Motivasi (Islam)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Motivasi adalah bagian dari fitrah manusia untuk meraih kesenangan dan menghindari penderitaan. Islam mengatur secara hukum hal-hal yang boleh digunakan untuk memenuhi kesenangan. Pernikahan yang berfungsi memenuhi kebutuhan fisiologis manusia diatur untuk menjaga kehormatan manusia dan manusia mendapatkan kesenangan dalam memenuhi kebutuhannya tersebut. Kesenangan secara internal dan eksternal ketika mengalami hal-hal yang terjadi bahkan berpotensi menjadi ukuran kebenaran, meskipun menjadikan kesenangan semata sebagai ukuran dapat mengantarkan ke hedonisme. Menjalankan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya adalah kebutuhan manusia untuk meraih kesenangan abadi di akhirat.[1] Setan dapat mengelabuhi manusia untuk meninggalkan perintah Allah dan melakukan apa yang Dia larang sehingga manusia akan menderita di dunia dan di akhirat.[2]

Prinsip dasar[sunting | sunting sumber]

Raga dan pikiran berorientasi pada segala hal yang mendatangkan kesenangan dan menjauh dari segala hal yang mendatangkan penderitaan. Sudut pandang Islam perlu dibedakan dari berbagai mazhab hedonisme. Islam memandang bahwa kesenangan adalah titik pertengahan, bukan titik akhir. Merasakan kesenangan dan berusaha menghindari penderitaan adalah isyarat bahwa tujuan manusia benar. Sementara itu, hedonisme menganggap bahwa "kesenangan adalah telos (tujuan) kehidupan manusia,"[3] meskipun mazhab epikureanisme menyadari bahwa kesenangan sesungguhnya terletak pada gaya hidup yang berpegang pada nilai, bukan sekadar memuaskan hasrat impulsif.[4]

Kesenangan yang dirasakan manusia Ibnul Qayyim kelompokkan menjadi kesenangan inderawi (lażżah juṡmānīyah), kesenangan khayalan imajinatif (lażżah khayālīyah wahmīyah), dan kesenangan spiritual dan intelektual (lażżah ‘aqlīyah rūhānīyah).[4][5] Kesenangan indrawi sama-sama dimiliki manusia dan binatang, berupa makan, minum, dan aktivitas seksual. Kesenangan imajinatif artinya kesenangan yang dibayangkan, berkaitan dengan kesenangan ketika seseorang meraih kekuasaan atau kepemimpinan. Kesenangan intelektual dan spiritual dikaitkan dengan pengetahuan, kesadaran spiritual (ma‘rifah), dan memperbaiki akhlak seperti kejujuran, ketaqwaan, dan kesabaran.[4]

Motivasi internal[sunting | sunting sumber]

Manusia termotivasi secara spiritual dan fisiologis. Motivasi spiritual merupakan tujuan paling tinggi dalam hidup. Spiritual manusia mendorongnya untuk merenungkan Pencipta dan ciptaan-Nya, tujuan atau alasan hidupnya, dan nasibnya setelah meninggal. Hal ini akan mengarahkannya untuk mengenal Allah sebagai Tuhannya, dan menyembah-Nya dengan penyerahan diri sebagai bentuk syukur kepada-Nya. Keimanan menjadi energi yang memberi kekuatan untuk melaksanakan tugas-tugas dalam hidup.[6] Kegagalan dalam memenuhi kebutuhan ini mengakibatkan perasaan kosong, putus asa, kegelisahan, dan ketakutan.[7] Berdasarkan hasil penelitian, "...didapatkan bahwa ada 52,9% siswa merasa termotivasi untuk belajar bahasa Arab (bahasa Agama Islam) dengan adanya keutamaan mempelajarinya."[8]

Secera fisiologis, tubuh memerlukan kondisi homeostasis untuk bisa berfungsi optimal yang bisa dicapai dengan memenuhi kebutuhan saat muncul rasa lapar, haus, lelah, kedinginan, kepanasan, atau nyeri. Kebutuhan-kebutuhan ini memiliki tingkatannya dan untuk mendukung proses pemenuhan kebutuhannya Allah menjadikan adanya kesenangan di dalamnya. Kebutuhan fisiologis lainnya adalah dorongan seksual yang secara mendasar dibutuhkan untuk kelangsungan manusia. Melalui hubungan seksual manusia membentuk hubungan keluarga sampai menjadi masyarakat dan berbangsa-bangsa. Hukum-hukum Islam mengatur apa yang diperkenankan secara hukum bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya sehingga manusia tidak bisa bertindak semaunya.[7]

Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah Yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا 
Qur'an An-Nisa’:1

Hubungan seksual adalah hak pasangan suami istri dalam pernikahannya dan menjadi salah satu alasan adanya pernikahan. Pernikahan akan mempertahankan kehormatan manusia dan membendung hubungan tidak terhormat dalam masyarakat. Nabi Muhammad memerintahkan untuk siapapun yang telah memiliki kemampuan finansial untuk menikah. Dia juga menegur sahabatnya yang berkata ingin hidup membujang.[7]

Fungsi Epistemologis[sunting | sunting sumber]

Kesenangan dan penderitaan memiliki fungsi epistemologis untuk mengetahui apa yang bermanfaat dan apa yang berbahaya untuk seseorang. Allah telah membuat hubungan meyakinkan antara kesenangan dan manfaat serta penderitaan dan bahaya. Kesenangan secara epistemologis adalah yang dirasakan secara eksternal dan internal terhadap hal-hal yang seharusnya terjadi. Hal yang seharusnya terjadi hanya mungkin terjadi jika Allah menghendakinya. Apa yang seharusnya terjadi itu adalah yang sesuai untuk manusia. Hal-hal bermanfaat adalah yang sesuai bagi manusia, sedangkan hal-hal yang berbahaya adalah yang tidak sesuai bagi manusia. Sesuai dan tidak sesuai adalah kebenaran dan kebatilan dari perspektif fenomenologis.[4]

Allah hendak menerangkan (syariat-Nya) kepadamu, dan menunjukkan jalan-jalan (kehidupan) orang yang sebelum kamu (para nabi dan orang-orang shalih) dan Dia menerima tobatmu. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana. يُرِيدُ اللَّهُ لِيُبَيِّنَ لَكُمْ وَيَهْدِيَكُمْ سُنَنَ الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ وَيَتُوبَ عَلَيْكُمْ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ 
Qur'an An-Nisa’:26

Apa yang Allah inginkan adalah kebenaran dan sudah seharusnya terjadi. Kesenangan secara internal dan eksternal terhadap hal-hal yang sudah seharusnya terjadi berpotensi memberitahu seseorang tentang kebenaran.

Namun, jika kesenangan dianggap cukup sebagai alat penanda kebenaran, nilai, atau manfaat, maka besar risiko akan terjatuh ke dalam hedonisme. Kesenangan inderawi sendiri tidak membawa perkembangan manusia; orang yang paling banyak makan, minum, dan berhubungan badan dipandang sebagai yang tidak memiliki tujuan hidup. Kompetisi dalam kesenangan imajinatif melahirkan kedengkian dan kerusakan. Allah memerintahkan untuk memenuhi kesenangan inderawi dan imajinatif ini dalam batasnya agar bukan kerusakan sebagai hasilnya. "Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan."[Qur'an Al-A'raf:31] Kesenangan yang diraih segera jika akhirnya berakibat penderitaan, tidak bisa disebut kesenangan. Sementara itu, kompetisi dalam spiritualitas justru didukung.[4]

Hal-hal di dalam kehidupan dunia tidak ada yang sepenuhnya manfaat atau sepenuhnya bahaya (madharrah); melainkan pasti merupakan perpaduan keduanya. Adakalanya manfaatnya lebih besar daripada bahayanya dan adakalanya sebaliknya. Setan mempunyai pengaruh delusif agar manusia melakukan larangan Allah dan meninggalkan perintah-Nya. Perbuatan dosa, seperti minum khamar (minuman memabukkan), yang "dosanya lebih besar daripada manfaatnya"[Qur'an Al-Baqarah:219] dihiasi seolah-olah lebih bermanfaat.[9]

Kesenangan, akal, wahyu, dan kesabaran bekerja sama untuk mengarahkan manusia meraih manfaat yang akan bertahan lama (bāqiyāt) dan bernilai baik (ṣālihāt). Akal berperan membuat proyeksi akibat di masa depan yang akan terjadi atas suatu tindakan; apakah bermanfaat ataukah mengakibatkan penderitaan. Wahyu menetapkan batasan larangan secara hukum—perbuatan terlarang akan mengantarkan ke penderitaan di kehidupan selanjutnya (akhirat). Karena ini juga mengapa Al-Qur'an dicirikan sebagai al-furqān ("pembeda" antara kebaikan dan keburukan). Kesabaran adalah komposisi selanjutnya bagi seseorang untuk mengubah perilaku buruknya dan mempertahankan perilaku baiknya untuk meraih kesenangan yang terpuji (laẓẓah mahmūdah).[4]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Motivasi

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

When the Angels Whisper

Catatan dan referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Abdul-Rahman 2018, hlm. 8.
  2. ^ Abdul-Rahman 2018, hlm. 8-11.
  3. ^ Abdul-Rahman 2018, hlm. 5.
  4. ^ a b c d e f Abdul-Rahman 2018.
  5. ^ Ibn Qayyim al-Jauziyah, Muhammad bin Abi Bakar (1431 H). Rawḍat al-Muhibbīn (dalam bahasa Arab). Jeddah: Majma'ul Fiqh al-Islami. hlm. 245. 
  6. ^ Utz 2011, hlm. 61.
  7. ^ a b c Utz 2011.
  8. ^ Izzul Fiqih, Muhamad (2021) PENGGUNAAN METODE MOTIVASI SEBAGAI STRATEGI MENGAJAR BAHASA ARAB DI MADRASAH ALIYAH LABORATORIUM JAMBI. [Eksperiment] (In Press) https://repository.unja.ac.id/id/eprint/33319
  9. ^ Muhammad Nuzul Dzikri (12 May 2018). "22. KU TERKECOH DENGAN KELEZATANNYA". Youtube. 

Daftar pustaka