Njoo Han Siang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Njoo Han Siang (Yogyakarta, 1930 - 1985) adalah seorang perintis perbankan nasional dan perfilman Indonesia. Njoo dikenal sebagai orang yang idealis, unik, dan mempunyai minat yang sangat luas. Ia dikenal sebagai seorang wartawan, pengusaha, pendidik, tokoh pembauran etnis Tionghoa, pecinta seni dan kebudayaan Indonesia serta seorang yang peduli dengan kehidupan sosial dan politik bangsa.

Njoo Han Siang lahir pada tahun 1930 di Yogyakarta dari keluarga Tionghoa totok yang berbicara Bahasa Hokkian dan Jawa dirumahnya. Njoo yang walaupun lahir dari generasi pertama Tionghoa totok, telah mewarisi nilai-nilai kebudayaan Jawa yang mengalir dalam dirinya. Akulturasi ini telah mewarnai perjalanan hidupnya dimana naluri bisnis yang diwarisi dari orang tuanya berpadu dengan kepeduliannya terhadap Indonesia termasuk dengan kelompok etnisnya sendiri. Lingkaran pergaulan Njoo sangat luas, lintas etnis, agama dan profesi seperti sahabat-sahabatnya yang berasal dari pengusaha, militer, budayawan, politikus, intelelektual, pribumi maupun non-pribumi.

Perintis Perbankan Nasional

Pada tahun 1950 Njoo belajar jurnalistik dan mengawali karier sebagai wartawan foto Sunday Courier, ia bersahabat baik dengan B.M. Diah dan Adam Malik. Pada tahun 1958 Njoo mendirikan maskapai pelayaran PT. Delta Baru dan sekaligus menjadi pengusaha ekspor-impor bahan pangan (beras dan terigu) dengan nama C.V. Krisna. Pada tahun 1966 Njoo dengan Suhardiman (pendiri dan ketua SOKSI) dan Thomas Suyatno mendirikan Bank Dharma Ekonomi yang kemudian menjadi Bank Duta, lalu di kemudian hari merger menjadi Bank Permata.

Pada tahun 1969, Njoo membantu Ali Murtopo menjadi pemasok logistik untuk Pepera di Papua. Dari hasil operasi logistik ini, kelompok Ali Murtopo menyisihkan dana untuk membeli Bank Umum Nasional (BUN). BUN didirikan dan dimiliki oleh tokoh-tokoh PNI, di sini Njoo menjadi Presiden Komisaris BUN. Njoo kemudian mendirikan Bankers Club Indonesia sebagai wadah para bankir Indonesia dan ia menjabat sebagai ketua umumnya yang pertama (1976).

Pada tahun 1973, Njoo mendirikan perusahan agrobisnis P.T. Great Giant Pinneaple Company (GGPC) bersama Lie Siong Thay dan Go Swie Kie. Kemudian bersama dengan Jusuf Wanandi, Sofjan Wanandi, dan Pang Lay Kim (ayah dari Marie Elka Pangestu), Njoo mendirikan perusahan asuransi P.T. Maskapai Asuransi Madijo yang berubah namanya menjadi P.T. Asuransi Wahana Tata pada tahun 1976.

Pada tahun 1970 Njoo bersama Sri Budoyo memelopori kartu kredit di Indonesia dengan mendirikan Diners Club Indonesia. Di samping itu Njoo juga memiliki sebuah restoran, bar dan klab malamGolden Gate di Bandar Udara Kemayoran. Di bidang perumahan, Njoo mendirikan P.T. Darmo Permai di Surabaya (1973) dan P.T. Wai Halim di Lampung (1978).

Selain itu Njoo Han Siang juga memprakarsai dan merintis pendirian Akademi Perbankan Nasional yang berkembang menjadi STIE Perbanas dikemudian harinya dan juga pernah menjadi ketua umum Perbanas. Atas jasanya, Njoo Han Siang diabadikan dalam bentuk monumen di depan kampus STIE Perbanas.

Perintis Perfilman Indonesia

Selain dikenal sebagai pengusaha yang sukses, Njoo Han Siang lebih dikenal oleh masyarakat sebagai seorang tokoh perintis perfilman nasional. Pada tahun 1972 ia bersama dengan Wim Umboh (seorang sutradara senior dari etnis Tionghoa Manado yang fasih berbahasa Mandarin dan menjadi penerjemah film bahasa Mandarin ke bahasa Indonesia) dan Aloysius Soegianto (mantan kolonel RPKAD yang pernah berperan dalam operasi Seroja dan deklarasi Balibo di Timor timur 1975 dan juga mantan ketua Perkumpulan Kinologi Indonesia) mendirikan P.T. Inter Pratama Studio Laboratorium (Inter Studio) di Pasar Minggu dengan tujuan membebaskan diri film Indonesia dari ketergantungan luar negeri.

Inter Studio merupakan sebuah laboratorium film berwarna pertama di Indonesia yang memiliki fasilitas seperti rekaman suara, efek suara, pemaduan suara, sunting musik, alih suara dan efek gambar. Sebelumnya proses perfilman di Indonesia harus diproses di Hongkong atau Tokyo yang membutuhkan biaya tinggi serta makan waktu. Inter Studio ini diharapkan mampu memproduksi film-film nasional secara utuh di Indonesia. Visi Inter Studio ini adalah untuk menghasilkan film bermutu, kultural edukatif, dan bermoto "Masuk Ide , Keluar film" serta menjadikan film Indonesia "Tuan di negeri sendiri" atau "Film Indonesia telah dapat dilahirkan di dalam negeri" atau dapat dikatakan juga sebagai hardware dan dapur perfilman Indonesia.

Salah seorang sinematograf yang sering memanfaatkan fasilitas Inter Studio ini adalah Teguh Karya (Liem Tjoan Hok) atau yang biasa dipanggil Steve Liem, pendiri Teater Populer yang sering disebut sebagai "Suhu Teater Indonesia". Teguh juga berhasil meyakinkan produser-produser film dan sutradara muda untuk memanfaatkan jasa Inter Studio ini untuk memproses filmnya. Film-film yang diproses di Inter Studio ini telah berhasil mendapatkan beberapa Piala Citra serta banyak melahirkan film-film terbaik di Festival Film Indonesia (FFI) dan Festival Film Asia Pasifik (FFAP).

Selain memproduksi film, Njoo juga mendirikan sekolah seni peran bersama Wahyu Sihombing dan Tatiek Maliati di Pusat Perfilman Nasional Usmar Ismail, dimana pesertanya bebas uang sekolah bahkan mendapat uang transport dan kost. Murid-muridnya yang pernah mendapatkan pendidikan diantaranya adalah Ray Sahetapy, Ida Leman, Heru Fadila, dan Alan Nuary.

Selain seni sinematografi, Njoo juga mesponsori perkembangan seni musik yang dianggap sebagai infrastruktur penunjang produksi film. Pada tahun 1973 Njoo menyelenggarakan pesta musik Summer 28 (memperingati hari kemerdekaan RI ke 28) yang diikuti oleh 17 group musik yang tengah populer waktu itu seperti Koes Plus, The Pros, AKA, dan God Bless.

Produksi Film

Berikut ini adalah beberapa karya film yang diproduksi oleh Njoo Han Siang:

Penghargaan

Njoo Han Siang wafat pada tahun 1985 di usia 55 yahun karena penyakit diabetes. Ia mempunyai seorang isteri tetapi tidak mempunyai keturunan. Bidang usahanya diteruskan oleh keponakan-keponakan dekatnya yaitu Frankie S. Sanjoto, Tommy S. Sanjoto Dipl. -Ing, dan Rudy S. Sanyoto. Njoo selama hidupnya dikenal sebagai seorang idealis, nasionalis, wartawan, pengusaha, politikus, pecinta seni dan budaya serta aktivis berbagai bidang profesi dan seorang tokoh perfilman nasional.

Atas jasa-jasanya dibidang sinematografi nasional, pada tahun 2004 Njoo Han Siang dianugerahkan "Satya Lencana Wirakarya" oleh Presiden RI Megawati Soekarnoputri dalam acara peringatan Hari Film Nasional.

Selain itu, Departemen Kebudayaan & Pariwisata, melalui Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BPPN) selaku penyelenggara FFI, menganugerahkan Piala Khusus "Njoo Han Siang" kepada produser yang paling banyak memanfaatkan jasa teknik perfilman dalam negeri. Ini dimaksudkan untuk mengenang dan menghargai perjuangan Njoo serta untuk melanjutkan dan memotivasi semangat kemandirian membebaskan perfilman Indonesia dari ketergantungan luar negeri.