Kebijakan Satu Peta Nasional

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kebijakan Satu Peta Nasional atau lebih sering disebut One Map Policy adalah kebijakan Pemerintah Republik Indonesia dalam hal informasi geospasial. Kebijakan ini pertama kali dijalankan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2010 dan dilanjutkan oleh Presiden Joko Widodo saat ini (2016). Koordinator utama kebijakan ini yaitu Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Badan Informasi Geospasial sebagai Ketua Pelaksana.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

2010[sunting | sunting sumber]

Kebijakan Satu Peta, muncul pertama kali sejak Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, pada Rapat Kabinet 23 Desember 2010. ketika Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) menunjukkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono peta tutupan hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Departemen Kehutanan yang berbeda dimana hal tersebut yang mendorong Presiden SBY memerintahkan penyusunan satu peta[1] "Saya ingin hanya satu peta saja sebagai satu-satunya referensi nasional!". Selain itu karena Informasi Geospasial Tematik (IGT) yang dibangun tidak merujuk pada satu sumber rujukan Peta Dasar (Peta Rupabumi). Bisa dipastikan selama Informasi Geospasial Tematik tidak merujuk pada Peta Dasar yang dibangun oleh instansi yang berkompeten dan berkewenangan dalam hal ini Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) maka Informasi Geospasial Tematik yang dibangun tersebut akan menimbulkan kesimpangsiuran. Adanya perbedaan tersebut akan mempengaruhi penentuan keputusan berbagai kebijakan strategis nasional. Kebijakan One Map Policy hadir sebagai aturan yang mengharuskan adanya penyatuan informasi geospasial. Sehingga tumpang - tindih seperti yang telah terjadi tersebut, tidak terulang dan kebijakan yang diambil pemerintah dapat tepat sasaran.[2]

Selain daripada itu di dalam kenyataan penyelenggaraan informasi geospasial terdapat beberapa kenyataan bahwa (1) banyak peta yang dibuat oleh berbagai K/L dengan spesifikasi sesuai kebutuhan masing-masing, (2) kebutuhan yang berbeda menyebabkan perbedaan spesifikasi informasi peta tematik yang dapat menimbulkan kesimpangsiuran informasi, dan (3) masih diperlukan mekanisme untuk menyatukan keberagaman menuju kesatuan informasi geospasial dasar dan tematik nasional.

2011[sunting | sunting sumber]

Peta Indikatif Penundaan Izin Baru[sunting | sunting sumber]

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga menerbitkan Instruksi Presiden no. 10 tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut. Melalui Inpres ini, Kepala Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional diinstruksikan melakukan pembaharuan peta tutupan hutan dan lahan gambut sesuai Peta Indikatif Penundaan Izin Baru pada kawasan hutan dan areal penggunaan lain setiap 6 (enam) bulan sekali melalui kerjasama dengan Menteri Kehutanan, Kepala Badan Pertanahan Nasional, dan lembaga lainnya. Hal ini dilakukan dalam rangka menyeimbangkan dan menselaraskan pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan selia upaya penurunan Emisi Gas Rumah Kaca yang dilakukan melalui penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Lahirnya Inpres nomor 10 tahun 2011 (diperbaharui menjadi Inpres no 6 tahun 2013) tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut merupakan implementasi dari rencana aksi OMP. Produk utama Inpres tersebut adalah Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB) yang direvisi setiap 6 bulan oleh tim OMP. PIPIB merupakan hasil tumpangsusun informasi hutan primer dan lindung, ijin pemanfaatan hutan, sebaran lahan gambut, dan informasi tentang hak guna usaha.[3]

Undang-Undang Informasi Geospasial[sunting | sunting sumber]

One Map Policy adalah amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (IG) Diarsipkan 2016-11-30 di Wayback Machine.. Informasi Geospasial diselenggarakan berdasarkan asas kepastian hukum, keterpaduan, keterbukaan, kemutakhiran, keakuratan, kemanfaatan, dan demokratis. Undang-Undang ini bertujuan untuk mewujudkan penyelenggaraan Informasi Geospasial yang berdaya guna dan berhasil guna melalui kerja sama, koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan mendorong penggunaan Informasi Geospasial dalam penyelenggaraan pemerintahan dan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. BIG sebagai penyelenggara Informasi Geospasial Dasar yaitu Jaring Kontrol Geodesi dan Peta Dasar yang menjadi acuan untuk menjamin keterpaduan informasi nasional. BIG mengintegrasikan berbagai peta yang dimiliki sejumlah instansi pemerintah ke dalam satu peta dasar (One Map).[4]

Konsep One Map Policy adalah untuk menyatukan seluruh informasi peta yang diproduksi oleh berbagai sektor ke dalam satu peta secara integratif, dengan demikian tidak terdapat perbedaan dan tumpang tindih informasi dalam peta yang mana ditetapkan oleh satu lembaga dalam hal ini BIG untuk ditetapkan sebagai one reference, one standard, one database, dan one geoportal.[4]

Kepala BIG mengatakan bahwa "One Map Policy" diyakini akan dapat mendukung kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan efisien termasuk di dalamnya pengawasan dan pengelolaan lingkungan. Deforestasi yang tidak terkendali salah satunya adalah karena tidak tersedianya peta atau informasi geospasial yang terintegrasi pada setiap kementerian dan lembaga, sehingga terjadi tumpang tindih dalam pemberian ijin usaha. Permasalahan ini sangat terkait dengan pemetaan tataruang daerah. Keterbatasan ketersediaan informasi geospasial dan sumberdaya manusia yang memahami informasi geospasial dan analisis keruangan menjadi salah satu penyebab utama dari rendahnya kualitas penataan ruang.[4]

Kebijakan Open Map Policy juga bertujuan untuk mewujudkan tata kelola hutan yang baik (good forest governance), informasi geospasial untuk MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia), mengkoordinasikan proyek-proyek MP3EI serta mendukung disaster management (penanganan bencana).[5]

2013[sunting | sunting sumber]

Menurut Kepala BIG, saat ini telah diselesaikan Peta Dasar skala kecil yaitu skala 1:250.000 untuk seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sedangkan untuk skala besar yaitu skala 1:25.000 baru diselesaikan wilayah Sulawesi Selatan. “Saat ini sedang dikerjakan untuk wilayah Sumatera, Kalimantan Tengah, Sulut, Sulteng, Sulbar, Sultra, Gorontalo, dan Papua. Adapun Pulau Jawa sudah terpetakan lebih dahulu pada skala 1:25.000 meskipun masih perlu diupdate,” kata Asep Karsidi sembari menyampaikan, kemungkinan peta dengan skala 1:25.000 itu baru bisa dituntaskan pada tahun 2015 mendatang. Diakui Kepala BIG, secara operasional peta dengan skala 1:250.000 belum memadai untuk menggambarkan objek di lapangan pada tingkat kabupaten/kota, sehingga kemungkinan terjadinya deviasi di lapangan akan sangat besar. “Untuk tujuan operasional di tingkat kabupaten/kota, IHT kawasan hutan harus dibangun pada skala yang lebih besar (minimal skala 1: 50.000),” tuturnya.[6]

Pokja Informasi Geospasial Tematik[sunting | sunting sumber]

Dalam rangka melaksanakan aksi gerakan menuju Satu Peta Indonesia 2013, maka dibentuklah Kelompok Kerja (Pokja) Nasional Informasi Geospasial Tematik Diarsipkan 2016-11-11 di Wayback Machine., yang terdiri dari 12 (dua belas) Sub Pokja.

  1. Sub Pokja Pemetaaan Sumberdaya Air dan Daerah Aliran Sungai
  2. Sub Pokja Pemetaaan Sumberdaya Lahan Pertanian dan Gambut
  3. Sub Pokja Pemetaaan Neraca Sumberdaya Alam
  4. Sub Pokja Pemetaaan Perubahan Iklim
  5. Sub Pokja Pemetaaan Ekoregion
  6. Sub Pokja Pemetaaan Monitoring Perijinan Sektoral, Penutup Lahan dan Status Lahan
  7. Sub Pokja Pemetaaan Transportasi
  8. Sub Pokja Pemetaaan Sumberdaya Pesisir dan Laut
  9. Sub Pokja Pemetaaan Kebencanaan
  10. Sub Pokja Pemetaaan Tataruang
  11. Sub Pokja Pemetaaan Sosial Budaya dan Atlas

Informasi Geospasial Tematik Pesisir dan Laut[sunting | sunting sumber]

Tahun itu, BIG meluncurkan IGT Pesisir dan Laut. One map yang telah disepakati menunjukkan luas mangrove di Pulau Jawa adalah 36.088 ha dimana 60% (21.944 ha) berada di Provinsi Jawa Timur. Lahan seluas 93.280 ha diketahui berpotensi untuk rehabilitasi mangrove di Jawa. Mangrove di Jawa memiliki fungsi ekologis sebagai peredam gelombang dan penahan intrusi air laut. Sedang one map terumbu karang menunjukkan luas terumbu karang Indonesia adalah 2,5 juta ha. Sebanyak 34% luas terumbu karang di Indonesia berada di perairan Sulawesi yang merupakan jantung dari segitiga terumbu karang (Coral Triangle Area). Keberadaan one map untuk wilayah pesisir dan laut adalah untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam menjaga keutuhan NKRI bagi pengelolaan pulau kecil terluar dan implementasi blue economy pada pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Selain itu, diluncurkan buku populer Pemetaan Mangrove (Sumatera), Pemetaan Lahan Garam (Bali, NTB, NTT dan Sulsel), dan Pemetaan Karakteristik Perairan Dangkal (Gorontalo dan Sulteng). Salah satu hasil penting adalah luas mangrove di Sumatera sebesar 548.268 Ha, dimana mangrove terluas berada di provinsi Riau. Penyajian deskripsi peta dalam bentuk buku populer dapat dijadikan rujukan bagi pengambil keputusan untuk pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut dalam mendukung kebijakan pemerintah seperti swasembada garam, penurunan emisi karbon, dan perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan.[7]

Informasi Geospasial Tematik Ekoregion[sunting | sunting sumber]

Kementerian Lingkungn Hidup bersama Badan Informasi Geospasial (BIG) meluncurkan peta dan deskripsi ekoregion 1: 500.000 di Jakarta, Selasa, 4 Mei 2013. Ekoregion adalah wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora dan fauna asli serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup. Saat ini sudah disusun peta dan deskripsi ekoregion pulau, kepulauan dan laut yang merupakan satu kesatuan dengan skala 1:500.000 mencakup Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Kepulauan Bali, Nusa Tenggara dan Kepulauan Maluku serta dikelilingi 18 ekoregion laut. Namun KLH masih menyusun peta ekoregion hingga skala lebih rinci yakni 1:50.000.[8]

Pemerintah daerah diingatkan agar menggunakan informasi geospasial dasar dalam pembuatan peta tematik untuk menghindari tumpang tindih menyangkut batas wilayah dan lahan. Kebijakan one map one policy mengamanatkan semua informasi geospasial bersumber pada peta BIG. Adapun peta bersumber pada informasi geospasial. Misalnya saja garis pantai dan pembuatan perizinan harus mengambil acuan dari geospasial dasar bukan dari sumber lain. Dalam rakorda yang dihadiri 600 peserta dari 33 provinsi tersebut hadir pula Menteri Riset dan Teknologi (menristek) Gusti Muhammad Hatta. Menurut Menristek, dalam pematangan pemanfaatan informasi geospasial dasar dibutuhkan sumber daya manusia (tenaga ahli), standardisasi pengamanan data dan standar pemanfaatan teknologi. "Tidak semua provinsi punya jurusan geografi untuk membangunnya, perlu memanfaatkan sumber yang terbatas. Daerah yang punya studi geografi membantu kabupaten-kabupaten yang perlu dibantu," ujarnya.[9]

2014[sunting | sunting sumber]

Tahun 2014, untuk memberikan kemudahan dalam berbagipakai dan penyebarluasan informasi geospasial, perlu mengoptimalkan jaringan informasi geospasial dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan di bidang informasi geospasial, baik pusat maupun daerah, diterbitkanlah Perpres 27 tahun 2014 tentang Jaringan Informasi Geospasial Nasional yang menggantikan Perpres 85 2007

Semua kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah saat ini wajib merujuk informasi geospasial dasar (IGD) yang dibuat Badan Informasi Geospasial (BIG) sebagai acuan pembuatan peta tematik. Kepala BIG Asep Karsidi mengatakan, IGD tidak hanya berisi peta dasar tetapi ada jaring kontrol geodesi seperti yang diundangkan melalui UU No 4/2011 tentang IGD. Setelah melewati masa transisi tiga tahun, setiap stakeholder atau pemangku kepentingan jika ingin membangun informasi geospasial tematik (IGT) kini harus merujuk IGD BIG dengan standar nasional. "Peta dasar skala 1:250.000 sudah bisa diakses melalui Ina geoportal. Hal ini sesuai dengan kebijakan one map policy," katanya di sela-sela Puncak Pekan Geospasial Nasional 2014, di Kantor BIG Cibinong, Bogor, Senin (21/4). Asep menambahkan jika ketentuan UU ini diabaikan ada sanksi berupa sanksi administratif, kurungan penjara tiga tahun, dan denda Rp 250 juta.[10]

Satu Peta Tematik Nasional[sunting | sunting sumber]

Diakhir 2014, Badan Informasi Geospasial (BIG) meluncurkan Satu Peta Tematik Nasional, yang terdiri dari Peta Tematik Penutup Lahan Nasional, Mangrove Nasional, Habitat Lamun Nasional dan Karakteristik Laut Nasional. Peluncuran Satu Peta yang meliputi empat tema diantaranya Satu Peta Penutup Lahan Nasional untuk menyusun kebijakan dalam perencanaan pembangunan nasional. IG penutup lahan mempresentasikan kondisi biofisik suatu wilayah atau ruang. K/L yang terlibat dalam penyusunan ini diantaranya Kementerian LH dan Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Agraria dan Tata Ruang serta BIG. Untuk sektor kelautan, One Map IGT diwakili dengan Satu Peta Mangrove Nasional, Padang Lamun Nasional dan Karakteristik Laut Nasional. K/L yang terlibat diantaranya Kementerian Kelautan dan Perikanan, LIPI, Kementerian ESDM, Kementerian Pertahanan, LAPAN, TNI-AL, BPPT dan BPS.[11]

Informasi Geospasial Tematik Penutupan Lahan Nasional[sunting | sunting sumber]

Satu Peta untuk Penutupan Lahan Nasional dengan skala kecil (skala 1:250.000 km) dan menengah (skala 1:50.000 km) sebagai referensi utama merupakan hasil kelompok kerja nasional IGT pada Sub Kerja Monitoring Perijinan Sektoral, Penutup Lahan, dan Status Lahan. Informasi penutup lahan merepresentasikan kondisi biofisik suatu wilayah atau ruang dalam berbagai nomenklatur nama dan skala sesuai dengan kebijakan dan peruntukan masing-masing sektor. Rekapitulasi nasional atas perhitungan hasil integrasi IGT Penutup Lahan Nasional didominasi oleh penutup lahan hutan, meliputi kelas hutan lahan rendah, hutan lahan tinggi, hutan rawa gambut serta hutan tanaman. Luas keseluruhan pada semua kelas hutan mencapai 105.025.216 hektare (ha) atau setara dengan 55.5 persen dari luas wilayah nasional yang dihitung. Sedangkan luas penutup lahan untuk kegiatan yang berkaitan dengan pertanian dan perkebunanan seluas 45.967.769 ha. Penutup lahan sawah atau dipadankan dengan kelas Tanaman Semusim Lahan Basah mempunyai luas 8.132.642 ha.[12]

Peta Sektor Kelautan[sunting | sunting sumber]

Sedangkan untuk sektor kelautan yang diwakili dengan satu peta mangrove, padang lamun, dan karakteristik laut nasional. Pemetaan dikerjakan secara paralel dalam sub tim mangrove, lamun, dan karakteristik perairan melibatkan Kementerian Kelautan dan Perikanan, LIPI, Kementerian ESDM, Kementerian Pertahanan, LAPAN, TNI AL, BPPT, dan Badan Pusat Statistik (BPS). Sebelumnya BIG, ia mengatakan sudah meluncurkan Satu Peta tematik Mangrove Jawa, Terumbu Karang Nasional, dan 21 pulau-pulau kecil terluar.[13]

2016[sunting | sunting sumber]

Tahun 2016, diluncurkan Paket Kebijakan Ekonomi VIII oleh Kementerian Koordinator bidang Perekonomian diantaranya yaitu percepatan kebijakan satu peta yang mengacu pada satu referensi geospasial, satu standar, satu basis data dan satu geoportal untuk mempercepat pelaksanaan pembangunan nasional menjadi salah satu prioritas pemerintah.[14]

Melalui Peraturan Presiden (Perpres) tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta ini, menurut Darmin Nasution, kementerian dan lembaga akan menyiapkan peta tematik skala 1:50.000 sesuai rencana aksi masing-masing dengan batas akhir tahun 2019. Karena itu Menko Perekonomian meyakini, kebijakan satu peta ini akan mempermudah dan mempercepat penyelesaian konflik tumpang tindih pemanfaatan lahan, penyelesaian batas daerah seluruh Indonesia.

Kebijakan satu peta ini didukung oleh Pemerintah melalui Kelompok Kerja Nasional IGT dengan meluncurkan Satu Peta Informasi Geospasial Tematik. Satu Peta tersebut meliputi 6 tema Informasi Geospasial Tematik, yaitu:

  1. Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG),
  2. Multirawan Bencana,
  3. Karakteristik Laut Nasional,
  4. Mangrove Nasional,
  5. Penutup Lahan Nasional dan
  6. Sedimen Dasar Laut Nasional.

Dasar Hukum[sunting | sunting sumber]

  • Instruksi Presiden (Inpres) No.10 Tahun 2011 tentang penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam dan lahan gambut
  • Undang Undang no. 4 tahun 2011 tentang Informasi Geospasial
  • Peraturan Presiden no. 94 tahun 2011 tentang Badan Informasi Geospasial
  • Peraturan Pemerintah no. 8 tahun 2013 tentang Ketelitian Peta Tata Ruang
  • Peraturan Presiden no. 27 tahun 2014 tentang Jaringan Informasi Geospasial Nasional
  • Peraturan Presiden no. 9 tahun 2016 tentang tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta (KSP) pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000

Lihat Pula[sunting | sunting sumber]

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]