Kredit bermasalah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kredit bermasalah atau kredit macet (Bahasa Inggris: non-performing loan (NPL)) adalah kredit yang terlambat dicicil atau berpotensi tidak dilunasi oleh debiturnya. Kredit bermasalah merupakan tantangan besar bagi sektor perbankan, karena dapat mengurangi profitabilitas bank,[1] dan kerap membuat bank tidak dapat meminjamkan lebih banyak dana ke perusahaan atau orang lain, sehingga secara umum dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi (walaupun teori tersebut masih diperdebatkan[2][3]).

Di Uni Eropa, pengelolaan kredit bermasalah yang timbul akibat krisis keuangan tahun 2008 menjadi topik yang sensitif secara politik, dan akhirnya memuncak pada tahun 2017, saat Dewan Eropa[4] menugaskan Komisi Eropa untuk meluncurkan rencana aksi guna mengatasi kredit bermasalah. Rencana aksi tersebut pun mendukung penguatan pasar sekunder untuk kredit bermasalah dan pembentukan Perusahaan Pengelola Aset. Pada bulan Desember 2020, rencana aksi tersebut direvisi untuk menyesuaikan dengan krisis yang timbul akibat pandemi COVID-19.[5]

Definisi[sunting | sunting sumber]

Secara umum, kriteria kredit bermasalah adalah sebagai berikut:[6][7]

  • Pembayaran kredit dan bunga terlambat setidaknya selama 90 hari
  • Pembayaran bunga ditunda, dibiayai kembali, atau dikapitalisasi setidaknya selama 90 hari, sesuai kesepakatan antara kreditur dan debitur.
  • Pembayaran kredit dan bunga terlambat selama kurang dari 90 hari, namun ada alasan kuat untuk meragukan kemampuan debitur dalam melunasinya.

Tantangan dan kesulitan mengatasi kredit bermasalah[sunting | sunting sumber]

Secara umum, pengelolaan kredit bermasalah sulit akibat berbagai macam sebab, antara lain:

  • Kurangnya definisi standar dan diakui mengenai kredit bermasalah, dan tidak ada bingkai kerja pelaporan yang kuat
  • Kurangnya metodologi valuasi standar bagi lembaga keuangan untuk dapat mencadangkan kerugian yang timbul akibat penyelesaian kredit bermasalah.
  • Insentif bagi bank dan lembaga keuangan dalam mengurangi pernyataan kredit bermasalahnya, untuk menghindari risiko menghadapi biaya dana yang lebih besar di pasar keuangan.
  • Keengganan bank untuk menjual kredit bermasalahnya, karena biaya yang terkait dengan penjualan tersebut dapat memperparah kerugian, sehingga mempengaruhi kecukupan modalnya.
  • Peraturan perlindungan konsumen[8][9]

Respon kebijakan dan model pengelolaan kredit bermasalah[sunting | sunting sumber]

Terdapat dua pendekatan utama untuk menangani kredit bermasalah, yakni:

  • Pendekatan terdesentralisasi yang melibatkan pengaturan bank, sehingga bank ikut serta mencegah dan menyelesaikan kredit bermasalahnya sendiri, contohnya dengan menetapkan peraturan akuntansi untuk memaksa bank mencadangkan sejumlah dana guna menutup kerugian yang mungkin terjadi pada masa mendatang, atau dengan menyiapkan kerangka kerja legislatif dan langkah-langkah lain untuk memperkuat pasar sekunder bagi kredit bermasalah.[10] Pada pendekatan ini, bank mengelola sendiri kredit bermasalahnya dengan diberikan insentif, kekuatan legislatif, atau kebijakan fiskal dan akuntansi khusus.
  • Pendekatan tersentralisasi yang berbentuk badan/organisasi terpusat, seperti "Perusahaan Pengelola Aset".

Pada prakteknya, kedua pendekatan tersebut dapat diterapkan secara bersamaan, sebagaimana rencana aksi Komisi Eropa untuk kredit bermasalah,[11][12] sementara sejumlah penulis berpendapat bahwa krisis sistemik secara umum memerlukan pendekatan yang lebih tersentralisasi.[13]

Tindakan untuk mengatasi kredit bermasalah antara lain:

  • Menerapkan lebih banyak transparansi pada pelaporan kredit bermasalah oleh bank
  • Bingkai kerja akuntansi (seperti IFRS9)
  • Pengawasan prudensial terhadap bank, termasuk tingkat cadangan dan kecukupan modalnya.
  • Insentif bagi bank untuk menawarkan keringanan bagi nasabah bermasalah dan mekanisme peringanan utang lain[14][15]
  • Membentuk Perusahaan Pengelola Aset.[16] Perusahaan tersebut menggunakan dana milik bank atau pemerintah untuk menghapus aset bermasalah dari buku bank. Contohnya, Korea Asset Management Corporation membeli hingga 80% kredit bermasalah yang timbul akibat krisis keuangan Asia.
  • Memperkuat pasar sekunder untuk kredit bermasalah yang dapat menawarkan mekanisme dan likuiditas yang dibutuhkan untuk menghapus kredit bermasalah. Sejumlah perusahaan pun melihat peluang pada pasar sekunder, karena membeli kredit bermasalah dari lembaga keuangan dengan harga diskon, dapat menjadi bisnis yang menguntungkan. Perusahaan harus membayar mulai dari 1% hingga 80% dari total kredit untuk dapat menjadi kreditur. Sementara diskonnya tergantung pada usia peminjam, usia pinjaman, ada atau tidaknya agunan, utang komersial atau pribadi, dsb.
  • Sekuritisasi kredit bermasalah (contohnya dengan mengumpulkan sejumlah kredit bermasalah ke dalam satu produk keuangan, seperti efek beragun aset) dapat membantu menjaga nilai pasar dari kredit bermasalah agar tetap mendekati nilai ekonomi aslinya, sehingga mengurangi biaya penjualan kredit bermasalah bagi bank.[17]
  • Tata kelola perusahaan

Kredit bermasalah akibat pandemi COVID-19[sunting | sunting sumber]

Walaupun jumlahnya turun pada tahun 2020, kredit bermasalah diduga akan menjadi tantangan besar untuk industri perbankan pasca pandemi COVID-19.[18][19][20] Bank Sentral Eropa memperingatkan bahwa jumlah kredit bermasalah di Uni Eropa dapat mencapai 1,4 triliun euro,[21] namun literatur akademik menyatakan bahwa kenaikan kredit bermasalah akan dikendalikan oleh kecepatan pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19, terutama tingkat pengangguran. Pada konteks krisis pandemi COVID-19, penghentian moratorium pembayaran utang dan penangguhan pajak kemungkinan juga akan meningkatkan jumlah kredit bermasalah.[22]

Untuk bersiap menghadapi gelombang kredit bermasalah, chairman dewan pengawas Bank Sentral Eropa, Andrea Enria telah mengusulkan pembentukan Perusahaan Pengelola Aset Eropa[23][24][25] dan melarang pembagian deviden oleh bank,[26] untuk menekan bank agar aktif mengatasi kredit bermasalah.[27] Bank Sentral Eropa tampaknya juga sedang mengembangkan platform bergaya Amazon.com untuk memungkinkan bank dan investor memperdagangkan kredit bermasalah di pasar sekunder.[28]

Sementara itu, Komisi Eropa telah merevisi rencana aksinya pada bulan Desember 2020[29] dengan fokus pada percepatan penguatan pasar sekunder untuk kredit bermasalah dan penyediaan dukungan untuk Perusahaan Pengelola Aset Nasional. Proposal revisi tersebut pun dikritik oleh sejumlah organisasi kemasyarakatan.[30][31]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Bank, European Central (2017-10-18). "Regulatory and supervisory responses in Europe to the current financial environment". European Central Bank - Banking Supervision (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-02-14. 
  2. ^ Angelini, Paolo (2018-04-12). "Non-performing loans and the credit allocation mechanism". VoxEU.org. Diakses tanggal 2021-02-14. 
  3. ^ Schäfer, Larissa (2016). "Forgive but not forget: the behaviour of relationship banks when firms are in distress". www.ebrd.com (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-09-19. Diakses tanggal 2021-02-14. 
  4. ^ "Council conclusions on Action plan to tackle non-performing loans in Europe". www.consilium.europa.eu (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-02-15. 
  5. ^ "Action plan: Tackling non-performing loans (NPLs) in the aftermath of the COVID-19 pandemic". European Commission - European Commission (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-02-15. 
  6. ^ "Clarification and Elaboration of Issues Raised by the December 2004 Meeting of the Advisory Expert Group of the Intersecretariat Working Group on National Accounts" (PDF). INTERNATIONAL MONETARY FUND. June 2005. 
  7. ^ Bank, European Central (2020-12-20). "What are provisions and non-performing loan (NPL) coverage?". European Central Bank - Banking Supervision (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-02-14. 
  8. ^ "Bad debts make good profits - but what are the social costs?". openDemocracy (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-02-14. 
  9. ^ "Vulture Funds in Ireland". Financial Justice Ireland (dalam bahasa Inggris). 2016-06-22. Diakses tanggal 2021-02-14. [pranala nonaktif permanen]
  10. ^ "Credit servicers, credit purchasers and the recovery of collateral: Fostering secondary markets for non-performing loans (NPLs) and easing collateral recovery - Think Tank". www.europarl.europa.eu (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-02-14. 
  11. ^ "Action plan: Tackling non-performing loans (NPLs) in the aftermath of the COVID-19 pandemic". European Commission - European Commission (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-02-14. 
  12. ^ "Non-performing loans: vote on EU rules for selling NPLs to third parties | News | European Parliament". www.europarl.europa.eu (dalam bahasa Inggris). 2021-01-14. Diakses tanggal 2021-02-14. 
  13. ^ Ayadi, Rym (2017). Carving out legacy assets : a successful tool for bank restructuring? : study. Giovanni Ferri, Rosa María. Lastra, European Parliament. Committee on Economic and Monetary Affairs. Brussels: European Parliament. ISBN 978-92-846-0609-2. OCLC 1013925272. 
  14. ^ "The Financialisation of Distressed Debts in Europe | Finance Watch" (dalam bahasa Inggris). 2020-06-19. Diakses tanggal 2021-02-14. 
  15. ^ Philipponnat, Thierry (2021-02-15). "Bail out people, not banks | Finance Watch". Finance Watch (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-02-15. 
  16. ^ "Utilizing AMCs to Tackle Eurozone's Legacy Non-Performing Loans". European Economy (dalam bahasa Inggris). 2017-07-05. Diakses tanggal 2021-02-14. 
  17. ^ "Why We Need to Breach the Taboos on European Banks' Non-Performing Loans 56 - ProQuest". search.proquest.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-02-15. 
  18. ^ Gual, Jordi. "The post-COVID-19 recovery: what challenges and roadmap for the banking industry?, SUERF Policy Notes .:. SUERF - The European Money and Finance Forum". SUERF.ORG. Diakses tanggal 2021-02-14. 
  19. ^ World Bank, 2020, COVID-19 and Non-Performing Loan Resolution in the Europe and Central Asia region
  20. ^ Ratnovski, Lev (2020-05-27). "COVID-19 and non-performing loans: lessons from past crises" (dalam bahasa Inggris) (71). 
  21. ^ Enria, Andrea (2020-10-12). "Interview with Handelsblatt" (dalam bahasa Inggris). 
  22. ^ Jakob De Haan, Non-performing Loans – Different this Time? NPL resolution after COVID-19, European Parliament, March 2021
  23. ^ Enria, Andrea. "ECB: the EU needs a regional 'bad bank'". www.ft.com. Diakses tanggal 2021-02-14. 
  24. ^ Carrascosa, Antonio (2020-12-22). "A European Bad Bank – a necessary tool for financial stability?". Single Resolution Board (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-02-15. 
  25. ^ ""A bad bank must be part of our toolbox to solve banking challenges"". Il Sole 24 ORE (dalam bahasa Italia). Diakses tanggal 2021-02-15. 
  26. ^ Bank, European Central (2020-12-15). "ECB asks banks to refrain from or limit dividends until September 2021" (dalam bahasa Inggris). 
  27. ^ Bank, European Central (2021-01-28). "ECB asks banks to address credit risk and improve efficiency" (dalam bahasa Inggris). 
  28. ^ Scuffham, John O’Donnell, Matt (2020-09-23). "Exclusive: ECB plots Amazon-style market to prevent Wall Street COVID debt swoop". Reuters (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-02-15. 
  29. ^ "Coronavirus response: Tackling non-performing loans (NPLs) to enable banks to support EU households and businesses". European Commission - European Commission (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-02-14. 
  30. ^ "European Commission's 'non-performing loans' plans to leave consumers vulnerable to 'vulture funds'". www.beuc.eu. Diakses tanggal 2021-02-14. 
  31. ^ "Early Christmas for European banks: Public bailouts to become the norm again | Finance Watch" (dalam bahasa Inggris). 2020-12-16. Diakses tanggal 2021-02-14.