Perjanjian-Perjanjian Internet Organisasi Hak atas Kekayaan Intelektual Dunia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Perjanjian-Perjanjian Internet Organisasi Hak atas Kekayaan Intelektual Dunia (dalam bahasa Inggris: WIPO Internet Treaties, disingkat Perjanjian-Perjanjian Internet WIPO) adalah dua perjanjian internasional yang membahas tentang hak cipta. Penyelenggaraan Perjanjian-Perjanjian Internet WIPO diadakan pada tahun 1996 dan hasilnya disepakati oleh negara-negara anggota dari Organisasi Hak atas Kekayaan Intelektual Dunia melalui konsensus. Dua perjanjian yang telah disepakati ialah Perjanjian Hak Cipta Organisasi Hak atas Kekayaan Intelektual Dunia dan Perjanjian Karya-Karya Pertunjukan dan Karya-Karya Fonogram Organisasi Hak atas Kekayaan Intelektual Dunia. Isi dari Perjanjian-Perjanjian Internet WIPO mulai diberlakukan pada tahun 2002. Tujuan penetapan Perjanjian-Perjanjian Internet WIPO adalah untuk memperbaharui dan melengkapi isi perjanjian internasional lainnya, khususnya Konvensi Bern tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra dan Konvensi Roma tentang Perlindungan terhadap Pelaku Pertunjukan, Produser Rekaman dan Penyiaran Organisasi. Isi Perjanjian-Perjanjian Internet WIPO berkaitan dengan permasalahan teknologi digital khususnya penyebaran karya melalui jaringan digital dengan media internet. Ketentuan-ketentuan di dalam Perjanjian-Perjanjian Internet WIPO secara garis besar berkaitan dengan tiga hal, yaitu penggabungan isi perjanjian TRIPS, pembaruan untuk teknologi digital secara tidak spesifik, dan penanganan dampak teknologi digital.[1]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1970, Organisasi Hak atas Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO) didirikan untuk mengembangkan perlindungan hak atas kekayaan intelektual yang berlaku secara internasional. Pendirian organisasi ini merupakan bentuk kerja sama dalam bidang administrasi pada skala internasional. WIPO merupakan salah satu badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bermarkas di Jenewa sejak tahun 1974. Tugas utamanya adalah mengadakan penguatan perlindungan atas hak cipta secara internasional. Pendiriannya merupakan salah satu langkah dalam mengatasi pesatnya kemajuan teknologi informasi khususnya internet. Selain itu, organisasi ini juga bertujuan untuk mengatasi permasalahan yang timbul akibat perubahan dalam kehidupan sosial. Sejak tahun 1991, WIPO diberikan tugas untuk melengkapi kekurangan dari Konvensi Bern tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra dengan mengadakan penambahan lampiran. Tambahan yang dihasilkan ada dua yaitu Perjanjian Hak Cipta Organisasi Hak atas Kekayaan Intelektual Dunia, dan Perjanjian Karya-Karya Pertunjukan dan Karya-Karya Fonogram Organisasi Hak atas Kekayaan Intelektual Dunia.[2]

Jenis perjanjian[sunting | sunting sumber]

Perjanjian Hak Cipta Organisasi Hak atas Kekayaan Intelektual Dunia[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1996, Organisasi Hak atas Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO) menetapkan Perjanjian Hak Cipta Organisasi Hak atas Kekayaan Intelektual Dunia (Perjanjian Hak Cipta WIPO). Ketentuan-ketentuan yang dibahas di dalamnya berkaitan dengan hak cipta.[3] Perjanjian Hak Cipta WIPO ditetapkan sebagai salah satu bentuk perlindungan hak cipta. Perlindungan yang diberikan khususnya dari segi ketentuan hak cipta dan ketentuan teknologi.[4] Garis besar keputusan perjanjian ini disebut sebagai Agenda Digital yang meliputi tiga ketentuan yang disepakati bersama oleh negara-negara peserta Perjanjian Hak Cipta WIPO.[5] Batasan perlindungan yang diberikan oleh Perjanjian Hak Cipta WIPO hanya mencakup hak cipta pada salinan karya yang diperbanyak secara digital.[6] Isi Perjanjian Hak Cipta WIPO bersifat melengkapi isi dari Konvensi Bern tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra.[7]

Perjanjian Karya-Karya Pertunjukan dan Karya-Karya Fonogram Organisasi Hak atas Kekayaan Intelektual Dunia[sunting | sunting sumber]

Perjanjian Karya-Karya Pertunjukan dan Karya-Karya Fonogram Organisasi Hak atas Kekayaan Intelektual Dunia (Perjanjian Karya-Karya Pertunjukan dan Karya-Karya Fonogram WIPO) merupakan salah satu dari dua Perjanjian-Perjanjian Internet WIPO.[8] Bahasan utama di dalam perjanjian ini hanya mengenai hak cipta.[9] Penetapan keputusan dari Perjanjian Karya-Karya Pertunjukan dan Karya-Karya Fonogram WIPO dilakukan pada tahun 1996.[10] Perjanjian Karya-Karya Pertunjukan dan Karya-Karya Fonogram WIPO menjadi awal bagi perlindungan hak cipta dan hak terkait dalam skala mancanegara. Perjanjian ini memulai pengaturan hak cipta di era digital dalam dunia maya. Pengaturan hak ciptanya sejalan dengan Perjanjian Hak Cipta WIPO.[11]

Ruang lingkup perlindungan hak cipta yang diberikan dalam perjanjian ini meliputi hak-hak pencipta, seniman dan produser. Batasannya adalah hanya pada karya yang merupakan hasil rekaman berbentuk digital.[12] Pembatasan dan pengecualian hak cipta yang dilindungi juga dibahas di dalamnya. Pasal yang membahasnya ialah pasal 16 ayat 1 dan ayat 2.[13] Hak lain yang diberikan perlindungan di dalam Perjanjian Karya-Karya Pertunjukan dan Karya-Karya Fonogram WIPO adalah hak moral.[14] Sejak tanggal 20 Mei 2002, Perjanjian Karya-Karya Pertunjukan dan Karya-Karya Fonogram WIPO mulai diberlakukan.[15]

Adopsi teknologi[sunting | sunting sumber]

Perjanjian-Perjanjian Internet WIPO menyepakati pengadaan sinergitas terhadap ketentuan hak cipta dan perlindungan teknis. Pengadaan ini dapat dilakukan dengan mengadosi dua jenis teknologi perlindungan hak cipta. Masing-masing yaitu teknologi anti-pengelakan dan teknologi pengamanan data daring. Teknologi anti pengelakan dapat mengatasi permasalah peretas. Pemegang hak cipta dapat memperoleh perlindungan hukum yang layak dan ganti rugi yang efektif dari negara ketika karya ciptanya disebarluaskan melalui internet. Sementara pada teknologi pengamanan data daring dilakukan dengan menetapkan undang-undang yang melarang pengrusakan dan penghapusan atas manajemen informasi hak cipta. Undang-undang ini dibuat oleh negara untuk memberikan kepercayaan dan jaminan terhadap keutuhan data di pasar daring.[4]

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ World Intellectual Property Organization (2002). Intellectual Property on The Internet: A Survey of Issues (PDF). Geneva: World Intellectual Property Organization. hlm. 27. ISBN 978-92-805-1143-7. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2022-01-21. Diakses tanggal 2021-12-04. Significant issues in the field of copyright have been examined for a number of years through various public and private processes, at WIPO and other international organizations, and at national and regional levels. Significant progress has been made, with international consensus having already emerged on some of these issues. In 1996, two treaties were adopted by consensus by more than 100 countries at WIPO: the WIPO Copyright Treaty (WCT) and the WIPO Performances and Phonograms Treaty (WPPT) (commonly referred to as the “Internet Treaties”).73 The treaties, each having reached their 30th ratification or accession, both have entered into force: the WCT on March 6, 2002, and the WPPT on May 20, 2002.74 The WIPO Internet Treaties are designed to update and supplement the existing international treaties on copyright and related rights, namely, the Berne Convention75 and the Rome Convention.76 They respond to the challenges posed by the digital technologies and, in particular, the dissemination of protected material over the global networks that make up the Internet. The contents of the Internet Treaties can be divided into three parts: (1) incorporation of certain provisions of the TRIPS Agreement77 not previously included explicitly in WIPO treaties (e.g., protection of computer programs and original databases as literary works under copyright law); (2) updates not specific to digital technologies (e.g., the generalized right of communication to the public); and (3) provisions that specifically address the impact of digital technologies. 
  2. ^ Hozumi 2006, hlm. 60.
  3. ^ Hozumi 2006, hlm. 30.
  4. ^ a b Hawin dan Riswandi 2020, hlm. 131.
  5. ^ Mashdurohatun, Anis (2018). Hukum Hak Cipta: Model Fair Use/Fair Dealing Hak Cipta Atas Buku Dalam Pengembangan Ipteks pada Pendidikan Tinggi (PDF). Depok: Rajawali Pers. hlm. 23. ISBN 978-602-425-436-0. 
  6. ^ Mashdurohatun 2013, hlm. 22-23.
  7. ^ Harwanto, Edi Ribut (2021). Merwansyah dan Lakoni, M. A., ed. Masalah Yuridis Kebijakan Formulasi Aplikasi Ekseksusi Tindak Pidana dalam Undang-Undang Hak Cipta di Indonesia dan Upaya Alternatif Penyelesaiannya (PDF). Metro: CV. Laduni Alifatama. hlm. 27. ISBN 978-623-6031-14-8. 
  8. ^ Mashdurohatun 2013, hlm. 22.
  9. ^ Triatmojo, F., Hamzani, A. I., dan Rahayu, K. (2021). Perlindungan Hak Cipta Lagu Komersil: Perbandingan Indonesia dengan Malaysia. Pekalongan: PT. Nasya Expanding Management. hlm. 96. ISBN 978-623-6293-80-5. 
  10. ^ OECD (2021). Kajian Kebijakan Investasi OECD Indonesia 2020. Paris: OECD Publishing. hlm. 182. ISBN 978-92-64-78662-2. 
  11. ^ Damian, Eddy (2019). Hukum Hak Cipta (edisi ke-5). Bandung: Penerbit PT. Alumni. hlm. 63. ISBN 978-979-414-150-2. 
  12. ^ World Intellectual Property Organization (2008). Ekspresi Kreatif: Pengantar Hak Cipta dan Hak Terkait untuk Usaha Kecil dan Menengah (PDF). Kamar Dagang dan Industri Indonesia. hlm. 60. 
  13. ^ Riswandi, dkk. 2017, hlm. 2.
  14. ^ Hawin dan Riswandi 2020, hlm. 7.
  15. ^ Riswandi, dkk. 2017, hlm. 27.

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]