Krisis identitas

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Krisis identitas merupakan peristiwa perkembangan yang melibatkan seseorang mempertanyakan diri sendiri atau keberadaan mereka di dunia. Konsep ini berasal dari karya psikolog perkembangan Erik Erikson yang percaya bahwa pembentukan identitas adalah salah satu konflik terpenting yang dihadapi orang. Faktor-faktor tersebut termasuk masalah kesehatan, stres, dan dukungan sosial. Memiliki kondisi kesehatan mental seperti depresi, gangguan bipolar, dan gangguan kepribadian ambang juga dapat meningkatkan kemungkinan mengalami krisis identitas.

Terdapat empat status identitas :

  1. Identity Diffusion, pada status ini individu belum mengalami krisis dan belum membuat komitmen. Remaja dalam status ini belum memutuskan mengenai pilihan pekerjaan atau ideologis dan juga tidak menunjukkan minat terhadap hal tersebut.
  2. Identity Foreclosure, pada status ini individu sudah membuat komitmen, tetapi belum mengalami krisis. Hal ini sering terjadi ketika orang tua memaksa komitmen tertentu dengan cara otoriter sementara anak remaja tersebut belum mengeksplorasi berbagai pendekatan ideologi atau karirnya.
  3. Identity Moratorium, pada status ini remaja tengah menggalami masa krisis tetapi belum memiliki komitmen yang jelas atau masih kabur.
  4. Identity Achievement, pada status ini remaja sudah melalui krisis dan sudah sampai pada sebuah komitmen.

Referensi[sunting | sunting sumber]

[1]

  1. ^ Sunuhadi, Bani (Oktober 2013). "STATUS IDENTITAS REMAJA DENGAN LATAR BELAKANG KELUARGA ETNIS JAWA DAN TIONGHOA". Diarsipkan dari [file:///C:/Users/Thosiba/Downloads/2136-Article%20Text-4260-1-10-20131024.pdf versi asli] Periksa nilai |url= (bantuan) (PDF) tanggal 2013-08-12. Diakses tanggal 2022-02-25.  line feed character di |title= pada posisi 55 (bantuan)