Perubahan iklim dan spesies invasif

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Remis zebra (Dreissena polymorpha) salah satu jenis spesies invasif yang menyebar melalui air pemberat (ballast water) di dalam kapal. Ketersediaan jalur perkapalan barat-laut akibat pengaruh perubahan iklim memungkinkan penyeberan remis air tawar ini di lokasi-lokasi baru.

Perubahan iklim diprediksi dapat mempengaruhi keanekaragaman hayati secara subtansial; menyebabkan perubahan fenologi, komposisi genetik, dan sebaran spesies; serta mempengaruhi interaksi antarspesies dan berbagai proses di ekosistem.[1][2] Efek yang disebabkan oleh perubahan iklim juga dapat mempengaruhi distribusi, kemampuan penyebaran, kemelimpahan serta dampak yang dihasilkan oleh spesies invasif.[3] Beberapa penelitian menunjukan bahwa efek yang dihasilkan dapat menguntungkan spesies invasif,[4][5][6] mendorong penyebaran spesies pendatang ke wilayah baru, serta mendukung proses pemapanan (establishment) spesies tersebut.[7] Di sisi lain, pada kasus-kasus tertentu perubahan iklim juga dapat menyebabkan penurunan populasi organisme invasif dan membuka peluang restorasi ekosistem yang terdampak.[8]

Perubahan iklim juga dapat mengubah definisi dari spesies invasif itu sendiri.[7] Beberapa spesies pendatang yang sebelumnya dianggap invasif dapat menghilang dari suatu wilayah akibat efek dari perubahan iklim.[8] Di sisi lain, spesies asli di suatu wilayah dapat berkembang biak tak terkendali dan menjadi spesies invasif akibat pergeseran komponen lingkungan yang difasilitasi oleh perubahan iklim.[7]

Dampak Perubahan Iklim Terhadap Spesies Invasif[sunting | sunting sumber]

Perubahan iklim antropogenik atau sering juga disebut sebagai pemanasan global adalah perubahan kondisi klimatik yang disebabkan baik secara langsung maupun tidak langsung oleh aktivitas manusia yang mengubah komposisi atmosfer global.[9] Salah satu bagian utama dari perubahan iklim adalah peningkatan suhu global dan kadar CO2 di atmosfer, yang ditengarai dapat mempengaruhi sebagian besar ekosistem di bumi.[10]

Spesies invasif merupakan organisme pendatang (non-native species) yang tidak berasal dari suatu lokasi spesifik dan memiliki kecenderungan untuk berkembang biak dan menyebar luas di lokasi tersebut, sehingga dapat memberikan kerusakan terhadap lingkungan, ekonomi dan kesehatan.[11] Sebagian besar spesies tersebut mencapai lokasi baru akibat aktivitas manusia, baik secara langsung (introduksi) maupun tidak langsung (migrasi terbantukan).[12] Tidak semua spesies pendatang dapat disebut invasif; suatu organisme dapat disebut invasif jika dapat beradaptasi di lokasi baru, cepat berkembangbiak, serta mengakibatkan kerusakan pada spesies-spesies asli (native species) dan ekonomi di wilayah tersebut.[13]

Perubahan kondisi klimatik akibat perubahan iklim mendorong terjadinya perubahan keberlangsungan komponen-komponen hayati di dalam ekosistem.[7] Hal ini turut mempengaruhi sifat-sifat populasi organisme di wilayah yang terdampak; termasuk pada organisme invasif di wilayah tersebut baik secara positif maupun negatif.

Dampak Positif Terhadap Spesies Invasif[sunting | sunting sumber]

Peningkatan Fenomena Penyebaran Bibit Spesies Pendatang[sunting | sunting sumber]

Perubahan iklim dapat mengubah pola transportasi manusia yang dapat mengakibatkan meningkatnya fenomena penyebaran bibit spesies pendatang di lokasi baru. Peningkatan ini dapat berupa akses baru terhadap kawasan yang sebelumnya tidak tersentuh, peningkatan tekanan penyebaran (propagule pressure) yang mendorong terjadinya pemapanan (establishment), serta peningkatan survavibilitas penyebar (propagule) selama perjalanan.[7] Salah satu contoh dari hal tersebut adalah pencairan es di jalur barat laut akibat perubahan iklim, yang menyebabkan tersedianya jalur tersebut sebagai rute perdagangan yang lebih cepat dan efektif.[14] Hal ini dapat mempengaruhi kemampuan bertahan hidup bibit organisme pendatang di lambung dan air pemberat kapal selama perjalanan.[15]

Percepatan Perkembangan Spesies Pendatang Menjadi Spesies Invasif[sunting | sunting sumber]

Kemampuan perkembangan populasi organisme yang terpengaruh efek Allee bergantung pada densitas spesies tersebut. Semakin kuat efek Allee, semakin panjang fase perlambatan yang dialami organisme tersebut. Perubahan iklim dapat meringankan efek Allee yang memperpendek fase lag spesies invasif.

Sebagian besar spesies pendatang mengalami fase perlambatan (lag) dalam proses invasi. Pada fase tersebut spesies pendatang cenderung memiliki populasi yang sangat rendah dan lambat berkembang biak, sebelum akhirnya meledak dan dikategorikan sebagai spesies invasif.[16] Salah satu penyebab fase tersebut adalah Efek Allee: sebuah fenomena ketika organisme dengan populasi berkerapatan rendah tidak dapat berkembang biak atau menggunakan sumberdaya secara efisien.[17] Pergeseran kondisi lingkungan akibat perubahan iklim dapat mengurangi efek tersebut, menyebabkan peningkatan densitas populasi pada spesies pendatang dan mendorong perkembangan spesies tersebut menjadi spesies invasif.[16]

Eliminasi Faktor Pembatas Persebaran Spesies Invasif[sunting | sunting sumber]

Pada spesies pendatang dengan populasi yang telah mapan; perubahan iklim dapat mengeliminasi faktor pembatas persebaran spesies invasif dengan mengubah tekanan lingkungan seperti suhu, kelembapan tanah, frekuensi kebakaran hutan, dan salinitas air laut.[7][18][19][20] Hal ini menyebabkan spesies tersebut mampu memperluas daerah persebarannya di ketinggian atau garis lintang yang lebih tinggi.[21] Di kawasan beriklim sedang, peningkatan suhu menyebabkan kekhawatiran penyebaran populasi spesies-spesies invasif di ketinggian atau garis lintang tertentu oleh suhu dingin yang ekstrem atau tutupan es.[16][22][23] Contoh umum dari kasus ini adalah penyebaran 2 spesies ascidian eksotik di pantai timur Amerika, Steyla clava dan Molgula manbattensis ke arah utara selama 20-50 tahun terakhir akibat perubahan suhu air laut di wilayah tersebut.[24]

Dampak Negatif Terhadap Spesies Invasif[sunting | sunting sumber]

Pada beberapa kasus, perubahan iklim dapat mengurangi kemampuan bersaing spesies invasif di beberapa kawasan.[25] Perubahan kondisi klimatik yang kurang menguntunkan bagi spesies invasif dapat mengurangi populasi organisme tersebut di wilayah yang terdampak, serta membuka peluang restorasi spesies asli di kawasan tersebut.[8] Sebuah model memprediksi berkurangnya risiko invasi dari tiga jenis tumbuhan eksotik di bagian barat Amerika Serikat (Bromus tectorum, Centaurea biebersteinii dan Euphorbia esula) akibat perubahan iklim, sehingga membuka peluang bagi spesies tanaman asli untuk tumbuh lahan yang ditinggalkan. Dibutuhkan studi lebih lanjut untuk mengetahui besaran peluang tersebut; dikarenakan adanya kemungkinan spesies invasif lain yang tidak terdampak negatif menguasai lahan tersebut terlebih dahulu, atau spesies asli di kawasan tersebut juga terpengaruh dampak negatif dari perubahan iklim.[25]

Dampak Kombinasi Perubahan Iklim dan Spesies Invasif terhadap Ekosistem dan Manusia[sunting | sunting sumber]

Perubahan iklim dapat memperparah dampak invasi spesies pendatang di terhadap ekosistem dan manusia di berbagai lokasi.[21] Pada banyak kasus, fenomena ini saling memperkuat satu sama lain dan meningkatkan tingkat ancaman kerusakan yang dihasilkan.

Ledakan Hama Serangga[sunting | sunting sumber]

Serangga merupakan salah satu kelompok taksa invasif paling parah di dunia. Diperkirakan kerugian yang dihasilkan oleh spesies serangga invasif mencapai US$70 miliar setiap tahun.[26] Ada beberapa faktor yang berkontribusi dalam penyebaran hama serangga invasif, seluruhnya bersumber pada kenaikan suhu udara.[27] Perubahan suhu udara dapat mengeliminasi batas-batas persebaran hama serangga invasif di berbagai lokasi, mengurangi kompetisi dengan spesies asli, serta mengurangi tekanan predator alami spesies tersebut. Contoh nyata dari fenomena ini terjadi pada spesies cacing akar Diabrotica virgifera virgifera yang menjadi hama jagung di Amerika Utara dan Eropa serta mengakibatkan kerugian ekonomi di kedua benua tersebut. Perubahan fenologi dan pemanasan global menggeser garis batas atas persebaran spesies ini, sehingga memungkinkan organisme tersebut menyebar ke kawasan utara yang lebih dingin.[27]

Penyebaran Patogen[sunting | sunting sumber]

Penelitian terhadap patogen yang dipengaruhi spesies invasif dan perubahan iklim cenderung minim, namun para penliti sepakat bahwa kedua hal tersebut dapat memberikan dampak terhadap penyebaran penyakit.[28] Peningkatan kelembapan udara akibat perubahan iklim menjadi salah satu faktor penting penyebaran patogen, khususnya pada patogen tanaman. Sebagian besar penelitian yang dilakukan pada fenomena ini berfokus pada patogen yang hidup di atas tanah; namun fenomena ini juga diketahui terjadi pada patogen tanah seperti Pythium cinmomi.[29]

Penanganan Spesies Invasif yang Terpengaruh Perubahan Iklim[sunting | sunting sumber]

Keberadaan eceng gondok (Eichhornia crassipes) di kawasan beriklim sedang dibatasi oleh pembekuan badan air di musim dingin. Perubahan iklim dapat mencegah terjadinya pembekuan air, meningkatkan tingkat bertahan hidup spesies tersebut di musim dingin dan mempersulit penanganan invasi spesies tersebut.

Perubahan iklim dapat mempengaruhi efektivitas penanganan beberapa spesies invasif klasik yang selama ini dilakukan. Sebagai contoh, penanganan mekanik dengan pemanenan rutin selama ini dianggap cukup untuk mengendalikan tanaman air invasif eceng gondok dan apu-apu di kawasan beriklim sedang. Kedua tanaman ini berasal dari iklim tropis dan tidak mampu bertahan hidup di musim dingin, sehingga populasinya cenderung mudah untuk dikendalikan.[22][23] Efek pemanasan global yang menghambat pembentukan es di badan air memungkinkan kedua jenis tanaman ini bertahan hidup di musim dingin dan meningkatkan kemampuan bertahan hidup setiap generasi dari kedua tanaman tersebut. Jika hal ini terus terjadi, metode pengendalian populasi yang lebih efektif mungkin diperlukan.[7]

Efektivitas penanganan spesies invasif melalui agen biolokontrol juga dapat dipengaruhi oleh perubahan iklim. Perubahan faktor-faktor lingkungan diketahui mampu mempengaruhi interaksi interspesifik antara agen biokontrol dan spesies invasif spesifik yang ditargetkan.[30][31] Sebagai contoh, penanganan tanaman tamariska di Colorado dengan menggunakan kumbang Diorhabda carinulata dikhawatirkan dapat menjadi kurang efektif akibat peningkatan suhu udara di kawasan tersebut.[32] Di sisi lain, perubahan iklim justru meningkatkan efektivitas agen biokontrol di beberapa lokasi, seperti pada kumbang Agasicles bygrophila yang dapat memberantas tanaman air Alternanthera philoxeroides secara lebih efektif di suhu yang lebih panas.[33]

Dibutuhkan lebih banyak penelitian untuk memahami bagaimana suatu spesies invasif berkembang dalam pergeseran kondisi klimatik, serta spesies mana yang dapat bersifat invasif di masa depan.[7] Pengawasan yang lebih ketat serta koordinasi antar-wilayah yang lebih efisien juga dibutuhkan untuk menangani spesies invasif yang terdampak perubahan iklim.[34]

Lihat Pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Walther, Gian-Reto; Post, Eric; Convey, Peter; Menzel, Annette; Parmesan, Camille; Beebee, Trevor J. C.; Fromentin, Jean-Marc; Hoegh-Guldberg, Ove; Bairlein, Franz (2002-03). "Ecological responses to recent climate change". Nature. 416 (6879): 389–395. doi:10.1038/416389a. ISSN 0028-0836. 
  2. ^ Root, Terry L.; Price, Jeff T.; Hall, Kimberly R.; Schneider, Stephen H.; Rosenzweig, Cynthia; Pounds, J. Alan (2003-01). "Fingerprints of global warming on wild animals and plants". Nature. 421 (6918): 57–60. doi:10.1038/nature01333. ISSN 0028-0836. 
  3. ^ Gritti, E. S.; Smith, B.; Sykes, M. T. (2006-01). "Vulnerability of Mediterranean Basin ecosystems to climate change and invasion by exotic plant species". Journal of Biogeography. 33 (1): 145–157. doi:10.1111/j.1365-2699.2005.01377.x. ISSN 0305-0270. 
  4. ^ Dukes, Jeffrey S.; Mooney, Harold A. (1999-04). "Does global change increase the success of biological invaders?". Trends in Ecology & Evolution. 14 (4): 135–139. doi:10.1016/s0169-5347(98)01554-7. ISSN 0169-5347. 
  5. ^ Vilà, Montserrat; Corbin, Jeffrey D.; Dukes, Jeffrey S.; Pino, Joan; Smith, Stanley D. Terrestrial Ecosystems in a Changing World. Berlin, Heidelberg: Springer Berlin Heidelberg. hlm. 93–102. ISBN 9783540327295. 
  6. ^ Thuiller, Wilfried; Richardson, David M.; Midgley, Guy F. Ecological Studies. Berlin, Heidelberg: Springer Berlin Heidelberg. hlm. 197–211. ISBN 9783540773757. 
  7. ^ a b c d e f g h Hellmann, Jessica J.; Byers, James E.; Bierwagen, Britta G.; Dukes, Jeffrey S. (2008-6). "Five Potential Consequences of Climate Change for Invasive Species". Conservation Biology (dalam bahasa Inggris). 22 (3): 534–543. doi:10.1111/j.1523-1739.2008.00951.x. ISSN 0888-8892. 
  8. ^ a b c Bradley, Bethany A.; Wilcove, David S. (2009). "When Invasive Plants Disappear: Transformative Restoration Possibilities in the Western United States Resulting from Climate Change". Restoration Ecology (dalam bahasa Inggris). 17 (5): 715–721. doi:10.1111/j.1526-100X.2009.00586.x. ISSN 1526-100X. 
  9. ^ "United Nations Framework Convention on Climate Change". unfccc.int. Diakses tanggal 2019-11-14. 
  10. ^ "Executive summary - AR4 WGII Chapter 4: Ecosystems, their Properties, Goods and Services". archive.ipcc.ch. Diakses tanggal 2019-11-14. 
  11. ^ Ehrenfeld, Joan G. (2010-12). "Ecosystem Consequences of Biological Invasions". Annual Review of Ecology, Evolution, and Systematics (dalam bahasa Inggris). 41 (1): 59–80. doi:10.1146/annurev-ecolsys-102209-144650. ISSN 1543-592X. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-05-14. Diakses tanggal 2019-11-14. 
  12. ^ Cassey, Phillip; Blackburn, Tim M.; Duncan, Richard P.; Chown, Steven L. (2005-6). "Concerning invasive species: Reply to Brown and Sax". Austral Ecology (dalam bahasa Inggris). 30 (4): 475–480. doi:10.1111/j.1442-9993.2005.01505.x. ISSN 1442-9985. 
  13. ^ Society, National Geographic (2011-03-24). "invasive species". National Geographic Society (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-11-14. 
  14. ^ "A strong corporate identity cuts two ways". Strategic Direction. 25 (10): 5–8. 2009-09-18. doi:10.1108/02580540910992989. ISSN 0258-0543. 
  15. ^ PYKE, CHRISTOPHER R.; THOMAS, ROXANNE; PORTER, READ D.; HELLMANN, JESSICA J.; DUKES, JEFFREY S.; LODGE, DAVID M.; CHAVARRIA, GABRIELA (2008-06). "Current Practices and Future Opportunities for Policy on Climate Change and Invasive Species". Conservation Biology. 22 (3): 585–592. doi:10.1111/j.1523-1739.2008.00956.x. ISSN 0888-8892. 
  16. ^ a b c "Lag times of biological invasions". john hawks weblog (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-11-14. 
  17. ^ Crooks, Jeff (2005-09-01). "Lag times and exotic species: The ecology and management of biological invasions in slow-motion". Ecoscience. 12: 316–329. doi:10.2980/i1195-6860-12-3-316.1. 
  18. ^ Burkett, Virginia; Kusler, Jon (2000-04). "CLIMATE CHANGE: POTENTIAL IMPACTS AND INTERACTIONS IN WETLANDS OF THE UNTTED STATES1". JAWRA Journal of the American Water Resources Association. 36 (2): 313–320. doi:10.1111/j.1752-1688.2000.tb04270.x. ISSN 1093-474X. 
  19. ^ Vorosmarty, C. J. (2000-07-14). "Global Water Resources: Vulnerability from Climate Change and Population Growth". Science. 289 (5477): 284–288. doi:10.1126/science.289.5477.284. ISSN 0036-8075. 
  20. ^ Intergovernmental Panel on Climate Change (ed.). Climate Change 2013 - The Physical Science Basis. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 953–1028. ISBN 9781107415324. 
  21. ^ a b IUCN. "Invasive alien species and climate change". IUCN Issues Brief. Diakses tanggal 14/11/2019. 
  22. ^ a b Grodowitz, Michael J.; Stewart, Robert Michael; Cofrancesco, Alfred F. (1991-04-01). "Population Dynamics of Waterhyacinth and the Biological Control Agent Neochetina eichhorniae (Coleoptera: Curculionidae) at a Southeast Texas Location". Environmental Entomology. 20 (2): 652–660. doi:10.1093/ee/20.2.652. ISSN 1938-2936.  line feed character di |title= pada posisi 70 (bantuan)
  23. ^ a b Owens, C.S.; Smart, R.M.; Stewart, R.M. (2004-07-01). "Low temperature limits of giant salvinia". Journal of Aquatic Plant Management. 42: 91–94. 
  24. ^ Carlton, James T. (1999). Invasive Species and Biodiversity Management. Dordrecht: Springer Netherlands. hlm. 195–212. ISBN 9780792368762. 
  25. ^ a b BRADLEY, BETHANY A.; OPPENHEIMER, MICHAEL; WILCOVE, DAVID S. (2009-06). "Climate change and plant invasions: restoration opportunities ahead?". Global Change Biology. 15 (6): 1511–1521. doi:10.1111/j.1365-2486.2008.01824.x. ISSN 1354-1013. 
  26. ^ Bradshaw, Corey J. A.; Leroy, Boris; Bellard, Céline; Roiz, David; Albert, Céline; Fournier, Alice; Barbet-Massin, Morgane; Salles, Jean-Michel; Simard, Frédéric (2016-10-04). "Massive yet grossly underestimated global costs of invasive insects". Nature Communications (dalam bahasa Inggris). 7 (1): 1–8. doi:10.1038/ncomms12986. ISSN 2041-1723. 
  27. ^ a b Aragón, Pedro; Lobo, Jorge M. (2012). "Predicted effect of climate change on the invasibility and distribution of the Western corn root-worm". Agricultural and Forest Entomology (dalam bahasa Inggris). 14 (1): 13–18. doi:10.1111/j.1461-9563.2011.00532.x. ISSN 1461-9563. 
  28. ^ Occhipinti-Ambrogi, Anna (2007-01-01). "Global change and marine communities: Alien species and climate change". Marine Pollution Bulletin. Marine Bioinvasions: A collection of reviews. 55 (7): 342–352. doi:10.1016/j.marpolbul.2006.11.014. ISSN 0025-326X. 
  29. ^ Van der Putten, Wim H.; Macel, Mirka; Visser, Marcel E. (2010-07-12). "Predicting species distribution and abundance responses to climate change: why it is essential to include biotic interactions across trophic levels". Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences. 365 (1549): 2025–2034. doi:10.1098/rstb.2010.0037. PMC 2880132alt=Dapat diakses gratis. PMID 20513711. 
  30. ^ Bryant, Simon R.; Thomas, Chris D.; Bale, Jeffrey S. (2002-02). "The influence of thermal ecology on the distribution of three nymphalid butterflies". Journal of Applied Ecology. 39 (1): 43–55. doi:10.1046/j.1365-2664.2002.00688.x. ISSN 0021-8901. 
  31. ^ van Asch, Margriet; Visser, Marcel E. (2007-01). "Phenology of Forest Caterpillars and Their Host Trees: The Importance of Synchrony". Annual Review of Entomology. 52 (1): 37–55. doi:10.1146/annurev.ento.52.110405.091418. ISSN 0066-4170. 
  32. ^ Effects of climate change on aquatic invasive species and implications for management and research. Washington, DC :: National Center for Environmental Assessment, Office of Research and Development, U.S. Environmental Protection Agency,. 2008. 
  33. ^ Stewart, C.A.; Julien, M.H.; Worner, S.P. (1995-01-08). "The potential geographical distribution of alligator weed (Alternanthera philoxeroides) and a biological control agent, Agasicles hygrophila, in New Zealand". Proceedings of the New Zealand Plant Protection Conference. 48: 270–275. doi:10.30843/nzpp.1995.48.11556. ISSN 1172-0719. 
  34. ^ BIERWAGEN, BRITTA G.; THOMAS, ROXANNE; KANE, AUSTIN (2008-06). "Capacity of Management Plans for Aquatic Invasive Species to Integrate Climate Change". Conservation Biology. 22 (3): 568–574. doi:10.1111/j.1523-1739.2008.00954.x. ISSN 0888-8892. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]