Geguritan Sudhamala

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Geguritan Sudhamala
Disebut pulaᬕᬕᬸᬭᬶᬢᬦ᭄‌ᬰᬸᬤ᭄ᬥᬫᬵᬮ
Daerah asalPetak
Bahasa(-bahasa)Kawi
Juru(-juru) tulisCokorda Gede Ngurah
Ukuran35 dan 40 cm x 3,4 dan 3,5 cm
FormatGeguritan
AksaraAksara Bali
Masuk Koleksi padaPerpustakaan Kantor Dokumentasi Budaya Bali
Salah satu latar budaya Bali yang terkandung dalam karya sastra Bali

Geguritan Sudhamala merupakan salah satu ciptaan sastra tradisional Bali buah karya dari Cokorda Gede Ngurah dari Gianyar.[1] Geguritan Sudhamala merupakan karya terakhir yang sekaligus menyiratkan kepergian Cokorda Gede Ngurah.[1] Geguritan Sudhamala membahas tiga cara kematian yaitu hembusan nafas terahkir lewat mulut atau menggambarkan orang yang banyak dosa, hembusan nafas lewat mata atau menggambarkan orang yang sedikit berbuat dosa, dan hembusan nafas lewat ubun-ubun atau menggambarkan orang yang moksa.[1]

Sinopsis Geguritan Sudhamala[sunting | sunting sumber]

Dewi Uma dalam wujud sejenis mahluk jahat dengan memakai nama Dewi Durga.[1] Dewi Durga ditempatkan di pekuburan Gandamayu karena ia terkena kutukan akibat perbuatannya main serong.[1] Ia harus menebus dosanya dan pada akhir tahun kedua belas ia akan dibebaskan oleh Dewa Siwa yang merasuki Sahadewa, saudara bungsu kelima pandawa itu.[1] Dua penghuni surga lainnya yaitu Citrasena dan Citranggada sedang disiksa karena sikapnya yang kurang hormat terhadap Dewa yang sama dan dikutuk menjadi Kalantaka dan Kalanjaya, dua mahluk jahat.[1] Atas petunjuk Dewi Durga, kedua mahluk jahat itu menawarkan jasanya kepada para Kurawa.[1]

Dewi Kunti, ibu para Pandawa yang cemas mengenai nasib anak-anaknya yang sedang memerangi musuh-musuh yang demikian kuat itu, meminta kepada Dewi Durga untuk membunuh Kalantaka dan Kalanjaya.[1] Dewi Durga bersedia mengabulkan permintaannya asalkan Dewi Kunti menyerahkan Sahadewa kepadanya.[1] Sampai dua kali Dewi Kunti menolak permintaan tersebut tetapi berkat seorang abdi Dewi Durga yaitu Ni Kalika juga seorang yang jahat.[1] Ni Kalika masuk ke dalam diri Dewi Kunti dan dalam keadaan itu si abdi berhasil membawa Sahadewa ke kuburan Gandamayu.[1] Di sana ia diikat pada sebatang pohon.[1]

Bermacam-macam mahluk jahat berusaha menakut-nakuti Sahadewa.[1] Akhirnya, Dewi Durga tampak dalam wujudnya yang menggemparkan lalu memberi perintah kepada Sahadewa untuk mengusir setan dari tubuhnya.[1] Sahadewa mengatakan bahwa ia tidak mempunyai kesaktian untuk melakukan hal itu tetapi sang Dewi mendesak dan menjadi marah sekali sehingga hampir saja ia membunuh Sahadewa.[1] Bhatara Guru yang menerima kabar dari Narada segera datang untuk membantu Sahadewa.[1] Ia memasuki tubuh Sahadewa sehingga dia dapat melakukan upacara pengusiran roh jahat dengan memusatkan segala tenaga batinnya serta menggunakan mantra yang tepat diiringi persembahan bunga dan percikan air suci.[1]

Karena pengusiran itu, Dewi Uma mendapatkan kembali kecantikan dan kecermelangannya yang dahulu.[1] Ia mengubah nama penebusnya menjadikan Sudhamala yang membersihkan segala noda, dan memberinya senjata untuk membunuh musuhnya serta mengusulkan untuk pergi ke pertapaan Prangalas.[1] Di sana, ia akan menyembuhkan pertapa Tamapetra dari kebutaannya dan menikahi kedua putrinya.[1] Ni Kalika, abdi Dewi Durga yang juga kemasukan roh jahat, mohon anugerah yang sama tetap permohonan ditolak karena masih banyak dosa yang ada pada dirinya.[1]

Sudhamala mengikuti petunjuk Dewi Uma menuju Prangalas.[1] Di sana ia membebaskan Tambapetra dari kebutaannya dengan suatu upacara penyucian.[1] Atas jasanya, sudhamala diberi kedua putrinya untuk diperistri yaitu Padapa dan Soka.[1] Sementara itu, Nakula tiba di pekuburan Gandamanyu untuk mengikuti saudaranya yang diperkirakan telah meninggal.[1] Di sana Sudhamala memberikan Soka yang lebih muda untuk dijadikan istri Nakula.[1] Mereka pulang bersama untuk membantu saudara-saudaranya yang terlibat pertempuran seru melawan pasukan mahluk jahat Kalantaka dan Kalanjaya. Kedua mahluk itu dapat dibunuh oleh Sudhamala.[1] Mereka memperoleh kembali wujudnya semula sebagai mahluk surgawi dan mengucapkan terima kasih kepada Sudhamala yang telah membebaskan kutukan itu.[2][3][4][5]

Rujukan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab I Made Sudiarga, I Made Subandia, I Ketut Karyawan, Ni Putu Asmarini (2000). Nilai Budaya dalam Geguritan Sudhamala. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 1-35. 
  2. ^ "Banjaran Pandawa 7 Kidung Sudamala". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-09-24. Diakses tanggal 15 Mei 2014.  line feed character di |title= pada posisi 19 (bantuan)
  3. ^ "Banjaran Cerita Pandhawa 45 Tokoh Nakula dan Sadewa". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-09-24. Diakses tanggal 15 Mei 2014.  line feed character di |title= pada posisi 28 (bantuan)
  4. ^ "Kisah Sadewa dan Kepatuhan Terhadap Orang Tua". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-02-05. Diakses tanggal 15 Mei 2014. 
  5. ^ "Wayang Peteng, Wayang Sapuh Leger". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-03-28. Diakses tanggal 15 Mei 2014.