Etologi manusia: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Pidopram (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Pidopram (bicara | kontrib)
mengembangkan artikel dan menambah referensi
Baris 34: Baris 34:
A. Lorenz percaya bahwa manusia memiliki sifat perilaku yang otomatis, seperti rangsangan yang memunculkan pola tindakan yang tetap. Teorinya berkembang dari model refleks dan model hidrolik atau "flush toilet", yang mengkonseptualisasikan pola perilaku motivasi. Pola tindakan tetap tertentu berkembang dari motivasi untuk bertahan hidup. [[Naluri]] adalah contoh dari pola tindakan tetap. Setiap perilaku bersifat naluriah jika dilakukan tanpa adanya pembelajaran. Refleks dapat berupa naluri. Sebagai contoh, bayi yang baru lahir secara naluriah tahu untuk mencari dan menyusu pada payudara ibunya untuk mendapatkan makanan.
A. Lorenz percaya bahwa manusia memiliki sifat perilaku yang otomatis, seperti rangsangan yang memunculkan pola tindakan yang tetap. Teorinya berkembang dari model refleks dan model hidrolik atau "flush toilet", yang mengkonseptualisasikan pola perilaku motivasi. Pola tindakan tetap tertentu berkembang dari motivasi untuk bertahan hidup. [[Naluri]] adalah contoh dari pola tindakan tetap. Setiap perilaku bersifat naluriah jika dilakukan tanpa adanya pembelajaran. Refleks dapat berupa naluri. Sebagai contoh, bayi yang baru lahir secara naluriah tahu untuk mencari dan menyusu pada payudara ibunya untuk mendapatkan makanan.


B. Bowlby (dan banyak ahli teori etologi modern lainnya) percaya bahwa manusia secara spontan bertindak untuk memenuhi tuntutan lingkungannya. Mereka adalah partisipan aktif yang mencari orang tua, makanan, atau pasangan (misalnya, bayi akan berusaha untuk tetap berada di dekat pengasuhnya).
B. Bowlby (dan banyak ahli teori etologi modern lainnya) percaya bahwa manusia secara spontan bertindak untuk memenuhi tuntutan lingkungannya. Mereka adalah partisipan aktif yang mencari orang tua, makanan, atau pasangan (misalnya, bayi akan berusaha untuk tetap berada di dekat pengasuhnya).<ref>{{Cite book|last=Gold|first=Jerry|date=2011|url=https://doi.org/10.1007/978-0-387-79061-9_399|title=Bowlby’s Attachment Theory|location=Boston, MA|publisher=Springer US|isbn=978-0-387-79061-9|editor-last=Goldstein|editor-first=Sam|pages=272–275|language=en|doi=10.1007/978-0-387-79061-9_399|editor-last2=Naglieri|editor-first2=Jack A.}}</ref>


C. [https://www.simplypsychology.org/vygotsky.html Vygotsky]<ref>{{Cite web|date=2024-01-24|title=Vygotsky's Sociocultural Theory Of Cognitive Development|url=https://www.simplypsychology.org/vygotsky.html|language=en-US|access-date=2024-03-04}}</ref> percaya bahwa cara manusia berpikir didasarkan pada budaya tempat mereka dibesarkan dan bahasa yang mengelilinginya.<ref>{{Cite web|last=Arsani|first=Syafira Aulia|title=Teori Perkembangan Kognitif Anak Menurut Vygotsky & Contoh Praktik|url=https://tirto.id/teori-perkembangan-kognitif-anak-menurut-vygotsky-contoh-praktik-gtyp|website=tirto.id|language=id|access-date=2024-03-04}}</ref> Dia menekankan bahwa anak-anak tumbuh dalam simbol-simbol budaya mereka, terutama simbol-simbol linguistik. Simbol-simbol linguistik ini mengkategorikan dan mengorganisasikan dunia di sekitar mereka. Organisasi dunia ini terinternalisasi, yang mempengaruhi cara mereka berpikir.<ref name=":0">{{Cite book|last=Tomasello|first=Michael|date=2014|url=https://www.jstor.org/stable/j.ctt6wpq11|title=A Natural History of Human Thinking|publisher=Harvard University Press|isbn=978-0-674-72477-8}}</ref>
C. [https://www.simplypsychology.org/vygotsky.html Vygotsky]<ref>{{Cite web|date=2024-01-24|title=Vygotsky's Sociocultural Theory Of Cognitive Development|url=https://www.simplypsychology.org/vygotsky.html|language=en-US|access-date=2024-03-04}}</ref> percaya bahwa cara manusia berpikir didasarkan pada budaya tempat mereka dibesarkan dan bahasa yang mengelilinginya.<ref>{{Cite web|last=Arsani|first=Syafira Aulia|title=Teori Perkembangan Kognitif Anak Menurut Vygotsky & Contoh Praktik|url=https://tirto.id/teori-perkembangan-kognitif-anak-menurut-vygotsky-contoh-praktik-gtyp|website=tirto.id|language=id|access-date=2024-03-04}}</ref> Dia menekankan bahwa anak-anak tumbuh dalam simbol-simbol budaya mereka, terutama simbol-simbol linguistik. Simbol-simbol linguistik ini mengkategorikan dan mengorganisasikan dunia di sekitar mereka. Organisasi dunia ini terinternalisasi, yang mempengaruhi cara mereka berpikir.<ref name=":0">{{Cite book|last=Tomasello|first=Michael|date=2014|url=https://www.jstor.org/stable/j.ctt6wpq11|title=A Natural History of Human Thinking|publisher=Harvard University Press|isbn=978-0-674-72477-8}}</ref>

Revisi per 4 Maret 2024 21.27

Etologi manusia adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia. Etologi sebagai sebuah disiplin ilmu umumnya dianggap sebagai kategori bagian dari zoologi, dan biologi[1], meskipun teori-teori psikologi telah dikembangkan berdasarkan ide-ide etologi (misalnya sosiobiologi, psikologi evolusioner, teori keterikatan, dan teori-teori tentang universalitas manusia seperti perbedaan jenis kelamin, penghindaran inses, duka cita, hirarki, dan pengejaran kepemilikan). Hubungan antara ilmu biologi dan ilmu sosial menciptakan pemahaman tentang etologi manusia. Masyarakat Internasional untuk Etologi Manusia didedikasikan untuk memajukan studi, dan pemahaman etologi manusia yang lebih komprehensif.[2]

Sejarah

Etologi berakar pada studi evolusi, terutama evolusi semakin populer setelah pengamatan rinci Darwin. Etologi menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri pada tahun 1930-an melalui kontribusi ahli zoologi Konrad Lorenz, Niko Tinbergen, dan Karl Von Frisch.[3] Ketiga ilmuwan ini dikenal sebagai kontributor utama etologi manusia. Mereka juga dianggap sebagai bapak atau pendiri etologi. Konrad Lorenz dan Niko Tinbergen menolak teori-teori yang mengandalkan rangsangan, dan pembelajaran saja, kemudian menguraikan konsep-konsep yang belum dipahami dengan baik, seperti naluri. Mereka mempromosikan teori bahwa evolusi telah menempatkan kemampuan bawaan, dan respon terhadap rangsangan tertentu dalam diri makhluk hidup yang memajukan perkembangan spesies. Konrad Lorenz juga mengindikasikan dalam karya-karyanya yang terdahulu bahwa perilaku hewan dapat menjadi referensi utama bagi perilaku manusia. Dia percaya bahwa penelitian, dan temuan perilaku hewan dapat mengarah pada temuan perilaku manusia juga. Pada tahun 1943, Lorenz mencurahkan sebagian besar bukunya, "Die angeborenen Formen moglicher Erfahrung"[4] untuk perilaku manusia.

Dia menetapkan bahwa salah satu faktor terpenting dari etologi adalah menguji hipotesis yang berasal dari studi perilaku hewan pada studi perilaku manusia. Karena Lorenz mempromosikan kesamaan antara mempelajari perilaku hewan dan manusia, etologi manusia berasal dari studi perilaku animal.[5] Pendiri etologi lainnya, Niko Tinbergen dan Karl von Frisch, menerima Hadiah Nobel pada tahun 1973 dalam bidang fisiologi serta kedokteran[6], untuk penemuan karir mereka yang menyeluruh mengenai organisasi dan pemunculan pola perilaku individu dan sosial.

Banyak psikolog perkembangan yang sangat ingin memasukkan prinsip-prinsip etologi ke dalam teori mereka sebagai cara untuk menjelaskan fenomena yang dapat diamati pada bayi yang belum tentu dapat dijelaskan dengan pembelajaran atau konsep lainnya. John Bowlby dan Mary Ainsworth menggunakan etologi secara menonjol untuk menjelaskan aspek-aspek teori kelekatan bayi-pengasuh[7] Beberapa konsep kelekatan yang penting terkait dengan evolusi:

  • a. Kelekatan telah berevolusi karena mendorong kelangsungan hidup bayi yang tidak berdaya. Primata dan hewan lainnya secara refleks melekatkan diri mereka secara fisik pada induknya, dan memiliki beberapa panggilan yang menarik perhatian orang tua. Bayi manusia secara adaptif telah mengembangkan mekanisme sinyal seperti menangis, mengoceh, dan tersenyum. Hal ini dipandang sebagai perilaku bawaan dan bukan perilaku yang dipelajari, karena bahkan anak-anak yang terlahir buta, dan tuli mulai tersenyum secara sosial pada usia 6 minggu, serta menangis dan mengoceh. Perilaku-perilaku ini memfasilitasi kontak dengan pengasuhnya dan meningkatkan kemungkinan bertahan hidup bayi.
  • b. Perilaku isyarat awal dan kecenderungan bayi untuk melihat wajah daripada objek menyebabkan keterikatan antara pengasuh dan bayi yang mengeras sekitar usia 6-9 bulan. Bowlby berteori bahwa keterikatan ini secara evolusioner sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia dan merupakan dasar bagi semua hubungan, bahkan hingga dewasa.
  • c. Orang dewasa juga secara adaptif cenderung memiliki keterikatan dengan bayi. Ciri-ciri khas "bayi", seperti kepala dan mata yang besar dan proporsional dengan tubuh, dan pipi yang bulat, adalah ciri-ciri yang menimbulkan kasih sayang pada orang dewasa. Banyak orang tua juga membentuk "ikatan" dengan bayi mereka yang baru lahir dalam beberapa jam setelah kelahirannya, yang mengarah pada rasa keterikatan emosional yang mendalam dengan keturunannya sendiri dan meningkatkan perilaku yang mendorong kelangsungan hidup bayi.
  • d. Banyak dari metode awal Bowlby yang sangat bergantung pada pengamatan etologis terhadap anak-anak di lingkungan alami mereka.

Pada tahun-tahun berikutnya, etologi memainkan peran besar dalam teori sosiobiologi dan pada akhirnya, dalam psikologi evolusioner, yang merupakan bidang studi yang relatif baru. Psikologi evolusioner menggabungkan etologi, primatologi, antropologi, dan bidang-bidang lain untuk mempelajari perilaku manusia modern dengan perilaku manusia leluhur yang adaptif.

Pandangan tentang sifat manusia

A. Manusia adalah hewan sosial. Seperti halnya serigala, dan singa yang membentuk kelompok atau kelompok berburu untuk mempertahankan diri, manusia juga membentuk struktur sosial yang kompleks, termasuk keluarga dan bangsa.

B. Manusia adalah organisme biologis yang telah berevolusi dalam ceruk lingkungan tertentu.[8]

C. Kecerdasan, bahasa, keterikatan sosial, agresi, dan altruisme adalah bagian dari sifat manusia karena mereka melayani atau pernah melayani tujuan dalam perjuangan spesies untuk bertahan hidup.

D. Tingkat perkembangan anak didefinisikan dalam hal perilaku berbasis biologis.

E. Kebutuhan manusia berevolusi berdasarkan lingkungan mereka saat ini. Manusia harus beradaptasi untuk bertahan hidup. Pemikiran kognitif dan komunikasi muncul sebagai hasil dari kebutuhan akan kerja sama di antara individu untuk bertahan hidup.

Pandangan tentang sifat manusia bervariasi di antara para ahli teori etologi

A. Lorenz percaya bahwa manusia memiliki sifat perilaku yang otomatis, seperti rangsangan yang memunculkan pola tindakan yang tetap. Teorinya berkembang dari model refleks dan model hidrolik atau "flush toilet", yang mengkonseptualisasikan pola perilaku motivasi. Pola tindakan tetap tertentu berkembang dari motivasi untuk bertahan hidup. Naluri adalah contoh dari pola tindakan tetap. Setiap perilaku bersifat naluriah jika dilakukan tanpa adanya pembelajaran. Refleks dapat berupa naluri. Sebagai contoh, bayi yang baru lahir secara naluriah tahu untuk mencari dan menyusu pada payudara ibunya untuk mendapatkan makanan.

B. Bowlby (dan banyak ahli teori etologi modern lainnya) percaya bahwa manusia secara spontan bertindak untuk memenuhi tuntutan lingkungannya. Mereka adalah partisipan aktif yang mencari orang tua, makanan, atau pasangan (misalnya, bayi akan berusaha untuk tetap berada di dekat pengasuhnya).[9]

C. Vygotsky[10] percaya bahwa cara manusia berpikir didasarkan pada budaya tempat mereka dibesarkan dan bahasa yang mengelilinginya.[11] Dia menekankan bahwa anak-anak tumbuh dalam simbol-simbol budaya mereka, terutama simbol-simbol linguistik. Simbol-simbol linguistik ini mengkategorikan dan mengorganisasikan dunia di sekitar mereka. Organisasi dunia ini terinternalisasi, yang mempengaruhi cara mereka berpikir.[12]

D. Perilaku manusia cenderung berubah berdasarkan lingkungan dan tantangan di sekitarnya yang mulai dihadapi individu. Dua kemajuan evolusioner dalam perilaku manusia dimulai sebagai cara untuk memungkinkan manusia berkomunikasi dan berkolaborasi. Ahli teori infrastruktur, Mead dan Wittgenstein, berteori tentang terciptanya kolaborasi dalam pencarian makan manusia. Kolaborasi ini menciptakan tujuan sosial di antara manusia dan juga menciptakan kesamaan. Untuk mengoordinasikan tujuan bersama mereka, manusia berevolusi menjadi jenis komunikasi kooperatif baru. Komunikasi ini didasarkan pada gerak tubuh yang memungkinkan manusia untuk bekerja sama di antara mereka sendiri untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan.[12] Perubahan perilaku ini terlihat karena berkembangnya lingkungan mereka. Lingkungan menuntut untuk bertahan hidup dan manusia menyesuaikan perilakunya untuk bertahan hidup. Dengan kata lain, hal ini dikenal sebagai hipotesis kesengajaan bersama. Menurut hipotesis ini, pemikiran manusia berevolusi dari fokus pada diri sendiri, intensionalitas individu sebagai adaptasi untuk "menangani masalah koordinasi sosial, khususnya, masalah yang dihadirkan oleh upaya individu untuk berkolaborasi dan berkomunikasi dengan orang lain." Evolusi ini terjadi dalam dua langkah, yang pertama mengarah dari individu ke "kesengajaan bersama" dan yang kedua dari kesengajaan bersama ke "kesengajaan kolektif."[12]

E. Teori mekanistik memandang perilaku sebagai sesuatu yang pasif. Teori ini berpendapat bahwa perilaku manusia bersifat pasif melalui dorongan fisiologis dan rangsangan emosional. Tidak seperti teori mekanistik, teori organismik memandang perilaku sebagai sesuatu yang aktif. Teori organismik berpendapat bahwa organisme aktif dalam perilakunya, yang berarti bahwa organisme memutuskan bagaimana ia berperilaku dan memulai perilakunya sendiri. Manusia memiliki kebutuhan intrinsik yang ingin dipenuhi. Kebutuhan-kebutuhan ini memberikan energi bagi manusia untuk bertindak berdasarkan kebutuhan mereka untuk memenuhi kebutuhan tersebut, daripada bersikap reaktif terhadap kebutuhan tersebut. Teori aktif tentang perilaku manusia memperlakukan rangsangan bukan sebagai penyebab perilaku, tetapi sebagai peluang yang dapat dimanfaatkan manusia untuk memenuhi kebutuhannya.[12]

Topik-topik etologi manusia

Seperti yang diterapkan pada perilaku manusia, dalam sebagian besar kasus, perilaku topikal dihasilkan dari kondisi motivasi dan intensitas stimulus eksternal tertentu. Organisme dengan kondisi motivasi yang tinggi terhadap stimulus semacam itu disebut perilaku nafsu makan. Konsep-konsep penting lain dari zooetologi - misalnya, teritorialitas, hirarki, periode sensitif dalam ontogenesis - juga berguna ketika membahas perilaku manusia. Buku Irenaus Eibl-Eibesfeldt yang berjudul Human Ethology[5] merupakan buku yang paling penting dalam penerapan konsep-konsep ini pada perilaku manusia.

Etologi manusia telah memberikan kontribusi dalam dua cara khusus untuk pemahaman kita tentang ontogeni perilaku pada manusia. Hal ini dihasilkan, pertama, dari penerapan teknik-teknik untuk observasi, deskripsi, dan klasifikasi yang tepat dari perilaku yang muncul secara alamiah, dan kedua, dari pendekatan etologis terhadap studi perilaku, terutama perkembangan perilaku dalam hal evolusi. Yang menarik adalah pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan fungsi dari jenis perilaku tertentu (misalnya, perilaku keterikatan) dan nilai adaptasinya. Deskripsi repertoar perilaku suatu spesies, pengenalan pola perkembangan perilaku, dan klasifikasi pola perilaku yang sudah mapan merupakan prasyarat untuk perbandingan antara spesies yang berbeda atau antara organisme dalam satu spesies. Pendekatan etologi adalah studi tentang interaksi antara organisme dengan struktur spesifik spesies bawaan tertentu dan lingkungan di mana organisme diprogram secara genetik.

Pola perilaku invarian memiliki dasar morfologis, terutama dalam struktur saraf yang umum bagi semua anggota suatu spesies dan, tergantung pada jenis perilaku, mungkin juga umum bagi suatu genus atau famili atau seluruh ordo, misalnya, primata, atau bahkan seluruh kelas, misalnya, mamalia. Dalam struktur seperti itu, kita dapat menelusuri kembali dan mengikuti proses evolusi dimana lingkungan menghasilkan struktur, terutama sistem saraf dan otak, yang menghasilkan perilaku adaptif. Pada organisme dengan tingkat organisasi yang tinggi, proses-proses yang menjadi perhatian utama para ahli etologi adalah proses-proses motorik dan perseptual yang telah diprogram secara genetis yang memfasilitasi interaksi sosial dan komunikasi, seperti ekspresi wajah dan vokalisasi. Jika kita mempertimbangkan alat komunikasi yang paling maju, bahasa dan ucapan, yang hanya ditemukan pada manusia, muncul pertanyaan mengenai dasar biologis dari perilaku dan keterampilan perseptual spesifik spesies ini. Ahli etologi meneliti pertanyaan ini terutama dari sudut pandang perkembangan ontogenetik.

Kekuatan utama etologi manusia adalah penerapan pola interpretasi yang sudah mapan terhadap masalah-masalah baru. Berdasarkan teori, konsep, dan metode yang telah terbukti berhasil dalam etologi hewan, etologi manusia melihat perilaku manusia dari sudut pandang yang baru. Inti dari hal ini adalah perspektif evolusi. Namun, karena para ahli etologi relatif tidak terpengaruh oleh sejarah panjang humaniora, mereka sering merujuk pada fakta dan interpretasi yang diabaikan oleh ilmu-ilmu sosial lainnya. Jika kita melihat kembali sejarah hubungan antara ilmu-ilmu hayati dan ilmu-ilmu sosial, kita akan menemukan dua modus orientasi teori yang berlaku: di satu sisi, reduksionisme, yaitu upaya untuk mereduksi tindakan manusia menjadi perilaku non-kognitif; dan di sisi lain, upaya untuk memisahkan tindakan manusia dan masyarakat manusia dari dunia hewan sepenuhnya. Munculnya teori evolusi pada abad ke-19 tidak membawa solusi yang mudah untuk masalah nature dan nurture, karena masalah ini masih dapat "diselesaikan" dengan cara yang berkesinambungan maupun terputus-putus. Etologi manusia, seperti halnya disiplin ilmu lainnya, secara signifikan berkontribusi pada keusangan dikotomi sederhana tersebut.

Etologi Manusia memiliki pengaruh yang semakin besar terhadap dialog antara Ilmu Pengetahuan Manusia dan Humaniora seperti yang ditunjukkan misalnya dalam buku Being Human: Bridging the Gap between the Sciences of Body and Mind[13]

Metodologi

Para ahli etologi mempelajari perilaku dengan menggunakan dua metode umum: observasi naturalistik dan eksperimen laboratorium. Desakan ahli etologi untuk mengamati organisme di lingkungan alaminya membedakan etologi dari disiplin ilmu terkait seperti psikologi evolusioner dan sosiobiologi, dan pengamatan naturalistik mereka "menjadi salah satu kontribusi utama mereka terhadap psikologi",[8] Pengamatan Naturalistis Para ahli etologi percaya bahwa untuk mempelajari perilaku spesifik spesies, suatu spesies harus diamati di lingkungan alaminya. Kita hanya dapat memahami fungsi dari suatu perilaku dengan melihat bagaimana perilaku tersebut secara khusus sesuai dengan lingkungan alami spesies untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Para ahli etologi mengikuti serangkaian langkah tertentu ketika mempelajari suatu organisme.

Langkah-langkah yang sejalan dengan "On Aims of Methods of Ethology" karya Tinbergen[14] di mana ia menyatakan bahwa setiap studi perilaku harus menjawab empat pertanyaan untuk dapat dianggap sah:

  • a. fungsi (adaptasi)
  • b. evolusi (filogeni)
  • c. sebab-akibat (mekanisme)
  • d. perkembangan (ontogeni)

Keanekaragaman

Keanekaragaman adalah konsep penting dalam etologi dan teori evolusi, baik secara genetik maupun budaya.

Keanekaragaman genetik berfungsi sebagai cara bagi populasi untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Dengan lebih banyak variasi, lebih besar kemungkinan beberapa individu dalam suatu populasi akan memiliki variasi alel yang sesuai dengan lingkungannya. Individu-individu tersebut akan lebih mungkin untuk bertahan hidup, dan menghasilkan keturunan yang memiliki alel tersebut. Populasi akan terus berlanjut selama beberapa generasi karena keberhasilan individu-individu ini. Genetika populasi mencakup beberapa hipotesis dan teori mengenai keanekaragaman genetik. Teori evolusi netral menyatakan bahwa keanekaragaman adalah hasil dari akumulasi substitusi netral. Seleksi diversifikasi adalah hipotesis bahwa dua subpopulasi dari suatu spesies hidup di lingkungan yang berbeda yang menyeleksi alel-alel yang berbeda pada lokus tertentu. Hal ini dapat terjadi misalnya, jika suatu spesies memiliki jangkauan yang luas relatif terhadap mobilitas individu di dalamnya.

Keanekaragaman budaya juga penting. Dari sudut pandang transmisi budaya, manusia adalah satu-satunya hewan yang mewariskan pengetahuan budaya secara kumulatif kepada keturunannya. Sementara simpanse dapat belajar menggunakan alat dengan melihat simpanse lain di sekitar mereka, tetapi manusia dapat menggabungkan sumber daya kognitif mereka untuk menciptakan solusi yang semakin kompleks untuk masalah dan cara yang lebih kompleks untuk berinteraksi dengan lingkungan mereka. Keragaman budaya menunjukkan gagasan bahwa manusia dibentuk oleh lingkungannya, dan juga berinteraksi dengan lingkungan untuk membentuknya. Keragaman budaya muncul dari adaptasi manusia yang berbeda terhadap faktor lingkungan yang berbeda, yang pada gilirannya membentuk lingkungan, yang pada gilirannya membentuk perilaku manusia. Siklus ini menghasilkan representasi budaya yang beragam yang pada akhirnya menambah kelangsungan hidup spesies manusia. Pendekatan ini penting sebagai cara untuk membangun jembatan antara ilmu biologi dan ilmu sosial, yang menciptakan pemahaman yang lebih baik tentang etologi manusia.[15]

Salah satu contoh keragaman manusia adalah orientasi seksual. Para ahli etologi telah lama mencatat bahwa ada lebih dari 250 spesies hewan yang menunjukkan perilaku homoseksual. Meskipun tidak ada keturunan yang secara langsung tercipta dari perilaku homoseksual, namun jika diamati lebih dekat, gen-gen homoseksualitas dapat bertahan. Homoseksualitas dapat mengurangi persaingan untuk mendapatkan pasangan heteroseksual. Anggota keluarga homoseksual dapat meningkatkan sumber daya yang tersedia untuk anak-anak dari saudara kandung mereka tanpa menghasilkan keturunan untuk bersaing memperebutkan sumber daya tersebut (teori paman gay), sehingga menciptakan peluang yang lebih baik bagi keturunan saudara kandung mereka untuk bertahan hidup. Keturunan terkait ini berbagi gen individu homoseksual - meskipun pada tingkat yang lebih rendah daripada keturunan langsung - termasuk gen untuk homoseksualitas. Hal ini menyebabkan adanya peluang yang kecil namun stabil bagi generasi mendatang untuk menjadi gay juga, meskipun anggota keluarga gay tersebut tidak menghasilkan keturunan langsung.

Lihat juga

Antropologi budaya

Pranala eksternal

Referensi

  1. ^ "Ethology - New World Encyclopedia". www.newworldencyclopedia.org. Diakses tanggal 2024-03-04. 
  2. ^ Bueno-Guerra, Nereida (2021-08-27). "Where Is Ethology Heading? An Invitation for Collective Metadisciplinary Discussion". Animals (dalam bahasa Inggris). 11 (9): 2520. doi:10.3390/ani11092520. ISSN 2076-2615. 
  3. ^ Hess, E. H., & Petrovich, S. B. (2000). "Ethology and attachment: A historical perspective" (PDF). Behavioral Development Bulletin. 9 (1): 14–19. doi:10.1037/h0100533. 
  4. ^ Lorenz, Konrad (2010-04-26). "Die angeborenen Formen möglicher Erfahrung". Zeitschrift für Tierpsychologie (dalam bahasa Inggris). 5 (2): 235–409. doi:10.1111/j.1439-0310.1943.tb00655.x. 
  5. ^ a b Eibl-Eibesfeldt, Irenäus (1989). Human ethology. Internet Archive. New York : Aldine De Gruyter. ISBN 978-0-202-02030-3. 
  6. ^ KOMPUTER, UNIVERSITAS SAINS & TEKNOLOGI. "Etologi" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-03-04. 
  7. ^ Ainsworth, Mary S.; Bowlby, John (1991-04). "An ethological approach to personality development". American Psychologist (dalam bahasa Inggris). 46 (4): 333–341. doi:10.1037/0003-066X.46.4.333. ISSN 1935-990X. 
  8. ^ a b Miller, P.H. (2002). Theories of Developmental Psychology. New York: Worth Publishers. 
  9. ^ Gold, Jerry (2011). Goldstein, Sam; Naglieri, Jack A., ed. Bowlby’s Attachment Theory (dalam bahasa Inggris). Boston, MA: Springer US. hlm. 272–275. doi:10.1007/978-0-387-79061-9_399. ISBN 978-0-387-79061-9. 
  10. ^ "Vygotsky's Sociocultural Theory Of Cognitive Development" (dalam bahasa Inggris). 2024-01-24. Diakses tanggal 2024-03-04. 
  11. ^ Arsani, Syafira Aulia. "Teori Perkembangan Kognitif Anak Menurut Vygotsky & Contoh Praktik". tirto.id. Diakses tanggal 2024-03-04. 
  12. ^ a b c d Tomasello, Michael (2014). A Natural History of Human Thinking. Harvard University Press. ISBN 978-0-674-72477-8. 
  13. ^ Medicus, G (2015). Being Human: Bridging the Gap between the Sciences of Body and Mind. Berlin: VWB. ISBN 978-3-86135-584-7. 
  14. ^ Tinbergen, N. (1963-01-12). "On aims and methods of Ethology". Zeitschrift für Tierpsychologie (dalam bahasa Inggris). 20 (4): 410–433. doi:10.1111/j.1439-0310.1963.tb01161.x. ISSN 0044-3573. 
  15. ^ Hinde, Robert A. (1987). Individuals, Relationships and Culture: Links Between Ethology and the Social Sciences (dalam bahasa Inggris). CUP Archive. ISBN 978-0-521-34844-7.