Pembaharuan pemikiran Islam

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pembaharuan pemikiran Islam merupakan usaha untuk menyesuaikan pemahaman agama Islam dengan kemajuan dan tantangan zaman yang muncul akibat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, serta peradaban modern. Pembaharuan pemikiran Islam merujuk pada upaya untuk menafsirkan dan memahami ajaran Islam dengan konteks zaman dan perubahan sosial. Tujuannya adalah untuk menjaga relevansi nilai-nilai Islam dalam menghadapi perkembangan masyarakat modern dan memenuhi kebutuhan umat Islam pada masa kini. Berbagai gerakan dan tokoh telah berkontribusi dalam pembaharuan pemikiran Islam.[1]

Latar Belakang[sunting | sunting sumber]

Pembaharuan Islam muncul sebagai tanggapan terhadap krisis yang menimpa umat Islam sejak abad ke-18 Masehi. Krisis ini mencakup kemunduran dalam bidang ilmiah, politik, ekonomi, sosial, dan budaya di dunia Islam, yang disebabkan oleh penjajahan dan imperialisme Barat. Umat Islam merasa tertinggal dan terancam oleh dominasi Barat yang lebih maju dan kuat. Selain itu, masalah internal seperti konflik sektarian, fanatisme mazhab, penyimpangan akidah, dan kurangnya inovasi dalam ijtihad juga menjadi tantangan.[2]

Untuk mengatasi krisis tersebut, umat Islam memandang perlunya pembaharuan yang dapat merevitalisasi potensi dan kekuatan mereka. Pembaharuan ini tidak hanya mencakup reformasi administratif atau struktural semata, tetapi juga melibatkan reformasi intelektual dan spiritual yang dapat membangkitkan kesadaran dan semangat keislaman. Pembaharuan juga harus mampu mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan realitas zaman tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasarnya. Dengan demikian, pembaharuan Islam diharapkan dapat memberikan solusi komprehensif terhadap tantangan dan masalah yang dihadapi oleh umat Islam pada waktu itu.[2]

Melalui Ijtihad dan Taklid[sunting | sunting sumber]

Syari’at pada awalnya memiliki pengertian yang luas, mencakup seluruh aspek ajaran Islam. Namun, seiring perkembangannya, syari’at dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu ahkam syar’iyyah i’tiqadiyyah (hukum syari’at yang berkaitan dengan akidah), aḥkam syar’iyyah khuluqiyyah (hukum syari’at yang berkaitan dengan akhlak), dan ahkam syar’iyyah ‘amaliyyah (hukum syari’at yang berkaitan dengan amal perbuatan), yang kemudian dikenal dengan istilah fikih.

Dalam konteks ini, diungkapkan bahwa tidak ada hukum selain hukum Allah, yang diperoleh melalui Al-Qur'an, Sunnah, ijma’ (kesepakatan umat Islam), analisis yang benar, dan argumentasi yang kuat. Ditegaskan bahwa tidaklah layak bagi seseorang untuk mempertimbangkan manfaat yang terlepas dari syari’at dan melakukan taklid kepada orang yang tidak diperintahkan untuk diikutinya, seperti taklid kepada mujtahid atau taklid kepada sahabat.

Pembaharu[sunting | sunting sumber]

Mesir[3][sunting | sunting sumber]

Muhammad Ali Pasya (1769-1849)[sunting | sunting sumber]

Sebagai pemimpin Mesir, ia melakukan reformasi politik, militer, ekonomi, dan pendidikan dengan memengaruhi gaya Barat. Ia mendirikan sekolah modern, mengirim siswa Mesir ke Eropa untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi, serta membuka Mesir untuk perdagangan internasional.

Jamaluddin al-Afghani (1838-1897)[sunting | sunting sumber]

Seorang pemikir dan aktivis politik, al-Afghani mendorong umat Islam untuk bersatu melawan penjajahan Barat. Ia menekankan kembali pada Al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber utama hukum Islam, mengkritik taklid buta terhadap mazhab-mazhab tradisional, dan menekankan pentingnya ijtihad.

Muhammad Abduh (1849-1905)[sunting | sunting sumber]

Seorang ulama dan reformis yang menjadi murid al-Afghani, Abduh berupaya merumuskan pemikiran Islam yang rasional, moderat, dan progresif. Ia menolak taqlid dan bid'ah, membela hak-hak perempuan dalam Islam, dan memperkenalkan konsep tajdid (pembaruan) dan islah (perbaikan) dalam hukum dan pendidikan Islam.

Muhammad Rasyid Rida (1865-1935)[sunting | sunting sumber]

Seorang ulama dan jurnalis yang mengikuti Abduh, Rida melanjutkan misi pembaharuan melalui majalah al-Manar. Ia mempromosikan konsep salafiyyah (kembali kepada salaf) untuk mereformasi pemikiran dan praktik keislaman, serta mendukung gerakan pan-Islamisme sebagai strategi melawan imperialisme Barat.

Turki[3][sunting | sunting sumber]

Sultan Mahmud II (1785-1839)[sunting | sunting sumber]

Seorang sultan Utsmaniyah, ia melaksanakan reformasi politik, militer, dan administratif yang dikenal sebagai Tanzimat. Tindakan tersebut melibatkan pembubaran pasukan Janisari yang dianggap reaksioner, pendirian pasukan modern, penghapusan sistem feodal, dan pemberlakuan hukum sipil bagi semua warga negara.

Kelompok Usmani Muda (1889-1908)[sunting | sunting sumber]

Sebuah kelompok intelektual dan militer yang menentang keabsolutan sultan, mereka menuntut reformasi politik dan sosial. Kelompok ini menjadi inspirasi bagi Revolusi 1908 yang mengakhiri pemerintahan Sultan Abdul Hamid II dan mengembalikan konstitusi 1876. Mereka juga mengadvokasi nasionalisme Turki dan sekularisme.

Mustafa Kemal Ataturk (1881-1938)[sunting | sunting sumber]

Seorang pemimpin militer dan politik, ia adalah pendiri Republik Turki. Ataturk memimpin perang kemerdekaan Turki melawan Sekutu setelah Perang Dunia I. Reformasi-radikalnya bertujuan memodernisasi dan menskularisasikan Turki, termasuk penghapusan khilafah, pengadopsian alfabet Latin, pemberian hak pilih kepada perempuan, dan pemisahan agama dari negara.

India-Pakistan[3][sunting | sunting sumber]

Sayyid Ahmad Khan (1817-1898)[sunting | sunting sumber]

Seorang pemikir dan pendidik, ia berusaha menyelaraskan Islam dengan ilmu pengetahuan dan peradaban Barat. Pendiri Kolese Aligarh, ia menjadi pusat pendidikan modern bagi kaum Muslim India, mempromosikan loyalitas kepada pemerintah Inggris untuk melindungi hak-hak Muslim.

Muhammad Iqbal (1877-1938)[sunting | sunting sumber]

Seorang penyair dan filsuf, dikenal sebagai "Bapak Spiritual Pakistan", Iqbal mengembangkan pemikiran Islam kreatif, dinamis, dan futuristik. Ia menekankan pentingnya khudi (kepribadian) dan ijtihad dalam kehidupan Muslim, serta mengusulkan gagasan negara Muslim terpisah di India, yang menginspirasi gerakan Pakistan.

Muhammad Ali Jinnah (1876-1948)[sunting | sunting sumber]

Seorang pengacara dan politisi, pendiri Pakistan, Jinnah memimpin Liga Muslim India dalam perjuangan kemerdekaan dari Inggris. Ia menuntut pembentukan Pakistan sebagai solusi bagi dua negara bagi kaum Muslim India dan menjadi gubernur jenderal pertama Pakistan setelah kemerdekaan.

Indonesia[3][sunting | sunting sumber]

Sarekat Islam (1912-1923)[sunting | sunting sumber]

Sebuah organisasi sosial dan politik yang awalnya Sarekat Dagang Islam pada 1905. Mereka memainkan peran penting dalam membangkitkan kesadaran nasionalisme dan keislaman di kalangan rakyat Indonesia, serta menentang penjajahan Belanda dan mendukung kemerdekaan Indonesia.

Muhammadiyah (1912-sekarang)[sunting | sunting sumber]

Sebuah organisasi sosial keagamaan yang didirikan oleh Ahmad Dahlan, bergerak di bidang pendidikan, sosial, kesehatan, dakwah, dan amal usaha. Mereka mengadopsi paham Islam yang rasional, progresif, dan reformis, menolak bid'ah, taklid buta, khurafat, dan tarekat.

Nahdlatul Ulama (1926-sekarang)[sunting | sunting sumber]

Sebuah organisasi sosial keagamaan yang didirikan oleh Hasyim Asy'ari, bergerak di bidang pendidikan, sosial, kesehatan, dakwah, dan amal usaha. Mereka mengamalkan paham Islam yang tradisional, moderat, dan inklusif, menghormati mazhab-mazhab klasik, tarekat, dan adat istiadat lokal.

Hasil dari pemabaharuan[sunting | sunting sumber]

Pembaruan dalam Islam telah membawa perubahan signifikan dalam pandangan umat Islam terhadap praktik keislamannya. Sekarang, Islam tidak hanya dianggap sebagai kegiatan ibadah semata, tetapi juga mencakup semua aspek kehidupan manusia. Nilai-nilai keislaman menjadi dasar dari setiap aktivitas yang dilakukan, dan umat Islam diharapkan untuk bergerak maju sejalan dengan perkembangan zaman.[4]

Pemahaman bahwa Islam tidak hanya relevan untuk urusan ibadah, tetapi juga relevan dalam kehidupan sehari-hari menjadi penting. Nilai-nilai keislaman menjadi panduan utama dalam menghadapi berbagai situasi kehidupan. Adapun pemikiran bahwa umat Islam harus mengikuti perkembangan zaman, itu berarti bahwa Islam dapat tetap selaras dengan kondisi-kondisi masa kini, asalkan makna dari ajaran yang telah disampaikan oleh Allah dan Nabi dipahami.[4]

Semua aspek kehidupan dalam Islam telah diatur dengan cermat, dan umat Islam diingatkan untuk memahaminya dengan akal dan hati yang bersih. Pemahaman yang baik diperlukan agar umat Islam tidak menyimpang dari ajaran yang seharusnya diikuti. Dengan demikian, keselarasan antara Islam dan kondisi zaman dapat terjaga asalkan umat Islam dapat menginterpretasikan dan menerapkan ajaran Allah dan Nabi dengan benar.[4]

Referensi[sunting | sunting sumber]