Mahmud Yunus

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 5 April 2013 18.05 oleh EmausBot (bicara | kontrib) (Bot: Migrasi 1 pranala interwiki, karena telah disediakan oleh Wikidata pada item d:Q4016337)

Mahmud Yunus
Lahir(1899-02-10)10 Februari 1899
Nagari Sungayang, Tanah Datar, Minangkabau
Meninggal16 Januari 1982
Jakarta, Indonesia
Warga negara Indonesia
PekerjaanPendidik
Dikenal atasAhli pendidikan Islam, ahli tafsir al-Qur'an
Orang tuaYunus (ayah)
Hafsyah (ibu)

Prof. Dr. H. Mahmud Yunus (ejaan lama: Mahmoed Joenoes, 10 Februari 1899 – 16 Januari 1982) adalah seorang ulama, ahli tafsir, dan ahli pendidikan Islam asal Indonesia.

Kehidupan

Masa kecil

Mahmud Yunus lahir pada 10 Februari 1899 [Kalender Hijriyah: 30 Ramadhan 1316] di Sungayang, sebuah kenagarian yang berada sekitar tujuh km dari Batusangkar, Tanah Datar.[1] Ia berasal dari keluarga Minangkabau sederhana yang taat menjalankan ajaran agama Islam. Ayahnya, Yunus bin Incek adalah seorang petani, dan ibunya, Hafsyah binti Imam Sami'un adalah seorang penenun kain.[2][3] Ia merupakan satu-satunya anak laki-laki dalam keluarga itu, dan ia hanya memiliki satu adik perempuan.[4] Diajarkan dasar-dasar Islam oleh keluarganya sejak kecil, ia tumbuh sebagai anak yang sering menimba ilmu agama.[5] Namun, ayahnya meninggal saat ia masih berusia kanak-kanak, sehingga ia besar bersama keluarga ibunya.[6]

Meskipun tidak banyak mendapat bimbingan dan didikan dari ayahnya, yang meninggal pada saat ia masih berusia tiga tahun, ia dapat mengenyam pendidikan sampai ke jenjang perguruan tinggi berkat bantuan saudara sepupu ibunya, Ibrahim Datuk Sinaro Sati.[7] Sejak berusia tujuh tahun, ia telah belajar mengaji ke beberapa surau di sekitar tempat ia tinggal, sebagaimana umumnya anak laki-laki di Minangkabau pada waktu itu.[8] Pada awalnya, ia belajar di Surau Talang kepada Muhammad Thaher, yang merupakan saudara laki-laki ibunya sendiri, dan setelah khatam al-Qur'an, ia dipercaya oleh gurunya untuk membantu mengajarkan dasar-dasar al-Qur'an di surau tersebut.[9]

Dalam usia sekitar sembilan tahun, ia dimasukkan ke sebuah Sekolah Desa di Sungayang yang baru didirikan pada tahun 1908.[10] Ia mengikuti pelajaran di sekolah tersebut pada siang hari, tanpa meninggalkan tugas dari gurunya untuk mengajarkan al-Qur'an di surau pada malam hari. Ketika duduk di bangku kelas empat, ia mulai merasa tidak betah belajar di Sekolah Desa lantaran pelajaran kelas sebelumnya sering diulang.[8] Ia akhirnya pindah ke Madras School, sebuah sekolah agama yang baru saja didirikan oleh Muhammad Thaib Umar yang bertempat di Surau Tanjung Pauh.[11] Di Madras School, ia belajar setiap hari dari pagi sampai siang. Namun, kerana kesibukannya dalam mendalami ilmu-ilmu agama, ia menarik diri dari mengajar di surau pada bulan Mei 1911.[9]

Masa remaja

Pada tahun 1917, setelah beberapa lama mengikuti pelajaran di Madras School, ia ditugaskan menggantikan gurunya yang sedang sakit untuk mengajar sekaligus memimpin Madras School.[12] Sebelumnya, ia sempat menjadi guru pembantu dari tahun 1913.[13] Kedudukannya sebagai pemimpin Madras School, membuat ia aktif dengan gerakan pembaruan Islam yang digagas oleh Abdullah Ahmad, Abdul Karim Amrullah, dan Mohammad Djamil Djambek. Ia mulai terlibat dengan gerakan tersebut ketika mewakili gurunya yang sedang sakit, Muhammad Thaib Umar (1874–1920) untuk mengadiri pertemuan alim ulama seluruh Minangkabau pada tahun 1919 di Surau Jembatan Besi, Padang Panjang.[14] Hasil dari pertemuan tersebut salah satunya adalah mendirikan Persatuan Guru Agama Islam (PGAI), yaitu sebuah organisasi tempat berkumpulannya ulama-ulama Minangkabau yang peduli terhadap kemajuan pendidikan Islam; Mahmud Yunus menjadi salah seorang anggota terawal PGAI sejak organisasi itu didirikan.[15]

Pada akhir tahun 1919, Mahmud Yunus bersama aktivis pembaru Islam lainnya membentuk sebuah perkumpulan pelajar Islam di Sungayang, Tanah Datar dengan nama Sumatera Thawalib.[16] Adapun salah satu kegiatan dari perkumpulan ini adalah menerbitkan majalah Islam yang bernama Al-Basyir dengan Mahmud Yunus sendiri sebagai pimpinan redaksinya.[17][18] Melalui majalah Al-Basyir, ia sentiasa menyuarakan pembaruan Islam termasuk di bidang pendidikan.[19] Dalam perkembangan selanjutnya, karena ingin menimba pengetahuan lebih jauh lagi, baik umum maupun agama, ia memutuskan pergi ke Timur Tengah untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Keinginannya ini didukung oleh Ibrahim Datuk Sinaro Sati, bahkan seluruh biaya yang diperlukan, ditanggung oleh saudara sepupu ibunya tersebut.[4]

Pada tahun 1924, setelah berkesempatan menunaikan ibadah haji ke Makkah, ia bertolak ke Mesir untuk mendaftar ke Universitas Al-Azhar di Kairo.[20] Dalam satu tahun, ia berhasil mendapatkan ijazah tertinggi dari Universitas Al-Azhar saat itu, yakni Syahadah Alimiyah (setara dengan magister).[14] Setelah itu, ia mengikuti saran gurunya di Universitas Al-Azhar untuk mempelajari pengetahuan umum di Darul Ulum (kini berada dalam Universitas Kairo).[10] Setelah memenuhi seluruh persyaratan yang diminta, ia diterima sebagai mahasiswa di kelas bagian malam; seluruh mahasiswanya berkebangsaan Mesir kecuali ia sendiri.[21] Selama di Darul Ulum, ia berkesempatan mendapatkan pengecualian membayar uang kuliah atas saran dan rekomendasi Menteri Pendidikan Mesir pada saat itu karena terkesan dengan surat rayuan yang sempat ia kirimkan. Setelah empat tahun lamanya belajar di Darul Ulum, ia memperoleh diploma guru dengan spesialisasi bidang ilmu kependidikan pada tahun 1929.[22]

Karier

Berkas:Masjid Baiturrahman Sungayang.JPG
Masjid Baiturrahman Sungayang setelah selesai dibangun kembali pada tahun 2011. Sekembalinya dari Mesir, Mahmud Yunus sering mengadakan sejumlah kegiatan keagamaan di masjid ini

Setelah menjalani masa pendidikan sekaligus menimba berbagai pengalaman di Kairo, Mesir, ia kembali ke tanah airnya pada bulan Oktober 1930.[23] Dalam perjalanan pulang ke Indonesia, ia sempat bertemu dengan Syekh Thaher Djalaluddin di Singapura.[24] Sesampai di Minangkabau pada tahun 1931, ia mendirikan sekolah Al-Jami'ah Al-Islamiyah di Sungayang dan Normal Islam School di Padang. Melalui kedua lembaga pendidikan Islam ini, ia menerapkan pengetahuan dan pengalaman yang ia dapat di Darul Ulum, Kairo, Mesir. Karena kendala tenaga pengajar yang tidak sebanyak di Padang, Al-Jami'ah Al-Islamiyah terpaksa ditutup pada tahun 1933 dan siswanya dialihkan ke Normal Islam School.[25] Pada tahun 1940, ia ditunjuk sebagai pemimpin pertama Sekolah Islam Tinggi (SIT) yang baru saja didirikan PGAI di Padang.[26][27] Namun, sekolah tersebut dibubarkan pada 1 Maret 1942 oleh pemerintah kolonial Jepang.[28]

Selain aktif di bidang pendidikan, ia sempat menjadi anggota Minangkabau Raad dan turut serta mendirikan Majelis Islam Tinggi (MIT) Minangkabau sewaktu pendudukan Jepang di Indonesia. Pada tahun 1943, ia mewakili MIT MInangkabau sebagai penasihat residen di Padang dan pada saat bersamaan, ia juga diangkat sebagai anggota Syu Sangi Kai (semacam DPR).[29] Melaui Syu Sangi Kai, ia mengusahakan masuknya pendidikan agama Islam ke dalam kurikulum pendidikan sekolah-sekolah pemerintah.[26] Usulan ini diterima oleh pemerintah kolonial Jepang, dan sejak saat itu, pelajaran agama Islam mulai diberikan di sekolah-sekolah pemerintah di Indonesia.[30] Setelah kemerdekaan Indonesia, usaha ini terus ia lanjutkan, bahkan setelah melalui proses yang panjang, pendidikan agama Islam telah masuk dengan resmi ke sekolah-sekolah negeri dan sekolah-sekolah partikelir, mulai dari SR (sekarang SD), SMP, SMA dan sekolah-sekolah kejuruan.

Pada penghujung tahun 1945, kedatangan tentara Sekutu melalui pelabuhan Teluk Bayur untuk menduduki Kota Padang mengakibatkan sekolah-sekolah Islam yang ada di kota itu terancam, termasuk Normal Islam School yang didirikannya. Normal Islam School terpaksa ditutup pada saat itu juga karena sebagian besar guru dan muridnya mengungsi ke Kota Bukittinggi.[31] Di tengah situasi tersebut, ia bersama beberapa orang guru pada bulan September 1946 sepakat mendirikan Sekolah Menengah Islam (SMI) di Bukittinggi sebagai ganti dari Normal Islam School; semua alat-alat pembelajaran seperti kursi, meja, alat-alat praktikum, peta, dan lain-lain kemudian dibawa ke Bukittinggi untuk dipakai di SMI.[32] Ia memimpin sekolah ini secara langsung, tetapi pada bulan Desember 1947, ia pindah ke Pematangsiantar dan kepemimpinan SMI dipercayakan kepada Bustami Abdul Gani.[33] Selama di Pematangsiantar, ia menjadi kepala bagian Islam pada jawatan agama di Sumatera Utara sekaligus menjadi anggota Komite Nasional Sumatera. Setelah Pematangsiantar diserang dan dikuasai oleh Belanda, disusul dengan pemindahan ibu kota provinsi Sumatera ke Bukittinggi, ia kembali bertugas di Bukittinggi.[34]

Rujukan

Catatan kaki
  1. ^ Yunus 1982, hlm. 5.
  2. ^ Rina 2011, hlm. 170.
  3. ^ Yunus 1982, hlm. 6.
  4. ^ a b Rina 2011, hlm. 173.
  5. ^ Rina 2011, hlm. 172.
  6. ^ Masril, dkk 2011, hlm. 135.
  7. ^ Ibrahim 2008, hlm. 8.
  8. ^ a b Rina 2011, hlm. 174.
  9. ^ a b Masril, dkk 2011, hlm. 136.
  10. ^ a b Mohammad 2006, hlm. 86.
  11. ^ Yunus 1982, hlm. 11.
  12. ^ Nata & Nasuhi 2002, hlm. 48.
  13. ^ Yunus 1982, hlm. 16.
  14. ^ a b Rina 2011, hlm. 175.
  15. ^ Nata 2005, hlm. 58.
  16. ^ Departemen Agama 2008, hlm. 99.
  17. ^ Yunus 1982, hlm. 20.
  18. ^ Asnan 2003, hlm. 167.
  19. ^ Masril, dkk 2011, hlm. 139.
  20. ^ Yunus 1982, hlm. 22.
  21. ^ Islamic Centre Sumatera Barat 2001, hlm. 149.
  22. ^ Gaus 2010, hlm. 16.
  23. ^ Yunus 1982, hlm. 46.
  24. ^ Masril, dkk 2011, hlm. 138.
  25. ^ Mohammad 2006, hlm. 87.
  26. ^ a b Nata 2005, hlm. 59.
  27. ^ Hashim 2010, hlm. 182.
  28. ^ Nata & Nasuhi 2002, hlm. 56.
  29. ^ Yunus 1982, hlm. 47.
  30. ^ Asy 2004, hlm. 179.
  31. ^ Yunus 2008, hlm. 21.
  32. ^ Rina 2011, hlm. 181.
  33. ^ Ramayulis & Nizar 2005, hlm. 336.
  34. ^ Yunus 2008, hlm. 131.
Daftar pustaka
Didahului oleh:
Tidak ada
Dekan Akademi Dinas Ilmu Agama Jakarta
1 Juni 19571960
Diteruskan oleh:
Prof. Mr. R.H.A. Soenarjo
Didahului oleh:
Tidak ada
Rektor IAIN Imam Bonjol Padang
19671970
Diteruskan oleh:
?