School belonging: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Dibuat dengan menerjemahkan halaman "School belonging"
Tag: halaman dengan galat kutipan Terjemahan Konten Terjemahan Konten v2
(Tidak ada perbedaan)

Revisi per 6 Maret 2022 02.56

Anak-anak sekolah yang bahagia

Definisi school belonging atau rasa memiliki terhadap sekolah yang paling umum digunakan berasal dari artikel akademik 1993 oleh peneliti Carol Goodenow dan Kathleen Grady, yang menggambarkan istilah school belonging sebagai "sejauh mana siswa merasa diterima secara pribadi, dihormati, disertakan, dan didukung oleh orang lain di lingkungan sosial sekolah."[1] [2] Konstruksi school belonging melibatkan perasaan terhubung dan terikat dengan sekolah seseorang. Istilah ini juga mencakup keterlibatan dan afiliasi dengan komunitas sekolah seseorang.[3][4][5] Sebaliknya, siswa yang tidak merasakan rasa memiliki yang kuat dalam lingkungan sekolah mereka sering dianggap teralienasi.[3] Ada sejumlah istilah dalam penelitian pendidikan yang digunakan secara bergantian dengan school belonging, termasuk keterhubungan sekolah, keterikatan sekolah, dan keterlibatan sekolah.[2][6][7]

School belonging ditentukan oleh berbagai faktor, termasuk prestasi dan motivasi akademik, karakteristik pribadi, hubungan sosial, karakteristik demografis, suasana sekolah, dan partisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler.[2][4][8] Penelitian menunjukkan bahwa school belonging memiliki implikasi yang signifikan bagi siswa, karena secara konsisten dikaitkan dengan hasil akademik, penyesuaian psikologis, kebahagiaan, pembentukan identitas, kesehatan mental, dan kesehatan fisik sehingga ini dianggap sebagai aspek fundamental dari perkembangan siswa.[2][4][9][10] Rasa memiliki terhadap sekolah dianggap sangat penting bagi remaja karena mereka berada dalam masa transisi dan pembentukan identitas, dan penelitian menemukan bahwa rasa memiliki terhadap sekolah pada siswa menurun secara signifikan selama periode remaja.[4][8]

Psychological Sense of School Membership (PSSM) yang dikembangkan pada tahun 1993, merupakan salah satu ukuran untuk memastikan sejauh mana siswa merasakan rasa memiliki terhadap sekolah atau school belonging. Siswa menilai sejauh mana mereka setuju atau tidak setuju dengan pernyataan, seperti "Orang-orang di sini memperhatikan ketika saya pandai dalam sesuatu." Pada tahun 2003, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit mengadakan konvensi internasional di mana Deklarasi Rentang Sayap tentang Koneksi Sekolah dikembangkan sebagai sekelompok taktik untuk meningkatkan rasa memiliki dan hubungan siswa dengan sekolah mereka.

Prevalensi dan lintasan

Penelitian menunjukkan bahwa banyak siswa memiliki perasaan kurang memiliki terhadap sekolah.[3][11] Program for International Student Assessment (PISA) telah menyelidiki rasa kepemilikan dan ketidakpuasan terhadap siswa di seluruh dunia sejak tahun 2003. Pengumpulan data terbaru mereka terjadi pada tahun 2018. Sekitar 600.000 siswa yang mewakili 32 juta populasi pada usia 15 tahun (berusia antara 15 tahun 3 bulan dan 16 tahun 2 bulan) dari 79 negara berpartisipasi dalam PISA 2018. [12] Analisis mereka mengungkapkan bahwa sebagian besar siswa di seluruh dunia kurang memiliki perasaan memiliki yang kuat terhadap sekolah. Rata-rata, sepertiga dari semua siswa yang disurvei merasa bahwa mereka bukan bagian dari sekolah mereka.[12] Selain itu, mereka menemukan bahwa satu dari lima siswa merasa seperti orang luar di sekolah mereka sendiri dan satu dari enam laporan menyatakan bahwa siswa merasa kesepian. Di sebagian besar sistem pendidikan, siswa yang secara sosial ekonomi rendah merasa kurang dalam rasa memiliki sekolah.[12] Rata-rata rasa memiliki sekolah atau school belonging pada siswa menurun 2% antara tahun 2015 dan 2018. Porsi siswa yang tidak merasa menjadi bagian dari sekolah mereka sendiri telah meningkat sejak tahun 2003 yang menunjukkan tren penurunan school belonging secara global.[2][3]

School belonging cenderung menurun seiring bertambahnya usia siswa seperti yang ditunjukkan dalam beberapa studi penelitian yang berbeda. Dalam satu penelitian yang melibatkan siswa dari Amerika Latin, Asia, dan Eropa, peneliti Cari Gillen-O'Neel dan Andrew Fuligni menemukan bahwa di masa kanak-kanak, siswa umumnya melaporkan tingkat rasa school belonging yang tinggi. Namun, begitu siswa beralih ke sekolah menengah dan remaja, persepsi mereka tentang rasa school belonging yang mereka miliki turun secara signifikan.[11] Demikian pula, sebuah studi terpisah menemukan bahwa rasa school belonging siswa di sekolah menurun dalam transisi dari sekolah menengah pertama ke sekolah menengah atas; siswa ini juga menunjukkan peningkatan gejala depresi dan penurunan dukungan sosial, yang dapat dianggap sebagai penyebab atau konsekuensi dari penurunan rasa memiliki di sekolah.[13] Tren penurunan ini telah direplikasi dalam banyak penelitian lain, yang menunjukkan bahwa rasa school belonging di sekolah menurun begitu siswa mencapai masa remaja.[13][14]

Determinan

Sebuah meta-analisis dari 51 studi (N = 67,378) oleh K. Allen dkk. (2018) mengidentifikasi bahwa ada beberapa faktor tingkat individu dan sosial yang mempengaruhi rasa school belonging.[8] Tema-tema inti ini meliputi faktor akademik, karakteristik pribadi, hubungan sosial, karakteristik demografis, suasana sekolah dan kegiatan ekstrakurikuler.[8] Untuk banyak faktor penentu rasa school belonging, kemungkinan masing-masing memiliki hubungan timbal balik dengan school belonging yang ada pada siswa. Artinya, mereka beroperasi baik sebagai anteseden atau konsekuensi.[8]

Faktor akademik

Penelitian telah mendokumentasikan pengaruh faktor akademik (yaitu prestasi, motivasi, daya tahan, dan minat terhadap sekolah) pada sekolah milik siswa.[8][10] Prestasi akademik, atau keterampilan dan kompetensi seseorang di sekolah sering diidentifikasi sebagai prediktor substansial dari rasa school belonging. Misalnya, penelitian telah menunjukkan bahwa nilai rata-rata siswa (IPK) yang ebagai ukuran umum prestasi akademik secara positif terkait dengan rasa kepemilikan terhadap sekolah. Hal ini berarti bahwa siswa yang memiliki IPK tinggi memiliki tingkat rasa kepemilikan terhadap sekolah mereka yang lebih tinggi.[2] Studi juga menemukan beberapa ukuran motivasi akademik menjadi penentu dari sekolah yang dimiliki siswa. Motivasi akademik meliputi beberapa perilaku seperti penyelesaian PR, menetapkan tujuan, harapan keberhasilan, dan usaha serta keterlibatan di dalam kelas.[2] [8] [15] Carol Goodenow dan Kathleen Grady menemukan masing-masing sub-cabang motivasi akademik ini menjadi parameter signifikan dari persepsi siswa tentang rasa kepemilikan terhadap sekolah.[1] Penelitian yang lebih baru telah mereplikasi temuan ini dan menunjukkan bahwa motivasi akademik memainkan peran penting dalam mengembangkan perasaan school belonging.[2] Selain itu, nilai sekolah yang dirasakan siswa mempengaruhi rasa memiliki terhadap sekolah mereka. Ketika mereka menganggap tugas mereka sebagai suatu pelajaran yang bermakna, dan berharga, maka lebih besar peluang siswa tersebut untuk melaporkan rasa kepemilikan terhadap sekolah yang lebih besar.[15]

Karakteristik pribadi

Karakteristik pribadi mengacu pada kualitas khas siswa, yang meliputi sifat, kepribadian, emosi, dan atribut yang sering secara konsisten diidentifikasi sebagai penentu substansial dari rasa kepemilikan terhadap sekolah atau school belonging.[2][8][16] Karakteristik pribadi dapat diklasifikasikan sebagai positif atau negatif. Karakteristik pribadi yang positif seperti harga diri, efikasi diri, pengaruh positif, dan pengendalian emosi yang efektif telah terbukti membantu menumbuhkan rasa memiliki siswa di sekolah. Sebuah studi oleh Xin Ma menemukan bahwa harga diri siswa memiliki dampak terbesar pada rasa kepemilikan terhadap sekolah dibandingkan dengan semua faktor pribadi lainnya.[17] Sebaliknya, karakteristik pribadi yang negatif seperti kecemasan, gejala depresi, stres yang meningkat, pengaruh negatif, dan penyakit mental dapat menurunkan persepsi siswa tentang rasa kepemilikan terhadap sekolah.[2] Ketidakstabilan emosional juga dapat mempengaruhi rasa kepemilikan terhadap sekolah dengan mempengaruhi pengalaman pendidikan siswa secara negatif.[8]

Hubungan sosial

Hubungan sosial terlibat dalam mengembangkan perasaan kepemilikan siswa di dalam sekolah.[2] Ada korelasi positif yang besar antara kepemilikan sekolah dengan hubungan sosial yang positif dengan teman sebaya, guru, dan orang tua.[18] Dukungan, penerimaan, dan dorongan dari sumber-sumber tersebut dapat membantu siswa mengembangkan perasaan bahwa mereka sangat terhubung dan mengidentifikasi dengan sekolah mereka.[2] [8]

Teman sebaya

Anak-anak sekolah di sebuah sekolah di Tanzania

Relasi teman sebaya sering diidentifikasi sebagai kontributor langsung bagi perkembangan siswa terhadap rasa memiliki terhadap sekolah.[2][5][19] Hubungan sosial yang positif dengan teman sebaya melibatkan perasaan penerimaan, koneksi, dorongan, dukungan akademik dan sosial, kepercayaan, kedekatan, dan kepedulian.[8] Kualitas semacam itu dalam hubungan teman sebaya dapat secara signifikan memfasilitasi perasaan siswa tentang sekolah.[8] [18] Ketika siswa ditolak atau tidak didukung oleh teman sebayanya, mereka mungkin mengalami kecemasan, stres, dan keterasingan. Hal ini mengubah persepsi mereka tentang rasa memiliki terhadap sekolah karena lingkungan sekolah yang mereka hadapi tampak tidak menyenangkan dan menyulitkan sehingga para siswa tersebut akhirnya lebih sulit untuk mengidentifikasi dan menghubungkan diri dengan sekolahnya.[2] [8]

Orang tua

Hubungan dengan orang tua dapat memiliki implikasi yang signifikan terhadap perasaan siswa tentang sekolah, mengingat bahwa orang tua biasanya yang mengatur hubungan sosial pertama bagi siswa.[20] Hubungan orang tua yang positif dapat meliputi seperti tindakan memberi dukungan akademis dan sosial, komunikasi yang sehat, dorongan, kasih sayang, penerimaan, dan keamanan. Kualitas seperti itu dalam hubungan orang tua-anak sering dianggap berperan besar dalam menumbuhkan rasa school belonging siswa dengan mempengaruhi hubungan yang siswa rasakan dengan lingkungan sekolah mereka.[8]

Guru

Guru dan murid, Lansing, Michigan, 1960

Guru juga diidentifikasi sebagai pihak yang memiliki peran penting terhadap perasaan school belonging siswa.[3][8] Beberapa studi akademis sering mengidentifikasi dukungan guru sebagai parameter terkuat terhadap rasa kepemilikan terhadap sekolah dibandingkan dengan dukungan dari teman sebaya atau orang tua.[8][15] Guru dapat membantu menanamkan rasa memiliki terhadap sekolah dengan mengembangkan suasana kelas yang aman dan nyaman, memberikan dukungan akademik dan sosial, menumbuhkan rasa hormat di antara teman sebaya, serta memperlakukan siswa secara adil.[2] Guru juga dapat meningkatkan perasaan memiliki sekolah dengan bersikap ramah, mudah didekati, dan berusaha untuk terhubung dengan siswa mereka.[8] Praktik pengajaran yang tampaknya meningkatkan rasa school belonging siswa antara lain mencakup pembelajaran <i>scaffolding</i>, memuji perilaku dan kinerja positif, memberikan siswa memiliki otonomi di dalam kelas, dan menggunakan tekanan akademik seperti memberikan harapan yang tinggi terhadap siswa.[3][8][15]

Karakteristik demografis

Jenis kelamin

Hubungan antara gender dengan rasa school belonging sebagian besar tidak meyakinkan karena beberapa penelitian telah menghasilkan hasil yang bertentangan.[2] Beberapa penelitian telah menemukan perbedaan gender dalam persepsi kepemilikan sekolah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perempuan memiliki rasa school belonging yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki, [2] [5] sedangkan di sisi lain ada penelitian yang menemukan efek sebaliknya dan menyimpulkan bahwa laki-laki memiliki rasa school belonging yang lebih tinggi daripada perempuan.[21] Penelitian lain menunjukkan bahwa kepemilikan sekolah sama sekali tidak dipengaruhi oleh gender.[8]

Ras dan etnis

Serupa dengan penelitian mengenai efek gender pada rasa memiliki terhadap sekolah, beberapa penelitian tentang pengaruh ras dan etnis pada rasa school belonging telah menemukan hubungan yang signifikan antara keduanya, sementara penelitian lain bertentangan dengan temuan sebelumnya. [2] Sebagai contoh, satu penelitian menemukan bahwa siswa kulit hitam mengalami perasaan memiliki yang lebih rendah terhadap sekolah dibandingkan dengan siswa kulit putih.[21] Namun, penelitian lain menghasilkan kesimpulan yang berlawanan [22] atau tidak menemukan pengaruh signifikan ras terhadap rasa memiliki terhadap sekolah.[2]

Suasana sekolah

Suasana sekolah dapat memiliki konsekuensi yang signifikan bagi siswa yang merasa seperti mereka berada di sekolah.[4] [8] [17] Suasana sekolah secara luas mengacu pada perasaan yang terkait dengan lingkungan dan kualitas sekolah. Suasana sekolah dianggap meliputi dimensi fisik (misalnya kecukupan bangunan), sosial (misalnya hubungan interpersonal), dan akademik (misalnya kualitas pengajaran).[23] Suasana sekolah dapat mempengaruhi rasa memiliki terhadap sekolah melalui ada atau tidaknya dukungan perasaan siswa terhadap hubungan dan keterikatan dengan sekolah mereka.[8] [17] Salah satu aspek penting dari suasana sekolah adalah keamanan sekolah, yaitu seberapa aman siswa merasa di sekolah. Hal ini mencakup beberapa variabel seperti kebijakan keamanan sekolah, peraturan kedisiplinan, prevalensi intimidasi, dan keadilan. Keamanan sekolah dianggap sebagai penentu penting bagi rasa kepemilikan terhadap sekolah.[4] [8] Persepsi yang lebih tinggi tentang keamanan sekolah dikaitkan dengan siswa yang memiliki perasaan school belonging yang lebih besar.[4]

Kegiatan ekstrakulikuler

Girls' Representative Cross Country 2016, diadakan di Yarra Valley Grammar School, Victoria, Australia.

Penelitian telah menunjukkan bahwa terlibat dalam kegiatan ekstrakurikuler dapat secara positif mempengaruhi persepsi siswa tentang sekolah mereka.[4][18] Misalnya, peneliti Casey Knifsend dan Sandra Graham menemukan bahwa siswa yang berpartisipasi dalam dua kegiatan ekstrakurikuler melaporkan bahwa siswa tersebut memiliki rasa school belonging yang lebih besar dibandingkan dengan siswa yang berpartisipasi kurang dari dua kegiatan ekstrakurikuler.[24] Studi lain telah mereplikasi hubungan ini dan menyoroti pentingnya berpartisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler untuk mengembangkan rasa memiliki terhadap sekolah. Kegiatan ekstrakurikuler dapat mempengaruhi rasa memiliki terhadap sekolah dengan menyediakan interaksi kolaboratif dan jangka panjang antara siswa dan teman sebayanya.[4]

Perspektif sosio-ekologis

Model Sosio-ekologi Sekolah Milik Kelly-Ann Allen, Dianne Vella-Brodrick, dan Lea Waters, 2016. [25]

Banyaknya faktor penentu kepemilikan sekolah dapat dikonseptualisasikan dalam model sosio-ekologis. Socio-ecological Model of School Belonging yang dikembangkan oleh Allen dkk. (2016), diadaptasi dari teori sistem Sosio-ekologis Bronfenbrenner (1979)[26] yang digunakan untuk menggambarkan sistem sekolah secara keseluruhan dan berbagai pengaruh yang dinamis dari rasa kepemilikan terhadap sekolah.[4] Model tersebut menggambarkan siswa sebagai pusat dari lingkungan sekolah mereka. Lingkaran dalam menggambarkan karakteristik pada tingkat biologis dan individu yang mempengaruhi rasa memiliki terhadap sekolah.[4] [2] Faktor-faktor ini termasuk ciri-ciri biologis dan karakteristik pribadi seperti stabilitas emosional dan motivasi akademik. Sistem mikro diwakili oleh hubungan dengan orang lain, khususnya, guru, teman sebaya, dan orang tua.[4] Sistem pertengahan mewakili kebijakan dan praktik sekolah yang terjadi dalam operasi sekolah sehari-hari dan eksosistem mewakili tingkat yang lebih luas yang mungkin mencakup komunitas sekolah yang lebih luas.[4] Sistem makro menggambarkan konteks budaya sekolah yang mungkin dipengaruhi oleh letak geografis sekolah, iklim sosial eksternal, dan faktor-faktor lain seperti sejarah, undang-undang, dan prioritas yang didorong oleh pemerintah.[4]

Konsekuensi

Kesehatan dan penyesuaian psikologis

Perasaan school belonging memiliki banyak konsekuensi bagi kesehatan dan penyesuaian psikologis siswa.[2] [8] [20] Penelitian telah menunjukkan bahwa ketika siswa merasakan rasa memiliki terhadap sekolah yang lebih besar, kesehatan mental dan kesejahteraan mereka meningkat.[27] Hal ini ditunjukkan dengan tingkat stabilitas emosional yang lebih besar,[2] tingkat depresi yang lebih rendah,[13] [14] berkurangnya stres,[18] dan peningkatan emosi positif seperti kebahagiaan dan kebanggaan.[28] [29] Perasaan memiliki terhadap sekolah juga sering digunakan untuk memprediksi harga diri,[16][30] konsep diri,[8][18] dan nilai diri.[20] Siswa yang memiliki rasa school belonging yang tinggi juga mempunyai pengalaman transisi kehidupan yang lebih positif juga, yang dapat memiliki implikasi penting bagi kesehatan dan penyesuaian psikologis. [18]

Di sisi lain, siswa yang tidak memiliki rasa school belonging kuat berisiko mengalami sejumlah gangguan kesehatan psikologis dan mental.[2] Siswa yang tidak memiliki rasa school belonging mempunyai risiko yang lebih besar secara signifikan untuk menunjukkan kecemasan, depresi, pengaruh negatif, ide bunuh diri, dan pengembangan secara keseluruhan terhadap penyakit mental. Kurangnya perasaan school belonging juga dapat meningkatkan perasaan penolakan sosial dan keterasingan para siswa. [2] [14]

Pengembangan dan hasil akademik

Dua siswa dari Akademi Xavier di Nepal belajar di perpustakaan 2016.

Perasaan memiliki terhadap sekolah memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan dan hasil akademik siswa.[2] Perasaan school belonging berhubungan dengan harapan keberhasilan siswa, usaha di sekolah, dan nilai yang dirasakan dari sekolah dan pendidikan.[1][11][31] Perasaan memiliki terhadap sekolah yang lebih besar telah terbukti meningkatkan keterlibatan dan partisipasi siswa baik di dalam sekolah maupun dalam kegiatan ekstrakurikuler. Demikian pula, rasa kepemilikan terhadap sekolah dikaitkan dengan komitmen yang lebih besar terhadap sekolah.[1] [5] Perasaan memiliki terhadap sekolah yang kuat juga telah terbukti meningkatkan kinerja dan prestasi akademik secara keseluruhan, seperti yang ditunjukkan oleh peningkatan nilai rata-rata.[8][16] [20] [28] Rasa memiliki terhadap sekolah juga dapat meningkatkan keyakinan siswa akan kemampuannya untuk berhasil di sekolah.[2] [8]

Penelitian menunjukkan bahwa rasa memiliki terhadap sekolah juga dapat mengurangi prevalensi hasil akademik yang negatif. Perasaan memiliki terhadap sekolah yang lebih besar dikaitkan dengan penurunan perilaku dan tindakan buruk seperti perkelahian, intimidasi, dan vandalisme.[2][8] Perasaan memiliki terhadap sekolah juga dapat meningkatkan kehadiran di sekolah dengan mengurangi frekuensi bolos dan absen.[19] Perasaan school belonging dapat mengurangi kemungkinan siswa putus sekolah sehingga meningkatkan tingkat penyelesaian sekolah.[2] [20] Sebaliknya, siswa yang tidak memiliki rasa memiliki terhadap sekolah memiliki risiko yang lebih besar untuk putus sekolah atau berpotensi putus sekolah.[1] [19]

Kesehatan fisik

Rasa kepemilikan terhadap sekolah memiliki beberapa implikasi bagi kesehatan fisik siswa.[2] Siswa yang mempunyai perasaan memiliki terhadap sekolah menunjukkan penurunan risiko terkena stroke atau penyakit lainnya.[18] Rasa kepemilikan terhadap sekolah juga dikaitkan dengan tingkat kematian yang lebih rendah bagi siswa.[32] Selain itu, perasaan kepemilikan terhadap sekolah memiliki hubungan terbalik yang signifikan dengan perilaku pengambilan risiko, termasuk penggunaan narkoba dan tembakau serta seksualisasi dini. Dengan kata lain, siswa yang memiliki tingkat perasaan kepemilikan terhadap sekolah yang lebih tinggi cenderung tidak terlibat dalam kegiatan yang menghasilkan risiko buruk.[8] [33]

Pengukuran

Ada sejumlah metode pengukuran yang digunakan untuk menilai rasa kepemilikan terhadap sekolah. Metode yang paling umum digunakan meliputi:

Psychological Sense of School Membership (PSSM)

Ukuran kepemilikan sekolah yang paling umum digunakan adalah skala Psychological Sense of School Membership (PSSM), yang dikembangkan oleh Carol Goodenow pada tahun 1993.[2] [33] Skala ini mengukur perasaan memiliki terhadap sekolah dan keanggotaan siswa dalam lingkungan sekolah dengan meminta siswa menanggapi 18 item mengenai perasaan dan pengalaman pribadi mereka di sekolah. Metode ini dirancang untuk digunakan pada siswa dari segala usia dan kebangsaan. Siswa menjawab item dalam skala mulai dari 1 sampai 5, di mana 1 menunjukkan Tidak sama sekali benar, dan 5 menunjukkan Sangat benar. Item tersebut dimaksudkan untuk mengukur persepsi siswa tentang penerimaan, dukungan akademik dan sosial, nilai, dan kepuasan dalam hubungan sosial mereka di sekolah. Berikut adalah beberapa contoh item yang ditanggapi oleh siswa: "Orang-orang di sini memperhatikan ketika saya pandai dalam sesuatu", "Siswa lain menanggapi pendapat saya dengan serius", dan "Saya merasa seperti bagian nyata dari sekolah ini".[33] Penelitian telah menemukan bahwa PSSM memiliki validitas dan reliabilitas yang tinggi sehingga membuktikan statusnya sebagai metode pengukuran yang penting dan fungsional dari penelitian mengenai perasaan kepemilikan terhadap sekolah. [2]

Hemingway Measure of Adolescent Connectedness (HMAC)

Hemingway Measure of Adolescent Connectedness (HMAC) dibuat oleh Michael Karcher pada tahun 1999 dan telah digunakan dalam penelitian sebagai ukuran rasa school belonging untuk remaja secara khusus.[34] Metode pengukuran ini berisi 74 item pada skala mulai dari 1 (Tidak benar sama sekali) hingga 5 (Sangat benar). Metode ini menguji persepsi remaja tentang keterhubungan, atau keterlibatan mereka dengan dan penilaian dari dukungan sosial secara khusus dan umum yang mereka terima pada tiga sub-kategori: keterhubungan sosial, keterhubungan akademik, dan keterhubungan keluarga. Komponen keterhubungan sosial mengukur perasaan koneksi remaja terhadap teman, lingkungan, dan diri mereka sendiri. Keterhubungan akademik mengevaluasi rasa koneksi remaja terhadap sekolah, guru, teman sebaya, dan kemampuan akademik yang ada pada diri mereka. Terakhir, komponen keterhubungan keluarga menilai perasaan keterhubungan remaja dengan orang tua, saudara kandung, agama, dan juga leluhur mereka. Item yang mengukur kepemilikan sekolah secara khusus dapat seperti: "Saya merasa baik tentang diri saya ketika saya di sekolah", "Saya bergaul dengan baik dengan siswa lain di kelas saya" dan "Saya senang berada di sekolah". [34] Skala ini telah digunakan untuk generalisasi pada remaja di seluruh dunia. [35]

School Connectedness Scale (SCS)

Jill Hendrickson Lohmeier dan Steven W. Lee menciptakan metode School Connectedness Scale (SCS) pada tahun 2011 untuk menilai hubungan teman sebaya, orang dewasa, dan sekolah siswa dalam tiga kategori berbeda: dukungan umum (kebersamaan), dukungan khusus (keterkaitan), dan keterlibatan (keterhubungan). Skala tersebut mencakup 54 item laporan diri yang disajikan dalam skala mulai dari 1 hingga 5, di mana 1 berarti "Tidak sepenuhnya benar" dan 5 berarti "Sepenuhnya benar". Beberapa item termasuk "Siswa di sekolahku saling membantu", "Aku banyak terlibat dalam kegiatan di sekolahku, seperti klub atau tim", "Guru di sekolahku sangat peduli dengan siswa mereka", dan "Aku suka menghabiskan waktu dengan teman sekelasku". SCS sering digunakan sebagai bahan generalisasi kepada siswa dari populasi yang beragam, termasuk usia dan etnis yang berbeda.[36]

School Engagement Instrument (SEI)

School Engagement Instrument (SEI) dirancang oleh James Appleton, Sandra Christenson, Dongjin Kim, dan Amy Reschly pada tahun 2006 dan biasanya digunakan untuk mengukur persepsi rasa kepemilikan terhadap sekolah.[37] Metode ini mencakup 35 item pada skala empat poin mulai dari Sangat setuju hingga Sangat tidak setuju yang mengukur keterlibatan kognitif dan afektif siswa dalam lingkungan sekolah. Item dikategorikan ke dalam enam sub-domain: "tujuan dan aspirasi masa depan, kontrol dan relevansi tugas sekolah, motivasi ekstrinsik, dukungan keluarga untuk belajar, dukungan rekan untuk belajar, dan hubungan guru-murid." Isi dari SEI biasanya seperti: “Secara keseluruhan, guruku terbuka dan jujur kepadaku”, “ Siswa di sekolahku selalu ada untukku ketika aku membutuhkan mereka”, “Ketika aku memiliki masalah di sekolah, keluarga/waliku mau untuk mendengarnya", dan "Apa yang aku pelajari di kelas akan menjadi penting untuk masa depanku." [37]

Implikasi dalam praktik

Pada tahun 2003, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) mengadakan konvensi internasional untuk mengembangkan taktik untuk memperkuat persepsi siswa tentang rasa kepemilikan terhadap sekolah.[2] Mereka mengembangkan Deklarasi Rentang Sayap tentang Koneksi Sekolah yang mengidentifikasi strategi berikut untuk meningkatkan rasa memiliki dan koneksi siswa dengan sekolah mereka: [38]

  1. Menerapkan standar dan harapan yang tinggi, dan memberikan dukungan akademik kepada semua siswa.
  2. Menerapkan kebijakan disiplin yang adil dan konsisten yang disepakati bersama dan ditegakkan secara adil.
  3. Menciptakan hubungan saling percaya di antara siswa, guru, staf, administrator, dan keluarga.
  4. Mempekerjakan dan mendukung guru yang cakap yang terampil dalam konten, teknik pengajaran, dan manajemen kelas untuk memenuhi kebutuhan setiap pelajar.
  5. Membina harapan orang tua/keluarga yang tinggi terhadap prestasi sekolah dan penyelesaian sekolah.
  6. Memastikan bahwa setiap siswa merasa dekat dengan setidaknya satu orang dewasa yang mendukung di sekolah.
—"Deklarasi Lebar Sayap tentang Koneksi Sekolah", Jurnal Kesehatan Sekolah[38]

CDC kemudian mengembangkan kerja Deklarasi Rentang Sayap pada tahun 2009 dengan melakukan tinjauan yang komprehensif dan sistematis tentang rasa kepemilikan dan keterhubungan terhadao sekolah menggunakan sumber-sumber dari peneliti ahli, pemerintah, pendidik, dan banyak lagi. Karya ini menghasilkan empat strategi tambahan untuk meningkatkan persepsi siswa tentang rasa memiliki di dalam sekolah: [39]

  1. Dukungan Orang Dewasa: Anggota staf sekolah dapat mendedikasikan waktu, minat, perhatian, dan dukungan emosional mereka kepada siswa.
  2. Menjadi bagian dari Kelompok Teman yang Positif: Jaringan teman sebaya yang stabil dapat meningkatkan persepsi siswa tentang sekolah.
  3. Komitmen terhadap Pendidikan: Percaya bahwa sekolah penting untuk masa depan mereka dan memahami bahwa orang dewasa di sekolah berinvestasi dalam pendidikan mereka dapat membantu siswa terlibat dalam pembelajaran mereka sendiri dan terlibat dalam kegiatan sekolah.
  4. Lingkungan Sekolah: Lingkungan fisik dan iklim psikososial dapat mengatur taraf persepsi siswa yang positif tentang sekolah.
—"School Connectedness: Strategies for Increasing Protective Factors Among Youth", Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit[39]

Implikasi tingkat siswa untuk praktik

Intervensi tingkat siswa juga dapat meningkatkan rasa memiliki terhadap sekolah. Penelitian telah menunjukkan bahwa kesempatan belajar sosial dan emosional juga dapat meningkatkan rasa memiliki terhadap sekolah pada siswa.[40] Banyak karakteristik individu yang ditemukan dapat meningkatkan rasa memiliki terhadap sekolah pada siswa dapat diajarkan kepada siswa lain dan dengan demikian menawarkan mekanisme pencegahan agar mendukung peningkatan rasa memiliki terhadap sekolah pada siswa tersebut. Misalnya, penelitian menunjukkan bahwa pengajaran regulasi emosi, keterampilan mengatasi, keterampilan interpersonal, dan keterampilan yang berkaitan dengan motivasi akademik menjanjikan untuk mendukung peningkatan rasa memiliki terhadap sekolah pada siswa.[8] [41]

Referensi

Tautan eksternal

  1. ^ a b c d e Goodenow, Carol; Grady, Kathleen E. (1993). "The Relationship of School Belonging and Friends' Values to Academic Motivation Among Urban Adolescent Students". The Journal of Experimental Education (dalam bahasa Inggris). 62 (1): 60–71. doi:10.1080/00220973.1993.9943831. ISSN 0022-0973. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af Allen, Kelly-Ann; Kern, Margaret L. (2017). School Belonging in Adolescents: Theory, Research and Practice. SpringerBriefs in Psychology (dalam bahasa Inggris). Singapore: Springer Singapore. doi:10.1007/978-981-10-5996-4. ISBN 978-981-10-5995-7. 
  3. ^ a b c d e f Willms, Jon D. (2003). Student Engagement at School: A Sense of Belonging and Participation: Results from PISA 2000. PISA (dalam bahasa Inggris). OECD. doi:10.1787/9789264018938-en. ISBN 978-92-64-01892-1. 
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n Allen, Kelly-Ann; Vella-Brodrick, Dianne; Waters, Lea (2016). "Fostering School Belonging in Secondary Schools Using a Socio-Ecological Framework". The Educational and Developmental Psychologist (dalam bahasa Inggris). 33 (1): 97–121. doi:10.1017/edp.2016.5. ISSN 2059-0776. 
  5. ^ a b c d Osterman, Karen F. (2000). "Students' Need for Belonging in the School Community". Review of Educational Research (dalam bahasa Inggris). 70 (3): 323–367. doi:10.3102/00346543070003323. ISSN 0034-6543. 
  6. ^ Allen, K. A.; Bowles, T. (2012). "Belonging as a Guiding Principle in the Education of Adolescents" (PDF). Australian Journal of Educational and Developmental Psychology. 12: 109. 
  7. ^ Libbey, H. P. (2004). "Measuring student relationships to school: Attachment, bonding, connectedness, and engagement". Journal of School Health. 74 (7): 274–283. doi:10.1111/j.1746-1561.2004.tb08284.x. PMID 15493704. 
  8. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac Allen, Kelly; Kern, Margaret L.; Vella-Brodrick, Dianne; Hattie, John; Waters, Lea (2018). "What Schools Need to Know About Fostering School Belonging: a Meta-analysis". Educational Psychology Review (dalam bahasa Inggris). 30 (1): 1–34. doi:10.1007/s10648-016-9389-8. ISSN 1040-726X. 
  9. ^ Arslan, G.; Allen, K.; Ryan, T. (2020). "Exploring the Impacts of School Belonging on Youth Wellbeing and Mental Health]: A Longitudinal Study". Child Indicators Research. doi:10.1007/s12187-020-09721-z. 
  10. ^ a b Abdollahi, A.; Panahipour, S.; Tafti, M. A.; Allen, K. A. (2020). "Academic hardiness as a mediator for the relationship between school belonging and academic stress". Psychology in the Schools: 345. doi:10.1080/00220671.2016.1261075. 
  11. ^ a b c Neel, Cari Gillen-O'; Fuligni, Andrew (2013). "A Longitudinal Study of School Belonging and Academic Motivation Across High School". Child Development (dalam bahasa Inggris). 84 (2): 678–692. doi:10.1111/j.1467-8624.2012.01862.x. ISSN 1467-8624. PMID 23002809. 
  12. ^ a b c "PISA 2018: Combined Executive Summary Report Report" (PDF). Secretary-General of the OECD. 2019. Diakses tanggal June 7, 2020. 
  13. ^ a b c Newman, Barbara M.; Newman, Philip R.; Griffen, Sarah; O'Connor, Kerry; Spas, Jayson (2007). "The relationship of social support to depressive symptoms during the transition to high school". Adolescence. 42 (167): 441–459. ISSN 0001-8449. PMID 18047232. 
  14. ^ a b c Anderman, Eric M. (2002). "School effects on psychological outcomes during adolescence". Journal of Educational Psychology (dalam bahasa Inggris). 94 (4): 795–809. doi:10.1037/0022-0663.94.4.795. ISSN 1939-2176. 
  15. ^ a b c d Anderman, Lynley H. (2003). "Academic and Social Perceptions as Predictors of Change in Middle School Students' Sense of School Belonging". The Journal of Experimental Education. 72 (1): 5–22. doi:10.1080/00220970309600877. ISSN 0022-0973. 
  16. ^ a b c Sirin, Selcuk R.; Rogers-Sirin, Lauren (2004). "Exploring School Engagement of Middle-Class African American Adolescents". Youth & Society (dalam bahasa Inggris). 35 (3): 323–340. doi:10.1177/0044118X03255006. ISSN 0044-118X. 
  17. ^ a b c Ma, Xin (2003). "Sense of Belonging to School: Can Schools Make a Difference?". The Journal of Educational Research. 96 (6): 340–349. doi:10.1080/00220670309596617. ISSN 0022-0671. 
  18. ^ a b c d e f g Slaten, Christopher D.; Ferguson, Jonathan K.; Allen, Kelly-Ann; Brodrick, Dianne-Vella; Waters, Lea (2016). "School Belonging: A Review of the History, Current Trends, and Future Directions". The Educational and Developmental Psychologist (dalam bahasa Inggris). 33 (1): 1–15. doi:10.1017/edp.2016.6. ISSN 2059-0776. 
  19. ^ a b c St-Amand, Jerome; Girard, Stephanie; Smith, Jonathan (2017). "Sense of Belonging at School: Defining Attributes, Determinants, and Sustaining Strategies". IAFOR Journal of Education (dalam bahasa Inggris). 5 (2). doi:10.22492/ije.5.2.05. ISSN 2187-0594. 
  20. ^ a b c d e Pittman, Laura D.; Richmond, Adeya (2007). "Academic and Psychological Functioning in Late Adolescence: The Importance of School Belonging". The Journal of Experimental Education. 75 (4): 270–290. doi:10.3200/JEXE.75.4.270-292. ISSN 0022-0973. 
  21. ^ a b Bonny, Andrea E.; Britto, Maria T.; Klostermann, Brenda K.; Hornung, Richard W.; Slap, Gail B. (2000-11-01). "School Disconnectedness: Identifying Adolescents at Risk". Pediatrics (dalam bahasa Inggris). 106 (5): 1017–1021. doi:10.1542/peds.106.5.1017. ISSN 0031-4005. PMID 11061769. 
  22. ^ Voelkl, Kristin E. (1995-01-01). "School Warmth, Student Participation, and Achievement". The Journal of Experimental Education. 63 (2): 127–138. doi:10.1080/00220973.1995.9943817. ISSN 0022-0973. 
  23. ^ Loukas, Alexandra (2007). "What is School Climate?". National Association of Elementary School Principals. 5 (1): 1–3. 
  24. ^ Knifsend, Casey A.; Graham, Sandra (2012). "Too Much of a Good Thing? How Breadth of Extracurricular Participation Relates to School-Related Affect and Academic Outcomes During Adolescence". Journal of Youth and Adolescence (dalam bahasa Inggris). 41 (3): 379–389. doi:10.1007/s10964-011-9737-4. ISSN 0047-2891. PMID 22160442. 
  25. ^ Allen, Kelly-Ann; Vella-Brodrick, Dianne; Waters, Lea (July 2016). "Fostering School Belonging in Secondary Schools Using a Socio-Ecological Framework". The Educational and Developmental Psychologist (dalam bahasa Inggris). 33 (1): 97–121. doi:10.1017/edp.2016.5. ISSN 2059-0776. 
  26. ^ Bronfenbrenner, U. (1979). The ecology of human development: Experiments by nature and design. Cambridge, MA: Harvard University Press. Page 5.
  27. ^ Jose, Paul E.; Ryan, Nicholas; Pryor, Jan (2012). "Does Social Connectedness Promote a Greater Sense of Well-Being in Adolescence Over Time?". Journal of Research on Adolescence (dalam bahasa Inggris). 22 (2): 235–251. doi:10.1111/j.1532-7795.2012.00783.x. ISSN 1532-7795. 
  28. ^ a b O'Rourke, John; Cooper, Martin (2010). "Lucky To Be Happy: A Study of Happiness in Australian Primary Students". Australian Journal of Educational and Developmental Psychology. 10: 94–107. 
  29. ^ Fong Lam, Un; Chen, Wei-Wen; Zhang, Jingqi; Liang, Ting (2015). "It feels good to learn where I belong: School belonging, academic emotions, and academic achievement in adolescents". School Psychology International (dalam bahasa Inggris). 36 (4): 393–409. doi:10.1177/0143034315589649. ISSN 0143-0343. 
  30. ^ Begen, Fiona M.; Turner-Cobb, Julie M. (2015). "Benefits of belonging: Experimental manipulation of social inclusion to enhance psychological and physiological health parameters" (PDF). Psychology & Health (dalam bahasa Inggris). 30 (5): 568–582. doi:10.1080/08870446.2014.991734. ISSN 0887-0446. PMID 25420618. 
  31. ^ Goodenow, Carol (1991). "The Sense of Belonging and Its Relationship to Academic Motivation Among Pre- and Early Adolescent Students". Education Resources Information Center. 
  32. ^ Holt-Lunstad, Julianne; Smith, Timothy B.; Layton, J. Bradley (2010). "Social Relationships and Mortality Risk: A Meta-analytic Review". PLOS Medicine (dalam bahasa Inggris). 7 (7): e1000316. doi:10.1371/journal.pmed.1000316. ISSN 1549-1676. PMC 2910600alt=Dapat diakses gratis. PMID 20668659. 
  33. ^ a b c Goodenow, Carol (1993). "The psychological sense of school membership among adolescents: Scale development and educational correlates". Psychology in the Schools (dalam bahasa Inggris). 30 (1): 79–90. doi:10.1002/1520-6807(199301)30:1<79::AID-PITS2310300113>3.0.CO;2-X. ISSN 1520-6807. 
  34. ^ a b Karcher, Michael (1999). The Hemingway Measure of Adolescent Connectedness: A Manual for Interpretation and Scoring. University of Wisconsin, Madison. 
  35. ^ Karcher, Michael; Lee, Yun (2001-11-30). "Connectedness among Taiwanese Middle School Students: A Validation Study of the Hemingway Measure of Adolescent Connectedness". Asia Pacific Education Review. 3 (1): 92–114. doi:10.1007/BF03024924. 
  36. ^ Lohmeier, Jill Hendrickson; Lee, Steven W. (2011). "A school connectedness scale for use with adolescents". Educational Research and Evaluation (dalam bahasa Inggris). 17 (2): 85–95. doi:10.1080/13803611.2011.597108. ISSN 1380-3611. 
  37. ^ a b Appleton, James J.; Christenson, Sandra L.; Kim, Dongjin; Reschly, Amy L. (2006). "Measuring cognitive and psychological engagement: Validation of the Student Engagement Instrument". Journal of School Psychology (dalam bahasa Inggris). 44 (5): 427–445. doi:10.1016/j.jsp.2006.04.002. 
  38. ^ a b "Wingspread Declaration on School Connections". Journal of School Health (dalam bahasa Inggris). 74 (7): 233–234. 2004. doi:10.1111/j.1746-1561.2004.tb08279.x. PMID 15493700.  Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama ":18" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  39. ^ a b "School Connectedness: Strategies for Increasing Protective Factors Among Youth" (PDF). Centers for Disease Control and Prevention. 2009.  Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama ":19" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  40. ^ Allen, K. A.; Vella-Brodrick, D.; Waters, L. (2017). A. J. Martin; R. J. Collie, ed. "School belonging and the role of social and emotional competencies in fostering an adolescent's sense of connectedness to their school". Social and Emotional Learning in Australia and the Asia-Pacific: Perspectives, Programs and Approaches (edisi ke-1st). Singapore, Singapore: Springer: 83. doi:10.1007/978-981-10-3394-0_5. ISBN 978-981-10-3393-3.  Tidak memiliki parameter |last1= di Editors list (bantuan)
  41. ^ Allen, Kelly-Ann; Kern, Peggy (June 18, 2019). Boosting School Belonging: Practical Strategies to Help Adolescents Feel Like They Belong at School (dalam bahasa Inggris). Routledge. hlm. 10. ISBN 978-1-351-39588-5.