Ekowisata mangrove

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Hutan Mangrove Di Kab.Demak Prop.Jateng
Hutan Mangrove Di Kab.Demak Prop.Jateng

Mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh di antara garis pasang surut, dan dapat disebut hutan pasang. Luas hutan mangrove hanya 2% permukaan bumi dan Indonesia merupakan negara yang memiliki ekosistem mangrove terluas di dunia.[1] Hutan mangrove di Indonesia seringkali mengalami kerusakan [2] kerusakan mangrove yang meningkat setiap tahun berkaitan dengan keberadaan mangrove yang tidak dipandang sebagai aset yang penting. Hal ini dapat terjadi karena mangrove diperuntukkan bagi berbagai macam kegiatan pembangunan. Mangrove merupakan aset penting karena memiliki berbagai macam peranan, salah satunya dapat dijadikan sebagai lokasi ekowisata.

Ekowisata adalah wisata berbasis pada alam dengan aspek pendidikan dan interpretasi dengan pengelolaan kelestarian ekologis terhadap lingkungan alami dan budaya masyarakat.[3] Ekowisata mangrove merupakan kegiatan pariwisata yang memberikan edukasi kepada wisatawan untuk menjaga kelestarian alam serta budaya masyarakat untuk dijadikan daya tarik dalam menjaga keberlangsungan hidup dan ekosistem mangrove yang memiliki banyak potensi dan manfaat dengan keindahan alam dan lingkungannya.[4] Ekosistem mangrove mampu menjadi sistem perlindungan pantai secara alami termasuk mengurangi resiko gelombang pasang bahkan tsunami dan tempat perlindungan satwa, pemanfaatan hutan mangrove sebagai objek ekowisata dapat membantu melestarikan hutan mangrove di Indonesia baik untuk sekarang maupun untuk generasi selanjutnya.[5] Selain itu ekowisata mangrove juga dapat memberikan manfaat kepada masyarakat sekitar melalui keterlibatannya dalam mengelola ekowisata yang dapat meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar.[6]

Mangrove sangat potensial bagi pengembangan ekowisata karena kondisi mangrove yang sangat unik serta model wilayah yang dapat dikembangkan sebagai sarana wisata dengan tetap menjaga keasrian hutan serta organisme yang berada pada kawasan mangrove.[7] Potensi jasa lingkungan hutan mangrove sebagai destinasi ekowisata harus dioptimalkan sebagai alternatif pengelolaan hutan atau ekowisata yang lebih ramah lingkungan.[8] Pengembangan wisata mangrove memerlukan kesesuaian sumber daya dan lingkungan yang sesuai dengan yang disyaratkan.[9] Kesesuaian karakteristik sumber daya dan lingkungan untuk pengembangan wisata dilihat dari aspek keindahan alam, keamanan dan keterlindungan kawasan, keanekaragaman biota, keunikan sumber daya, dan aksesibilitas.

Potensi Kawasan Mangrove Menjadi Ekowisata[sunting | sunting sumber]

Komunitas mangrove membentuk suatu ekosistem hutan mangrove yang memiliki berbagai potensi kekayaan sumber daya hayati.[10] Selain memiliki potensi kekayaan sumber daya hayati, ekosistem hutan mangrove juga memiliki potensi yang lain yaitu sebagai penyedia jasa lingkungan yang sangat kaya.[11] Kekayaan hayati dan jasa lingkungan yang dimiliki oleh ekosistem hutan mangrove ini terdiri atas beragam jenis flora dan fauna yang ada di dalamnya serta bentang alam yang menyajikan keindahan pemandangan ekosistem hutan mangrove. Potensi baik sumberdaya hayati maupun hasil olahan dari mangrove ini dapat menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk mengunjunginya.[12]

Potensi yang dimiliki oleh ekosistem hutan mangrove perlu dikelola dengan baik sebagai bentuk dari kegiatan konservasi sumberdaya alam dan sumber daya perairan pesisir. Pengelolaan ekosistem hutan mangrove merupakan hal yang penting yang untuk dilakukan agar lingkungan di kawasan pesisir tetap lestari.[13] Pengelolaan yang dapat dilakukan yaitu dengan menerapkan kegiatan ekowisata yang melibatkan unsur pemahaman dan pendidikan terhadap usaha-usaha konservasi. Ekowisata merupakan suatu pilihan yang terbaik karena dapat menunjukan potensi dari ekosistem hutan mangrove dengan keunikan sumber daya alamnya kepada masyarakat agar mereka tertarik untuk berkunjung.[14]

Pembangunan ekowisata mangrove memerlukan perencanaan yang baik dengan memperhatikan berbagai aspek penting seperti aspek ekologi, sosial-ekonomi, dan pendidikan. Aspek ekologi yang dimaksudkan mengarah kepada fungsi mangrove dalam menjaga kestabilan garis pantai serta sebagai pelindung dari hempasan gelombang dan arus laut.[15] Aspek sosial-ekonomi dalam pembangunan ekowisata mangrove berupa pemanfaatan dari ekosistem hutan mangrove melalui kegiatan ekowisata dengan melibatkan warga sekitar agar dapat meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan mereka. Aspek pendidikan dalam pengembangan ekowisata mangrove berupa pelaksanaan program ekowisata mangrove yang dapat memberikan pemahaman serta pandangan baru kepada pengunjung terhadap pentingnya melakukan pelestarian ekosistem hutan mangrove.

Daya Tarik Ekowisata Mangrove[sunting | sunting sumber]

Ekowisata merupakan bentuk kegiatan wisata yang dilakukan dengan memanfaatkan lingkungan alam sekitar yang dikelola dengan pendekatan konservasi.[16] Pemberdayaan kawasan pesisir hutan mangrove untuk kegiatan ekowisata memiliki potensi menjadi kegiatan new tourism, wisatawan yang datang dapat melakukan kegiatan-kegiatan terdapat di dalam kawasan tersebut yang mengandung unsur pendidikan dan konservasi.[17] Daya tarik ekowisata mangrove memiliki keberagamannya masing-masing, sumber daya alam menjadi salah satu pesona daya tarik ekowisata yang terdapat pada kawasan mangrove. Kegiatan-kegiatan yang menjadi salah satu daya tarik ekowisata mangrove diantaranya:

Fotografi[sunting | sunting sumber]

Objek-objek yang terdapat di kawasan wisata mangrove dapat dijadikan sebagai objek fotografi seperti flora & fauna yang hidup dan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Pemandangan pagi dan sore hari pesisir juga menjadi objek yang menarik perhatian pengunjung sehingga menjadi spot menarik untuk mengabadikan foto.

Kegiatan bird watching[sunting | sunting sumber]

Kawasan mangrove atau hutan bakau menjadi salah satu habitat dari berbagai burung. Hutan bakau memiliki peran penting sebagai habitat dari berbagai macam jenis ikan, udang, kerang-kerang, dan lain sebagainya. Dikarenakan pada kawasan terdapat banyak sumber nutrien yang menjadi salah satu sumber penting makanan bagi banyak spesies khususnya jenis migratory seperti burung-burung pantai.[18]

Budaya masyarakat sekitar hutan bakau[sunting | sunting sumber]

Kebudayaan masyarakat sekitar pesisir mangrove menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang berkunjung. Masyarakat sekitar dapat mengolah limbah pohon bakau menjadi suatu kerajinan yang memiliki nilai jual. Pembuatan kerajinan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar pesisir merupakan salah satu keterampilan dalam mengelola limbah-limbah yang berasal dari tumbuhan mangrove. Wisatawan yang berkunjung juga dapat mempelajari dan membeli hasil kerajinan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar pesisir. Selain kerajinan, pengunjung juga dapat mempelajari budaya khas yang dilakukan oleh masyarakat.

Touring di kawasan mangrove[sunting | sunting sumber]

Kegiatan ini dilakukan dengan menelusuri kawasan-kawasan yang berada di sekitar mangrove dan melakukan kegiatan yang berhubungan tentang pendidikan lingkungan yang terdapat di kawasan mangrove yang akan didampingi serta dipandu oleh tour guide. Masyarakat diajak untuk bercocok tanam, mengenal flora dan fauna yang hidup dan tumbuh di kawasan mangrove, serta menikmati kuliner dari olahan berbahan dasar ikan atau biota laut lainnya.

Sarana dan prasarana termasuk faktor penting untuk upaya mendukung daya tarik ekowisata, dengan adanya sarana dan prasarana yang memadai pengunjung akan mendapatkan kepuasan serta kenyamanan. Sarana dan prasarana tersebut di antaranya:

Perahu[sunting | sunting sumber]

Perahu yang terdapat di kawasan pesisir mangrove merupakan salah satu fasilitas yang dapat digunakan oleh wisatawan yang berkunjung untuk menyelusuri kawasan hutan bakau.

Toko cendera mata[sunting | sunting sumber]

Toko cendera mata menjadi salah satu daya tarik wisatawan yang terdapat di kawasan mangrove. Cendera mata yang dijual merupakan hasil kerajinan oleh masyarakat sekitar pesisir mangrove. Tujuan dari adanya toko cendera mata ini untuk melibatkan masyarakat sekitar dalam pengelolaan mangrove serta membantu perekonomian masyarakat pesisir.

Papan interpretasi[sunting | sunting sumber]

Konten-konten yang ada pada papan interpretasi yang dibangun dalam kawasan mangrove mengandung informasi singkat yang membahas kawasan mangrove. Contohnya adalah papan pengenalan jenis tumbuhan mangrove serta gambar peta kawasan mangrove.

Ekowisata Mangrove di Indonesia[sunting | sunting sumber]

Kawasan mangrove Pantai Tanjung Bara Sanggata Kutai Timur memiliki potensi dalam pengembangan ekowisata yang bersifat eksklusif. Salah satu bentuk pengembangan ekowisata eksklusif mangrove dengan memanfaatkan nya sebagai objek ekowisata tanpa menurunkan mutu dari Objek Vital Nasional. Potensi terhadap ekowisata kawasan mangrove yang berdasarkan hasil analisis unsur daya tarik dan penunjang kegiatan yang memiliki nilai dengan klasifikasi tinggi yang sesuai dengan Objek Daya Tarik Wisata Alam (ODTWA).

Kawasan wisata mangrove yang menarik, indah, dan alami akan memberi efek nyaman kepada pengunjung, apalagi dengan fasilitas dan kondisi jalan yang baik. Hal tersebut memberikan kepuasan serta pengalaman bagi para pengunjung. Selain itu, adanya fasilitas pendukung juga ikut menunjang tingkat kenyamanan pengunjung yang disajikan dalam bentuk program, yaitu berupa pengamatan burung, satwa, menikmati keindahan dengan jembatan kayu, memancing, bersampan di antara mangrove, dan fotografi pada kawasan mangrove yang indah sebagai objek.[15]

Ekowisata mangrove di Indonesia dapat ditingkatkan dengan memperhatikan fasilitas dan sarana berdasarkan aspek konservasi, keselamatan, kenyamanan dan kepuasan pengunjung.[19] Penambahan fasilitas dan sarana pada kegiatan ekowisata seperti pada jembatan kayu, menara pandang, pondok informasi, papan interpretasi, areal persemaian, dan perahu kayu. Fasilitas dan sarana yang digunakan harus memiliki sifat alami dan tidak merusak kondisi ekosistem mangrove. Pengembangan dan penambahan fasilitas ini tentunya harus dikerjakan oleh tenaga-tenaga yang kompeten untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Standar kompetensi yang ditetapkan pengelola dalam pengembangan ekowisata seperti pengetahuan, keterampilan dan sikap. Kemudian untuk pelatihan dan pendidikan terhadap petugas dapat dilakukan bersama pemerintah, perguruan tinggi atau lembaga berkompeten terkait pelatihan untuk petugas, pekerja yang sudah diberikan pendidikan dan pelatihan akan memberikan nilai tambah seperti kepuasan pengunjung pada ekowisata kawasan mangrove.[15]

Pengembangan ekowisata dapat dilakukan melalui website ekowisata. Website tersebut menyediakan informasi yang berisi keindahan alam, kenyamanan, keunikan, dan kekhasan tanaman serta hewan endemik. Kegiatan pengembangan ekowisata dapat dilakukan dengan kerjasama antara pihak pengelola dan pemerintah Kabupaten Kutai Timur dalam upaya pengembangan ekowisata mangrove berbasis konservasi berkelanjutan. Kolaborasi Pemda dengan pihak pengelola dalam mempertahankan kualitas dan kebersihan ekowisata dengan tujuan perlindungan ekowisata mangrove, keterpaduan tata guna lahan, peningkatan koordinasi serta sosialisasi kepada pihak kelembagaan pariwisata, meningkatkan penelitian dan pengembangan keanekaragaman hayati, monitoring, dan evaluasi kegiatan ekowisata mangrove. Daya dukung kawasan dimaksudkan untuk membatasi pemanfaatan yang berlebihan dan mencegah kerusakan ekosistem[20]

Upaya Pelestarian Hutan Mangrove Melalui Ekowisata[sunting | sunting sumber]

Hutan mangrove mempunyai manfaat penting bagi kehidupan masyarakat, baik dari segi sosial maupun ekonomi. Banyak kegiatan yang dapat dilakukan oleh masyarakat, tergantung kemampuan dan kemauan yang kemudian mendorong kegiatan itu terjadi. Masyarakat memiliki peranan penting dalam keberlanjutan pelestarian ekosistem mangrove. Potensi yang dimiliki hutan mangrove bisa dikembangkan dan dikelola dengan baik melalui dukungan, niat serta respon dari masyarakat dalam kegiatan konservasi hutan mangrove tersebut.[21]

Cara masyarakat melestarikan hutan mangrove adalah dengan mengembangkan kegiatan pembibitan dan penanaman mangrove bersama. Kegiatan pembibitan tanaman mangrove dapat dilakukan oleh berbagai kalangan instansi sekolah, masyarakat, pengelola, ataupun pengunjung. Adapun tujuan penanaman mangrove adalah agar jumlah pohon mangrove tetap stabil, dapat menggantikan fungsi dari pohon mangrove yang mengalami kerusakan baik akibat aktivitas manusia maupun faktor alam. Disisi lain, kegiatan rehabilitasi lahan kosong areal mangrove yang rusak juga merupakan upaya dalam meningkatkan kesadaran masyarakat,[22] dimana penanaman bibit tanaman mangrove merupakan salah satu kegiatan yang dapat dilakukan dalam upaya pelestarian hutan mangrove agar manfaatnya dapat dirasakan juga oleh generasi berikutnya, sehingga peranan masyarakat sangat dibutuhkan dalam upaya pelestarian hutan mangrove.[23]

Pelestarian hutan mangrove tidak hanya semata-mata dilakukan oleh masyarakat, peranan pemerintah pun juga dibutuhkan disini.[24] Selain melakukan kegiatan penanaman kembali, penanaman kesadaran kepada masyarakat serta peningkatan motivasi dalam menjaga dan memanfaatkan mangrove secara berkelanjutan perlu dilakukan, baik itu dengan melakukan penyuluhan, mengajarkan dengan melakukan kegiatan secara langsung ataupun melalui bentuk-bentuk edukasi lainnya seperti poster, video, dan lain sebagainya. Peranan lain yang juga diperlukan disini adalah dengan memberikan surat izin usaha kepada masyarakat yang berdagang atau membuka usaha di sekitar, melakukan peningkatan pengetahuan dan penerapan kearifan lokal tentang konservasi, serta peningkatan pendapatan masyarakat pesisir hutan mangrove sehingga dapat menunjang perekonomian.

Dampak Ekowisata Mangrove terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat[sunting | sunting sumber]

Masyarakat lokal dan lingkungan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu kawasan ekowisata sehingga potensi dan partisipasi masyarakat perlu dikembangkan. Hal tersebut bertujuan untuk memperoleh manfaat serta diharapkan dapat mendorong partisipasi masyarakat dalam melestarikan lingkungan.[25] Suatu kegiatan dianggap ekowisata atau tidak dilihat partisipasi lokal beserta manfaatnya.[26] Konsep yang mendasari adalah pengurangan ketergantungan pada penggunaan sumber daya alam secara konsumtif melalui manfaat dari ekowisata. Dengan berpartisipasi dalam kegiatan ekowisata, masyarakat setempat dapat memperoleh penghasilan tambahan sekaligus menjaga keanekaragaman hayati.

Adanya ekowisata mangrove pasti akan mempengaruhi aspek sosial dan ekonomi masyarakat sekitar kawasan. Hal ini dapat menimbulkan dampak bagi masyarakat, baik dampak positif maupun dampak negatif. Dampak dari suatu kegiatan pembangunan pada aspek sosial ekonomi khususnya untuk negara berkembang meliputi beberapa komponen yang ditetapkan sebagai indikator sosial ekonomi, yaitu penyerapan tenaga kerja, berkembangnya struktur ekonomi, seperti timbulnya aktivitas perekonomian lain akibat proyek itu seperti toko, warung, restoran, transportasi dan lain-lain, peningkatan pendapatan masyarakat, kesehatan masyarakat, persepsi masyarakat, dan laju pertumbuhan penduduk, dan lain sebagainya.[27] Dampak positif dari ekowisata berdasarkan kacamata ekonomi antara lain, yaitu menciptakan kesempatan berusaha, menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan sekaligus mempercepat pemerataan pendapatan masyarakat, sebagai akibat multiplier effect yang terjadi dari pengeluaran wisatawan yang relatif cukup besar, meningkatkan penerimaan pajak pemerintah dan retribusi daerah, meningkatkan pendapatan nasional atau Gross Domestic Bruto (GDB), mendorong peningkatan investasi dari sektor industri pariwisata dan sektor ekonomi lainnya, dan memperkuat neraca pembayaran.

Keberadaan ekowisata hutan mangrove dapat merubah pola pikir masyarakat. Masyarakat mampu memanfaatkan peluang dan sumberdaya yang ada untuk memenuhi kebutuhan mereka. Adanya ekowisata hutan mangrove dapat membuka lapangan pekerjaan yang baru bagi masyarakat sehingga angka pengangguran semakin berkurang. Masyarakat dapat berinovasi memanfaatkan sumber daya yang ada untuk meningkatkan ekonomi daerah mereka, seperti membuat cendera mata, olahan makanan atau minuman, dan pelayanan jasa transportasi. Dampak negatif yang dapat ditimbulkan seperti semakin memburuknya kesenjangan pendapatan antarkelompok masyarakat, memburuknya ketimpangan antardaerah, hilangnya kontrol masyarakat lokal terhadap sumberdaya ekonomi.[28] Hal ini juga dapat meningkatkan angka kriminalitas di sekitar kawasan. Dampak positif dalam aspek sosial antara lain pembangunan budaya dan modernisasi, pertukaran sosial, perubahan sosial, peningkatan citra masyarakat lokal, peningkatan kesehatan masyarakat, peningkatan fasilitas sosial, pendidikan, pelestarian budaya, dan perubahan politik kearah yang lebih baik. Sedangkan yang termasuk ke dalam dampak negatif adalah kehancuran budaya lokal, ketidakstabilan sosial, konsumerisme, perubahan dalam hukum dan keteraturan sosial, komersialisasi hubungan antarmanusia, perubahan nilai-nilai tradisional, dan ketidakstabilan politik.[28]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ I, Majid; MHIA, Muhdar; F, Rohman; I, Syamsuri (2016). "Konservasi hutan mangrove di pesisir pantai Kota Ternate terintegrasi dengan kurikulum sekolah". Jurnal Bio Edukasi. 4 (2): 488–496. 
  2. ^ DWK, Baderan; R, Utina; Lapolo, N (2018). "Vegetation structure, species diversity, and mangrove zonation patterns in the Tanjung Panjang Nature Reserve Area, Gorontalo, Indonesia". International Journal of Applied Biology. 2 (2): 1–12. 
  3. ^ JT, Haryanto (2014). "Model pengembangan ekowisata dalam mendukung kemandirian ekonomi daerah studi kasus provinsi DIY". Kawistira. 4 (3): 271–286. 
  4. ^ Sholhan MA. 2020. Strategi pengembangan ekowisata mangrove Pesisir Pantai Kertomulyo Trangkil Pati [skripsi]. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
  5. ^ IP, Sari; D, Yoza; E, Sribudiani (2015). "Analisis kelayakan ekosistem mangrove sebagai objek ekowisata di Desa Teluk Pambang Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis". Jom Faperta. 2 (1): 1–10. 
  6. ^ INS, Arida (2017). Ekowisata: Pengembangan, Partisipasi Lokal, dan Tantangan Ekowisata. Bali: Cakra Press. 
  7. ^ R, Alfira (2014). Identifikasi Potensi dan Strategi Pengembangan Ekowisata Mangrove Pada Kawasan Suaka Margasatwa Mampie di Kecamatan Wonomulyo Kabupaten Polewali Mandar. Makassar: Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin. 
  8. ^ "Potensi pengembangan ekowisata mangrove di Kampung Tanjung Batu, Kecamatan Pulau Derawan, Kabupaten Berau". Jurnal Manusia dan Lingkungan. 24 (1): 23–30. 2017. 
  9. ^ I, Rini; AM, Setyobudi (2018). "Kajian Kesesuaian Daya Dukung dan Aktivitas Ekowisata di Kawasan Mangrove Lantebung Kota Makassar". Jurnal Pariwisata. 5 (1): 1–10. 
  10. ^ NTM, Kariada; A, Irsadi (2014). "Peranan mangrove sebagai biofilter pencemaran air wilayah tambak bandeng Tapak, Semarang". Jurnal Manusia dan Lingkungan. 21 (2): 188–194. 
  11. ^ HH, Fahrian; SP, Putri; F, Muhammad (2015). "Potensi ekowisata di kawasan mangrove, Desa Mororejo, Kabupaten Kendal". Biosaintifika. 7 (2): 104–111. 
  12. ^ YI, Rahmila; MAR, Halim (2018). "Mangrove forest development determined for ecotourism Mangunharjo Village Semarang". E3S Web of Conference. 73 (04010): 1–5. 
  13. ^ B, Utomo; S, Budiastuti; C, Muryani (2017). "Strategi pengelolaan hutan mangrove di Desa Tanggul Tlare Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara". Jurnal Ilmu Lingkungan. 15 (2): 117–123. 
  14. ^ MK, Wardhani (2011). "Kawasan konservasi mangrove: suatu potensi ekowisata". Jurnal Kelautan. 4 (1): 60–76. 
  15. ^ a b c E, Karlina (2015). "Strategi pengembangan ekowisata mangrove di kawasan Pantai Tanjung Bara, Kutai Timur, Kalimantan Timur". Jurnal Penelitian dan Konservasi Alam. 12 (2): 191–208. 
  16. ^ Y, Kristiana (2019). Buku Ajar Studi Ekowisata. Sleman: Budi Utama. 
  17. ^ K, Umam; ST, Winanto (2015). "Strategi pengembangan ekowisata mangrove Wonorejo Surabaya". AGRARIS. 1 (1): 39–42. 
  18. ^ H, Sulistyowati (2009). "Biodiversitas mangrove di cagar alam Pulau Sempu". Jurnal Saintek. 8 (1): 59–63. 
  19. ^ MZ, Ayob; FM, Saman; Z, Hussin; K, Jusoff (2009). "Tourist's satisfaction in Kilim River mangrove forest ecotourism service". International Journal of Business and Management. 4 (7): 76–84. 
  20. ^ P, Nugraha; H, Indaro; AM, Helmi (2013). "Studi kesesuaian dan daya dukung kawasan untuk rekreasi pantai di Pantai Panjang Kota Bengkulu". Journal of Marine Research. 2 (2): 130–139. 
  21. ^ W, Putra (2014). "Kawasan ekowisata hutan mangrove di Desa Kuala Karang Kabupaten Kubu Raya". Jurnal Online Mahasiswa Arsitektur Universitas Tanjungpura. 2 (2): 41–55. 
  22. ^ R, Sugiarti (2020). "Upaya pelestarian hutan mangrove Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur untuk meningkatkan fungsi hutan mangrove". Journal of Science and Biology Education (BIOLOVA). 1 (1): 28–32. 
  23. ^ W, Setiawan; SP, Harianto; R, Qurniati (2017). "Ecotourism development to preserve mangrove conservation effort: case study in Mangasari Village, district of East Lampung, Indonesia". OCEAN LIFE. 1 (1): 14–19. 
  24. ^ AU, Lele (2017). "Pelestarian potensi ekowisata di kawasan hutan mangrove Desa Suwung Kauh Denpasar Selatan". Jurnal Ilmiah dwijenAGRO. 7 (1): 7–11. 
  25. ^ I, Nugroho (2011). Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan. Yogyakarta: Pustaka Belajar. 
  26. ^ DA, Friess (2017). "Ecotourism as a tool for mangrove conservation". Sumatra Journal of Disaster, Geography and Geography Education. 1 (1): 24–35. 
  27. ^ P, Andiny (2020). "Dampak pengembangan ekowisata hutan mangrove terhadap sosial dan ekonomi masyarakat di Desa Kuala Langsa, Aceh". Jurnal Samudra Ekonomi dan Bisnis. 11 (1): 43–52. 
  28. ^ a b IG, Pitana; PG, Gayatri (2005). Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta: Andi Offset.