Hak asasi manusia dan perubahan iklim

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Hak asasi manusia dan perubahan iklim merupakan suatu konsep kerja legal yang mempelajari dan menganalisis dampak perubahan iklim terhadap hak asasi manusia. Konsep kerja ini melibatkan organisasi pemerintah maupun non-pemerintah yang berskala nasional maupun internasional dengan tujuan memandu kebijakan-kebijakan terkait hak asasi manusia dan perubahan iklim. Perubahan iklim akan berpengaruh pada perlindungan hak asasi manusia seperti yang berkaitan dengan kesehatan dan kehidupan yaitu hak untuk mendapatkan makanan, air, dan tempat tinggal. Perubahan iklim juga akan berdampak pada hak-hak yang berkaitan dengan mata pencaharian dan budaya yaitu migrasi dan transmigrasi, serta keselamatan dan keamanan pribadi saat terjadinya konflik.[1]

Perubahan iklim sangat berpengaruh pada kehidupan dan kesehatan perorangan maupun kelompok di seluruh dunia. Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) meneliti dan memprediksi bahwa perubahan iklim dapat mempengaruhi kehidupan jutaan orang, ekosistem, sumber daya alam, dan infrastruktur fisik. Selain itu perubahan iklim juga dapat menyebabkan kekeringan, penurunan ekosistem, dan cadangan makanan di dunia. Dampak buruk tersebut akan berbenturan dengan perlindungan hak asasi manusia bagi milyaran penduduk bumi.[2]

Deklarasi[sunting | sunting sumber]

Deklarasi hak asasi manusia dan perubahan iklim diadakan oleh cendekiawan Global Network for the Study of Human Rights and the Environment (GNHRE) pada tahun 2015-2016. GNHRE merupakan sebuah organisasi yang fokus meneliti permasalahan hak asasi manusia dan perubahan iklim. Deklarasi ini membahas tentang filosofi, legalitas, sejarah, dan aturan umum mengenai konsep kerja hak asasi manusia dan perubahan iklim. Deklarasi GNHRE membahas pentingnya hak asasi manusia sebagai gagasan meta-etik yang kuat dengan daya tarik internasional yang luas untuk pengembangan kebijakan tentang adaptasi, mitigasi, kerugian dan kerusakan, dan keadilan iklim.[3]

Pada Oktober 2015 menjelang diadakannya COP 21 (Conference of Parties), pertemuan tahunan PBB yang membahas perubahan iklim di Paris, 13 anggota GNHRE mengembangkan Draf Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Perubahan Iklim. Proses penyusunannya selesai dalam tiga minggu dan dirilis untuk mengetahui respons masyarakat, dua minggu sebelum dimulainya COP 21. Melalui rilis media, materi pemasaran dan unggahan yang dikeluarkan melalui media sosial, jaringan profesional dan pribadi, dan situs web GNHRE, orang-orang dari seluruh dunia diundang untuk memberikan tanggapan mereka terhadap konsep kerja tersebut. Draf Deklarasi diterjemahkan ke dalam delapan bahasa agar mudah dipahami oleh masyarakat. Deklarasi ini dikembangkan dengan tujuan utama untuk menempatkan hak asasi manusia di jantung kebijakan dan kegiatan untuk memerangi pemanasan antropogeni.[3]

Selama proses penyusunan kerangka kerja, GNHRE mencari dukungan dan tanggapan dari komunitas global. Pencarian dukungan tersebut berakhir pada 19 Februari 2016. Secara khusus, para cendekiawan yang terlibat meminta masukan dari masyarakat adat. Sifat terbuka dari pendekatan yang diadopsi memberikan ruang epistemik bagi banyak orang dengan berbagai latar belakang budaya sebagai bahan pertimbangan laporan akhir.[3]

Hak-hak asasi manusia yang terkena dampak perubahan iklim[sunting | sunting sumber]

Hak atas kesehatan[sunting | sunting sumber]

Kondisi lingkungan yang baik seperti ketersediaan udara dan air yang bersih, makanan yang sehat dan bergizi, serta kelayakan sanitasi merupakan komponen pendukung terciptanya kesehatan bagi masyarakat. Di lain sisi, lingkungan yang kotor dan tercemar akan berpengaruh signifikan terhadap kesehatan.[4]

Terwujudnya hak atas kesehatan sesuai standar kesehatan yang baik dilindungi oleh konstitusi nasional, dan secara luas dilindungi dalam instrumen internasional maupun daerah. Hal demikian sesuai yang tertuang dalam International Covenent on Economic Socio and Cultural Rights (ICESCR) (1966) yaitu, "hak atas standar kesehatan fisik dan mental tertinggi yang dapat dicapai".[4]

Kesehatan secara luas dilindungi dalam instrumen internasional dan regional, baik itu lingkup internasional maupun daerah. Hal demikian sesuai yang termuat dalam pasal 12 International Covenant on Economic Socio and Cultural Rights (ICESCR) (1996), yaitu "hak atas standar kesehatan fisik dan mental tertinggi yang dapat dicapai".

Krisis air merupakan dampak dari perubahan iklim

Hak atas air[sunting | sunting sumber]

Perubahan iklim akan berdampak ketersediaan sumber daya air tanah dan permukaan di sebagian besar daerah subtropis kering.

sehingga mengintensifkan persaingan air di antara pertanian, ekosistem, pemukiman, industri, dan produksi energi. Perubahan iklim juga akan memperparah kekeringan di wilayah yang saat ini kering. Faktor penyebab berkurangnya sumber daya air yaitu: berkurangnya curah hujan, berkurangnya tumpukan salju, yang mengakibatkan berkurangnya pencairan salju yang memasok sungai, suhu yang lebih tinggi, yang meningkatkan penguapan dari air permukaan dan tanah, kenaikan air laut yang mengakibatkan genangan air asin sehingga menurunkan kualitas air tawar. Penurunan kualitas air tawar dapat menyebabkan degradasi pasokan air bagi manusia untuk konsumsi, pertanian, dan penggunaan lainnya.[5]

Hak atas makanan[sunting | sunting sumber]

Hak atas makanan merupakan salah satu hak yang terkena dampak perubahan iklim

Pengaruh perubahan iklim terhadap produksi tanaman dan pangan sudah terjadi di beberapa wilayah di dunia contohnya di wilayah lintang tinggi, seperti Cina bagian timur laut dan Inggris, telah mengalami sedikit peningkatan produktivitas sebagai akibat dari tren pemanasan global. Di lain sisi, perubahan suhu dan curah hujan juga berdampak negatif terhadap produksi gandum dan jagung di banyak daerah. Perubahan iklim juga berdampak buruk pada produktivitas perikanan.Dalam jangka panjang, perubahan iklim juga berdampak buruk pada produksi bahan pangan utama seperti padi, gandum dan jagung di daerah tropis dan beriklim sedang. Hal ini disebabkan oleh perubahan iklim dalam skenario pemanasan 2 °C.[5]

Hak atas kehidupan[sunting | sunting sumber]

Dalam deklarasi hak asasi manusia disebutkan bahwa, "setiap orang memiliki hak untuk hidup, merdeka, dan mendapat keamanan pribadi". Setiap bangsa berkomitmen untuk menghargai, melindungi, mempromosikan, dan memenuhi hak atas kehidupan. Negara juga berperan dalam upaya-upaya pencegahan hilangnya kehidupan.[6]

Perubahan iklim dapat mengancam kehidupan manusia seperti yang terjadi di Filipina. Badai Yolanda dan Haiyan menyisakan kerusakan bahkan hilangnya nyawa manusia. Badai ini merupakan akibat dari perubahan cuaca dan iklim yang ektrem. Perubahan iklim secara tidak langsung mengancam kehidupan umat manusia melalui kekeringan yang panjang, peningkatan suhu, dan penyebaran vektor penyakit lainnya.[6]

Hak atas keamanan[sunting | sunting sumber]

Dampak perubahan iklim akan meningkatkan kerentanan masyarakat terhadap kemiskinan dan menghambat potensi pengembangan kelompok tertentu baik secara fisik, emosional, dan intelektual. Masyarakat yang hak-haknya kurang terlindungi juga umumnya kurang siap untuk beradaptasi dengan dampak perubahan iklim sehingga akan berdampak pada keamanan dan keberlangsungan hidup mereka.[7]

Hak masyarakat adat[sunting | sunting sumber]

Masyarakat adat merupakan sekelompok orang yang hidupnya bergantung pada alam dengan demikian perubahan iklim akan memengaruhi keberlangsungan hidup mereka. Dampak ini akan memengaruhi mereka secara unik karena ketergantungan yang besar terhadap sumber daya tanah. Contohnya suku Aborigin utara akan menanggung beban perubahan iklim dan akan menghadapi risiko kesehatan yang serius dari malaria, demam berdarah, dan tekanan panas, serta hilangnya sumber makanan akibat banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan yang lebih hebat.[7]

Dampak perubahan iklim pada kelompok rentan[sunting | sunting sumber]

Perubahan iklim akan lebih mengancam hak asasi manusia bagi kelompok-kelompok tertentu yang lebih rentan contohnya etnis yang tinggal di wilayah dengan emisi gas berbahaya yang tinggi, perempuan yang tidak berdaya untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim, anak-anak yang terganggu tumbuh kembangnya.

Etnis dan kelas tertentu[sunting | sunting sumber]

Kelompok etnis tertentu yang tinggal di wilayah penambangan bahan bakar fosil akan mendapat efek buruk dari perubahan iklim. Contohnya di Amerika Utara, sebagian besar komunitas kulit berwarna yang lebih miskin terpaksa menghirup udara beracun karena lingkungan mereka terletak di dekat pembangkit listrik dan kilang minyak. Mereka mengalami tingkat penyakit pernapasan dan kanker yang jauh lebih tinggi, dan orang Afrika-Amerika tiga kali lebih mungkin meninggal karena polusi udara daripada populasi AS secara keseluruhan.[8]

Perempuan[sunting | sunting sumber]

Perempuan merupakan kelompok yang rentan dalam menghadapi tantangan perubahan iklim karena mereka kurang mampu untuk melindungi diri dan akan lebih sulit untuk pulih. Perempuan-perempuan yang tinggal di daerah pedesaan di negara berkembang sangat bergantung pada sumber daya alam lokal untuk mata pencaharian mereka, karena mereka memiliki tanggung jawab untuk mendapatkan air bersih, makanan serta kayu untuk memasak. Dampak perubahan iklim, termasuk kekeringan, curah hujan yang tidak menentu, dan penggundulan hutan, mempersulit mereka untuk bertahan hidup. Dibandingkan dengan laki-laki di negara-negara miskin, perempuan menghadapi kerugian historis, yang meliputi akses terbatas ke pengambilan keputusan dan aset ekonomi yang menambah tantangan perubahan iklim.[9]

Anak-anak[sunting | sunting sumber]

Generasi di masa depan akan menerima dampak dari perubahan iklim dan mengancam hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan. Hal ini akan lebih buruk lagi jika pemerintah dan elemen masyarakat saat ini tidak melakukan pencegahan dini terhadap perubahan iklim. Dampak dari perubahan iklim yang memengaruhi sanitasi, ketersediaan air bersih, perumahan yang layak, dan kesehatan akan sangat berbahaya bagi perkembangan dan pertumbuhan anak-anak baik secara fisik maupun mental.[8]

Peranan negara[sunting | sunting sumber]

Negara memiliki peranan penting dalam mengatasi isu perubahan iklim dan hak asasi manusia. Negara perlu melakukan tindakan contohnya mengambil langkah-langkah untuk mengurangi emisi gas efek rumah kaca untuk melindungi hak-hak asasi manusia warganya. Selain itu, negara juga memiliki peranan aktif untuk mendorong organisasi dunia guna melaksanakan pengurangan emisi industri di negara-negara lain, terutama negara dengan emisi gas yang tinggi.[10]

Peranan pemerintah dalam menangani perubahan iklim dan hak asasi manusia terbagi menjadi dua konteks yaitu kewajiban prosedural dan kewajiban substantif.

Kewajiban prosedural[sunting | sunting sumber]

Hukum yang menaungi hak asasi manusia membebankan berbagai kewajiban prosedural kepada pemerintah sehubungan dengan lingkungan. Kewajiban prosedural tersebut meliputi hal-hal berikut:[5]

1. Memastikan akses terhadap Informasi dan melakukan penilaian lingkungan

2. Partisipasi publik dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan lingkungan

3. Akses ke pemulihan administratif, yudisial, dan lainnya.

Kewajiban Substantif[sunting | sunting sumber]

Dampak buruk dari perubahan iklim jelas memenuhi syarat sebagai “kerusakan lingkungan” yang dapat mengganggu perlindungan hak asasi manusia. Dengan demikian, negara harus memberlakukan kerangka hukum dan kelembagaan untuk melindungi dan menanggapi hal-hal buruk terkait hak asasi manusia dan perubahan iklim. Secara lebih spesifik, setidaknya ada lima jenis kewajiban yang mungkin muncul dalam konteks ini: (1) Negara memberlakukan kerangka kerja untuk melindungi orang dari dampak perubahan iklim.[2]

(2) kewajiban mitigasi domestik, yang mewajibkan negara untuk mengatur sumber emisi efek rumah kaca

(3) Negara berpartisipasi dalam negosiasi internasional untuk iklim global yang efektif

(4)Negara mengurangi dampak kegiatan mereka terhadap hak asasi manusia di luar yurisdiksi mereka

(5)Negara memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa mitigasi dan kegiatan adaptasi tidak dengan sendirinya berkontribusi pada pelanggaran hak asasi manusia

Prinsip kerangka kerja[sunting | sunting sumber]

Dalam mengahadapi permasalahan hak asasi manusia dan perubahan iklim, pemerintah memiliki peranan untuk menerapkan prinsip-prinsip kerja yang telah disiapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Laporan mengenai kerangka kerja tersebut diserahkan kepada Dewan Hak Asasi Manusia pada maret 2018. Prinsip-prinsip yang tertulis menetapkan kewajiban dasar negara berdasarkan hukum hak asasi manusia yang meliputi hak untuk mendapat lingkungan yang aman, kesehatan, air bersih, dan keberlanjutan energi. Berikut adalah prinsip-prinsipnya.[11]

  1. Negara harus menjamin lingkungan yang aman, bersih, sehat dan berkelanjutan untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia.
  2. Negara wajib melarang keras aksi diskriminasi dan memastikan perlindungan yang setara dan efektif terhadap diskriminasi yang berhubungan dengan hak-hak untuk mendapatkan lingkungan yang aman, bersih, sehat, dan berkelanjutan.
  3. Negara harus menyediakan lingkungan yang aman bagi individu, kelompok atau pejuang hak asasi manusia. Lingkungan yang bebas dari ancaman, pelecehan, intimidasi, dan kekerasan.
  4. Negara memiliki kewaajiban untuk menghormati dan melindungi hak atas kebebasan berekspresi, berserikat, dan majelis damai yang berhubungan dengan lingkungan hidup.
  5. Negara harus memfasilitasi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan mengenai masalah lingkungan.
  6. Negara harus menyiapkan akses publik untuk mendapatkan informasi yang tepat, efektif, dan tepat waktu.
  7. Pemerintah membuat aturan yang ketat tentang dampak proyek dan suatu kebijakan terhadap lingkungan dan hak asasi manusia.
  8. Negara harus melibatkan suara masyarakat untuk mempertimbangkan suatu keputusan.
  9. Negara wajib menyediakan akses pemulihan untuk pelanggaran-pelanggaran yang melibatkan lingkungan dan hak asasi manusia.
  10. Negara harus menetapkan dan memelihara standar lingkungan yang substantif, non-diskriminatif, non-retrogesif, dan memberi penghormatan tinggi terhadap hak asasi manusia.
  11. Negara harus memastikan penegakan yang efektif dari standar lingkungan bagi mereka yang terlibat, baik swasta maupun pemerintah.
  12. Negara-negara harus bekerja sama untuk membuat kerangka kerja internasional guna mencegah, mengurangi, dan memelihara lingkungan lintas global yang mengganggu pemenuhan hak asasi manusia.
  13. Negara harus mengambil langkah-langkah khusus untuk melindungi hak-hak kelompok rentan yang memiliki risiko tinggi terkena dampak perubahan iklim.
  14. Negara harus memastikan dan memenuhi hak-hak masyarakat adat dan sejenisnya.
  15. Negara harus menjunjung pemenuhan hak asasi manusia dalam tindakan mengatasi permasalahan lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan.

Penanganan[sunting | sunting sumber]

Berikut adalah upaya penanganan yang harus dilakukan untuk menanggapi isu hak asasi manusia dan perubahan iklim.

Mitigasi[sunting | sunting sumber]

Pemerintah terutama lembaga yang terkait menanggapi perubahan iklim dengan memperkenalkan langkah-langkah untuk menurunkan tingkat percepatan perubahan iklim misalnya dengan mengurangi emisi gas rumah kaca.[7]

Adaptasi[sunting | sunting sumber]

Perubahan iklim akan terus berlanjut sekali pun pemerintah telah melakukan mitigasi. Langkah selanjutnya yaitu melakukan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim yang terjadi. Masyarakat diajak aktif untuk memberlakukan gaya hidup baru yang berdampingan dengan perubahan iklim yaitu dengan cara menerapkan gaya hidup ramah lingkungan dari lingkup rumah tangga untuk mengurangi dampak buruk perubahan iklim pada hak asasi manusia. Selain itu, pemerintah juga melakukan tindakan untuk mengurangi risiko dan membatasi kerusakan yang disebabkan oleh perubahan iklim.[7]

Relokasi[sunting | sunting sumber]

Relokasi atau pemindahan masyarakat yang terdampak perubahan iklim perlu dilakukan jika terjadi situasi darurat. Ada sebagian komunitas di seluruh dunia yang sudah tergusur oleh perubahan iklim. Oleh karena itu, beberapa kebijakan migrasi perlu disusun dan direncanakan oleh negara.[7]

Adaptasi dan mitigasi dapat dilakukan dengan cara-cara berikut:[12]

  • Adaptasi dalam bidang pertanian seperti melakukan perubahan pola tanam dan pengenalan jenis tanaman dan hewan yang lebih tangguh terhadap perubahan iklim.
  • Beralih ke sistem alternatif yang lebih inovatif misalnya melakukan pertanian organik yang produktif dan mengurangi pelepasan gas metana.
  • Mengurangi dampak dari penggundulan dan degradasi hutan.
  • Persiapan dalam menghadapi bencana dengan cara mempersiapkan infrastruktur, ketersediaan sistem penyelamatan, peningkatan sistem peringatan dini dan sumber daya alam seperti air bersih dan makanan.
  • Mempromosikan sistem energi berkelanjutan, hal demikian dapat memitigasi penyebab perubahan iklim contohnya penggunaan biogas dari pupuk kandang memiliki dampak positif bagi wanita.
  • Menggunakan energi terbaharukan untuk penerangan yang menggunakan panel surya, angin, dan air dalam skala kecil.
  • Mengupayakan pasokan air, sanitasi, dan layanan kesehatan yang berkelanjutan.
  • Penyediaan akses informasi yang mudah terutama bagi mereka yang kesulitan dan tinggal di wilayah pedalaman.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Humphreys, Stephen; Robinson, Mary (2010). Human Rights and Climate Change (dalam bahasa Inggris). Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 1. ISBN 978-0-521-76276-2. 
  2. ^ a b "Climate Change and Humn Rights" (PDF). unep.org. Desember 2015. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-05-29. Diakses tanggal 2021-06-26. 
  3. ^ a b c Davies, Kirsten; Adelman, Sam; Grear, Anna; Iorns Magallanes, Catherine; Kerns, Tom; Rajan, Ravi (2017-09-01). "The Declaration on Human Rights and Climate Change: a new legal tool for global policy change". Journal of Human Rights and the Environment. 8: 217–253. doi:10.4337/jhre.2017.02.03. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-02-18. Diakses tanggal 2021-06-22. 
  4. ^ a b Lewis, Bridget (2018-08-21). Environmental Human Rights and Climate Change: Current Status and Future Prospects (dalam bahasa Inggris). Berlin: Springer. hlm. 18. ISBN 978-981-13-1960-0. 
  5. ^ a b c Boston, 677 Huntington Avenue; Ma 02115 +1495‑1000 (2014-07-01). "Advancing Climate Justice and the Right to Health Through Procedural Rights". Health and Human Rights Journal (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-02-09. Diakses tanggal 2021-07-05. 
  6. ^ a b Herausgeber., Brown, Gordon, 1951-. The Universal Declaration of Human Rights in the 21st century : a living document in a changing world ; a report by the Global Citizenship Commission. ISBN 978-1-78374-218-9. OCLC 992516402. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-13. Diakses tanggal 2021-07-05. 
  7. ^ a b c d e "Climate Change and Human Rights | Australian Human Rights Commission". humanrights.gov.au. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-25. Diakses tanggal 2021-07-29. 
  8. ^ a b "Climate Change: the biggest human rights violation in history?". www.amnesty.org (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-27. Diakses tanggal 2021-07-29. 
  9. ^ "WomenWatch: Women, Gender Equality and Climate Change". www.un.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-26. Diakses tanggal 2021-07-29. 
  10. ^ Knox, John H. (2009-09-30). "Climate Change and Human Rights Law" (dalam bahasa Inggris). Rochester, NY. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-13. Diakses tanggal 2021-07-05. 
  11. ^ https://repositorio.cepal.org › ...PDF Climate change and human rights - Repositorio CEPAL
  12. ^ BAPPENAS (2012). Policy Paper on Gender Mainstreaming in Climate Change Addaptation (PDF). Jakarta: BAPPENAS. hlm. 34. ISBN 9789793764818. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2021-07-30. Diakses tanggal 2021-07-30.