Argumentum ad naturam

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Argumentum ad naturam merupakan sebuah argumen atau taktik retoris yang menyatakan bahwa "suatu hal itu baik karena hal itu ‘alami’, atau buruk karena hal itu ‘tidak alami’”.[1] Umumnya ini dianggap sebagai argumen yang buruk karena anggapan implisit (yang tidak disebutkan) utama bahwa "sesuatu yang alami itu baik" itu tidak relevan, tidak memiliki makna yang jelas secara praktis, atau merupakan sebuah opini dan bukan fakta. Dalam beberapa kerangka filsafat yang mendefinisikan sifat alami dan baik secara jelas dalam konteks yang spesifik, argumen ini mungkin valid dan jelas.

Bentuk[sunting | sunting sumber]

Argumen ini memiliki bentuk umum sebagai berikut:

Hal yang alami itu baik.
N itu alami.
Maka N itu baik atau benar.

Hal yang tidak alami itu buruk atau salah.
U itu tidak alami.
Maka U itu buruk atau salah.

[2]

Dalam beberapa konteks, istilah "alam" dan "alami" bisa jadi tidak jelas, sehingga menimbulkan asosiasi yang tidak diinginkan dengan konsep lain. Kata "alami" juga bisa memiliki banyak konotasi – sama halnya dengan kata "normal". Dalam beberapa konteks, ini bisa menghakimi suatu nilai secara implisit. Dengan demikian, argumen berdasarkan alam memiliki premis yang menganggap kesimpulannya benar.[2]

Ada berbagai pendapat tentang posisi argumen berdasarkan alam sebagai argumen yang rasional. Pada pandangan yang lebih permisif, ini terkadang bisa jadi panduan yang praktis dalam keadaan tertentu yang terbatas meski mengakui kekurangannya. Ketika prinsip seperti itu diterapkan sebagai sekadar panduan praktis, fakta alami dianggap memberikan penghakiman nilai yang bisa diandalkan tentang hal apa yang baik sebelum ada bukti sebaliknya dan fakta tidak alami memberikan penilaian tentang hal apa yang buruk. Dalam keadaan terbatas, menggunakan panduan praktis, seperti "jika segala hal lain sama, Anda sebaiknya memakan makanan yang alami" seakan ia merupakan prinsip yang tidak terkecuali dapat menimbulkan kesesatan berpikir yang mengabaikan pengecualian.[2][3]

Julian Baggini menjelaskan pandangan standar yang membuat argumen ini sesat: "Bahkan jika kita bisa setuju bahwa beberapa hal itu alami dan beberapa hal itu tidak alami, apa selanjutnya? Jawabannya: tidak ada. Tidak ada alasan faktual untuk menganggap bahwa hal yang alami itu baik (atau setidaknya lebih baik) dan hal yang tidak alami itu buruk (atau setidaknya lebih buruk)."[4]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Makna dan kepentingan berbagai pemahaman dan konsep tentang “alam” telah menjadi topik diskusi yang hangat sepanjang sejarah, baik dalam sains maupun filsafat. Pada Yunani Kuno, “hukum alam tidak [hanya] dipandang sebagai deskripsi yang digeneralisasi tentang apa yang nyata terjadi di dunia… tapi juga sebagai norma yang patut dituruti orang… Maka argumen berdasarkan alam cenderung bermaksud mengikuti sifat manusia yang diperlakukan sebagai sumber norma perilaku. Bagi orang Yunani, ini… menunjukkan penjelajahan secara sadar pada area, yang menurut seluruh tradisi pemikiran mereka, merupakan tempat sumber norma perilaku yang asli."[5]

Pada zaman modern, filsuf-filsuf telah menantang anggapan bahwa status manusia sebagai makhluk alami harus menentukan keberadaan normatif mereka. Sebagai contoh, Rousseau menyatakan, "Kita tidak tahu apa yang dimungkinkan oleh sifat alami kita."[6] Lebih terkini lagi, Nikolas Kompridis menerapkan aksioma Rousseau untuk berdebat tentang intervensi genetik (atau intervensi lainnya) dalam dasar biologis kehidupan manusia. Ia menulis

Ada bagian kebebasan manusia yang tidak diatur oleh sifat biologis kita, tapi ini agak menakutkan karena ia membuka kemungkinan manusia akan menjadi makhluk seperti apa… Dengan kata lain: Apa yang kita bolehkan menjadi sifat kita? Dan berdasarkan apa kita sepatutnya memberikan izin itu?

[7]

Kompridis menulis bahwa pandangan makhluk hidup yang naturalistis, yang diutarakan oleh seorang ilmuwan sebagai "mesin yang komponennya merupakan biokimia"[8] (Rodney Brooks), mengancam akan membuat pemahaman manusia normatif yang tunggal sebagai satu-satunya pemahaman yang mungkin. Dia menulis, “Saat kita menganggap diri kita sendiri sebagai ‘mesin yang komponennya merupakan biokimia,’ kita tidak hanya menganggap kita tahu apa yang dimungkinkan oleh sifat kita, tapi juga bahwa pengetahuan ini membolehkan kita menjawab pertanyaan kita harus menjadi apa… Ini bukan pertanyaan yang kita harus jawab, melainkan kita harus senantiasa bisa bertanggung jawab kepada pertanyaan ini."[7]

Contoh[sunting | sunting sumber]

Rak supermarket dengan empat merek berbeda mengiklankan diri mereka, dalam suatu cara, sebagai "alami"

Beberapa contoh populer tentang argumen berdasarkan alam dapat ditemukan di label dan iklan makanan, pakaian, obat herbal alternatif, dan berbagai bidang lain.[4][9] Label-label bisa bertuliskan "seratus persen alami", untuk menyiratkan bahwa produk itu ramah lingkungan dan aman. Akan tetapi, status "alami" atau tidaknya produk itu tidak relevan sendirinya dalam menentukan keamanan atau keefektifannya.[4][10] Sebagai contoh, banyak senyawa dan racun berbahaya yang ditemukan di alam.

Tidak jarang pula obat-obatan disebutkan dalam argumen berdasarkan alam dengan pernyataan bahwa obat itu “tidak alami” sehingga sebaiknya tidak digunakan.[9] Argumen semacam ini terutama digunakan dalam antivaksinasi.[11]

Pada topik tentang konsumsi daging, Peter Singer berargumen bahwa menyatakan bahwa memakan daging itu diterima secara moral hanya karena itu merupakan hal yang “alami” adalah kesesatan berpikir karena cara manusia dan hewan lain berperilaku secara alami tidak mengatur bagaimana kita harus bertindak. Maka Singer mengeklaim bahwa boleh atau tidaknya memakan daging secara moral harus dinilai atas dirinya sendiri, bukan mengikuti apa yang “alami”.[12]

Lihat juga[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ George Edward Moore (1922). Principia Ethica. 
  2. ^ a b c "Logical Fallacy: Appeal to Nature". www.fallacyfiles.org. Diakses tanggal 2021-06-04. 
  3. ^ Groarke, Leo. "Informal Logic". plato.stanford.edu (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-06-04. 
  4. ^ a b c Baggini, Julian (2003). Making sense : philosophy behind the headlines. Oxford: Oxford University Press. hlm. 181–182. ISBN 0-19-280506-1. OCLC 53198823. 
  5. ^ "Western Philosophical Schools and Doctrines: ANCIENT AND MEDIEVAL SCHOOLS: Sophists: PARTICULAR DOCTRINES: Theoretical issues". web.archive.org. 2011-05-27. Archived from the original on 2011-05-27. Diakses tanggal 2021-06-04. 
  6. ^ 1712-1778., Rousseau, Jean-Jacques,. Emile : or, On education. hlm. 62. ISBN 978-0-465-01931-1. OCLC 1238087822. 
  7. ^ a b Kompridis, Nikolas (2009). "Technology's Challenge to Democracy: What of the human?" (PDF). Parrhesia. 8: 20–33. 
  8. ^ Brooks, Rodney (2010). "The relationship between matter and life". Nature. 409: 410. 
  9. ^ a b Meier, Brian P.; Dillard, Amanda J.; Lappas, Courtney M. (2019-08). "Naturally better? A review of the natural‐is‐better bias". Social and Personality Psychology Compass (dalam bahasa Inggris). 13 (8). doi:10.1111/spc3.12494. ISSN 1751-9004. 
  10. ^ Flew, Antony (1998). How to think straight : an introduction to critical reasoning (edisi ke-2nd ed). Amherst, N.Y.: Prometheus Books. ISBN 1-57392-239-0. OCLC 39261807. 
  11. ^ "False "balance" on influenza with an appeal to nature | Science-Based Medicine". sciencebasedmedicine.org (dalam bahasa Inggris). 2014-02-13. Diakses tanggal 2021-06-04. 
  12. ^ Singer, Peter (2011). Practical ethics (edisi ke-Third edition). New York. hlm. 60–61. ISBN 978-0-521-88141-8. OCLC 656771972.