang berfungsi sebagai tempat melakukan kegiatan menenun, menumbuk padi atau jagung dan tempat ternak.

Seluruh rumah Suku Kajang memiliki bentuk yang serupa dimana seluruhnya terdiri dari tiang-tiang yang ditanam dengan jumlah 16 batang. Kale Bolayya terdiri atas tiga bagian yang masing-masing dipisahkan oleh pappamuntulang, yaitu latta riolo (tempat tamu), latta tangnga (tempat tuan rumah menerima tamu) dan tala-tala (tempat tidur kaum wanita). Apabila ada pengantin baru, maka tala-tala tersebut dibuat sejengkal lebih tinggi dari kedua bagian rumah lainnya serta dibuat kamar khusus yang disebut bili’i. Belii’i sendiri berdinding papan, berlantai bambu yang diikat satu sama lain, bertapa rumbia, dapur dan tempat buang air kecil letaknya pada bagian latta riolo sebelah krii pintu dan pada bagian ujung atap terdapat hiasan menyerupai ekor ayam yang disebut dengan anjong.

Pola pemukiman Suku Kajang didasarkan pada arah ketinggian. Mereka berbeda dengan masyarakat Bugis di Makassar yang mayoritas pola pemukimannya mengikuti aliran sungai atau pola pemukiman yang linear. Menurut mereka, rumah yang menghadap ke gunung tidak baik jika berhadapan dengan lembah. Filosofi tersebut bermaksud untuk mengatakan bahwa pola pemukiman mereka pilih agar rezeki yang berasal dari Tuhan dapat diterima secara langsung ke rumah mereka, tanpa harus melalui perantara. Pola pemukiman yang demikian juga dipilih agar rezeki tidak tercecer sehingga berujung pada hal-hal yang tidak halal.

Kepercayaan[sunting | sunting sumber]

Sebagian besar Suku Kajang memeluk agama Islam. Meskipun demikian, mereka juga mempraktikkan sebuah kepercayaan adat yang disebut dengan Patuntung. Patuntung diartikan sebagai mencari sumber kebenaran. Hal itu menyiratkan bahwa apabila manusia ingin mendapatkan sumber kebenaran, maka mereka harus menyandarkan diri pada tiga pilar, yaitu Tuhan, tanah, dan nenek moyang. Keyakinan kepada Tuhan adalah kepercayaan yang paling mendasar dalam kepercayaan patuntung. Suku Kajang percaya bahwa Tuhan adalah pencipta dari segala sesuatu, Mahakekal, Mahamengetahui. Mahaperkasa, dan Mahakuasa.[6]

Tuhan atau yang disebut sebagai Turie’ A’ra’na menurunkan perintah atau wahyunya kepada Suku Kajang melalui manusia Kajang pertama yang disebut Ammatoa. Wahyu tersebut dalam kepercayaan mereka disebut dengan pasang. Pasang yang hendak disampaikan bukanlah sembarangan. Pasang tersebut berisi panduan hidup Suku Kajang dalam segala aspek dan lika-liku kehidupan. Nenek moyang mereka menurunkan pasang itu secara lisan dari generasi ke generasi. Suku Kajang sendiri diwajibkan untuk mematuhi pasang tersebut. Mereka berkeyakinan bahwa apabila mereka melanggar Pasang yang ada, berbagai macam hal buruk akan terjadi dalam kehidupan mereka. Mereka mengenal sebuah filosofi menyangkut hal itu, yaitu “kalau kita jongkok, gugur rambut, dan tidak tumbuh lagi. Kalau kita langkahi, kita akan lumpuh.[6]

Agar pasang tersebut dipatuhi oleh seluruh Suku Kajang, Ammatoa harus terus menjaga dan menyebarkan serta melestarikan pasang tersebut. Keberadaan Ammatoa diyakini sebagai mediator atau penghubung antara manusia (Suku Kajang) dengan Tuhan. Mitos yang berkembang di kalangan Suku Kajang mengatakan bahwa Ammatoa adalah manusia pertama yang diturunkan diperkampungan mereka. Lokasi pemukiman yang sekarang mereka huni diyakini sebagai tempat pertama kalinya Ammatoa diturunkan oleh Tuhan. Tidak heran jika kemudian mereka menyebutnya sebagai Tanah Toa yang berarti Tanah tertua yang diwariskan oleh leluhur mereka.

Ammatoa juga disebut sebagai manusia pertama yang mendirikan komunitas Suku Kajang sekaligus pemimpin tertinggi mereka. Menurut cerita yang berkembang, Ammatoa turun ke perkampungan Suku Kajang dengan mengendarai burung Kajang yang konon diyakini sebagai cikal bakal terciptanya manusia. Setelah itu, terciptalah manusia yang menyebar ke berbagai penjuru dunia. Di antara banyaknya manusia yang diciptakan oleh Tuhan itu, orang Kajang dari Tana Toa adalah yang paling ia sayangi. Bagi Suku Kajang sendiri, kepercayaan kepada Ammatoa itu dipercaya sebagai sebuah ralitas. Di tanah tempat Ammatoa pertama kali mendarat, mereka mendirikan perkampungan yang kemudian dinamai sebagai Tanah Toa atau tempat pertama kalinya manusia turun ke bumi. Oleh sebab itu, Suku Kajang meyakini Ammatoa sebagai pemimpin tertinggi mereka, yang mereka ikuti ajaran dan petuahnya dalam kehidupan sehari-hari.[7]

Filosofi Alam[sunting | sunting sumber]

Sebagaimana masyarakat adat lainnya di Indonesia, Suku Kajang juga amat menjaga hubungan baik dengan alam. Meskipun tidak memiliki pengetahuan formal dan hidup dalam gelimang kecanggihan teknologi, Suku Kajang mengerti bagaimana mereka harus berinteraksi dengan alam, terutama hutan mereka. Mereka paham bahwa sumber kekayaan hutan tidak sepatutnya dieksploitasi, melainkan harus dijadikan sebagai pendamping kehidupan sehari-hari.[8] Hal itu mereka junjung karena adanya upaya penghormatan kepada Sang Maha Berkehendak yang mereka yakini mewujud ke dalam sakralitas alam. Merusak lingkungan dan alam samahalnya dengan menghianati ajaran Tuhan dan Ammatoa yang memberikan mereka kehidupan selama ini. Kearifan lokal dan aturan adat sangat mereka junjung tinggi, terutama yang berkaitan dengan praktik-praktik perilaku manusia dengan alam. Apabila ada di antara Suku Kajang yang melanggar aturan tersebut, mereka harus siap menanggung konsekuensi yang berat.[9]

Filosofi Manusia[sunting | sunting sumber]

Selain kepercayaan terhadap sakralitas alam, Suku Kajang juga memiliki tata tertib tersendiri dalam mengatur hubungannya dengan Tuhan dan manusia. Tata tertib itu mereka bentuk sebagai landasan hidup dan membina kehidupan sosial sesuai dengan perintah Tuhan. Secara garis besar, ada dua jalur yang mendasari perilaku mereka, yaitu secara vertical dan secara horizontal. Secara vertical maksudnya adalah untuk mengatur perilaku Suku Kajang dengan Sang Pencipta, sedangkan secara horizontal dimaksudkan untuk mengatur hubungan antara Suku Kajang dengan manusia lain.

Suku Kajang amat percaya bahwa menjalankan kehidupan sebagai makhluk sosial tidak bisa dilepaskan dari pemenuhan hak terhadap orang lain dan kewajiban kepada manusia lainnya pula. Dalam hidup bermasyarakat, mereka meyakini bahwa hubungan antarmanusia harus didasari pada sama-sama memberi manfaat dan kebaikan. Selanjutnya, kewajiban lainnya akan mengikuti, terutama berkaitan dengan hubungannya dengan alam semesta. Sebab, kodrat manusia tidak dilepaskan dari alam semesta yang menjadi tempat bersandari bagi pemenuhan segala kebutuhan hidup.

Secara umum, kepercayaan mereka dalam menjaga hubungan dengan alam semesta dibagi menjadi empat, yaitu:

- Unsur tentang Tuhan atau wujud supranatural yang mencakup kekuatan ghaib

- Unsur tentang Roh yang berkaitan erat dengan konsep hari akhir, yaitu adanya surga dan neraka

- Unsur etos kerja dan etika, yakni tujuan religius atau tendensi keakhiratan

- Unsur asal-usul terjadinya alam semesta.

Lewat aturan-aturan tersebut, mereka berkeyakinan bahwa manusia dan alam memiliki hubungan yang saling membutuhkan. Manusia membutuhkan alam sebagai produsen bagi sehala kebutuhannya, sementara alam memerlukan manusia untuk menjaganya agar terus lestari.

Kearifan Lokal dan Penataan Ruang[sunting | sunting sumber]

Sebagaimana aspek-aspek kehidupan lainnya, Suku Kajang amat berpegang pada pasang sebagai sumber dari tata tertib kehidupan mereka. Konteks penataan ruang yang dimaksud tidak hanya berkaitan dengan fisik (penataan pola perkampungan dan perumahan), melainkan juga aspek manusia yang juga menjadi faktor berpengaruh terhadap ruang. Suku Kajang percaya pada Pasang ri Kajang dalam pencapaian tujuan penataan ruang melalui pengaturan ruang, pelaksanaan dan pembinaan, serta pengendalian pemanfaatan ruang dimana seluruh kalimat dan simbol-simbol yang termuat di dalamnya memerlukan interpretasi budaya yang baik. Simbol-simbol yang ada selalu berkaitan dengan kearifan lokal untuk mengelola lingkungan atau ruang oleh setiap individu dari Suku Kajang. Di dalam pasang, Suku Kajang mensejajarkan diri dengan lingkungan dan alam, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ammatoa “Bila kamu merusak hutan, sama artinya kamu merusak dirimu sendiri”. Sebagai masyarakat yang hidup di Tana Toa yang merupakan tanah kebersahajaan, Suku Kajang harus menjunjung tinggi tata cara pergaulan yang sopan dan santun. Beberapa adat istiadat yang mencerminkan hal itu antara lain

- Adat istiadat dalam bertutur kata.

Mereka percaya bahwa mereka diciptakan untuk saling menghargai antarsesama sekaligus antar masyarakat yang hidup di tempat berlainan. Bagi mereka, adalah sebuah pantangan besar untuk berbicara kasar dan akan dicela oleh Suku Kajang yang lain apabila berbicara dengan bertolak pinggang. Mereka dituntun untuk berbicara dengan tangan dilipat di dada sambil membungkukkan badan dan menggulung sarung. Begitu pula dalam hal menyapa, mereka dituntun untuk menggunakan sapaan yang akrab dan mulia seperti menggunakan kata sapaan Puto untuk laki-laki dan Jaja’ untuk perempuan. Sementara itu, untuk sapaan kepada serumpun mereka dianjurkan untuk menggunakan kata sapaan sesuai tingkat kelahiran, seperti Kak Toa untuk anak sulung, Kak Tengnga untuk anak tengah dan Lolo untuk anak bungsu. Lebih jauh lagi, Suku Kajang juga memberikan penamaan kepada keturunan mereka sesuai dengan nama hewan, nama musim, dan nama mata angin. Sebagai misal, Jammu, Sappang, Ka’cuppang yang berarti kodok; nama-nama musim seperti Bara’ (musim hujan), Timoro’ (musim kemarau), dan nama mata angin seperti Raja (timur), dan Lau’ (Barat). Sementara itu, mereka diharamkan untuk mempergunakan nama nabi, malaikat, dan nama kebesaran Allah karena dinilai berat dan menimbulkan kedurhakaan sekaligus menanggung dosa.[7]

- Adat istiadat dalam berpakaian.

Suku Kajang pantang untuk mengenakan pakaian selain berwarna hitam dan putih. Warna tersebut menurut pasang yang mereka percayai mengandung arti kesederhanaan. Sarung hitam yang dikenakan laki-laki merupakan buatan mereka sendiri yang dilakukan dengan menenun, kemudian direndam ke dalam larutan yang terbuat dari daun tarum yang menyebabkannya menjadi hitam pekat. Pakaian perempuan pun terdiri dari sarung dan baju bodo yang berwarna hitam pekat.

- Nilai-nilai sosial.

Suku Kajang percaya pasang yang di dalamnya memuat nilai dan adat istiadat yang meliputi perbuatan yang mereka kerjakan. Perbuatan tersebut terdiri dari siri’ (malu), kasipali (pantangan), dan kesenian. Adat istiadat yang mereka junjung antara lain nilai kejujuran yang merupakan nilai utama ajaran pasang; nilai sabar (sa’bara) yang harus dimiliki oleh seluruh Suku Kajang, terutama para pendidik; nilai konsekuen yang merupakan nilai ketegasan yang harus dimiliki oleh pemimpin adat; nilai tenggang rasa yang dianggap sebagai nilai positif dan berharga bagi kehidupan mereka. Mereka juga percaya pada Siri’ yang merupakan sejumlah perbuatan yang akan menimbulkan rasa malu dan hukuman berat kepada Suku Kajang yang melakukannya. Beberapa perbuatan itu adalah larangan bagi perempuan berduaan dengan laki-laki yang bukan anggota keluarganya.

Mereka juga percaya pada Kasipalli yang merupakan larangan berat yang hukumannya akan jauh lebih berat dibandingkan Siri’ apabila dilakukan oleh mereka. Beberapa perbuatan yang dikategorikan dalam Kasipalli adalah menggunakan nama-nama nabi, malaikat, dan Tuhan, berpakaian selain hitam dan putih, pantangan bagi janda untuk menggunakan pakaian selama 40 hari dan banyak bicara sejak kematian suaminya, pantangan mengubah bentuk asli rumah, pantangan menggunakan kendaraan bermotor dan hal-hal lain yang bersifat berlebihan.

Lebih jauh lagi, Suku Kajang juga mengenal baik beberapa kesenian yang sifatnya temporar dan insidental. Beberapa di antaranya adalah tari Pabitte Passapu, permainan gendang, pencak silat pada saat perkawinan. Di dalam ajarang Pasang, Suku Kajang diperkenankan untuk mengembangkan kesenian sendiri, namun tidak diperkenankan untuk meniru kebiasaan atau kesenian para pendatang atau sesuatu yang dinilai bertentangan dnegan prinsip-prinsip kesederhanaan mereka.

Selain ajaran-ajaran tersebut, pasang yang dipercaya oleh Suku Kajang juga percaya bahwa dunia ini hanyalah tempat persinggahan sementara untuk menuju akhirat. Untuk bisa menjangkau kehidupan akhirat yang baik, mereka perlu menerapkan pola hidup yang sederhana. Hidup dengan cara sederhana menurut mereka merupakan cara atau ideologi yang mempengaruhi bagiamana cara mereka mengatur pola keruangan dan cara mereka dalam memenuhi kebutuhan kesehariannya. Sikap tidak berlebihan alias sederhana tersebut kemudian akan berdampak pada cara mereka memenuhi makanan, pakaian, sawah, kebun, rumah, dan pemanfaatan sumber daya hutan secara tidak berlebihan atau serampangan

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ RPJM Desa Tana Toa Tahun 2010-2014. Lihat melalui https://sulselprov.go.id
  2. ^ Takwim, Supriadi. 2013. Kearifan Lokal Suku Kajang dalam Penataan Ruang. Tesis. Program Magister Perencanaan Kota dan Daerah Universitas Gadjah Mada.
  3. ^ Restu, M. dan Sinohadji Emil. 2008. Boronga ri Kajang (Hutan di Kajang). Makasar: Pustaka Refleksi
  4. ^ Ayu, Adriyani (2019-08-26). "Berkenalan dengan Masyarakat Adat Ammatoa". Cultura Magazine (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-01-19. 
  5. ^ Akib, Yusuf. 2008. Potret Manusia Kajang. Pustaka Refleksi: Makassar
  6. ^ a b Adhan, Syamsurijal, 2005, Islam dan Patuntung di Tanah Toa Kajang: Pergulatan Tiada Akhir, dalam Hikmat Budiman, ed., Hak-Hak Minoritas: Dilema Multikulturalisme di Indonesia, Yayasan Intereksi Bekerjasama dengan Tifa Foundation, Jakarta
  7. ^ a b Katu, Alim. 2005. Tasawuf Kajang. Pustaka Refleksi: Makassar
  8. ^ Suriani. 2006. Tanah Laksana Ibu bagi Suku Kajang. dalam Harian Sore Sinar Harapan Edisi 06 Februari 2006.
  9. ^ Salle, K, 2000, Kebijakan Lingkungan Menurut Pasang: Sebuah Kajian Hukum Lingkungan Adat Pada Masyarakat Ammatoa Kecamatan Kajang Kabupaten Daerah Tingkat II Bulukumba, dalam Jurnal Pascasarjana Universitas Hasanuddin Vol. I Tahun 2000, Makassar.