Brahala

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Brahala
Dewa Hindu
Gambar Dewa Wisnu yang berubah menjadi Brahala
GolonganSatria

Brahala adalah sebutan bagi raksasa besar dan menakutkan, jelmaan titisan dewa Wisnu yang sedang triwikrama (beralih rupa) dalam beberapa mitologi Indonesia.[1] Dalam pendalangan, Brahala diceritakan sebagai raksasa sebesar gunung dengan seribu kepala dan seribu tangan, masing-masing memegang berbagai macam senjata.[2] Digambarkan pula, kedua matanya melotot menyeramkan. Brahala, di dalam bahasa Jawa merupakan kerata basa dari kata bubrah dan ala yang artinya rusak dan jelek.[2]

Cerita di Pewayangan[sunting | sunting sumber]

Di antara titisan Wisnu, Prabu Kresna dan Arjuna Sasrabahulah yang sering melakukan triwikrama.[3] Sebagian dalang Wayang Kulit Purwa, menyebut Brahala dengan sebutan Balasrewu, terutama jika yang melakukan triwikrama adalah Prabu Kresna. Sedangkan Puntadewa atau Yudhistira, bila sedang menjadi Brahala disebut Dewa Amral.[3] Pada deretan wayang (janturan), brahala dipasang paling belakang, di sebelah kiri dan kanan tokoh wayang lainnya.[3] Tokoh wayang ini merupakan bentuk jelmaan dari tokoh-tokoh yang dianggap suci dan dikeluarkan saat sang tokoh sedang triwikrama karena amarah yang memuncak.[4] Banyak kreasi para seniman wayang kulit untuk melukiskan ujud Brahala ini.[3] Semuanya menampilkan ujud yang besar dan menakutkan.[3]

Proses untuk menjadi Brahala[sunting | sunting sumber]

Proses untuk menjadi Brahala disebabkan oleh dua hal yang pertama adalah karena kemarahan besar yang disebut dengan triwikrama.[2] Tiwikrama yang kemudian mengantar Harjuna Sasrabahu menjadi Brahala terjadi dua kali, yang pertama ketika Prabu Harjuna Sasrabahu marah karena ditantang Sumantri Patihnya.[2]Kedua, saat Harjuna Sasrabahu berhadapan dengan Dasamuka raja Alengka.[2] Demikian pula Kresna, ia melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Harjuna Sasrabahu.[2] Dua kali Kresna triwikrama berubah menjadi Brahala. Pertama, ketika mencuri Dewi Rukmini dan yang ke dua ketika sebagai duta di Negara Hastinapura.[2] Ketika menjadi duta untuk menagih bumi Hastinapura yang menjadi haknya para Pandawa, Kresna sangat marah karena dipermainkan dan di ingkari oleh Duryudana, ia kemudian melakukukan triwikrama dan menjadi Brahala, mengamuk dan merobohkan beteng kedaton kraton Hastinapura, hingga menewaskan Destarastra dan Gendari.[2] Selain triwikrama, proses untuk menjadi brahala dapat terjadi karena niat untuk mengeluarkan kesaktiannya dengan mengetrapkan mantra sakti dibarengi tiga kali melangkahkan kaki yang disebut dengan triwikrama.[2] Tri artinya tiga sedangkan krama artinya patrap atau keadaan tubuh.[2]

Prabu Kresna menjadi Brahala[sunting | sunting sumber]

Prabu Kresna melakukannya ketika ia hendak melakukan persenggamaan dengan Dewi Rukmini.[3] Di kisah lain, diceritakan ia melakukannya ketika ia menjadi duta para Pandawa, merundingkan penyerahan kembali Kerajaan Amarta dan Separuh Astina dari para Kurawa.[3] Dalam lakon Kresna Gugah, ketika Kresna melakukan tapa tidur Ngraga Suksma, ia dalam keadaan triwikrama berubah menjadi Brahala.[5] Namun, ketika Kresna dalam keadaan marah besar dan membunuh Sisupala dalam lakon Sesaji Rajasuya, dia tidak melakukan triwikrama dan mampu menjadi Brahala.[3] Hal ini menyimpulkan bahwa untuk menjadi Brahala, Kresna tidak perlu marah, dan kalau marah tidak selalu menjadi Brahala.[3]

Prabu Arjuna Sasrabahu menjadi Brahala[sunting | sunting sumber]

Prabu Arjuna Sasrabahu menjadi berhala ketika ketika dia berhadapan dengan Bambang Sumantri ketika dalam keadaan marah, begitu pula ketika ia berperang melawan Prabu Dasamuka. Namun, ketika ia menjadi Brahala sewaktu membendung sungai Yamuna, ia tidak sedang dalam keadaan marah.[3] Prabu Arjuna Sasrabahu juga melakukan triwikrama ketika ia membendung sungai Gangga agar permaisurinya dapat mandi dan berenang puas di sungai itu.[3] Di kisah lain, disebutkan bahwa ia juga melakukan triwikrama ketika menghadapi Prabu Dasamuka dari Alenka.[3] Sebelumnya, ia juga melakukan triwikrama menjadi brahala ketika Patih Suwanda menantangnya.[3]

Rujukan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "Brahala". Simon Fraser University. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-04-29. Diakses tanggal 28 April 2014. 
  2. ^ a b c d e f g h i j "Brahala". Tembi.org. Diakses tanggal 28 April 2014. 
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m Tim Penulis SENA WANGI (1999). Ensiklopedi Wayang Indonesia. Yogyakarta: SENA WANGI. hlm. 324,326. 
  4. ^ "Brahala". wayangkulit.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-04-29. Diakses tanggal 28 April 2014. 
  5. ^ "Brahala". Museumkeris. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-04-29. Diakses tanggal 28 April 2014.