Perkembangan surat kabar

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Perkembangan surat kabar menjelaskan mengenai awal kehadiran surat kabar sebagai media informasi dalam pemanfaatan teknologi komunikasi dari yang bersifat analog hingga digital. Surat kabar pada awal kehadirannya dapat diidentifikasi ke dalam beberapa karakteristik yaitu terdiri dari beberapa halaman, terbatasnya ketersediaan mesin cetak dan keberadaan kantor pos, berita yang dipublikasikan tidak dapat dilakukan setiap saat, serta ide mengenai kebebasan pers tidak disetujui oleh pemerintah [1]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Berbicara mengenai sejarah perkembangan media surat kabar sesungguhnya sedang berbicara mengenai sejarah dari ide manusia tentang bagaimana jurnalisme seharusnya berlangsung [2]

Pada masa awal, khususnya di Amerika dan Eropa, surat kabar cetak hadir dan berkembang dengan semangat untuk melepaskan diri dari bentuk intervensi oleh penguasa atau pemilik otoritas pemerintahan yang mewajibkan agar adanya sensor atas setiap informasi yang dipublikasikan di surat kabar sehingga informasi yang terkandung di dalamnya tidak bersifat merugikan pihak pemerintah itu sendiri.

Pada tahun 1690, Benjamin Harris mengawali penerbitan surat kabar Amerika yang pertama dengan nama Publick Occurrences Both Forreign and Domestick, yang salah satu kontennya mengangkat tentang dugaan perselingkuhan antara Raja Prancis dengan menantunya.[1] Akibat pemberitaan yang sensitif tersebut, otoritas pemerintahan kolonial akhirnya memberhentikan kegiatan produksi dari surat kabar ini. Surat kabar ini terbit untuk pertama dan terakhir kali pada tanggal 25 September 1690 . Belasan tahun setelah peristiwa ini, James Franklin, menerbitkan lagi sebuah surat kabar dengan tanpa melalui perizinan dari pemerintah. Surat kabar tersebut berjudul New England Courant. Akibatnya, James Franklin kemudian dijebloskan ke penjara oleh otoritas pemerintah lokal pada saat itu. Setelah peristiwa itu, sang adik yakni Benjamin Franklin kemudian pindah ke Philadelphia dan memulai sebuah surat kabar yang bernama Pennsylvania Gazette.

Peristiwa yang kemudian menjadi titik awal kebebasan menyampaikan informasi melalui surat kabar, yakni persitiwa pemberitaan yang mengkritik pemerintahan Inggris di New York. Kritikan ini disampaikan oleh John Peter Zenger melalui sebuah paper. Walaupun Zenger sempat dipenjara atas tuduhan melakukan fitnah melalui kasus ini, tetapi berkat sang pengacara bernama Andrew Hamilton, Zenger akhirnya memenangkan kasus ini dengan pembelaan bahwa pernyataan yang benar bukanlah fitnah.

Selama Perang Revolusi Amerika Serikat keberadaan surat kabar semakin berkembang, meski pemerintah kolonial Inggris terus berupaya untuk mengontrol pers Amerika. Tetapi keberadaan pers Amerika semakin kuat dan menjadi sarana untuk membangkitkan semangat daerah-daerah koloni untuk bersatu melawan pemerintahan Inggris pada masa itu. Surat kabar dengan muatan politis ini kemudian menjadi faktor penting yang mendorong Revolusi Amerika serta menjelaskan juga mengenai esensi dari kebebasan pers Amerika.

Di Indonesia sendiri, sejarah perkembangan surat kabar terkait dengan pengaruh dari pemerintah kolonialis yakni pemerintah Belanda. Surjomihardjo membagi perkembangan pers di Indonesia ke dalam dua babak.[3] Pada babak pertama (babak "putih"), semua surat kabar sepenuhnya dimiliki oleh orang-orang Eropa, dan baik isi maupun bahasa yang digunakan adalah bahasa Belanda dan untuk kepentingan Belanda, sehingga tidak ada kaitannya dengan orang pribumi. Babak pertama ini berlangsung selama 90 tahun yakni mulai dari tahun 1744 hingga tahun 1854.

Babak kedua dari perkembangan surat kabar di Indonesia berlangsung sekitar tahun 1854 sampai pada masa Kebangkitan Nasional. Pada babak ini, awalnya masih terdapat surat kabar berbahasa Belanda yang menduduki posisi penting pada pers di Indonesia, tetapi di sisi lain telah terbit juga surat kabat yang berbahasa Melayu. Surat kabar berbahasa Melayu ini kemudian terus berkembang sampai pada masa Kebangkitan Nasional, di mana pekerja pers, redaktur adalah orang-orang peranakan Tionghoa dan masyarakat pribumi. Bahasa yang dipakai dalam surat kabar pun adalah bahasa Indonesia [4] Mesin cetak yang pertama kali dibawa ke Jawa pada tahun 1659, menjadi titik awal kehadiran surat kabar. Surat kabar yang pertama kali dicetak pada tahun 1774, di mana Gubernur Jenderal Van Imholf memulai untuk membentuk sebuah media massa resmi dengan diterbitkannya Bataviasche Nouvelle. Tetapi koran ini hanya dapat bertahan selama 2 tahun. Pada tahun 1920-an hadir juga surat kabar milik pribumi yang bernama Bromartani yang terbit di Surakarta[5]

Surat kabar dan perkembangan teknologi komunikasi[sunting | sunting sumber]

Keberadaan surat kabar saat ini semakin mengalami kompetisi dengan hadirnya teknologi baru . Pada akhir abad ke-20, cakupan koran menjadi semakin mirip dengan berita yang ada di televisi, seperti warna, grafik yang menarik, dan juga adanya berita yang dikemas secara singkat dengan mengurangi ketersediaan berita-berita yang serius.[6] Jaringan online menjadi layak untuk digunakan oleh surat kabar karena dapat memangkas mahalnya biaya yang dikeluarkan untuk tinta, kertas dan proses pendistribusian. Oleh karena itu terpikirkanlah sebuah ide untuk menggunakan media elektronik sebagai media penyampaian surat kabar. Ide transformasi koran konvensional ke dalam bentuk adaptasi terhadap teknologi komunikasi yang ada sesungguhnya bukanlah hal yang baru. Pada abad ke-19, khususnya pada tahun 1930, surat kabar mencoba untuk mengirimkan informasi kepada alat penerima radio pada rumah-rumah.[7] Pada tahun 1980, bebrapa surat kabar mulai mencoba untuk memanfaatkan teknologi digital melalui jaringan telepon dan kabel untuk mengirimkan berita. Sebuah perusahaan media Amerika bernama Knight Ridder, kemudian memanfaatkan teknologi videotext yang mengirimkan informasi digital menggunakan jaringan telepon untuk ditampilkan pada layar televisi ataupun pada dekstop komputer.[8] Layanan videotext yang dimanfaatkan Knight Ridder ini bernama Viewtron. Tetapi, viewtron mengirimkan berita digital hanya untuk diterima oleh perangkat televisi. Terobosan ini kemudian mengalami kegagalan karena ada biaya yang dibebankan pada pengguna dan banyaknya informasi yang harus diterima perangkat televisi, sedangkan televisi sendiri digunakan untuk hiburan keluarga. CompuServe dan America Online tampaknya lebih sukses dalam mengirimkan informasi surat kabar digital karena memanfaatkan dekstop komputer sebagai media penerima informasi surat kabar. Saat ini, telah ribuan surat kabar yang ada di sistem internet worldwide. Surat kabar kini dapat diakses secara online. Terdapat berbagai perubahan yang tampak pada surat kabar online dibandingkan dengan surat kabar konvensional, yaitu hadirnya fitur-fitur tambahan dalam surat kabar online seperti perkembangan informasi/berita terkini yang dapat diperbaharui setiap menit, skor olahraga, dan daftar harga. Koran-koran di Indonesia sendiri baik lokal maupun nasional seperti harian Kompas, mengalami perubahan seperti kehadiran halaman yang berwarna. Perkembangan teknologi komunikasi juga telah memberikan ruang bagi adanya adaptasi dari koran untuk melakukan proses distribusi via satelit dan komputerisasi. Hal ini memungkinkan koran nasional untuk dapat merambah ke berbagai daerah serta dapat mengikis penjualan koran lokal.[9] Di Indonesia pelopor lahirnya koran online adalah detik.com, kemudian disusul oleh tempo.co.id, kompas.com, beritanet.com, dan surat kabar online lainnya.[10]

Kehadiran iklan pada surat kabar sebagai peluang ekonomi[sunting | sunting sumber]

Para ekonom mengelompokan peran iklan dalam masyarakat menjadi 3 bagian yaitu: bertujuan untuk mempengaruhi, bertujuan untuk memberikan informasi, dan bertujuan untuk melengkapi. Tujuan untuk mempengaruhi dari sebuah perusahaan periklanan yang terutama adalah untuk mempengaruhi permintaan dari produk yang dikeluarkan dengan cara mengubah selera dan menamkan kesadaran akan merk dari produk tersebut. Tujuan informatif adalah untuk mempengaruhi permintaan terhadap produk dengan menyampaikan informasi. Sedangkan tujuan melengkapi adalah mempengaruhi permintaan dengan menempatkan produk pada posisi yang dapat melengkapi kebutuhan pelanggan.[11] Periklanan memiliki signifikansi dengan media industri, salah satunya adalah surat kabar. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Crain Communication Inc tahun 2004 [12] menunjukan bahwa angka pendapatan iklan (di Amerika dan juga di negara berkembang lain) melalui media surat kabar mencapai angka yang paling tinggi dibanding dengan media lain yaitu mencapai 18,6 % baik dari koran lokal maupun koran nasional. Data ini menunjukan bahwa media surat kabar menjadi media yang diminati untuk beriklan Beberapa media termasuk juga surat kabar memiliki dua target pasar sekaligus untuk memperoleh pendapatan yaitu menjual informasi dan hiburan kepada pembaca, dan di saat yang sama juga menjual waktu dan ruang kepada pengiklan yang memungkinkan agar pengiklan dapat mempromosikan produknya kepada pembaca atau penontonnya [13]..

Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh kompas media kit tahun 2014,di Indonesia lebih dari 50% masyarakatnya masih menjadikan surat kabar sebagai sumber berita dan juga tempat untuk mencari iklan.[14] Perkembangan teknologi komunikasi ke dalam era digital juga telah membawa bentuk iklan untuk mengadaptasi teknologi ini pada media surat kabar. Kehadiran iklan secara online dimulai pada tahun 1994. Pada saat itu, sebuah majalah memulai untuk membuat sebuah web site dengan beberapa sponsor yang dapat memasang banner iklan pada site tersebut. Sejak saat itu, semakin banyak jumlah iklan yang ada di internet.[15]

Surat Kabar dilihat dari teori-teori pengaruh dan dampak media serta teori ekonomi media[sunting | sunting sumber]

Teori pengaruh dampak media[sunting | sunting sumber]

Teori uses and gratification[sunting | sunting sumber]

Teori ini memberikan penjelasan bahwa dalam kaitannya dengan penggunaan media, penggunalah yang secara aktif memilih berbagai media yang ada untuk memenuhi apa yang menjadi kebutuhannya. Teori ini memiliki 5 asumsi dasar yaitu:[16]
  • Khalayak secara aktif menggunakan media karena memiliki tujuan
  • Khalayaklah yang memiliki inisiatif dalam memilih media yang dapat memuaskan kebutuhannya
  • Untuk dapat memenuhi kebutuhan khalayak, media massa harus dapat bersaing dengan sumber-sumber lainya
  • Tujuan pemilihan media massa dapat dilihat dari data yang diberikan oleh anggota dari khalayak
  • Penelitian tentang apa yang menjadi orientasi khalayak harus lebih dahulu dipahami seblum melakukan penilaian terhadap arti kultural dari media massa

Jika teori ini dikaitkan dengan keberadaan surat kabar, maka dapat digunakan untuk menganalisis mengapa kehadiran surat kabar menjadi pilihan media informasi yang digunakan oleh masyarakat, baik itu surat kabar cetak maupun surat kabar online. Kehadiran surat kabar yang pada awalnya hadir secara cetak, menjadi bentuk pemenuhan akan kebutuhan kognitif dari masyarakat. Kebutuhan kognitif ini merupakan kebutuhan seseorang atau masyarakat akan adanya peneguhan informasi, pengetahuan akan lingkungan juga rasa penasaran.[16]

Di antara berbagai media informasi yang ada, di Indonesia, penggunaan media surat kabar sebagai sumber informasi masih banyak digunakan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Media Nielsen Indonesia pada tahun 2014 [17] menunjukan data bahwa penggunaan surat kabar di Indoenesia mencapai angka 12%. Presentase ini diperoleh dengan memberikan pembagian antara konsumsi media melalui internet (95%), internet (33%), radio (20%), tabloid (6%) dan majalah (5%).

Teori ekonomi media[sunting | sunting sumber]

Teori long tail[sunting | sunting sumber]

Long tail teori yang dicetuskan oleh Cris Anderson menjelaskan bahwa total dari keseluruhan minat pelanggan terhadap produk yang tidak populer dapat melebihi total keseluruhan dari minat pelanggan terhadap produk-produk yang populer.[18] Penyebab dari adanya fenomena long tail ini adalah karena adanya pergeseran budaya masyarakat akibat hadirnya internet.[19] Jika pada masa sebelum hadirnya internet, pilihan produk yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat sangat terbatas karena hanya produk yang populer lah yang aka dipasarkan, kini dengan kehadiran internet, semua produk dari yang populer maupun tidak populer dapat diakses melalui berbagai situs yang ada di internet. Sebagai contoh, sebelum kehadiran teknologi digital dan internet, baju-baju yang dijual pada toko-toko baju hanya model baju yang sedang populer saja untuk tetap menjaga keuntungan, tetapi kehadiran internet memberikan peluang bagi adanya penjualan baju mulai dari baju-baju yang populer hingga model baju yang kurang populer, karena tetap ada permintaan pasar atas baju-baju yang kurang populer tersebut.

Di Indonesia, surat kabar cetak Kompas pada tahun 2013 memiliki oplah koran mencapai 500.000 eksemplar per hari dan menjadikannya sebagai surat kabar dengan oplah terbesar di Indonesia apalagi dengan sistem percetakan jarak jauh yang dimiliki Kompas sehingga menyebabkan persebarannya sampai ke daerah-daerah, hal ini juga memberi dampak pada kecilnya kesempatan atau peluang bisnis bagi surat kabar lokal atau surat kabar yang tidak populer, karena jika ingin mencari keuntungan tentu distributor koran hanya akan menjual surat kabar yang populer. Fenomena hadirnya surat kabar secara online kini memberikan kesempatan bagi surat kabar yang kurang populer untuk turut menjadi media informasi yang dapat diakses secara online oleh masyarakat luas.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b Dominick, J. R. (2008). The Dynamics of Mass Communication: Media in the Digital Age, Tenth Edition, McGraw-Hill, International Edition
  2. ^ Straubhaar, J., LaRose, R.& Davenport R., (2004). Media Now: Understanding Media, Culture, and Technology, hal 93. Update Seventh Edition. Thomson-Wadsworth
  3. ^ Surjomihardjo, A: "Perkembangan Pers", halaman 30. Penerbit Buku Kompas, 2002
  4. ^ Surjomihardjo, A., Adil Hilman., dkk (2002). Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia.Penerbit Buku Kompas
  5. ^ Sachari, A: "Budaya Visual Indonesia". Penerbit Erlangga, 2007
  6. ^ Straubhaar, J., LaRose, R.& Davenport R., (2004). Media Now: Understanding Media, Culture, and Technology, 2011 Update Fourth Edition. Thomson-Wadsworth
  7. ^ Shefrin, D:"Rediscovering an Olde Technology: Facsimile Newspaper Lessons of Invetion and Failure. In J. Pavlik & E. Dennis (Eds.), Demystifyng Media Technology". Mayfield Publishing, 1993
  8. ^ Straubhaar, J., LaRose, R.& Davenport R., (2011). Media Now: Understanding Media, Culture, and Technology, hal 102 Update Seventh Edition. Thomson-Wadsworth
  9. ^ Straubhaar, J., LaRose, R.& Davenport R., (2011). Media Now: Understanding Media, Culture, and Technology, hal 103 Update Seventh Edition. Thomson-Wadsworth
  10. ^ [1]
  11. ^ Hoskin, C, McFadyen, Stuart & Adam Finn. (2004). Media Economics: Applying Economics to New and Traditional Media,hal 248.Thousand Oaks, CA: Sage Publication
  12. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2005-09-26. Diakses tanggal 2015-09-27. 
  13. ^ Hoskin, C, McFadyen, Stuart & Adam Finn. (2004). Media Economics: Applying Economics to New and Traditional Media,hal 249.Thousand Oaks, CA: Sage Publication
  14. ^ [2]
  15. ^ Dominick, J.R:The Dynamics off Mass Communication,hal 342.Penerbit McGraw-Hill, International Edition,2008
  16. ^ a b "Salinan arsip" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2016-03-05. Diakses tanggal 2015-09-27. 
  17. ^ [3][pranala nonaktif permanen]
  18. ^ [4]
  19. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-04. Diakses tanggal 2015-09-27.