Sinagoga

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 6 April 2013 15.52 oleh Addbot (bicara | kontrib) (Bot: Migrasi 89 pranala interwiki, karena telah disediakan oleh Wikidata pada item d:q34627)
Sinagoga di Kota Surabaya, Jawa Timur.
Sinagoga Yaakov Ohel Synagog di Manado, Sulawesi Utara.

Sinagoga atau sinagoge adalah nama tempat beribadah orang Yahudi.[1] Di dalam bahasa aslinya (bahasa Yunani: συναγωγή, synagogē atau sunagogē, berarti "perkumpulan"; bahasa Perancis/Inggris: synagogue) terdiri dari kata Yunani συν (syn, = bersama), dan αγωγή agogé, belajar atau pendidikan, sinagoge memiliki arti "belajar bersama" selain berkumpul bersama.[1] Kata tersebut merupakan terjemahan dari kata Ibrani, eda, yang berarti jemaah, sehingga pengertian sinagoge yang sebenarnya bukanlah suatu tempat atau gedung tertentu melainkan persekutuan.[2] Sinagoge, bersama gerakan yudaisme rabinik, memiliki peran penting dalam membentuk pola keagamaan Yahudi hingga kini, khususnya setelah Bait Suci yang menjadi pusat peribadah umat Yahudi hancur pada tahun 70 M.[3] Selain itu, sinagoge juga diduga membawa pengaruh besar terhadap pola ibadah umat Kristen dan Islam melalui penggunaan gereja dan masjid.[3][4]

Asal Mula

Ada berbagai teori mengenai asal mula sinagoge, yakni sebagai berikut.[4]

Sejak Zaman Musa

Tradisi Yahudi menyebutkan akar sinagoge dimulai sejak zaman Musa, atau bahkan pada zaman para Patriarkh.[4] Flavius Yosefus dan Philo menyatakan bahwa sinagoge didirikan oleh Musa sebagai tempat orang-orang Yahudi mendengarkan Taurat seminggu sekali.[4] Targum Onkelos menyatakan Yakub sebagai pelayan sinagoge (Kejadian 25:27), sedangkan Targum Yonatan mengatakan bahwa Yitro mengajak Musa untuk mengajarkan umat Israel mengenai doa-doa yang harus diucapkan di dalam sinagoge-sinagoge mereka.[4] Kemudian Targum Tawarikh mengartikan bukit pengorbanan yang ada di Gibeon sebagai suatu sinagoge.[4]

Sejak Masa Reformasi Yosia

Ada teori dari Julian Morgenstern bahwa sinagoge mulai berdiri di Israel sebagai akibat dari Reformasi Yosia, yakni ketika mezbah-mezbah dan bukit-bukit pengorbanan dari tradisi religius non-Yahudi dihancurkan.[4] Menurut Morgenstern, kuil-kuil di pelosok Israel terus dipakai sebagai tempat pertemuan keagamaan pada hari Sabat dan pada saat perayaan-perayaan Yahudi.[4] Pendapat lain diberikan J. Weingreen yang menyanggah pendapat Morgenstern dengan alasan bahwa reformasi Yosia telah menghancurkan kuil-kuil di pelosok juga.[4] Menurutnya, Yosia mendirikan tempat-tempat lain sebagai ganti kuil-kuil tersebut untuk peribadahan rakyat.[4] Akan tetapi, teori Weingreen ini dipandang lemah sebab tidak memiliki bukti dari riwayat reformasi Yosia.[4]

Sebelum Pembuangan

R.W. Moss mengajukan pendapat bahwa sinagoge telah ada sebelum masa Pembuangan abad ke-6 SM.[4] Ia menyatakan bahwa pada mulanya sinagoge merupakan sekolah dan instansi pemerintahan setempat sebelum berkembang menjadi pusat ibadah pada masa Pembuangan.[4]

Sejak Zaman Makabe

Ada beberapa ahli yang menyatakan asal mula sinagoge pada zaman Makabe atau setelah penghambatan zaman Makabe.[4] Hal tersebut didasarkan pada bukti-bukti arkeologis yang menyatakan bahwa pada abad ke-3, sinagoge belum dikenal di Palestina.[4] Bukti arkeologis menyatakan sinagoge tertua yang peninggalannya ditemukan di Palestina berasal dari abad ke-1 M.[4] Akan tetapi, teori ini lemah sebab pemberontakan Makabe tampaknya berkaitan erat dengan sinagoge, yang mana dikatakan bahwa salinan-salinan Taurat direbut dan dibakar oleh musuh, sehingga membuktikan bahwa sinagoge telah ada sebelum pemberontakan Makabe.[4]

Pada Masa Pembuangan

Kebanyakan ahli mendukung pendapat bahwa sinagoge mula-mula berdiri di pembuangan di Babel yakni sejak abad ke-5 SM.[4][3][5] Argumentasi dari para ahli didasarkan pada jauhnya orang-orang Yahudi dari Bait Suci yang merupakan pusat ibadah mereka, padahal mereka perlu mempertahankan identitas iman mereka di Babel yang merupakan tempat asing.[4] Karena itu, orang-orang Yahudi mulai berkumpul di rumah-rumah mereka sendiri dan membahas Kitab Suci secara teratur, serta melakukan perayaan kurban dan perayaan lainnya di tempat-tempat tertentu dan hal itulah yang akhirnya menjadi asal mula sinagoge.[4] Argumentasi ini didukung dengan kenyataan bahwa harapan untuk kembali ke tanah air Palestina masih terjaga di kalangan umat Yahudi walaupun telah hidup dalam pembuangan selama puluhan tahun.[4] Selain itu, Taurat masih dipertahankan penggunaannya, bahkan mendapat bentuknya yang semakin formal pada masa Pembuangan tersebut.[4] Salah satu catatan mula-mula mengenai umat berkumpul bersama untuk membahas Firman Allah tertulis dalam Kitab Yehezkiel pasal 8:1.[6]

Perkembangan Sinagoge

Melihat informasi yang menyinggung tentang sinagoge, dapat disimpulkan bahwa sinagoge telah lama ada sebelum masa Perjanjian Baru.[4] Yesus Kristus kerap kali mengunjungi sejumlah sinagoga di Galilea (misalnya dalam Injil Markus pasal 1). Di dalam catatan Perjanjian Baru, sinagoge telah ada di mana-mana, baik di Palestina maupun di luar Palestina.[4] Pada waktu Paulus dan rekan-rekannya pertama kali mengunjungi suatu kota di wilayah Roma, mereka mula-mula mengunjungi sinagoga setempat. Di dalam bukti arkeologis lainnya, terdapat bukti adanya sinagoge di Mesir pada abad ke-3 SM, dan tentu saja bukan yang pertama didirikan di situ. [4]

Pada masa pasca-Pembuangan, institusi Bait Suci dikembangkan kembali dan menjadi pusat keagamaan orang-orang Yahudi.[1] Akan tetapi, peran sinagoge-sinagoge tetap penting sebagai tempat persekutuan orang-orang Yahudi di perantauan.[1] Karena itulah, orang-orang Yahudi di luar Palestina biasa mengumpulkan persembahan tahunan untuk mendukung peribadahan di Bait Suci, terlebih bagi mereka yang tidak dapat datang ke Bait Suci untuk mengikuti ritus tahunan.[1] Selain itu, sinagoge juga berperan untuk mempertahankan identitas Yahudi di perantauan melalui pembacaan Kitab Suci, doa-doa, dan perayaan hari besar Yahudi.[1]

Perkembangan sinagoge juga amat dipengaruhi oleh perkembangan kaum Farisi pada abad ke-2 SM.[4] Pada waktu itu, orang-orang yang dapat membaca serta menafsirkan Taurat adalah kaum Farisi, sehingga mereka berperan besar di dalam persekutuan-persekutuan lokal di kalangan rakyat Yahudi.[4] Hal yang sama terjadi ketika Bait Suci dihancurkan tahun 70 M dan umat Yahudi tersebar ke tempat-tempat lain.[4] Kelangsungan identitas Yahudi menjadi tergantung pada kaum Farisi, yang disebut juga rabi sebab hanya mereka yang dapat membaca dan menafsirkan Taurat.[4] Mereka berperan penting di dalam sinagoge-sinagoge lokal di tempat-tempat orang Yahudi tinggal.[4] Di masa itulah, studi terhadap Taurat, doa-doa, dan perbuatan baik menggantikan ritus Bait Suci dan persembahan kurban.[3] Peran penting sinagoge dan rabi masih berlangsung hingga masa kini.[3]


Sepanjang sejarah Yahudi, sinagoge-sinagoge dibangun oleh bermacam-macam orang, seperti para orang-orang raya maupun kaum-kaum tertentu.[7] Misalnya, sinagoga-sinagoga Sephardi yang didirikan oleh kaum Sephardi yang mengungsi ke kota-kota besar, di mana sudah terdapat jemaah-jemaah Yahudi.[7] Umat Yahudi Eropa Timur dicirikan oleh adanya kloiz (harfiah, "tempat berkumpul") di mana jemaah yang seprofesi beribadah bersama-sama. Jadi, ada kloiz penjahit, kloiz pemikul air, dan seterusnya. [7] Satu kloiz yang sampai sekarang masih dilekati nama tersebut adalah Sinagoge Breslov di Uman, Ukraina, yang mengakomodasi ribuan jamaah pada acara Breslover tahunan Rosh Hashana kibbutz (pertemuan doa).[7] Sinagoge ini disebut "Kloiz Baru" untuk membedakannya dari "Kloiz Lama", yang dibangun oleh Nathan dari Breslov pada 1834.[7]

Fungsi Sinagoge

Pendidikan

Ada ahli yang berpendapat bahwa pendidikan keagamaan berupa pembacaan dan penafsiran Taurat merupakan fungsi utama dari sinagoge.[4] Diketahui bahwa di sinagoge, Taurat tidak hanya dibicarakan dan dibahas pada waktu kebaktian, tetapi juga di dalam kurikulum pendidikan sehari-hari.[4] Selain itu, pelajaran mengenai hal-hal umum juga diberikan di sinagoge.[2]

Sinagoge juga menjadi tempat bagi calon-calon anggota baru agama Yahudi yang berasal dari non-Yahudi.[8] Di dalam kitab-kitab Perjanjian Baru orang-orang seperti itu disebut dengan istilah "orang-orang yang takut akan Allah".[8] Karena itu, dapat disimpulkan bahwa sinagoge juga menjadi tempat pendidikan bagi calon-calon agama Yahudi, namun tentu saja ini tergantung situasi dan peraturan masing-masing sinagoge.[8]

Peribadahan

Ada pula ahli-ahli lain yang berpendapat bahwa fungsi utama sinagoge adalah dalam hal peribadahan.[2] Ibadah-ibadah dilangsungkan di situ pada hari Sabat dan hari-hari besar lainnya.[2] Pusat ibadah adalah pembacaan Taurat, dan seluruh desain dan suasana ruangannya diarahkan kepada pembacaan tersebut.[2] Selain itu, sinagoge juga berfungsi sebagai tempat doa pada jam-jam doa Yahudi, dan dengan berkiblat ke arah Yerusalem.[4]

Pertemuan-Pertemuan

Selain fungsi pendidikan dan peribadahan, sinagoge juga berfungsi sebagai tempat pertemuan-pertemuan masyarakat untuk membicarakan masalah-masalah sosial, politik, maupun keagamaan.[4] Karena itu, sinagoge juga dapat menjadi tempat pengadilan (bandingkan Matius 10:17 dan Kisah Para Rasul 26:11).[4]


Petugas Sinagoge

Arkôn

Arkôn adalah petugas utama di sinagoge yang menjadi kepala dan berperan penting di dalam semua kegiatan yang berlangsung.[2] Tugas utamanya adalah mengatur ketertiban sinagoge dan umat yang berkumpul di situ, serta mengawasi ibadah yang berlangsung.[4]

Khazzân

Khazzân adalah petugas yang bertanggung jawab atas tugas-tugas kasar hingga tugas pengawasan secara umum, termasuk juga melakukan tugas-tugas administratif.[4] Ia bertugas merawat gedung sinagoge, perabot-perabot, kitab-kitab sinagoge.[2] Ia juga yang berdiri di atas gedung sinagoge dan memproklamasikan mulainya hari Sabat dan masa-masa raya.[2]

Syelîakh Sibûr

Syelîakh Sibûr bertugas untuk mengucapkan doa di dalam ibadah.[4] Syarat-syarat seorang Syelîakh Sibûr adalah aktif, dewasa, kepala keluarga, tidak kaya, bukan pedagang, mempunyai suara nyaring, dan pandai mengajar.[4] Ada kemungkinan bahwa pada awalnya Syelîakh Sibûr bukanlah jabatan melainkan seorang yang dipanggil khusus untuk melakukan tugas-tugas tersebut.[4] Sering terjadi bahwa posisi ini dirangkap oleh Khazzân, sehingga akhirnya lambat laun kedua jabatan itu melebur menjadi satu sehingga istilah Khazzân dan Syelîakh Sibûr disamakan begitu saja.[4]


Peribadahan Sinagoge

Ibadah di dalam sinagoge memiliki unsur-unsur syema, doa, pembacaan Taurat dan kitab-kitab Nabi, dan pengucapan berkat.[4]

Syema

Syema merupakan suatu pengakuan iman orang Yahudi yang berisi keyakinan akan keesaan Tuhan (Ulangan 6:4-5).[4] Di dalam kitab-kitab Injil, Yesus mengutip syema untuk menjawab pertanyaan, "hukum manakah yang terutama di dalam Taurat?"[4]

Doa

Doa yang diucapkan dinamakan syemoneh ezreh atau delapan belas berkat. [4] Bentuknya yang definitif disusun pada tahun 110 M, namun beberapa kalimat permulaannya disusun setelah runtuhnya kota Yerusalem tahun 70 M.[4] Untuk mengucapkan doa, umat berdiri dan pada akhir doa mereka mengucapkan 'amin'.[4]

Pembacaan Taurat

Pembacaan Taurat mengikuti pola tertentu yang berlangsung selama tiga tahun sehingga setelah tiga tahun seluruh Taurat telah dibaca seluruhnya.[4] Pembacaan kitab-kitab Nabi ada, namun belum memiliki pola tertentu sehingga pemilihan bacaan diserahkan kepada yang bertugas membacanya.[4]

Di Palestina, pembacaan Taurat diikuti dengan penerjemahan teks bacaan tersebut ke dalam bahasa Aram.[2] Kemudian di dalam sinagoge-sinagoge di perantauan luar Palestina, pembacaan Taurat diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani.[2] Orang yang menerjemahkan haruslah orang yang dianggap mampu sebab ada peraturan yang ketat mengenai akurasi teks-teks Kitab Suci.[2]

Uraian Nas Kitab Suci

Sesudah nas Kitab Suci dibacakan, kadang-kadang ada yang bertugas menguraikan isinya. Akan tetapi, uraian tersebut bukanlah merupakan bagian wajib dari ibadah.[4] Di dalam teks-teks Perjanjian Baru hal ini terlihat dari kisah di mana Yesus dan Paulus diundang untuk menguraikan Kitab Suci di sinagoge tertentu (Matius 4:13 3, 13-34, Kisah Para Rasul 13:15).[4]

Pengucapan Berkat

Ibadah ditutup oleh petugas yang mengucapkan berkat setelah diberi isyarat oleh Khazzân.[4] Ada yang menganggap bahwa tradisi tersebut berasal dari ritus Bait Suci.[4] Petugas berdiri menghadap umat, sedangkan umat berdiri dengan tangan terangkat setinggi bahu, sambil mengulangi, kata demi kata, apa yang diucapkan oleh petugas.[4]


Perempuan dalam Sinagoge

Mengenai peran perempuan di dalam sinagoge, masih terjadi perdebatan, termasuk mengenai peran perempuan di dalam ibadah.[2] Philo mencatat bahwa di sinagoge Aleksandria, perempuan dipisahkan dari laki-laki, dan menempati ruangan luar (serambi) sedangkan kaum laki-laki menempati ruang dalam.[2] Akan tetapi, melalui penemuan dua puluh inskripsi (tulisan yang terpahat pada batu) dari sinagoge Yahudi kuno, diketahui nama perempuan-perempuan yang menjadi anggota-anggota terkemuka serta pemimpin-pemimpin di komunitas-komunitas Yahudi.[1] Hal ini menunjukkan situasi sosial pada masa itu bahwa pada tempat dan waktu tertentu, perempuan juga dapat menempati posisi yang tinggi dalam kehidupan religius komunitas Yahudi.[1]


Referensi

  1. ^ a b c d e f g h (Inggris)Bart D. Ehrman. 2004. The New Testament: A Historical Introduction to the Early Christian Writings. New York, Oxford: Oxford University Press. P. 41.
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m S. Wismoady Wahono.1986. Di Sini Kutemukan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
  3. ^ a b c d e (Inggris)Hans Küng. 1995. Judaism. London: SCM Press.
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak al am an ao ap aq ar as at au av aw ax ay az ba bb (Indonesia)H. H. Rowley. Ibadat di Israel Kuna. 1981. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hal. 164-187.
  5. ^ (Inggris)Norman K. Gottwald. 1985. The Hebrew Bible: A Socio-Literary Introduction. Philadelphia: Fortress Press. P. 413, 427.
  6. ^ Yehezkiel 8:1
  7. ^ a b c d e Rosh Hashanah di Uman
  8. ^ a b c (Indonesia)Lawrence E. Toombs. 1978. Di Ambang Fajar Kekristenan. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hal. 54.

Templat:Link FA