Kerajaan suku Makassar di Sulawesi Selatan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Kerajaan suku Makassar di Sulawesi Selatan diketahui telah ada dalam sejarah sejak abad ke-14 Masehi. Keterangan diperoleh dari Kitab Negarakertagama. Kerajaan-kerajaan ini terbentuk di pesisir selatan Sulawesi Selatan. Pada awal abad ke-17, kerajaan-kerajaan ini menerapkan sistem pemerintahan Kakaraengang. Kerajaan suku Makassar di Sulawesi Selatan umumnya diwakili oleh Kesultanan Gowa dan Kesultanan Makassar. Kedua kerajaan merupakan musuh politik bagi Portugis dan menjalin persahabatan dengan suku Melayu. Pada akhir abad ke-17, kerajaan-kerajaan suku Makassar berakhir kekuasaannya akibat kekalahan perang dengan pasukan Belanda. Wilayah-wilayahnya kemudian dibagi menjadi provinsi-provinsi.

Pra-kerajaan[sunting | sunting sumber]

Kitan Negarakertagama pada bagian Pupuh XIII dan Pupuh XIV mencatat bahwa pada pertengahan abad ke-14 Masehi, Makassar adalah bagian dari kekuasan Kemaharajaan Majapahit. Pada masa ini, Makassar masih merupakan sebutan bagi penduduk yang mendiami pesisir selatan Sulawesi Selatan. Nama Makassar digunakan untuk menyebut suku Makassar dan belum digunakan sebagai sebuah kota maupun kerajaan. Suku Makassar ini memiliki bahasa sendiri dan mendiami seluruh wilayah Kabupaten Gowa, Kabupaten Takalar, Kabupaten Jeneponto, dan Kabupaten Bantaeng. Mereka juga mendiami sebagian wilayah Kabupaten Maros, Kabupaten Pangkajene Kepulauan dan Kabupaten Bulukumba.[1]

Sebelum akhir abad ke-17, suku Makassar masih terdiri dari komunitas masyarakat yang disebut kakaraengang. Mereka hidup dalam kekuasaan yang diatur melalui kagallarangang. Pembentukan kerajaan-kerajaan yang mapan oleh suku Makassar di Sulawesi Selatan dimulai pada akhir abad ke-17 M. Kerajaan-kerajaan ini selalu mengaitkan To Manurung sebagai pendiri sekaligus leluhur dalama silsilah para rajanya.[2]

Politik[sunting | sunting sumber]

Pada pertengahan abad ke-17, orang-orang suku Makassar telah menjalin hubungan perdagangan dengan Portugis. Hubungan ini terjalin setelah Portugis mengirim utusan dari Malaka untuk menemui penguasa Kerajaan Gowa. Namun, hubungan Kerajaan Gowa dan Portugis berakhir dengan konflik dan peperangan. Hubungan perdagangan masih tetap berlanjut hingga kedatangan Belanda di Sulawesi Selatan.[3]

Selama periode tahun 1600–1669 M, terjadi pertarungan penguasaan wilayah semenanjung di Sulawesi Selatan oleh dua kerajaan besar dari suku Makassar dan suku Bugis. Kerajaan Gowa mewakili kerajaan suku Makassar dan Kerajaan Bone mewakili kerajaan suku Bugis. Pertarungan ini berlangsung bersamaan dengan proses Islamisasi di Sulawesi Selatan. Pada awalnya, Kerajaan Gowa memperoleh kemenangan yang banyak. Namun, Kerajaan Bone menerima bantuan dari Belanda sehingga mampu mengalahkan Kerajaan Gowa.[4]

Sementara itu, politik antara Kerajaan Makassar dengan Kerajaan Buton sebagian besar diliputi oleh peperangan. Kondisi ini berkaitan dengan politik Kerajaan Buton dengan Kesultanan Ternate.[5]

Hubungan dengan suku lain[sunting | sunting sumber]

Suku Melayu[sunting | sunting sumber]

Orang-orang dari suku Melayu mendatangi wilayah Sulawesi Selatan pada akhir abad ke-15 M secara berangsur-angsur. Mereka berasal dari Malaka, Johor, Siam, Pahang, Minangkabau, Campa dan Patani. Pada abad ke-16 M, di wilayah Kerajaan Makassar telah ada perkampungan suku Melayu. Raja Kerajaan Gowa memberikan hak-hak istimewa kepada suku Melayu dan menetapkan kontrak sosial. Perkampungan suku Melayu di wilayah Kerajaan Makassar dipimpin oleh anggota suku Melayu sesuai dengan budaya Melayu.[6]

Keruntuhan[sunting | sunting sumber]

Kerajaan Gowa berakhir setelah mengalami kekalahan oleh Hindia Belanda selama Perang Makassar (1667–1669 M). Wilayah kekuasaannya kemudian dibagi tiga oleh Pemerintah Hindia Belanda dan meliputi Gubernur Makassar, Provinsi Bagian Utara dan Provinsi Bagian Selatan. Gubernur Makassar meliputi wilayah Kota Makassar. Provinsi Bagian Utara meliputi wilayah Kabupaten Maros dan Kecamatan Segeri. Provinsi Bagian Selatan meliputi Kabupaten Bantaeng, Kabupaten Bulukumba dan Pulau Selayar.[7]

Daftar Kerajaan Suku Makassar[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Makello, Ilham Daeng (2019). "Sejarah Makassar dan Tradisi Literasi" (PDF). Lembaran Sejarah. 15 (1): 34. ISSN 2620-5882. 
  2. ^ Sahajuddin (2018). "Integrasi Awal Terbentuknya Kerajaan-Kerajaan Lokal di Sulawesi Selatan". Walasuji. 9 (1): 76. 
  3. ^ Citra Kabupaten Gowa dalam Arsip. Jakarta Selatan: Arsip Nasional Republik Indonesia. 2016. ISBN 978-602-6503-03-9. 
  4. ^ Zid, M., dan Sjaf, S. (2009). "Sejarah Perkembangan Desa Bugis - Makassar Sulawesi Selatan". Jurnal Sejarah Lontar. 6 (2): 39. Ringkasan. 
  5. ^ Kila, Syahrir (2016). "Hubungan Kerajaan Makassar dengan Kerajaan Buton Abad ke-17" (PDF). Walasuji. Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar. 7 (2): 286. ISSN 1907-3038. Ringkasan. 
  6. ^ Bahtiar (2018). "Orang Melayu di Sulawesi Selatan" (PDF). Walasuji. 9 (2): 375. 
  7. ^ Sahajuddin (2017). "Akhir Perseteruan Belanda dengan Kerajaan Bone Abad XIX". Walasuji. 8 (1): 58.