Produk, layanan, dan kontrak keuangan Islam

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kontrak keuangan/ekonomi Islam adalah suatu kesepakatan yang didasarkan pada prinsip hukum Islam, yaitu al-Qur'an dan Hadits, untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang atau lebih dari setiap orang secara langsung atau tidak langsung.[1]

Dalam kontrak keuangan Islam, ada beberapa asas yang harus ada: sukarela, amanah, kehati-hatian (ikhtiyati), tidak berubah (zulum), kesetaraan (taswiyah), transparansi, kemampuan, kemudahan (taisir), iktikad baik, dan alasan yang halal. Setiap prinsip harus dimasukkan ke dalam sebuah kontrak/akad untuk menjadikan ciri khas dalam kontrak keuangan Islam.[1]

Beberapa produk Islam membaginya menjadi dua jenis kontrak Islam: akad tabaru, yang merupakan akad sukarela yang tidak menghasilkan keuntungan, dan akad tijarah, yang paling sering digunakan oleh lembaga keuangan Islam karena memiliki keuntungan dan diizinkan oleh hukum Islam.[1]

Prinsip[sunting | sunting sumber]

Dalam menjalankan operasinya, sistem keuangan Islam mengikuti prinsip-prinsip berikut:[2]

1. Bebas dari MAGHRIB, yang mencakup Maysir (spekulasi), Gharar, Haram, Riba, dan Batil.

2. Melakukan bisnis dan perdagangan yang bergantung pada cara yang sah untuk memperoleh keuntungan.

3. Mendistribusikan Zakat, Infak, dan Sedekah

Selain itu, ada dua prinsip utama yang mendasari sistem keuangan Islam: Prinsip Syar'i dan Prinsip Tabi'i. Perlu diingat bahwa beberapa prinsip Syar'i dalam sistem keuangan adalah bahwa transaksi tidak menganut prinsip nilai waktu uang (time value of money), karena keuntungan yang diperoleh dari bisnis terkait dengan resiko yang melekat pada bisnis tersebut, sesuai dengan prinsip tidak ada keuntungan tanpa resiko (no gain without accompanying risk).[2]

Perjanjian yang dilakukan harus didasarkan pada perjanjian yang jelas dan benar, mengandung prinsip win-win solution, yang berarti tidak ada keuntungan tanpa risiko (no gain without accompanying risk), dan tidak menganut prinsip nilai waktu uang (time value of money).[2]

Prinsip Tabi'i adalah prinsip-prinsip yang diciptakan melalui interpretasi akal dan ilmu pengetahuan dalam hal manajemen permodalan, dasar dan analisis teknis, manajemen cash flow, dan manajemen resiko, dan lainnya. Oleh karena itu, sistem keuangan mempertimbangkan nilai-nilai Islami serta keuntungan.[2]

Bagi hasil[sunting | sunting sumber]

Dalam bisnis keuangan Islam, ada empat prinsip utama bagi hasil: al-Musyarakah dan al-Mudharabah, al-Muzara'ah dan al-Musaqah. Namun, al-musyarakah dan al-mudharabah adalah prinsip yang paling banyak digunakan, sedangkan al-muzara'ah dan al-musaqah hanya digunakan oleh beberapa bank Islam untuk membiayai pembiayaan pertanian atau plantiation financing.[2]

Musyarakah[sunting | sunting sumber]

Musyarakah adalah kontrak antara dua atau lebih pihak untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan dana (amal atau keahlian) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama.[2]

Mudharabah[sunting | sunting sumber]

Mudharabah berasal dari kata "dharb", yang berarti berjalan atau memukul. Lebih tepatnya, istilah "memukul atau berjalan" mengacu pada proses seseorang memukulkan kakinya ke dalam saat melakukan usaha. Mudarabah adalah sistem usaha antara dua atau lebih pihak. Sahib al-mal menyediakan seratus persen kebutuhan modal untuk proyek, dan nasabah sebagai pengelola (mudharib) mengajukan permohonan pembiayaan dan memberikan keahliannya.[2]

Muzara’ah[sunting | sunting sumber]

Seringkali disebut sebagai "muzara'ah", kerja sama pengelolaan pertanian di mana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen. Muzara'ah adalah benih dari pemilik, dan Murabahah adalah benih dari penggarap.[2]

Musaqah[sunting | sunting sumber]

Musaqah adalah jenis muzara'ah yang lebih sederhana di mana petani hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan perawatan. Selain itu, sebagai imbalan, petani berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.[2]

Jual beli[sunting | sunting sumber]

Jual beli adalah perjanjian saling mengikat antara penjual, yang bertindak sebagai pihak yang mengirimkan barang, dan pembeli yang bertindak sebagai pihak yang membayar harga barang tersebut.[3] Berikut merupakan beberapa akad jual beli dalam Islam:

Murabahah[sunting | sunting sumber]

Murabahah adalah suatu perjanjian jual beli dimana pembeli dan penjual menyepakati keuntungan (margin) yang akan ditambahkan pada harga perolehan. Hal ini dapat diterapkan pada transaksi seperti pembiayaan pembangunan rumah, toko, atau pabrik.[4]

Istishna[sunting | sunting sumber]

Istishna adalah pembelian dan penjualan barang dagangan berupa produksi barang yang memenuhi standar yang telah ditentukan, dan pembayarannya dilakukan sesuai dengan syarat-syarat kontrak. Akad ini sering digunakan oleh sektor jasa keuangan Islam untuk membiayai investasi, proyek bangunan, dan usaha lainnya.[4]

Salam[sunting | sunting sumber]

Salam adalah akad jual beli barang pesanan (muslam fiih), dengan syarat penundaan penyerahan penjual (muslam ilaihi), dan pembayaran atau pelunasan dilakukan sebelum barang pesanan diterima (muslam fiih) dengan syarat tertentu. Akad ini sering digunakan oleh sektor jasa keuangan Islam untuk membiayai modal kerja dan hasil pertanian.[4]

Daftar Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c Abdurohman, Dede (2020-10-18). "Kontrak/Akad Dalam Keuangan Syariah". Ecobankers : Journal of Economy and Banking (dalam bahasa Inggris). 1 (1): 39–58. 
  2. ^ a b c d e f g h i Iskandar, Eddy (2017). "Aplikasi Sistem Keuangan Syariah Pada Perbankan". Almufida: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman. 2 (2). doi:10.46576/almufida.v2i2.60. ISSN 2715-6737. 
  3. ^ "Hasil Pencarian - KBBI VI Daring". kbbi.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 2024-02-18. 
  4. ^ a b c "Yuk, Mengenal Akad-Akad Transaksi Syariah .:: SIKAPI ::". sikapiuangmu.ojk.go.id. Diakses tanggal 2024-02-18.