Teori kuman penyakit: Perbedaan antara revisi
Haris Fadh (bicara | kontrib) |
|||
Baris 181: | Baris 181: | ||
=== Louis Pasteur === |
=== Louis Pasteur === |
||
Penelitian yang lebih formal mengenai hubungan antara kuman dan penyakit dilaksanakan oleh Louis Pasteur di antara tahun 1860 dan 1864. Ia menemukan patologi demam puerperal dan vibrio piogenik di dalam darah.<ref>{{cite book|title=Comptes Rendus de l'Académie des Sciences|last=Pasteur|first=Louis|others=Ernst, H.C. (trans)|year=1880|volume=XC|pages=1033–44|chapter=(translated from French)|trans-chapter=On the extension of the germ theory to the etiology of certain common diseases|origyear=May 1880|chapterurl=http://ebooks.adelaide.edu.au/p/pasteur/louis/exgerm/complete.html}}</ref> Ia kemudian menyarankan penggunaan asam borik untuk membunuh mikroorganisme ini sebelum dan setelah isolasi. |
Penelitian yang lebih formal mengenai hubungan antara kuman dan penyakit dilaksanakan oleh Louis Pasteur di antara tahun 1860 dan 1864. Ia menemukan patologi demam puerperal dan vibrio piogenik di dalam darah.<ref>{{cite book|title=Comptes Rendus de l'Académie des Sciences|last=Pasteur|first=Louis|others=Ernst, H.C. (trans)|year=1880|volume=XC|pages=1033–44|chapter=(translated from French)|trans-chapter=On the extension of the germ theory to the etiology of certain common diseases|origyear=May 1880|chapterurl=http://ebooks.adelaide.edu.au/p/pasteur/louis/exgerm/complete.html}}</ref> Ia kemudian menyarankan penggunaan asam borik untuk membunuh mikroorganisme ini sebelum dan setelah isolasi. |
||
Pada tahun 1854, Louis Pasteur diminta untuk membantu memecahkan masalah yang berhubungan dengan produksi alkohol, dan dengan demikian ia memulai serangkaian penelitian mengenai fermentasi. Saat itu, Pasteur menyelidiki berbagai aspek pada proses fermentasi, termasuk produksi senyawa asam laktat pada proses pengasaman susu. Pada awalnya, terdapat gagasan oleh dua ahli kimia terkemuka bernama Justus von Liebig dari Jerman dan Jacob Berzelius dari Swedia yang mengemukakan bahwa fermentasi alkohol sebagian besar merupakan aktivitas kimiawi, bukan biologis. Liebig percaya bahwa fermentasi adalah proses dekomposisi dari kapang yang terpapar air dan udara. <ref name=":12">{{Cite book|date=1957|url=https://www.worldcat.org/oclc/979880864|title=Conant, James Bryant ; Nash, Leonard K. ; Roller, Duane ; Roller, Duane H.D.: Harvard Case Histories in Experimental Science. Volume II.|location=Cambridge, Mass.|isbn=978-0-674-59871-3|oclc=979880864}}</ref> Pernyataan ini diperkuat oleh pengamatan Liebig bahwa materi terurai lainnya, misalnya bagian tumbuhan atau hewan yang buruk, berinteraksi dengan gula dengan cara yang sama seperti ragi<ref name=":12" /><ref>{{Cite book|last=Ben-Menahem|first=Ari|date=2009|url=https://www.worldcat.org/oclc/318545341|title=Historical encyclopedia of natural and mathematical sciences|location=Berlin|publisher=Springer|isbn=978-3-540-68832-7|oclc=318545341}}</ref> |
|||
Pasteur beranggapan bahwa fermentasi hanya akan terjadi apabila terdapat mikroorganisme hidup. Pada tahun 1857, ia mengamati keberadaan mikroba di bawah mikroskop yang terlibat dalam proses fermentasi alkohol. Pasteur menyatakan terdapat objek kecil dan pendek yang berbentuk seperti butiran. Butiran ini jauh lebih kecil dibanding ragi bir yang digunakan pada proses fermentasi alkohol. Kemudian ia mengumpulkan pengamatan yang konsisten dengan hipotesisnya bahwa fermentasi terjadi saat terdapat keberadaan organisme hidup.<ref>{{Cite journal|last=Smith|first=Kendall A.|date=2012|title=Louis Pasteur, the Father of Immunology?|url=http://journal.frontiersin.org/article/10.3389/fimmu.2012.00068/abstract|journal=Frontiers in Immunology|volume=3|doi=10.3389/fimmu.2012.00068|issn=1664-3224|pmc=PMC3342039|pmid=22566949}}</ref> Pasteur berkesimpulan bahwa seluruh proses fermentasi disebabkan oleh fermentasi mikroorganisme hidup tertentu (bakteri atau kapang). Permasalahan yang terdapat pada minuman beralkohol seperti anggur dan bir yang terkontaminasi disebabkan oleh bakteri kontaminan.<ref name=":13">{{Cite journal|last=Berche|first=P.|date=2012-10|title=Louis Pasteur, from crystals of life to vaccination|url=https://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S1198743X14613550|journal=Clinical Microbiology and Infection|language=en|volume=18|pages=1–6|doi=10.1111/j.1469-0691.2012.03945.x}}</ref><ref>{{Cite journal|last=Pasteur|first=L.|date=1864|title=Mémoire sur la fermentation acétique|url=http://dx.doi.org/10.24033/asens.4|journal=Annales scientifiques de l'École normale supérieure|volume=1|pages=113–158|doi=10.24033/asens.4|issn=0012-9593}}</ref> Ia menemukan adanya kehidupan mikroorganisme yang hidup tanpa oksigen (kondisi anaerob) dan mengusulkan pencegahan kontaminasi dengan cara pemanasan berulang atau proses pasteurisasi.<ref name=":13" /> Temuan ini yang membawanya untuk mempelajari hipotesis generasi spontan. |
|||
Lebih lanjut, Pasteur menunjukkan di antara tahun 1860 dan 1864 bahwa fermentasi dan pertumbuhan mikroorganisme di media tanam tidak terjadi melalui generasi spontan. Ia membuka sebotol kaldu steril di dalam sebuah penampung yang dilengkapi filter yang dapat menghentikan partikel agar tidak masuk dan mencapai kaldu itu. Ia juga melakukan eksperimen lain yang tidak menggunakan filter, melainkan menggunakan tuba yang panjang dan berputar-putar yang dapat menghentikan partikel debu. Berdasarkan eksperimen ini, ia menemukan bahwa tidak ada organisme yang tumbuh di dalam kaldu. Dengan demikian, ia menyimpulkan bahwa organisme yang hidup di dalam kaldu datang dari luar, sebagaimana spora yang bertahan di debu dan tidak muncul dengan tiba-tiba oleh kaldu itu sendiri. |
Lebih lanjut, Pasteur menunjukkan di antara tahun 1860 dan 1864 bahwa fermentasi dan pertumbuhan mikroorganisme di media tanam tidak terjadi melalui generasi spontan. Ia membuka sebotol kaldu steril di dalam sebuah penampung yang dilengkapi filter yang dapat menghentikan partikel agar tidak masuk dan mencapai kaldu itu. Ia juga melakukan eksperimen lain yang tidak menggunakan filter, melainkan menggunakan tuba yang panjang dan berputar-putar yang dapat menghentikan partikel debu. Berdasarkan eksperimen ini, ia menemukan bahwa tidak ada organisme yang tumbuh di dalam kaldu. Dengan demikian, ia menyimpulkan bahwa organisme yang hidup di dalam kaldu datang dari luar, sebagaimana spora yang bertahan di debu dan tidak muncul dengan tiba-tiba oleh kaldu itu sendiri. |
||
Pada tahun 1863, tepatnya sesaat setelah Pasteur diangkat menjadi profesor geologi, fisika, dan kimia di École des Beaux-Arts (Sekolah Seni Rupa), ia mengalihkan perhatiannya ke krisis ulat sutra di Prancis. Pada pertengahan abad ke-19, sebuah penyakit menular yang bernama ‘pebrin’ dan ‘''flacherie''’ menyerang pembiakan ulat sutra.<ref>{{Cite journal|last=Casanova|first=Jean-Laurent|last2=Abel|first2=Laurent|date=2013-08-31|title=The Genetic Theory of Infectious Diseases: A Brief History and Selected Illustrations|url=https://www.annualreviews.org/doi/10.1146/annurev-genom-091212-153448|journal=Annual Review of Genomics and Human Genetics|language=en|volume=14|issue=1|pages=215–243|doi=10.1146/annurev-genom-091212-153448|issn=1527-8204|pmc=PMC4980761|pmid=23724903}}</ref><ref>{{Cite book|last=Pasteur|first=Louis|last2=Vallery-Radot|first2=Pasteur|date=1922|url=http://dx.doi.org/10.5962/bhl.title.22971|title=Oeuvres / réunies par Pasteur Vallery-Radot.|location=Paris :|publisher=Masson}}</ref> Akibatnya, telur-telur ulat sutra tersebut tidak bisa diproduksi dan diimpor ke negara lain. Penyakit ini telah menyebar ke seluruh Eropa, wilayah Kaukasus di Eurasia, Cina, dan Jepang. Penyakit ‘pebrin’ disebabkan oleh organisme mikroskopis (yang kemudian diketahui merupakan protozoa parasit) bernama ''Nosema bombycis''. Sedangkan penyakit serupa yang bernama ‘''flacherie''’ diyakini oleh Pasteur karena sumber nutrisi, dengan proliferasi bakteri usus. <ref name=":13" /> Peristiwa ini menyebabkan industri ulat sutra yang hampir hancur di Prancis dan sebagian kecil di Eropa barat pada tahun 1865. Atas permintaan mentor terdahulunya, Dumas, Pasteur yang hampir tidak mengetahui apapun mengenai ulat sutra menerima tawaran dan berkesempatan untuk mempelajari lebih lanjut terkait penyakit menular itu. Setelah lima tahun penelitian, ia berhasil menyelamatkan industri sutra melalui metode yang memungkinkan pelestarian telur ulat sutra yang sehat dan mencegah kontaminasi oleh organisme penyebab penyakit. <ref>{{Cite journal|last=Schwartz|first=M.|date=2001-10|title=The life and works of Louis Pasteur|url=http://dx.doi.org/10.1046/j.1365-2672.2001.01495.x|journal=Journal of Applied Microbiology|volume=91|issue=4|pages=597–601|doi=10.1046/j.1365-2672.2001.01495.x|issn=1364-5072}}</ref> Metode ini disebut sebagai ‘''graining''’ dengan pemeriksaan mikroskop yang memungkinkan penyeleksian telur ulat sutra yang sehat juga di saat yang bersamaan menghilangkan telur dari betina yang terinfeksi.<ref name=":13" /> Dalam beberapa tahun, metode ini diakui di seluruh Eropa dan masih digunakan hingga sekarang di negara-negara penghasil sutra. Penelitian ini kemudian yang dibawakan Pasteur sebagai teori kuman untuk menjelaskan banyak penyakit menular lainnya. |
|||
Pasteur menemukan sebuah penyakit lain yang menjangkiti ular sutra. Penyakit yang bernama [[pebrin]] ini disebabkan oleh organisme mikroskopik yang kini dikenal sebagai ''[[Nosema bombycis]]'' (1870). Pasteur menyelamatkan industri sutra Prancis dengan penciptaan sebuah metode untuk memfilter telur ulat sutra yang terinfeksi. Metode ini masih digunakan sampai saat ini untuk mengendalikan penyakit pébrine dan penyakit ulat sutra lainnya. |
|||
=== Robert Koch === |
=== Robert Koch === |
Revisi per 18 Oktober 2021 16.40
Teori kuman penyakit adalah teori ilmiah yang saat ini digunakan untuk menjelaskan adanya penyakit. Teori ini menyatakan bahwa mikroorganisme yang dikenal sebagai patogen atau "kuman" dapat menyebabkan penyakit.[1] Berbagai organisme kecil yang tidak kasatmata ini menyerang manusia, binatang, dan makhluk hidup lainnya. Perkembangan dan reproduksinya di dalam inang (organisme yang terinfeksi) dapat menyebabkan penyakit. Kemampuan organisme pantogen untuk menyebabkan penyakit disebut dengan patogenitas. Dalam hal ini, kata "kuman" tidak hanya merujuk pada bakteri, tetapi juga pada jenis mikroorganisme apa pun maupun patogen tidak hidup yang dapat menyebabkan penyakit, seperti protista, fungi (jamur), virus, prion, atau viroid.[2]
Infeksi terjadi apabila mikroorganisme kecil tak kasatmata ini masuk ke dalam tubuh untuk mengganggu fisiologis normal pada tubuh dan menyerang kekebalan tubuh maka menyebabkan penyakit. Penyakit yang disebabkan oleh patogen disebut penyakit menular. Sebab dapat berpindah dari satu individu ke individu lainnya, baik pada manusia maupun hewan atau makhluk hidup lainnya yang sehat, sehingga populasi penderita semakin meluas[3]. Penularan penyakit ini prosesnya dapat terjadi dengan berbagai macam cara, seperti melalui penularan langsung ketika individu terinfeksi bertemu dengan individu peka di suatu tempat maupun secara tidak langsung dengan perantara benda atau organisme lainnya. Meskipun patogen dapat menjadi penyebab utama seseorang terkena penyakit, tetapi ada juga faktor-faktor lain yang memperparah penyakit tersebut maupun potensi seseorang terinfeksi, seperti faktor pejamu (genetik, umur, jenis kelamin, keadaan fisiolosi, kekebalan, penyakit bawaan, sifat-sifat manusia) faktor lingkungan[4].
Perkembangan teori kuman penyakit ini sudah dimulai dari beberapa abad yang lalu. Seperti dari teori miasma yang menjadi teori predominan mengenai penyebaran penyakit yang kemudian ditinggalkan karena tidak terbukti secara ilmiah. Kemudian, berkembang di beragam kebudayaan seperti Israel Kuno, Yunani dan Roma, India Kuno. Serta penemuan beberapa tokoh di abad pertengahan dan periode modern awal.
Pada abad pertengahan, beberapa tokoh mulai mengusulkan bentuk awal dari teori kuman penyakit, seperti Ibnu Sina pada tahun 102 dan Girolamo Fracastoro pada tahun 1546. Akan tetapi, di Eropa, pandangan seperti ini tidak terlalu dipercayai; dokter dan ilmuwan masih lebih memandang tinggi teori miasma dari Galenus. Mereka menjadi tidak mampu memahami progresi penyakit akibat doktrin ini.
Pada periode modern awal, beberapa tokoh mulai membantu mengembangkan beberapa inovasi yang membantu berkembangnya teori kuman penyakit, seperti eksperimen yang dilakukan oleh Francesco Redi pada tahun 1668, pengamatan mikroorganisme oleh Anton van Leeuwenhoek pada tahun 1670-an, sampai dikembangkan oleh Marcus von Plenciz pada tahun 1762.
Selanjutnya, para tokoh seperti Agostino Bassi, Ignaz Semmelweis, Gideon Mantell, John Snow juga mengemukakan berbagai pengamatan mereka yang memengaruhi perkembangan teori kuman penyakit. Pada awal abad ke-19, vaksinasi cacar sudah banyak dilakukan di Eropa, tetapi para dokter tidak paham cara kerja vaksin tersebut atau cara memindahkan prinsip vaksin ke penyakit lain. Pengobatan yang mirip juga banyak digunakan di India sebelum tahun 1000. Di akhir tahun 1850-an, Louis Pasteur akhirnya mampu mendalami lebih lanjut. Penelitiannya diperdalam oleh Robert Koch pada tahun 1880-an. Di akhir dekade tersebut, teori miasma sudah tidak banyak digunakan akibat kalah saing dengan teori kuman penyakit. Kemudian, pada tahun 1890-an, virus ditemukan. Mulailah sebuah "abad keemasan" ilmu bakteriologi dan dengan teori kuman penyakit, para ilmuwan segera mencari dan mengidentifikasi organisme lain yang menyebabkan penyakit.
Teori miasma
Teori miasma adalah teori predominan mengenai penyebaran penyakit yang digunakan sebelum teori kuman penyakit menjadi arus utama di akhir abad ke-19. Teori ini sudah kuno dan tidak diterima lagi sebagai teori ilmiah. Menurut teori miasma, penyakit seperti kolera, infeksi klamidia, atau Maut Hitam, disebabkan oleh miasma (μίασμα, "polusi" dalam bahasa Yunani Kuno), semacam "udara buruk" yang keluar dari materi organik yang membusuk.[5] Miasma dianggap sebagai semacam uap atau kabut beracun yang dipenuhi partikel dari materi membusuk (miasmata) yang dapat ditentukan dari baunya yang tidak enak. Teori ini menyatakan bahwa penyakit adalah produk dari faktor lingkungan seperti air yang terkontaminasi, udara yang buruk, dan kondisi lingkungan yang jorok. Infeksi tidak terjadi antarindividu, tetapi hanya terjadi pada orang-orang yang berada di sekitar uap tersebut.
Perkembangan
Sebelum adanya penelitian mengenai mikrobiologi, orang-orang pada zaman dahulu percaya bahwa penyakit dikirim oleh para dewa sebagai hukuman atas dosa yang mereka perbuat. Menurut masyarakat Persia kuno, penyakit disebabkan oleh roh jahat dan harus dikendalikan melalui praktik pengusiran roh jahat. Baru pada abad ke-6, filsuf pra-Socrates seperti Pythagoras, Alcmaeon, dan Empedokles menyatakan bahwa lingkungan memainkan peran yang penting dalam menyebabkan timbulnya suatu penyakit. Pada abad ini juga terdapat sebuah wabah yang bernama Wabah Yustinianus. Wabah ini menginspirasi ilmuwan untuk mencari penyebabnya.[6] Sebelum munculnya teori miasma, terdapat satu teori pendahulu yaitu Teori Hippokrates yang dibuat oleh Hippokrates. Teori ini dimuat dalam buku karyanya sendiri yang berjudul "On Airs, Waters, and Places". Dalam teorinya, Hippokrates menyebutkan bahwa penyakit dapat disebabkan oleh dua hal, yakni karena adanya kontak dengan jasad hidup dan karena pengaruh lingkungan internal dan eksternal seseorang. [7] Pada awal abad ke-16, Girolamo Fracastoro, seorang penyair, dokter, dan matematikawan, mencoba menganalisis konsep penularan dan infeksi. Di tahun 1546, ia menerbitkan tulisannya yang berjudul Contagious Diseases and Their Cure.
Beberapa ilmuwan seperti Edward Jenner, Ignaz Semmelweis, dan Robert Koch melakukan riset lebih lanjut terkait teori ini.[8] Pada abad ke-18 teori kuman penyakit pada awalnya hanyalah campuran teori dari pemikiran medis beberapa ahli. Pada abad ini teori kuman penyakit kembali mengalami kemajuan karena timbulnya penyakit cacar. Pada saat itu beberapa ilmuwan seperti Edward Jenner melakukan serangkaian metode ilmiah seperti membuat hipotesis, menguji, dan membuktikan teori vaksinasi. Pada akhirnya, di abad-19 teori kuman penyakit ini berkembang dan dikenal oleh masyarakat.[8]
Abad ke-19 ini menjadi era kejayaan bagi teori kuman penyakit. Hal ini dikarenakan, teori ini telah dikenal oleh masyarakat luas, sehingga sejak saat itu masyarakat percaya bahwa beberapa penyakit yang menyerang manusia selama beradab-abad tenyata disebabkan oleh invasi mikroorganisme ke dalam tubuh manusia. Teori kuman penyakit ini memberikan dampak yang sangat besar bagi perkembangan epidemologi penyakit infeksi. Hal ini dikarenakan teori kuman penyakit ini telah memberikan pencerahan bagi para ilmuwan untuk mengidentifikai berbagai penyakit baru yang menyerang manusia. Berkat teori ini juga, banyak penyakit yang akhirnya dapat dicegah dan juga disembuhkan. Teori kuman penyakit ini mengarahkan para ilmuwan untuk menghasilkan obat-obatan antibiotik dan antimikrobaseperti vaksin, steriliasi, preurisasi, dan program sanitasi publik. Teori ini terus berkembang hingga ke level molekul pada abad ke-20. [7]
Teori kuman penyakit menghubungkan penyebab suatu penyakit dengan mikoorganisme tertentu yang berada di dalam tubuh manusia. Teori ini akhirnya menolak teori miasma yang mengatakan bahwa penyakit disebabkan oleh miasma semacam "udara buruk" yang keluar dari materi organik yang membusuk.[5]
Israel Kuno
Hukum Musa atau Taurat Musa (1000 SM) merupakan salah satu bukti pemikiran-pemikiran awal tentang penularan dalam penyebaran penyakit, yang bertentangan dengan tradisi medis klasik dan tulisan-tulisan oleh Hippocrates[9]. Dalam Hukum Musa, hal ini disebut dengan contagium animatum atau penyebaran penyakit yang tak kasat mata melalui kontak fisik yang berdekatan[10]. Untuk mencegah penyebaran penyakit tersebut, Hukum Musa membahas tentang pentingnya memberlakukan peraturan kebersihan dalam masyarakat, menjaga kesehatan reproduksi, dan memerintahkan karantina bagi penderita kusta atau penyakit kelamin. Termasuk di antara bentuk-bentuk tanggung jawab kesehatan individual dan masyarakat adalah kebersihan makanan, tempat tinggal atau rumah, waktu untuk istirahat, pembuangan sampah yang benar, dan akses air bersih[11]. Masyarakat Israel Kuno juga diperintahkan untuk mencuci tangan dan benda lain sebagai bentuk pemurnian. Selain itu, terdapat juga larangan untuk memakan daging binatang yang sakit atau kotor, serta tata cara penyembelihan binatang agar bisa disimpan lebih lama.
Menurut Tafsir Talmud mengenai hukum Alkitab, terdapat dua prinsip yang membahas tentang kebersihan dan kesehatan manusia. Prinsip yang pertama adalah Pikuah Nefesh atau kesucian hidup[11]. Prinsip ini menyebutkan bahwa bahwa penyelamatan satu nyawa manusia dianggap sebagai menyelamatkan seluruh dunia. Lalu prinsip yang kedua adalah Tikkun Olam, yang menekankan tentang pentingnya peningkatan kualitas hidup seluruh makhluk hidup di dunia[11].
Kewajiban untuk menjaga kebersihan dan kesehatan yang terdapat dalam Hukum Musa tersebut merupakan pesan dari Tuhan untuk para umat manusia yang disampaikan lewat Musa. Oleh karena itu, praktik-praktik kebersihan dianggap sebagai bagian dari kegiatan keagamaan. Pembahasan mengenai kebersihan dan kesehatan manusia yang terdapat dalam Hukum Musa menciptakan dasar health policies dalam individu dan masyarakat modern.
Yunani dan Roma
Di periode klasik, seorang sejarawan Yunani, Thukidides (sekitar 460 – 400 SM) adalah orang pertama yang menyatakan bahwa penyakit dapat menular dari orang yang berpenyakit ke orang lain.[12][13] Hal ini ia tulis dalam catatannya mengenai wabah Atena. Teori lain yang menyatakan bahwa penyakit tidak menular melalui kontak langsung adalah teori yang menyatakan bahwa penyakit disebar melalui "benih" (semina dalam bahasa Latin) berbentuk spora yang ada dan dapat menyebar melalui udara. Penyair Romawi, Lucretius (sekitar 99 – 55 SM), dalam puisinya yang berjudul De rerum natura menulis bahwa dunia ini mengandung berbagai "benih" yang dapat membuat orang sakit apabila dihirup atau ditelan.[14][15] Negarawan Romawi, Marcus Terentius Varro (116–27 SM) dalam bukunya Rerum rusticarum libri III (Tiga Buku Mengenai Agrikultur) yang dipublikasikan tahun 36 SM menulis bahwa: "Harus lebih berhati-hati di daerah rawa [...] karena di daerah tersebut ada makhluk-makhluk kecil yang tidak kasatmata, yang mengambang di udara dan dapat memasuki tubuh melalui mulut dan hidung. Makhluk tersebut kemudian menyebabkan penyakit serius."[16] Tabib Yunani Galenus (129 M – sekitar 200 atau 216) berspekulasi dalam bukunya, Tentang Penyebab Awal (sekitar 175 M) bahwa beberapa pasien mungkin memiliki "benih demam".[17] Dalam bukunya yang lain berjudul Tentang Berbagai Jenis Demam (sekitar 175 M), Galenus berspekulasi bahwa wabah disebabkan oleh "sejenis benih wabah" yang ada di udara.[18] Dalam bukunya yang berjudul Epidemi (sekitar 176–178 M), Galenus berpendapat bahwa pasiennya mungkin dapat kembali mengalami demam setelah sembuh akibat "benih penyakit" yang masih bersembunyi di dalam tubuh mereka. Benih ini dapat kembali menyebabkan demam apabila pasien tersebut tidak mengikuti proses terapi pengobatan yang diperintahkan seorang dokter.[19]
Sebelum para ilmuwan Yunani dan Roma melakukan penelitian tentang penyakit, orang Yunani zaman dahulu percaya kalau penyakit merupakan kehendak dari Dewa yang ditandai dengan munculnya fenomena alam tertentu setiap kali wabah penyakit terjadi. Contohnya hujan deras terus-menerus dan angin yang bertiup kencang. Setelah penelitian tentang penyakit dan wabah mulai dilakukan, ilmuwan atau peneliti saat itu mulai memberikan pendapatnya masing-masing. Ada yang menganggap kalau mayat yang tidak dikubur dan saluran air yang rusak tidak baik bagi kesehatan, ada juga yang mengatakan bahwa semua jenis wabah merupakan dampak dari perang atau fenomena alam yang umum.[20]
Pada abad ke-5 SM, Thucydides (460 SM – 395 SM), yang merupakan sejarawan Yunani mengatakan bahwa seseorang yang sering berinteraksi dengan orang yang sakit akan berpotensi tertular penyakit tersebut. Dengan kata lain, suatu penyakit yang diderita seseorang orang bisa menular jika terjadi interaksi atau kontak dengan orang lain. Beliau menuliskan pandangannya dalam catatannya tentang wabah Athena dan beliau adalah orang pertama yang menuliskan pandangan itu.[12] [20]
Hippokrates (460 SM - 370 SM) mengungkapkan bahwa kondisi udara atau atmosfer merupakan penyebab penyakit. Beliau melakukan pengamatan terhadap pengaruh iklim pada kesehatan dan meneliti tentang faktor-faktor iklim yang permanen dan sementara.[20]
Terdapat juga teori lain, yaitu teori dari Lucretius atau nama lengkapnya adalah Titus Lucretius Carus, ia adalah seorang filsuf Latin yang lahir sekitar tahun 99 sampai BC di Romawi. Ia menciptakan puisi yang berjudul De rerum Natura menyampaikan 4 argumen utama yang dibagi dalam 6 buku. Buku I dan II membahas tentang prinsip alam semesta, buku III mendemonstrasikan terkait struktur atom, buku IV menjelaskan mekanisme persepsi dari indera dan pikiran. Buku V menggambarkan penciptaan dunia dan cara kerja benda-benda langit, dan yang terakhir Buku VI menjelaskan fenomena yang ada di langit.[21] Dalam bukunya ia juga menulis bahwa dunia ini mengandung berbagai "benih" yang dapat memberikan manfaat dan penyakit. Benih yang bermanfaat dapat memberikan kita makanan untuk keberlangsungan kehidupan, sedangkan yang buruk akan membuat orang sakit apabila dihirup atau ditelan.[22] Salah satu contoh penyakitnya adalah “Leprosy” atau disebut juga dengan Kusta.[23] Penyakit ini disebabkan oleh Mycobacterium leprae Penyakit ini dahulu muncul di Sungai Nil, mesir. Gejala dari penyakit ini adalah kepala terasa panas, mata memerah, saluran suara tersumbat, dan lain-lain. Penyakit Leprosy ditularkan melalui tetesan dari hidung dan mulut.[24]
Marcus Terentius Varro, seorang Negarawan Romawi. Bukunya yang berjudul Rerum rusticarum libri III, yaitu buku mengenai agrikultur, yang dipublikasikan tahun 36 SM. Pada Chapter XII : The Site of The Farm House, Marcus Terentius Varro menuliskan tentang cara penempatan rumah petani agar proses dalam pertanian dapat berjalan dengan baik. Di dalam bukunya ia menuliskan bahwa rumah petani yang baik adalah rumah yang memiliki sumber air sendiri atau dibangun di dekat sumber mata air, air ini nantinya akan digunakan untuk keperluan pribadi dan hewan ternak. Adapun yang berhubungan dengan kuman dan penyakit, yaitu dalam membangun rumah di tanah berawa, anda harus memperhatikan hewan-hewan kecil. Hewan kecil tersebut tidak kasatmata dan dapat menyebabkan penyakit yang sulit untuk disembuhkan jika terhirup melalui mulut dan hidung.[25] Hal ini juga pernah diteliti oleh ilmuwan Belanda, yaitu Antonio Van Leeuwenhoek, dalam penelitiannya ia menemukan mikroorganisme dalam sekresi manusia, ia melihat hal ini melalui mikroskop buatannya. Salah satu cara jika terkena penyakit ini adalah dengan melakukan isolasi, hal ini akan mencegah penularan penyakit yang lebih luas.[26]
Galen/Galenus (129 M - 199 M) mengatakan bahwa terdapat tiga penyebab penyakit bisa terjadi. Tiga penyebab itu antara lain:
- Penyebab bawaan. Penyebab bawaan merupakan kerentanan tubuh terhadap penyakit. Contohnya seperti ada seseorang yang mudah terkena flu dan ada seseorang yang tidak mudah terkena flu meskipun tinggal di lingkungan yang sama.
- Penyebab awal. Penyebab awal adalah suatu penyebab penyakit yang berasal dari luar tubuh seperti cuaca dingin, panas, atau benturan yang membahayakan tubuh.
- Penyebab kohesif. Penyebab kohesif adalah penyebab gabungan dari dua penyebab yang sudah disebutkan di atas, baik penyebab-penyebab tersebut saling bekerja sama maupun bekerja sendiri-sendiri.[27]
Galen berspekulasi bahwa penyebab seseorang bisa menderita penyakit demam adalah karena seseorang memiliki bibit atau benih demam di dalam tubuhnya. Atau dengan kata lain, bibit demam merupakan penyebab bawaan seseorang yang rentan terhadap demam. Beliau juga memiliki spekulasi lain bibit penyakit bisa saja berasal dari luar tubuh, seperti udara. Namun, bibit tersebut dapat teraktivasi atau dapat menyebabkan penyakit pada seseorang hanya jika masuk ke dalam tubuh. Menurut Galen, setelah seseorang sembuh dari demam sebaiknya tetap mengikuti proses atau prosedur pengobatan yang dianjurkan oleh dokter. Karena jika tidak, maka masih terdapat kemungkinan bahwa demam akan kambuh karena benih penyakit demam tersebut masih bersembunyi di dalam tubuh pasien.[27]
Wabah Pes pertama atau yang disebut juga dengan “The justinianc Plague’s” adalah wabah yang terjadi di Roman pada tahun 542 - 544. Wabah ini disebabkan oleh bakteri Yersinia Pestis yang berasal dari sisa era neolitik akhir 5000 sampai 6000 tahun lalu.[28] Bakteri ini dapat menular melalui kutu tikus (Xenopsylla cheopis). Wabah ini tersebar pertama kali di kota-kota Mediterania tenggara dan Eropa, dan menyebar cepat ke negara Konstantinopel (ibukota kekaisaran Romawi). Setelah itu wabah ini terus menyebar ke negara-negara mediterania selama 250 tahun, dan wabah ini menghilang pada tahun 750.[29][30]
Gejala dari wabah pes pertama “The justinianc Plague’s” menyebabkan bubo, yaitu pembengkakan kelenjar getah bening. Jumlah kematian dari wabah ini tidak dapat diprediksi karena kurangnya data demografis. Tetapi, dari semua bukti yang ditemukan, menunjukkan bahwa “The justinianc Plague’s” adalah wabah yang paling mematikan selama zaman kuno.[31]
Wabah pes pertama “The justinianc Plague’s” juga menyebabkan efek makro pada negara-negara. Negara yang terkena dampak dari wabah pes ini mengalami kelaparan dan inflasi. Kelaparan ini disebabkan oleh kurangnya pekerja pada sektor pertanian akibat kematian dari wabah pes “The justinianc Plague’s” dan pemulihan dari gejala wabah pes yang berkepanjangan. Wabah juga diduga menjadi salah satu penyebab runtuhnya kerajaan Roman atau yang biasa disebut “Fall of The Roman Empire”. [32] Hal ini dibuktikan oleh McCormick dengan ditemukannya DNA Y Pestis, yaitu DNA dari penular wabah Justinianc pada tulang bekas mayat dari kerajaan Roman yang dikubur di pemakaman Aschheim, yaitu tempat pemakaman penduduk kota kecil pada saat itu.[33][34]
Wabah Pes juga terjadi dua kali setelah wabah “The justinianc Plague’s”. Pertama dengan nama “Black Death”. Wabah ini terjadi di Eropa pada abad pertengahan, Asia barat daya, Afrika Utara, dan wilayah lainnya. Kedua dengan nama Wabah Yersinia Pestis, wabah ini tersebar di Asia selatan dan Asia timur. Wabah Yersinia Pestis telah membunuh jutaan orang pada pergantian abad ke 20. [35][8]
Abad Pertengahan
Di abad ke-5, kitab Talmud Yerusalem sudah menyebut secara eksplisit sebuah aturan yang melarang memasukkan uang ke dalam mulut demi menjaga kesehatan manusia.[36] Nissim dari Gerona, seorang ilmuwan Talmudik abad ke-14, menyatakan bahwa aturan ini diadakan "karena uang banyak berpindah tangan, dan beberapa orang yang menyentuh uang itu dalam keadaan sakit. 'Kotoran' [זוהמא] mereka kemudian menempel pada uang dan 'kotoran' tersebut berbahaya bagi orang yang meletakkan uang itu di dalam mulut."[37] Kemudian, bentuk dasar teori penularan muncul dalam ilmu kedokteran Islam abad pertengahan. Seorang tabib Persia bernama Ibnu Sina menulis bentuk dasar ini dalam bukunya, Kanon Kedokteran (1025), yang kemudian menjadi buku kedokteran dengan reputasi paling tinggi di Eropa hingga abad ke-16. Dalam volume IV buku tersebut, Ibnu Sina membahas tentang wabah, memberikan penjelasan singkat tentang teori miasma klasik, serta mencoba untuk menggabungkan teori tersebut dengan teori penularannya sendiri. Ia menyatakan bahwa orang-orang dapat menularkan penyakit kepada orang lain melalui napas, mencatat potensi penularan tuberkulosis, dan membahas penularan penyakit melalui air dan tanah.[38]
Pada awal Abad Pertengahan, Isidorus dari Sevilla (560–636 M) dalam karyanya menyebutkan dua hal tentang penyakit menular. Yang pertama, bahwa wabah menyebar dengan luas dan menularkan penyakit kepada yang ditimpa. Ada yang berkata bahwa wabah muncul karena ulah manusia yang berbuat dosa. Akibat dosa ini, dengan mekanisme tertentu (entah karena udara yang kering, panas, atau kurangnya hujan), udara sekitar menjadi kotor dan menyebabkan penyakit. Yang kedua, ada yang mengatakan bahwa bibit pembawa penyakit dibawa oleh udara dan menyebar ke udara yang dihirup oleh manusia. Dari situ, bibit penyakit tersebut masuk ke dalam tubuh manusia dan memberikan efek hingga mengakhiri kehidupan. [39]
Sementara itu, pada abad ke sembilan, seorang tabib dari kekhalifahan Abbasiyah bernama Ali at-Tabari menuliskan sebuah buku berjudul Paradise of Wisdom (Firdaws al-hikma fi al-tibb) yang meringkas secara lengkap mengenai filsafat alam dan obat-obatan. Dalam salah satu bab, ia menuliskan penyakit kusta (judhdam) yang merupakan penyakit keturunan. Selain itu, penyakit ini juga menular seperti halnya cacar.[40]
Pada abad yang sama pula, Qusta ibn Luqa membahas bagaimana mengidentifikasi air yang tidak terkontaminasi dan bagaimana cara membuat kualitas air itu jadi lebih baik. Kondisi air di Jedah pada waktu itu masih cukuplah buruk. Hal ini mirip dengan bagaimana seorang ilmuwan fikih bernama Ibnu al-Haj al-Abdari yang hidup pada masa abad ke dua belas membahas bahwa suatu zat najis dapat mengontaminasi air, makanan, pakaian, dan menyebar melalui suplai air. Ia juga mengimplikasikan bahwa kontaminasi ini ada dalam bentuk partikel-partikel yang tak kasatmata.[41]
Ibnu Rushd dan yuris-yuris lainnya pada abad kedua belas juga menyadari bahwa penyakit menular itu nyata. Hanya saja, pemahaman seperti ini tidak sesuai dengan ajaran pada masa itu yang menyatakan bahwa penyakit tidak muncul karena ditularkan.[42] Barulah Ibnu Al-Khatib dalam kitabnya menulis tentang penyakit bubo dan pneumonia. Ia mendeskripsikan secara klinis sifat-sifat yang cenderung dimiliki penyakit tersebut. Apa yang membedakan gagasan Ibnu Al Khatib dengan penggagas-penggagas lain tentang penyakit tersebut adalah adanya agen penular dalam penyakit itu. Berdasarkan pengalaman empirisnya, Ibnu Al Khatib mengungkapkan bahwa orang yang memiliki kontak dengan korban penyakit itu bisa tertular penyakit yang sama. Ia juga mengungkapkan bahwa penularan dapat melalui pakaian, wadah, dan anting-anting yang dipakai sebelum penyakit itu ditularkan kepada keluarga, tetangga, dan kemudian menjadi wabah besar. Hanya saja, agen penular seperti apa yang menjadi penyebab menyebarnya penyakit tersebut belum dapat diidentifikasi oleh Ibnu Al-Khatib.[43]
Kemudian, pada tahun 1345, Tommaso del Garbo (sekitar 1305–1370) dari Bologna, Italia, menyebut "benih penyakit" Galenus dalam bukunya Commentaria non-parum utilia in libros Galeni ("komentar penting mengenai buku Galen").[44]
Cendekiawan dan tabib Italia, Girolamo Fracastoro, dalam bukunya De Contagione et Contagiosis Morbis yang terbit tahun 1546, menyatakan bahwa wabah penyakit disebabkan oleh entitas berbentuk benih (seminaria morbi) yang dapat berpindah, memindahkan infeksi melalui kontak langsung maupun tidak langsung, atau bahkan tanpa melalui kontak dalam jarak yang jauh. Ia mengategorikan penyakit berdasarkan cara penyebarannya dan berapa lama penyakit itu bisa bertahan dorman.
Fracastoro memperkenalkan teorinya yaitu the contagion theory. Dalam teorinya, ia mengatakan bahwa kuman bukan merupakan mikroorganisme, melainkan sebagai zat kimia yang bertanggung jawab terhadap penguapan dan difusi atmosfer. Fracastoro juga mengatakan bahwa setiap penyakit disebabkan oleh kuman yang berbeda. Dalam teorinya, Fracastoro mengatakan bahwa penyakit dapat ditularkan dari satu orang ke orang yang lain melalui zat kimia yang bernama kontangion. Terdapat 3 jenis kontangion menurut Fracastoro, antara lain:
- Kontangion yang dapat ditularkan melalui kontak langsung seperti bersentuhan.
- Kontangion yang dapat ditularkan melaui perantara benda seperti melalui pakaian, handuk, dan lain-lain.
- Kontangion yang dapat ditularkan dalam jarak jauh. Setelah penemuan mikroskop oleh Anton Van Leeuwenhoek, pada abad 17 terjadi kemajuan pesat terhadap teori kuman sebagai penyebab penyakit.[6]
Periode Modern Awal
Tabib Italia, Francesco Redi, memberikan bukti awal yang menolak generasi spontan. Pada tahun 1668, ia menciptakan sebuah eksperimen dengan menggunakan tiga buah toples. Ia menempatkan sepotong daging dan telur di masing-masing toples. Satu toples dibiarkan terbuka, satu toples ditutup dan disegel, dan toples terakhir ditutup dengan kain. Setelah beberapa hari, ia menemukan bahwa daging di dalam toples terbuka penuh dengan belatung dan toples yang ditutup kain penuh belatung di permukaan kain. Di sisi lain, toples yang disegel tidak berbelatung sama sekali. Ia juga menemukan bahwa belatung tersebut hanya ditemukan di permukaan yang dapat dimasuki lalat. Dengan demikian, ia menyimpulkan bahwa generasi spontan bukanlah teori yang masuk akal.
Anton van Leeuwenhoek secara universal diakui sebagai bapak mikrobiologi. Dia merupakan seorang penajajak dalam ilmu seorang penjajak dalam ilmu mikrobiologi, pada tahun 1670-an. Dia berhasil menemukan protista dan bakteri.[45] Bisa dibilang dia menjadi orang yang pertama kali melihat dunia ‘mahluk hidup’ yang tak terbayangkan, dia juga yang pertamakali berpikir untuk bisa melihat hal tersebut menggunakan mikroskop berlensa tunggal sederhana. Dengan mikroskop tersebut, dia tidak hanya mengamati, tetapi juga melakukan eksperimen yang cerdik, menjelajahi dan memanipulasi alam semesta mikroskopisnya dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Van Leeuwenhoek dikatakan sebagai orang pertama yang melihat dan menggambarkan bakteri, tanaman khamir/ragi, kehidupan yang mengambang di dalam setetes air, serta sirkulasi sel darah di dalam pembuluh kapiler. Kata "bakteri" pada waktu itu belum ada dan ia menamakan organisme mikroskopik itu sebagai "animalcule", yang berarti "binatang kecil". Ia mengisolasi berbagai animalcule itu dari berbagai sumber, seperti air hujan, air sumur dan kolam, serta mulut dan usus manusia. Meski sempat mendapatkan ketidakpercayaan dan cemoohan dari banyak ilmuwan karena latar background keilmuan dia yang tidak bersekolah, serta melalui metodenya yang tidak dapat dipercaya, karena hal membuka dunia yang tidak bisa dipahami orang lain. Dia melaporkan penemuannya dalam lebih dari 100 surat kepada Royal Sociey of England dan Akademi Prancis. Laporan pertama Leewuwenhoek kepada Royal Society pada tahun 1673 menggambarkan bagian mulut lebah, kutu, dan jamur. Ia mempelajari struktur sel tumbuhan dan kristal, serta struktur sel manusia seperti darah, otot, kulit, gigi, dan rambut. Ia bahkan mengikis plak dari sela-sela giginya untuk mengamati bakteri di sana, yang ditemukan Leewenhoek, mati setelah meminum kopi. Sejak berhasil diverifikasi oleh natural philosophers dari Royal Society membawa ke aturan dasar baru yang masih menggambarkan sains saat ini. Penemuan Leeuwenhoek, ditransmisikan secara langsung selama berabad-abad kepada para ahli biologi saat ini. Ahli mikrobiologi dan filogenetik terus berdebat tentang sifat hewan kecil Leeuwenhoek, jika dalam istilah yang lebih rumit. Baru akhirnya sekarang kita mulai menemukan jawaban atas pertanyaan yang mendorong Leeuwenhoek: dari mana asal ‘mahluk’ kecil ini, mengapa ukuran dan perilakunya begitu beragam; bagaimana membedakan dan mengklasifikasikannya?[46]
Ada pula kemungkinan bahwa seorang pendeta dan cendekiawan Yesuit dari Jerman, Athanasius Kircher, sudah melihat mikroorganisme sebelum van Leeuwenhoek. Salah satu buku yang ia tulis tahun 1646 dalam bahasa Latin mengandung satu bab yang kalau diterjemahkan menjadi: "Mengenai struktur benda-benda dalam alam, diinvestigasi melalui Mikroskop". Di bab tersebut ia menulis: "siapa yang akan percaya bahwa cuka dan susu ternyata berisi banyak sekali cacing." Kircher mendefinisikan organisme tidak tampak yang ia temukan dari tubuh membusuk, daging, susu, dan sekresi itu sebagai "cacing". Berdasarkan penelitian yang ia lakukan dengan mikroskop ini, ia kemudian menyimpulkan bahwa penyakit dan pembusukan disebabkan oleh tubuh makhluk hidup yang tidak kasatmata. Terdapat kemungkinan bahwa ia adalah orang pertama yang membuat kesimpulan ini. Pada tahun 1646, Kircher menulis bahwa "sejumlah hal mungkin dapat ditemukan di dalam darah pasien demam". Saat Roma terkena wabah pes bubo pada tahun 1656, Kircher menghabiskan beberapa hari berturut-turut untuk merawat orang sakit. Ia menginvestigasi darah para korban wabah di bawah mikroskop, demi mencari obat. Ia mencatat keberadaan "cacing kecil" atau "animalcule" di dalam darah dan menyimpulkan bahwa penyakit itu disebabkan oleh mikroorganisme. Ia adalah orang pertama yang menghubungkan antara penyakit dengan patogen mikroskopik; secara efektif, ia menciptakan teori kuman penyakit, yang digambarkannya di dalam Scruitinium pestis physico-medicum (dipublikasikan di Roma tahun 1658).[47] Kesimpulan Kircher bahwa penyakit disebabkan oleh mikroorganisme memang benar, akan tetapi besar kemungkinan bahwa makhluk kecil yang ia pandang di bawah mikroskop adalah sel darah merah atau putih, dan bukan sel penyakit itu sendiri. Kircher juga kemudian menggambarkan beberapa peraturan kebersihan untuk menghindari penyebaran wabah, seperti isolasi, karantina, pembakaran penyakit yang digunakan oleh orang sakit, serta penggunaan masker untuk menghindari kuman yang masuk melalui hidung. Kircher adalah orang pertama yang mengatakan bahwa makhluk hidup dapat masuk dan hadir di dalam darah.
Pada tahun 1700, seorang tabib bernama Nicolas Andry merilis Buku pertamanya, De la génération des vers dans les corps de l'homme, yang diterbitkan pada tahun 1700, dan diterjemahkan ke bahasa Inggris pada tahun 1701 as An Account of the Breeding of Worms in Human Bodies.[48] Buku tersebut merupakan catatan eksperimen Andry menggunakan mikroskop, yang dibangun berdasarkan karya Antonie van Leeuwenhoek sebelumnya, yang sering dikutip oleh Andry. Tidak seperti Leeuwenhoek, tujuan andi memang secara khusus adalah dunia medis, dan eksperimennya dengan mikroskop membuatnya percaya bahwa mikroorganisme yang dia sebut “cacing” bertanggung jawab atas penyakit cacar dan penyakit lainnya.[49] Selain untuk tujuan medis, buku ini sepertinya ditujukan juga untuk umum. Seperti yang diamati oleh sejarawan medis Clara Pinto Correia, salah satu tujuan utama Andry adalah untuk memberi pembelajaran kepada masyarakat tentang ilmu baru yang muncul dari dunia yang hanya bisa diamati oleh mikroskop. Dia menulis “kita harus mengakui bahwa ada binatang yang seribu kali lebih kecil daripada sebutir debu, yang hampir tidak dapat kita lihat dan kita. Imajinasi kita tenggelam dalam pemikiran ini, takjub pada hal kecil yang aneh; tetapi untuk tujuan apa harus menyangkalnya? Akal meyakinkan kita tentang keberadaan sesuatu yang tidak dapat kita bayangkan”.[50]
Selama tahun 1714 hingga 1721, Richard Bradley, yang merupakan Profesor Botani pertama di Universitas Cambridge, mengajukan teori yang unik tentang penyebab penyakit menular pada tumbuhan dan hewan serta wabah manusia. Teorinya berasal dari studi eksperimental tanaman dan penyakit dari pengamatan mikroskopis animalcule di lingkungan alami dan buatan yang berbeda. Dia mengemukakan bahwa terdapat "serangga" yang hidup dan berkembang biak pada kondisi yang sesuai, dan bahwa penyakit menular pada tanaman disebabkan oleh "serangga" semacam yang hanya tampak ketika dilihat dengan mikroskop.[51] Hal ini dikarenakan ada kesamaan struktural dan fungsional antara tumbuhan dan hewan, Bradley menyimpulkan bahwa organisme mikroskopis juga menyebabkan penyakit menular pada manusia dan hewan. Namun, kala itu teori penyakit menular tidak diterima oleh masyarakat ilmiah kontemporer. Sementara itu, pada tahun 1762, Dokter Austria, Marcus Antonius von Plenciz, menerbitkan buku berjudul Opera medico-physica. Buku ini menggambarkan teori penyebaran penyakit. Di dalamnya dikatakan bahwa animalcule yang terdapat di tanah dan udara merupakan penyebab penyakit tertentu. Von Plenciz membuat pembedaan antara penyakit yang dapat menular dan mewabah, seperti campak dan disenteri, dengan penyakit yang menular tetapi tidak mewabah, seperti rabies dan kusta.[52] Pada saat itu, pendapat medis yang diterima adalah bahwa penyakit itu disebarkan oleh apa yang dikenal sebagai miasma, uap atau kabut beracun, berbau busuk dan terdiri dari partikel-partikel dari bahan-bahan yang membusuk.[53] Dia juga mampu membuktikan bahwa bakteri adalah penyebab sepsis fatal yang telah diidentifikasi Semmelweis. Ini membuka jalan bagi pengembangan vaksin dan membuka jalan bagi penemuan Fleming yang mengarah pada pengembangan antibiotik.[54] Meskipun demikian, teori yang dikemukakan oleh von Plenciz tidak diterima oleh komunitas medis.
[1] Melvin Santer, "Richard Bradley: A Unified, Living Agent Theory of the Cause of Infectious Diseases of Plants, Animals, and Humans in the First Decades of the 18th Century", in Perspectives in Biology and Medicine, Volume 52, Number 4, Autumn, 2009, pp. 566–78
[2] Ibid
[3] Winslow, Charles-Edward Amory (1967). Conquest of Epidemic Disease: A Chapter in the History of Ideas. Hafner Publishing Co Ltd. ISBN 978-0028548807.
[4] Martin Fone, Curious Questions: Who first discovered that washing your hands stops the spread of disease?, Country Life, https://www.countrylife.co.uk/comment-opinion/curious-questions-who-first-discovered-that-washing-your-hands-stops-the-spread-of-disease-212879, diakses pada 18 Oktober 2021.
[5] Andrew Grenville, Social Distancing and Germ Theory”: How Good Ideas Spread. Maru Group Ltd. https://www.marugroup.net/insights/blog/social-distancing-germ-theory-good-ideas-spread, diakses pada 18 Oktober 2021.
Agostino Bassi
Agostino Bassi lahir pada tanggal 25 September 1773 di Mairago, Provinsi Lodi, Italia. Ia adalah seorang ahli entomologi dan menjadi orang pertama yang menuangkan ide etiologi tentang genesis mikrobiologi penyakit dalam sebuah penelitian. [55]
Pada tahun 1807, ia mulai melakukan penelitian terhadap penyakit di ulat sutra, mal de segno yang mulai dari tahun 1800-an merusak peternakan ulat sutra dan menyebabkan kerugian ekonomi yang serius di Italia dan Prancis. Ulat sutra (Bombyx mori) yang sakit tidak menunjukkan tanda-tanda sakit sampai mereka hampir mati. Pada titik ini mereka berhenti makan dan memperlambat gerakan mereka. Setelah mati, tubuh mereka yang lembut akan menjadi keras, kering, rapuh seperti kaca, dan dilapisi bubuk putih. Terkadang tanda-tanda kematian ini akan muncul pada ulat sutra yang sudah dekat dengan kematiannya. Oleh karena itu, penyakit ini disebut dengan sign disease (penyakit tanda). Selain itu, karena adanya bubuk putih yang menyelimuti ulat sutra yang mati, disebut juga calcinaccio (calce berarti kapur).[56]
Ia kemudian melakukan beberapa eksperimen untuk mereproduksi penyakit calcinaccio berdasarkan asumsi dari pembudidaya bahwa penyakit ini muncul secara spontan melalui faktor lingkungan, seperti: makanan, suasana, dan metode pembudidayaan.[57] Setelah memberikan berbagai zat beracun, mineral, zat korosif, dan kaustik, tidak ada satupun yang membuahkan hasil. Hingga pada akhirnya ia berhasil mereproduksi penyakit yang mirip dengan calcinaccio dengan memasukkan ulat sutra ke dalam kantong kertas dari cerobong asap. Namun, Agostino menyadari bahwa ulat sutra ini tidak mengidap penyakit yang dimaksud.
Agostino kemudian mulai mengeksplorasi hipotesis baru sebagai alternatif hipotesis bahwa penyakit ini terjadi secara spontan melalui lingkungan. Hingga akhirnya, sebelum tahun 1826, para naturalis menyimpulkan bahwa penyebab penyakit adalah organisme hidup, vegetatif, dan merupakan tanaman dari keluarga kriptogam, jamur parasit. [58]
Melalui pengamatan mikroskopis, Agostino menetapkan bahwa penularan penyakit dapat terjadi dari inokulasi langsung dari bubuk putih (yang melapisi ulat sutra yang terinfeksi calcinaccio) melalui makanan, udara, tangan dan pakaian pembudidaya, dan juga lalat yang telah terkontaminasi bubuk putih.
Setelah mengobservasi bubuk putih yang didapatkan dari tubuh ulat sutra yang mati, didapatkan bahwa bubuk putih ini dapat menginfeksi ulat yang sehat melalui inokulasi langsung dengan daya infektivitas paling lama tiga tahun.
Karakteristik yang dimiliki oleh infeksi selalu sama, bukan hanya setelah dieksperimenkan pada ulat spesies lainnya, bahkan menggunakan serangga yang masih hidup. Agostino juga menemukan bahwa kelembaban dan suhu dapat mendukung perkembangan mikroorganisme dan kapasitas infeksinya.
Agostino merumuskan sebuah siklus penting:
Penyakit calcinaccio ini ditularkan dari satu pembibitan ulat sutra ke pembibitan ulat sutra lainnya. Begitu pula dari satu tempat budidaya ulat sutra ke yang lainnya hingga menyebar ke seluruh negeri. Sama halnya dengan penyakit menular dalam tubuh manusia yang dapat menyebar secara bertahap.
Dinamika penularan calcinaccio atau sign disease (penyakit tanda) ini dapat mencerminkan penularan penyakit secara umum, sehingga kesimpulan dari penelitian ini memperoleh validasi umum. [59]
Pada tahun 1835, Agostino Bassi menuliskan penemuannya dalam buku Del mal del segno, calcinaccio o moscardino (“The Disease of the Sign, Calcinaccio or Muscardine”). Penemuan Agostino merupakan terobosan dalam sejarah ilmu alam dan kedokteran. Ini adalah pembuktian pertama bahwa penyakit disebabkan oleh mikroorganisme dan memiliki rantai penularan. Hal ini menjadi pelopor teori kuman penyakit oleh Robert Koch dan Louis Pasteur. [60]
Ignaz Semmelweis
Ignaz Semmelweis lahir pada tanggal 1 Juli 1818 di Taban, Hungaria. Ignaz Semmelweis dikenal sebagai “Bapak Pengendalian Infeksi”.[61] Ia adalah seorang dokter kandungan dari Hongaria yang bekerja di Rumah Sakit Umum Wina (Allgemeines Krankenhaus) pada tahun 1847. Rumah Sakit Umum Wina (Allgemeines Krankenhaus), memiliki dua klinik kebidanan. Di klinik pertama terdapat ahli bedah, dokter, dan mahasiswa kedokteran dan Ignaz bekerja di klinik pertama sebagai ahli bedah, dokter, dan instruktur mahasiswa. Sedangkan, di klinik dua yang bekerja adalah para bidan. Selama bekerja di Rumah Sakit Wina, Ignaz mengamati bahwa di klinik kedua terdapat 10 kali lebih sedikit kematian akibat demam puerperal dibandingkan dengan klinik pertama.[62] Karena reputasi mengenai klinik pertama yang kurang baik, para pasien memohon dan meminta untuk dimasukkan ke klinik kedua. Ignaz lalu mencatat bahwa terdapat angka kematian ibu yang sangat besar akibat demam puerperal, terutama di klinik pertama.
Demam puerperal adalah infeksi bakteri yang menyerang saluran reproduksi perempuan setelah terjadinya kelahiran atau keguguran.[63] Demam ini biasanya terjadi setelah 24 jam dan dalam rentang waktu sepuluh hari setelah kelahiran.[64] Angka kematian ibu sangat besar akibat demam puerperal saat proses kelahiran dibantu oleh dokter dan mahasiswa. Sedangkan, saat dibantu oleh bidan, proses kelahiran tampaknya relatif aman. Setelah dilakukan penelitian lebih lanjut, Ignaz menyadari bahwa terdapat hubungan antar demam puerperal dan kelahiran yang dibantu dokter. Ia kemudian menyadari bahwa dokter ini biasanya baru saja selesai melakukan otopsi. Setelah diamati, Ignaz mengambil kesimpulan bahwa sehabis melakukan otopsi, dokter-dokter langsung melakukan pertolongan persalinan kepada pasien dan jarang mencuci tangan, sehingga kuman menular ke pasien yang ditolongnya pada saat persalinan.[65]
Dengan menyatakan bahwa demam puerperal adalah penyakit menular dan zat dari otopsi dapat bercampur dengan tubuh ibu. Lalu, Ignaz meminta para dokter mencuci tangan dengan air lime yang diklorinasi sebelum membantu ibu hamil. Ia kemudian mencatat bahwa terdapat penurunan drastis dan tiba-tiba pada angka kematian ibu, dari 18% menjadi 2,2%, dalam jangka waktu satu tahun. Meskipun memiliki bukti ini, ia dan teorinya ditolak oleh ilmu kedokteran pada waktu itu. Atasannya, yaitu Professor Klein menolak hipotesisnya, Klein berpikir bahwa menurunnya angka kematian dikarenakan adanya sistem ventilasi baru di rumah sakit.[61]
Hipotesis Ignaz ini akhirnya diabaikan dan ditolak. Faktor-faktor lain yang menyebabkan hipotesisnya ditolak adalah beberapa dokter merasa tersinggung dengan saran bahwa mereka harus cuci tangan, mereka merasa memiliki status sosial yang tinggi, dan seakan-akan dengan perintah untuk mencuci tangan ini, tangan mereka dianggap bisa tidak bersih. [66] Ignaz lalu dipecat dari rumah sakit dan dipaksa untuk pindah ke Budapest. Konflik ini juga menyebabkan Ignaz menjadi kecewa dan tertekan.
Mulai tahun 1861, Ignaz menderita berbagai keluhan gugup dan depresi. Ia mulai mengalihkan setiap percakapan ke topik childbed fever. Pada saat itu, orang-orang, termasuk istrinya, percaya bahwa ia telah kehilangan akal sehatnya, dan pada tahun 1856 ia masuk ke Landesirrenanstalt Döbling (rumah sakit jiwa). 14 hari kemudian, Ia meninggal di sana karena syok septik, mungkin sebagai akibat dari dipukuli oleh penjaga. Hipotesis ignaz mendapatkan penerimaan luas hanya beberapa tahun setelah kematiannya, ketika Louis Pasteur lebih lanjut mengembangkan teori kuman penyakit dan menawarkan penjelasan teoritis untuk temuan Ignaz. Ignaz Semmelweis dianggap sebagai pelopor prosedur antiseptik.
Gideon Mantell
Gideon Mantell, seorang dokter dari Sussex yang lebih dikenal untuk penemuan fosil dinosaurus, juga meneliti binatang di bawah mikroskop. Dalam bukunya, Thoughts on Animalcules (1850), ia berspekulasi bahwa "banyak dari penyakit paling serius yang memengaruhi kemanusiaan terjadi akibat sifat-sifat makhluk hidup animalcule tak kasatmata yang aneh."[67]
Pada buku karangan Mantell edisi pertama: "Thoughts on animalcules: or, A glimpse of the invisible world revealed by the microscope" (1846), ia menyajikan ilustrasi binatang yang berukuran sangat kecil (animalcule). Ilustrasi tersebut dibuat berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan Mantell bersama dengan putrinya menggunakan mikroskop. Jumlah keseluruhan ilustrasi yang dimuat dalam buku tersebut adalah dua belas buah ilustrasi.[68]
Selain itu, keduabelas ilustrasi tersebut dilengkapi oleh Mantell dengan penjelasan tentang karakteristik umum masing-masing animalcule pada bagian awal bukunya. Penjelasan tentang struktur dan karakteristik umum tersebut didasarkan dari pada hasil penelitian ahli terdahulu, yakni Trembley (pada bagian Hydra), Ehrenberg:(pada bagian Infusoria), dan beberapa ahli lain di bagian lainnya.
Mantell membagi bukunya ke dalam enam belas bagian, yang mana jenis animalcule dimuat dalam sembilan dari keseluruhan bagian. Sedangkan sisanya membahas tentang pengantar tentang dunia tak kasatmata, penyingkapan oleh mikroskop, pembelahan diri pada animalcule, peran sel dalam kehidupan, makhluk bersel tunggal, refleksi, dan kesimpulan umum.
Berikut merupakan berbagai objek yang diilustrasikan oleh Mantell di dalam bukunya:
- Hydra, polip air bersih
- Makhluk bersel tunggal dan Stentor
- Vorticellae, atau binatang berbentuk lonceng yang sangat kecil
- Limnias, atau peri air
- Melicerta, atau Honey Floscularia
- Floscularia, atau animalcule yang berbentuk bunga
- Floscularia ornata, atau Elegant Floscularia
- Floscularia proboscidea, atau Horned Floscularia
- Stephanoceros, animalcule bermahkota roda
- Stephanoceros Ehrenbergi
- Pengembangan Stephanoceros muda
- Rotifer,atau animalcule-roda
Sebagai penutup bukunya, Mantell menyampaikan pandangannya bahwa penemuan organisme mikroskopis tidak akan menjadi sesuatu yang hebat, tanpa adanya rasa kagum yang mendalam, kerendahan hati, dan ketergantungan terhadap karya-Nya, termasuk karya-Nya yang terkecil sekalipun, dalam hal ini binatang mikroskopis (animalcule).
John Snow
John Snow merupakan seseorang yang skeptis terhadap teori miasma yang dominan saat itu. Meski pada waktu itu teori kuman penyakit yang dijejaki oleh Girolamo Fracastoro belum berkembang secara penuh dan belum tersebar luas, Snow sudah menunjukkan pemahaman yang baik terhadap teori tersebut dalam tulisannya. Ia pertama kali menerbitkan teorinya dalam sebuah esai tahun 1849 berjudul Mengenai Mode Penyebaran Kolera. Di dalam esai tersebut, ia mengatakan dengan benar bahwa rute penyebaran kolera adalah melalui transmisi fekal-oral dan bahwa penyakit itu mereplikasi dirinya di usus bagian bawah. Dalam bukunya edisi tahun 1855, ia menambahkan bahwa struktur kolera berbentuk seperti sel.
Pada tahun 1849, John Snow menyarankan bahwa air harus disaring dan direbus terlebih dahulu sebelum digunakan. Saran ini menjadi salah satu saran pertama dari teori kuman penyakit dalam bidang kesehatan masyarakat dan mengawali perkembangan saran merebus air di masa kini.
Pada tahun 1855, ia menerbitkan edisi kedua artikelnya. Dalam artikel tersebut ia menggambarkan penelitian lebih lanjut mengenai efek suplai air di Soho pada masa wabah di London tahun 1854.
Dari penelitian yang ia lakukan dengan cara berbicara dengan warga setempat itu, ia menemukan bahwa sumber wabah kolera adalah sebuah pompa umum yang digunakan di Jalan Broad (kini Jalan Broadwick). Meskipun penelitian melalui zat kimia dan mikroskop yang ia lakukan pada sampel air dari pompa itu tidak mampu menyimpulkan bahaya, penelitiannya mengenai pola penyakit mampu meyakinkan otoritas setempat untuk menutup pompa itu dengan cara melepas pegangannya. Aksi ini kini dianggap sebagai tindakan yang mengakhiri wabah, tetapi John berpendapat bahwa wabah itu sendiri memang sudah sangat berkurang.[69]
John kemudian menggunakan peta distribusi titik untuk menggambarkan klaster kasus kolera di sekitar pompa. Ia juga menggunakan statistika untuk menggambarkan hubungan antara kualitas sumber air dengan kasus kolera. Ia menunjukkan bahwa Perusahaan Air Southwark and Vauxhall mengambil air dari bagian Sungai Thames yang kotor dan disalurkan ke rumah-rumah; hal ini memperbesar jumlah penderita kolera. Penelitian John ini menjadi peristiwa besar dalam sejarah kesehatan masyarakat dan geografi. Secara luas, penelitian ini dianggap sebagai salah satu titik pendirian ilmu epidemiologi.
Setelah wabah kolera mereda, pemerintah mengganti pegangan di pompa Jalan Broad itu. Mereka hanya mau memberikan tanggapan bagi ancaman mendesak yang diberikan kepada penduduk dan setelah itu mereka menolak teori yang dibawakan John Snow. Menurut mereka, penerimaan atas proposal itu berarti juga menerima kebenaran metode transmisi fekal-oral yang mereka tolak.
Louis Pasteur
Penelitian yang lebih formal mengenai hubungan antara kuman dan penyakit dilaksanakan oleh Louis Pasteur di antara tahun 1860 dan 1864. Ia menemukan patologi demam puerperal dan vibrio piogenik di dalam darah.[70] Ia kemudian menyarankan penggunaan asam borik untuk membunuh mikroorganisme ini sebelum dan setelah isolasi.
Pada tahun 1854, Louis Pasteur diminta untuk membantu memecahkan masalah yang berhubungan dengan produksi alkohol, dan dengan demikian ia memulai serangkaian penelitian mengenai fermentasi. Saat itu, Pasteur menyelidiki berbagai aspek pada proses fermentasi, termasuk produksi senyawa asam laktat pada proses pengasaman susu. Pada awalnya, terdapat gagasan oleh dua ahli kimia terkemuka bernama Justus von Liebig dari Jerman dan Jacob Berzelius dari Swedia yang mengemukakan bahwa fermentasi alkohol sebagian besar merupakan aktivitas kimiawi, bukan biologis. Liebig percaya bahwa fermentasi adalah proses dekomposisi dari kapang yang terpapar air dan udara. [71] Pernyataan ini diperkuat oleh pengamatan Liebig bahwa materi terurai lainnya, misalnya bagian tumbuhan atau hewan yang buruk, berinteraksi dengan gula dengan cara yang sama seperti ragi[71][72]
Pasteur beranggapan bahwa fermentasi hanya akan terjadi apabila terdapat mikroorganisme hidup. Pada tahun 1857, ia mengamati keberadaan mikroba di bawah mikroskop yang terlibat dalam proses fermentasi alkohol. Pasteur menyatakan terdapat objek kecil dan pendek yang berbentuk seperti butiran. Butiran ini jauh lebih kecil dibanding ragi bir yang digunakan pada proses fermentasi alkohol. Kemudian ia mengumpulkan pengamatan yang konsisten dengan hipotesisnya bahwa fermentasi terjadi saat terdapat keberadaan organisme hidup.[73] Pasteur berkesimpulan bahwa seluruh proses fermentasi disebabkan oleh fermentasi mikroorganisme hidup tertentu (bakteri atau kapang). Permasalahan yang terdapat pada minuman beralkohol seperti anggur dan bir yang terkontaminasi disebabkan oleh bakteri kontaminan.[74][75] Ia menemukan adanya kehidupan mikroorganisme yang hidup tanpa oksigen (kondisi anaerob) dan mengusulkan pencegahan kontaminasi dengan cara pemanasan berulang atau proses pasteurisasi.[74] Temuan ini yang membawanya untuk mempelajari hipotesis generasi spontan.
Lebih lanjut, Pasteur menunjukkan di antara tahun 1860 dan 1864 bahwa fermentasi dan pertumbuhan mikroorganisme di media tanam tidak terjadi melalui generasi spontan. Ia membuka sebotol kaldu steril di dalam sebuah penampung yang dilengkapi filter yang dapat menghentikan partikel agar tidak masuk dan mencapai kaldu itu. Ia juga melakukan eksperimen lain yang tidak menggunakan filter, melainkan menggunakan tuba yang panjang dan berputar-putar yang dapat menghentikan partikel debu. Berdasarkan eksperimen ini, ia menemukan bahwa tidak ada organisme yang tumbuh di dalam kaldu. Dengan demikian, ia menyimpulkan bahwa organisme yang hidup di dalam kaldu datang dari luar, sebagaimana spora yang bertahan di debu dan tidak muncul dengan tiba-tiba oleh kaldu itu sendiri.
Pada tahun 1863, tepatnya sesaat setelah Pasteur diangkat menjadi profesor geologi, fisika, dan kimia di École des Beaux-Arts (Sekolah Seni Rupa), ia mengalihkan perhatiannya ke krisis ulat sutra di Prancis. Pada pertengahan abad ke-19, sebuah penyakit menular yang bernama ‘pebrin’ dan ‘flacherie’ menyerang pembiakan ulat sutra.[76][77] Akibatnya, telur-telur ulat sutra tersebut tidak bisa diproduksi dan diimpor ke negara lain. Penyakit ini telah menyebar ke seluruh Eropa, wilayah Kaukasus di Eurasia, Cina, dan Jepang. Penyakit ‘pebrin’ disebabkan oleh organisme mikroskopis (yang kemudian diketahui merupakan protozoa parasit) bernama Nosema bombycis. Sedangkan penyakit serupa yang bernama ‘flacherie’ diyakini oleh Pasteur karena sumber nutrisi, dengan proliferasi bakteri usus. [74] Peristiwa ini menyebabkan industri ulat sutra yang hampir hancur di Prancis dan sebagian kecil di Eropa barat pada tahun 1865. Atas permintaan mentor terdahulunya, Dumas, Pasteur yang hampir tidak mengetahui apapun mengenai ulat sutra menerima tawaran dan berkesempatan untuk mempelajari lebih lanjut terkait penyakit menular itu. Setelah lima tahun penelitian, ia berhasil menyelamatkan industri sutra melalui metode yang memungkinkan pelestarian telur ulat sutra yang sehat dan mencegah kontaminasi oleh organisme penyebab penyakit. [78] Metode ini disebut sebagai ‘graining’ dengan pemeriksaan mikroskop yang memungkinkan penyeleksian telur ulat sutra yang sehat juga di saat yang bersamaan menghilangkan telur dari betina yang terinfeksi.[74] Dalam beberapa tahun, metode ini diakui di seluruh Eropa dan masih digunakan hingga sekarang di negara-negara penghasil sutra. Penelitian ini kemudian yang dibawakan Pasteur sebagai teori kuman untuk menjelaskan banyak penyakit menular lainnya.
Robert Koch
Robert Koch dikenal sebagai pemrakarsa empat kriteria dasar (yang dikenal sebagai Postulat Koch) untuk menentukan bahwa penyakit disebabkan oleh organisme tertentu. Postulat-postulat ini muncul dari karya seminalnya mengenai antraks menggunakan kultur murni patogen tersebut yang diisolasi dari binatang.
Postulat Koch dikembangkan di abad ke-19 dan berlaku sebagai garis besar pengidentifikasian patogen yang dapat diisolasi dengan teknik yang tersedia pada masanya.[79] Bahkan pada zaman Koch, orang sudah umum mengetahui bahwa beberapa agen infeksius memang menjadi penyebab penyakit, meskipun agen tersebut tidak memenuhi seluruh kriteria yang disebutkan postulat Koch.[80][81] Di akhir abad ke-19, ada percobaan untuk menggunakan postulat Koch secara kaku untuk mendiagnosa penyakit viral. Pada masa itu, virus belum dapat terlihat atau diisolasi di dalam kultur. Percobaan ini diperkirakan menjadi penyebab mundurnya perkembangan bidang virologi.[82][83] Di zaman sekarang, beberapa agen infeksius tetap dinyatakan sebagai penyebab penyakit meskipun tidak memenuhi seluruh postulat Koch.[84] Meskipun postulat Koch memiliki kepentingan sejarah dan sampai sekarang tetap digunakan untuk pendekatan diagnosis mikrobiologis, kini pemenuhan keempat kriteria dalam postulat tersebut tidak dibutuhkan untuk menggambarkan sebab-akibat.
Postulat Koch juga memengaruhi ilmuwan yang hendak meneliti patogenesis mikrobial dari sudut pandang molekuler. Pada tahun 1980-an, berkembang sebuah versi molekuler postulat Koch yang digunakan untuk mengidentifikasi gen mikrobial yang mengenkod faktor virulen.[85]
Postulat Koch:
- Mikroorganisme harus banyak ditemukan di seluruh organisme yang mengalami penyakit, tetapi tidak ditemukan di organisme sehat.
- Mikroorganisme harus diisolasi dari organisme berpenyakit dan ditumbuhkan di kultur murni.
- Mikroorganisme di kultur murni seharusnya menyebabkan penyakit ketika dimasukkan ke organisme sehat.
- Mikroorganisme harus diisolasi ulang dari inang eksperimental yang sudah diberikan vaksin dan penyakit dan teridentifikasi sebagai agen penyebab yang sama dengan yang digunakan di awal.
Dalam perkembangannya, Koch meninggalkan kriteria universalis pertama ketika ia menemukan pembawa penyakit kolera dan demam tifus yang tidak menunjukkan gejala sama sekali (asimtomatik).[80] Pembawa penyakit asimtomatik atau subklinis kini muncul sebagai karakteristik banyak penyakit infeksius, terutama virus, seperti polio, herpes simplex, HIV dan hepatitis C. Sebagai contoh, semua dokter dan ahli virus sepakat bahwa virus polio hanya menyebabkan paralisis di beberapa subyek terinfeksi dan kesuksesan vaksin polio mencegah penyakit menunjukkan bahwa virus polio adalah penyebab penyakit.
Postulat ketiga menyebutkan "seharusnya" dan bukan "harus" karena Koch sendiri berhasil membuktikan (dalam kasus tuberkulosis dan kolera) bahwa tidak semua organisme yang terpapar agen infeksius akan terinfeksi. Noninfeksi bisa terjadi karena faktor-faktor seperti kesehatan secara garis besar dan kemampuan sistem imun yang baik; imunitas yang didapat melalui paparan sebelumnya atau vaksinasi; atau imunitas genetis, sebagaimana kekebalan terhadap malaria yang bisa didapat dengan memiliki setidaknya satu alel sel sabit.
Postulat kedua juga mungkin tidak digunakan untuk organisme atau entitas tertentu yang saat ini tidak dapat ditumbuhkan di kultur murni, seperti misalnya prion yang menyebabkan penyakit Creutzfeldt-Jakob.[86]
Joseph Lister
Kehidupan awal Joseph Lister
Sir Joseph Lister lahir di Upton, Essex, Inggris pada tanggal 5 April 1827. Sir Joseph Lister lahir dari pasangan Joseph Jackson dan Isabella Lister. Joseph Jackson mengembangkan lensa akromatik yang membantu dalam perkembangan mikroskop modern.
Sir Joseph Lister dikenal sebagai Bapak Bedah Antiseptik Modern. Beliau menggunakan asam karbol sebagai agen antiseptik. Beliau menyumbangkan teknik penerapan yang bila dikombinasikan dengan alat sterilisasi panas, bisa menghasilkan penurunan kematian pascaoperasi yang signifikan.
Semasa kecil, Joseph Lister mengenyam pendidikan di School at Hitchen and Groven House, Tottenham. Lister merupakan siswa yang cerdas dan sedari awal sudah menunjukkan ketertarikan akan ilmu alam. Lister sedari awal sudah mengetahui apa yang menjadi keinginannya yaitu ingin menjadi dokter bedah. Lister pindah ke Universitas London pada tahun 1844. Pada masa perkuliahan, Lister menderita cacar dan mengalami gangguan mental yang mengharuskannya pergi ke Irlandia guna penyembuhan diri. Tiga tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1847, Lister mendapatkan gelar Bachelors of Arts.
Beberapa tahun kemudian, Lister mengambil studi bidang kedokteran di University College of London dan saat itu penggunaan anestesi baru diperkenalkan dalam dunia bedah. Ketika menjadi mahasiswa, Lister mempublikasikan tulisan pertamanya yang berjudul “On the Contractile Tissue of the Iris,” dan kemudian disusul oleh publikasi tulisan keduanya yang berjudul “Muscular Tissue of the Skin”. Lister lulus dengan gelar Bachelor of Medicine dan menerima beasiswa di Royal Society of Surgeons. Satu tahun kemudian, mentor sekaligus profesor dari Lister, William Sharpey memberikan saran kepada Lister agar mengunjungi pusat-pusat kesehatan. Salah satu dari pusat-pusat kesehatan itu adalah daerah Edinburgh, dan pada akhir tahun, Lister juga diminta untuk bekerja dengan Profesor James Syme di bangsal rumah sakitnya yang berada di Eropa. Pada tahun 1854, Lister menjadi asisten ahli bedah di rumah sakit Syme sembari aktif mengajar. Pada saat berada di Edinburgh, Lister bertemu dengan putri sulung dari James yang bernama Agnes, kemudian Lister menikahinya pada tahun 1856. Setelah menikah, Lister menemui tenaga medis yang sudah terdepan pada saat itu dan setelahnya, Lister kembali ke Edinburgh dan memulai praktik medis.
Pada tahun 1860, Lister diangkat menjadi profesor bedah di University of Glasgow, dan setelahnya Lister ditunjuk sebagai ahli bedah dari Rumah Sakit Kerajaan. Selama di Glasgow, Lister mengembangkan prinsip-prinsipnya mengenai teknik antiseptik. Sepanjang karirnya, Lister juga memikirkan gagasannya mengenai luka infeksi. Ahli-ahli bedah pada saat itu sudah melakukan observasi bahwa “bencana sepsis” lebih lumrah terjadi di rumah sakit dibandingkan rumah penduduk biasa dan lebih banyak tersebar di area perkotaan dibandingkan pedesaan[87].
Sebagai ahli bedah di Glasgow Royal Infirmary, Lister menemukan bahwa ia kehilangan hampir setengah dari seluruh kasus amputasi yang ditanganinya karena sepsis. Lister mulai melakukan percobaan-percobaan dengan menggunakan metode baru guna mencegah terjadinya infeksi. Lister berfokus pada teori Louis Pasteur yang menjelaskan bahwa pembusukan materi disebabkan oleh organisme hidup yang masuk ke dalamnya. Lister sadar bahwa mikroba ini harus dimusnahkan sebelum memasuki area luka. Berbekal pengetahuan penyemprotan dengan karbol bisa mencegah parasit penyebab penyakit ternak, Lister menggunakan larutan karbol untuk membersihkan dan melarutkan luka. Lister berhasil melakukannya pada tahun 1865, dan pada tahun 1867 Lister melaporkan bahwa bangsalnya sudah bebas dari sepsis selama 9 bulan. Akan tetapi, metodenya kontroversial karena penggunaan karbol pada area yang luka menyebabkan rasa perih pada jaringan tubuh ahli bedah dan juga pasien itu sendiri. Segera setelah ditawarkan posisi ahli bedah pada tahun 1877, Lister membuktikan keahliannya dengan mengoperasi Francis Smith yang mengalami keretakan pada lutut. Lister berhasil mengoperasi Francis dengan metode antiseptiknya sehingga Francis dapat keluar dari rumah sakit tiga bulan setelahnya[88].
Praktik Bedah Pra-Lister
Praktik bedah pada masa Joseph Lister terbilang primitif berdasarkan standar modern dan memiliki tingkat kematian pasien pascaoperasi yang terbilang tinggi. Hampir 80% dari seluruh operasi diikuti oleh gangren.[89] Pada tahun 1860 di rumah sakit St Bartholomew di London, Inggris, hampir 40% dari seluruh pasien yang menjalani amputasi meninggal dunia. Sementara itu di Paris, pasien meninggal dunia setelah amputasi mencapai 52%.[90] Meskipun dugaan bahwa kuman dapat menyebabkan penyakit sudah ada pada saat itu, tidak ada yang mengasosiasikan kuman dengan infeksi pada luka. Kebanyakan orang saat itu tidak menerima peran infeksi sebagai penyebab kematian pasca operasi dan menganggap kematian sebagai sesuatu yang tak terelakkan.[89] Instrumen bedah saat itu hanya dibersihkan seadanya sebelum disimpan sementara alas tempat tidur dan jas operasi tidak dicuci. Pasien jarang dibersihkan dari kotoran dan ahli bedah jarang mencuci tangannya sebelum menjalankan operasi. Instrumen medis yang sama digunakan bergantian untuk memeriksa luka seluruh pasien tanpa dibersihkan terlebih dahulu. Nanah pada luka pada saat itu dianggap sebagai proses penyembuhan normal.[91]
Sebagian besar ahli bedah pada masa Lister percaya bahwa infeksi disebabkan oleh miasma.[92] Bau pembusukkan di rumah sakit diasosiasikan dengan resiko penyakit. Sebagian yang lain percaya penyakit terbentuk secara spontan pada materi organik yang membusuk dan menyebar melalui udara. Karena hal ini, menjaga luka tetap bersih bukanlah sesuatu yang diperhatikan oleh ahli bedah saat itu.[89][91]
Joseph Lister adalah orang pertama yang menerapkan teori kuman penyakit ke dalam prosedur operasi medis (sciencemuseum.org). Ketertarikan Lister pada penyembuhan luka berawal ketika ia bekerja pada Sir Erichsen. Erichsen, seperti ahli bedah lainnya, percaya bahwa luka terinfeksi oleh miasma yang muncul dari luka itu sendiri dan terkonsentrasi di udara. Erichsen mendeduksi 7 orang pada bangsal dengan luka yang terinfeksi menyebabkan tersebarnya udara buruk penyebab gangren. Namun, Lister tidak percaya dan menduga bahwa sesuatu di dalam luka itu sendiri yang menyebabkan gangren. Dugaan ini muncul karena ketika luka dibersihkan, luka tersebut membaik.[93]
Metode Bedah Antiseptik Lister
Lister mengembangkan bedah antiseptik dengan menggunakan larutan asam karbol. Asam karbol berpotensi mengeliminasi kuman yang terdapat pada luka dengan mencuci, membersihkan, dan menyemprot luka. Peralatan, tangan ahli bedah, dan seluruh lingkungan bedah juga dibersihkan dengan asam karbol.[94] Lister pertama kali merancang pengobatan untuk membasmi kuman melalui pembalut yang direndam dalam asam karbol dan menerapkannya pada James Greenlees pada tahun 1865.[90] James Greenlees, yang pada saat itu berusia 11 tahun, dibawa ke rumah sakit dengan tulang menonjol dari luka pada kaki kiri bawahnya akibat tertabrak gerobak. Lister kemudian memerintahkan stafnya untuk membalut luka dengan pembalut yang dicelupkan ke dalam asam karbol. Luka tersebut kemudian ditutupi kertas timah untuk mencegah penguapan asam karbol. Empat hari kemudian, Lister memeriksa luka tersebut kembali. Bukannya terbentuk gangren, luka tersebut justru bersih.[95] Mengetahui pembalut dengan asam karbol dapat mencegah infeksi pada Greenlees, Lister melakukan percobaan pada pasien lainya. Sembilan dari 12 percobaan yang Lister lakukan tidak menunjukkan adanya infeksi pada luka.[90] Jika dibandingkan dari hasil-hasil sebelumnya, hasil yang diperoleh Lister dianggap luar biasa. Hasil ini kemudian dideskripsikan Lister di dalam The Lancet.[71] Pada 20 April 1867, Lister melakukan operasi pengangkatan tumor dari lengan. Lister menggunakan larutan asam karbol sebagai losion pada luka mentah dan mengoleskan pasta karbol antiseptik pada luka yang dijahit. Hasil yang diperoleh Lister terbilang bagus. Empat bulan berikutnya Lister berhasil menggunakan metode antiseptik untuk beberapa amputasi dengan hasil yang baik.[71]
Pengaruh metode bedah antiseptik Lister
Penerapan metode Lister dalam dunia bedah sangat berpengaruh pada perkembangan dunia bedah modern. Sebelum masa Lister, ungkapan yang umum dalam dunia bedah adalah “operasi berhasil akan tetapi pasien meninggal”. Perkembangan dari sistem antiseptik yang dikembangkan oleh Joseph Lister secara signifikan merubah resiko kematian dari pascaoperasi yang sebelumnya mencapai 40% menjadi kurang dari 3% pada tahun 1910. Keberhasilan Lister ini dipublikasikan secara luas, sehingga praktisi lainnya dapat melihat bagaimana Lister menggunakan keahliannya dalam membangun metode baru dalam dunia bedah. [96]
Lihat pula
- Alexander Fleming
- Teori sel
- Epidemiologi
- Penyangkalan teori kuman penyakit
- Sejarah penyakit infeksius bangkit
- Robert Hooke
- Rudolf Virchow
- Penyakit zimotik
Catatan kaki
Referensi
- ^ "Figure 10.3. Environmental Burden of Disease". dx.doi.org. Diakses tanggal 2021-10-18.
- ^ "germ – definition of germ in English from the Oxford dictionary". oxforddictionaries.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 April 2016. Diakses tanggal 5 April 2016.
- ^ "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mikroba patogen seperti bakteri, jamur, virus, dan lain-lain. Penyakit yang - PDF Free Download". adoc.pub (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-10-18.
- ^ Media, Kompas Cyber (2020-03-18). "Proses Terjadinya Penyakit Infeksi". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2021-10-18.
- ^ a b John M. Last, ed. (2007), "miasma theory", A Dictionary of Public Health, Westminster College, Pennsylvania: Oxford University Press, ISBN 9780195160901
- ^ a b Karamanou, Marianna; Panayiotakopoulos, George; Tsoucalas, Gregory; Kousoulis, Antonis; Androutsos, George (2012-03-01). "From miasmas to germs: A historical approach to theories of infectious disease transmission". Le infezioni in medicina : rivista periodica di eziologia, epidemiologia, diagnostica, clinica e terapia delle patologie infettive. 20: 58–62.
- ^ a b Irwan, Irwan (1 Maret 2017). Epidemologi Penyakit Menular. Yogyakarta: CV. ABSOLUTE MEDIA. hlm. 117. ISBN 978-602-1083-64-2.
- ^ a b Gaynes, Robert P. (2011-01-01). Germ Theory: Medical Pioneers in Infectious Diseases (dalam bahasa Inggris). American Society of Microbiology. doi:10.1128/9781555817220. ISBN 978-1-55581-529-5.
- ^ McGrew, Roderick (1985). Encyclopedia of medical history. London: Macmillan.
- ^ Gillen, Dr. Alan L.; Oliver, Douglas (2009). "Creation and the Germ Theory". Answers in Genesis web site. Diakses tanggal 17 Oktober 2021.
- ^ a b c Tulchinsky, Theodore; Varavikova, Elena (2014). "A History of Public Health". The New Public Health.
- ^ a b Thucydides with Richard Crawley, trans., History of the Peloponnesian War (London, England: J.M. Dent & Sons, Ltd., 1910), Book III, § 51, pp. 131–32. From pp. 131–32: " … there was the awful spectacle of men dying like sheep, through having caught the infection in nursing each other. This caused the greatest mortality. On the one hand, if they were afraid to visit each other, they perished from neglect; indeed many houses were emptied of their inmates for want of a nurse: on the other, if they ventured to do so, death was the consequence."
- ^ Singer, Charles and Dorothea (1917) "The scientific position of Girolamo Fracastoro [1478?–1553] with especial reference to the source, character and influence of his theory of infection," Annals of Medical History, 1 : 1–34; see p. 14.
- ^ Nutton, Vivian (1983) "The seeds of disease: an explanation of contagion and infection from the Greeks to the Renaissance," Medical History, 27 (1) : 1–34; see p. 10. Available at: U.S. National Library of Medicine, National Institutes of Health
- ^ Lucretius with Rev. John S. Watson, trans., On the Nature of Things (London, England: Henry G. Bohn, 1851), Book VI, lines 1093–1130, pp. 291–92; see especially p. 292. From p. 292: "This new malady and pest, therefore, either suddenly falls into the water, or penetrates into the very corn, or into other food of men and cattle. Or even, as may be the case, the infection remains suspended in the air itself; and when, as we breathe, we inhale the air mingled with it, we must necessarily absorb those seeds of disease into our body."
- ^ Varro, Marcus Terentius with Lloyd Storr-Best, trans., Varro on Farming (London, England: G. Bell and Sons, Ltd., 1912), Book 1, Ch. XII, p. 39.
- ^ Nutton (1983), p. 4
- ^ Nutton (1983), p. 6
- ^ Nutton (1983), p. 7
- ^ a b c "Annals of medical history". 1917: 24 v. ISSN 0743-3131.
- ^ "On the Nature of Things | work by Lucretius". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-10-18.
- ^ Nutton, V (1983-01). "The seeds of disease: an explanation of contagion and infection from the Greeks to the Renaissance". Medical History. 27 (1): 1–34. doi:10.1017/s0025727300042241. ISSN 0025-7273. PMC 1139262 . PMID 6339840.
- ^ "Leprosy (Hansen's disease)". www.who.int (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-10-18.
- ^ Titus Lucretius Carus (1851). On the Nature of Things: De Rerum Natura (dalam bahasa English). Harvard University. H.G. Bohn.
- ^ Varro, Marcus Terentius; Storr-Best, Lloyd (1912). On farming : M. Terenti Varronis Rerum rusticarum libri tres. Robarts - University of Toronto. London G. Bell.
- ^ Elisabetg, Presterl (2019). Basic Microbiology and Infection Control for Midwives (PDF). Cham, Switzerland: Springer Nature Switzerland AG 2019. hlm. xi – xii.
- ^ a b Nutton, Vivian (1983-01). "The seeds of disease: An explanation of contagion and infection from the Greeks to the Renaissance". Medical History (dalam bahasa Inggris). 27 (1): 1–34. doi:10.1017/S0025727300042241. ISSN 2048-8343.
- ^ Rascovan, Nicolás; Sjögren, Karl-Göran; Kristiansen, Kristian; Nielsen, Rasmus; Willerslev, Eske; Desnues, Christelle; Rasmussen, Simon (2019-01-10). "Emergence and Spread of Basal Lineages of Yersinia pestis during the Neolithic Decline". Cell (dalam bahasa English). 176 (1): 295–305.e10. doi:10.1016/j.cell.2018.11.005. ISSN 0092-8674. PMID 30528431.
- ^ Sarris, Peter (2002-08). "The Justinianic plague: origins and effects". Continuity and Change (dalam bahasa Inggris). 17 (2): 169–182. doi:10.1017/S0268416002004137. ISSN 1469-218X.
- ^ Sabbatani, Sergio; Manfredi, Roberto; Fiorino, Sirio (2012-06). "[The Justinian plague (part one)]". Le Infezioni in Medicina. 20 (2): 125–139. ISSN 1124-9390. PMID 22767313.
- ^ Constantin, Georgiana Bianca; Căluian, Ionuţ; Emilio, Manuel; Pino, Milla (2021-02-25). "The Justinianic Plague's Origins and Consequences". Asian Journal of Medicine and Health. 19: 45–47. doi:10.9734/ajmah/2021/v19i130296.
- ^ Wazer, Caroline (2016-03-16). "The Plagues That Might Have Brought Down the Roman Empire". The Atlantic (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-10-18.
- ^ Sabbatani, Sergio; Manfredi, Roberto; Fiorino, Sirio (2012-06). "[The Justinian plague (part one)]". Le Infezioni in Medicina. 20 (2): 125–139. ISSN 1124-9390. PMID 22767313.
- ^ Little, Lester K., ed. (2006). Plague and the End of Antiquity: The Pandemic of 541–750. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-84639-4.
- ^ Green, Monica H. (2015-01-01). TAKING “PANDEMIC” SERIOUSLY: MAKING THE BLACK DEATH GLOBAL (dalam bahasa Inggris). ARC, Amsterdam University Press. doi:10.1515/9781942401018-005/html. ISBN 978-1-942401-01-8.
- ^ "Jerusalem Talmud Terumot". Wikitext. Wikisource.
- ^ תלמוד בבלי. עבודה זרה. hlm. י: בדפי הרי"ף.
- ^ Byrne, Joseph Patrick (2012). Encyclopedia of the Black Death. ABC-CLIO. hlm. 29. ISBN 9781598842531.
- ^ On the Nature of Things (De Natura Rerum). hlm. 47.Translated by Carolyn Embach
- ^ Meyerhof, M (1931-07). "`Alî at-Tabarî's ``Paradise of Wisdom, one of the oldest Arabic Compendiums of Medicine". Isis. 16: 6–54.
- ^ Medical Regime for the Pilgrims to Mecca. hlm. 9-10.Translated by Gerrit Bos
- ^ Hopley, Russell (2010). "CONTAGION IN ISLAMIC LANDS: Responses from Medieval Andalusia and North Africa". Journal for Early Modern Cultural Studies. 10 (2): 45–64.
- ^ Ober, William B; Aloush, Noa (1982). ""The plague at Granada, 1348-1349: Ibn Al-Khatib and ideas of contagion."". .” Bulletin of the New York Academy of Medicine. 58 (4): 418–24.
- ^ Nutton (1983), p. 21
- ^ Leewenhoeck, Anton Van (1667). "Observation, communicated to the publisher". Phil. Trans. 12: 821– 831. doi:10.1098/rstl.1677.0003.
- ^ Lane, Nick (April 19, 2015). ""The Unseen World: Reflections on Leeuwenhoek (1677) 'Concerning Litlle Animals."". Philosopical Transactions of the Royal Society of London Series B. BIological Sciences 370 (1666). doi:20140344 Periksa nilai
|doi=
(bantuan). - ^ "The Life and Work of Athanaseus Kircher, S.J." mjt.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 17 April 2016. Diakses tanggal 18 April 2016.
- ^ Andry, Nicolas (1701). "An account of the breeding of worms in human bodies; their nature, and several sorts; their effects, symptoms, and prognostics. With the true means to avoid them, and med'cines to cure them, / by Nicholas Andry ... with letters to the author on this subject from M. Nicholas Hartsoeker at Amsterdam, and M. George Baglivi at Rome". London: Printed for H. Rhodes and A. Bell.
- ^ "The History of the Germ Theory". The British Medical Journal. 1 (1415): 312. 1888.
- ^ Correia, Clara Pinto (1997). "The Ovary of Eve: Egg and Sperm and Preformation". Chicago: University of Chicago Press. pp. 74-76 (ISBN 978-0-226-66952-6.).
- ^ Santer, Melvin (2009). Richard Bradley: A Unified, Living Agent Theory of the Cause of Infectious Diseases of Plants, Animals, and Humans in the First Decades of the 18th Century. in Perspectives in Biology and Medicine. hlm. 566–578.
- ^ Winslow, Charles-Edward Amory (1967). "Conquest of Epidemic Disease: A Chapter in the History of Ideas. Hafner Publishing Co Ltd". Hadner Publishing Co Ltd (ISBN 978-0028548807).
- ^ Fone, Martin (14 Maret 2020). "Curious Questions: Who first discovered that washing your hands stops the spread of disease?, Country Life". Country Life. Diakses tanggal 18 Oktober 2021.
- ^ Grenville, Andrew (9 April 2020). "Social Distancing and Germ Theory": How Good Ideas Spread". Maru Group Ltd. Diakses tanggal 18 Oktober 2021.
- ^ Mazzarello, Paolo; Garbarino, Carla; Cani, Valentina (2013-09-01). "Bassi, Agostino". eLS. John Wiley & Sons, Ltd: Chichester. doi:10.1002/9780470015902.a0025074.
- ^ Mazzarello, Paolo; Garbarino, Carla; Cani, Valentina (2013-09-01). "Bassi, Agostino". eLS. John Wiley & Sons, Ltd: Chichester. doi:10.1002/9780470015902.a0025074.
- ^ Porter, J R (1973-09). "Agostino Bassi bicentennial (1773-1973)". Bacteriological Reviews (dalam bahasa Inggris). 37 (3): 284–288. doi:10.1128/br.37.3.284-288.1973. ISSN 0005-3678.
- ^ Mazzarello, Paolo; Garbarino, Carla; Cani, Valentina (2013-09-01). "Bassi, Agostino". eLS. John Wiley & Sons, Ltd: Chichester. doi:10.1002/9780470015902.a0025074.
- ^ Mazzarello, Paolo; Garbarino, Carla; Cani, Valentina (2013-09-01). "Bassi, Agostino". eLS. John Wiley & Sons, Ltd: Chichester. doi:10.1002/9780470015902.a0025074.
- ^ "Agostino Bassi | Italian bacteriologist". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-10-18.
- ^ a b Best, M (2004-06-01). "Ignaz Semmelweis and the birth of infection control". Quality and Safety in Health Care (dalam bahasa Inggris). 13 (3): 233–234. doi:10.1136/qshc.2004.010918. ISSN 1475-3898. PMC 1743827 . PMID 15175497.
- ^ E., & D, Dastur Adi & Tank, P (2008). "Ignaz Philipp Semmelweis and Puerperal Fever". https://jogi.co.in/may_jun_2008/02_milestone_ignaz_philipp.pdf. Hapus pranala luar di parameter
|journal=
(bantuan) - ^ Williams obstetrics. F. Gary Cunningham (edisi ke-24th edition). New York. 2014. ISBN 978-0-07-179893-8. OCLC 871619675.
- ^ Dutta, D. C. (2014). DC Dutta's textbook of obstetrics : including perinatology and contraception. Hiralal Konar (edisi ke-Enlarged & revised reprint of seventh edition). New Delhi. ISBN 978-93-5152-067-2. OCLC 872736100.
- ^ Rajab, Wahyudi (2009). Buku Ajar Epidemiologi untuk Mahasiswa Kebidanan.
- ^ Carter & Carter, R. Codell & Barbara R. (1994). Childbed Fever A Scientifc Biography of Ignaz Semmelweis. New York: Greenwood Press. hlm. 9. ISBN 1-4128-0467-1. line feed character di
|title=
pada posisi 15 (bantuan) - ^ From p. 90 of "The invisible world revealed by the microscope or, thoughts on animalcules.", second edition, 1850.
- ^ Mantell, Gideon Algernon (1846). Thoughts on animalcules : or, A glimpse of the invisible world revealed by the microscope. London :: Murray,. doi:10.5962/bhl.title.6548.
- ^ John Snow (1849). On the Mode of Communication of Cholera. London: J. Churchill.
There is no doubt that the mortality was much diminished, as I said before, by the flight of the population, which commenced soon after the outbreak; but the attacks had so far diminished before the use of the water was stopped, that it is impossible to decide whether the well still contained the cholera poison in an active state, or whether, from some cause, the water had become free from it
- ^ Pasteur, Louis (1880) [May 1880]. "(translated from French)" [On the extension of the germ theory to the etiology of certain common diseases]. Comptes Rendus de l'Académie des Sciences. XC. Ernst, H.C. (trans). hlm. 1033–44.
- ^ a b c d Conant, James Bryant ; Nash, Leonard K. ; Roller, Duane ; Roller, Duane H.D.: Harvard Case Histories in Experimental Science. Volume II. Cambridge, Mass. 1957. ISBN 978-0-674-59871-3. OCLC 979880864. Kesalahan pengutipan: Tanda
<ref>
tidak sah; nama ":12" didefinisikan berulang dengan isi berbeda - ^ Ben-Menahem, Ari (2009). Historical encyclopedia of natural and mathematical sciences. Berlin: Springer. ISBN 978-3-540-68832-7. OCLC 318545341.
- ^ Smith, Kendall A. (2012). "Louis Pasteur, the Father of Immunology?". Frontiers in Immunology. 3. doi:10.3389/fimmu.2012.00068. ISSN 1664-3224. PMC 3342039 . PMID 22566949.
- ^ a b c d Berche, P. (2012-10). "Louis Pasteur, from crystals of life to vaccination". Clinical Microbiology and Infection (dalam bahasa Inggris). 18: 1–6. doi:10.1111/j.1469-0691.2012.03945.x.
- ^ Pasteur, L. (1864). "Mémoire sur la fermentation acétique". Annales scientifiques de l'École normale supérieure. 1: 113–158. doi:10.24033/asens.4. ISSN 0012-9593.
- ^ Casanova, Jean-Laurent; Abel, Laurent (2013-08-31). "The Genetic Theory of Infectious Diseases: A Brief History and Selected Illustrations". Annual Review of Genomics and Human Genetics (dalam bahasa Inggris). 14 (1): 215–243. doi:10.1146/annurev-genom-091212-153448. ISSN 1527-8204. PMC 4980761 . PMID 23724903.
- ^ Pasteur, Louis; Vallery-Radot, Pasteur (1922). Oeuvres / réunies par Pasteur Vallery-Radot. Paris :: Masson.
- ^ Schwartz, M. (2001-10). "The life and works of Louis Pasteur". Journal of Applied Microbiology. 91 (4): 597–601. doi:10.1046/j.1365-2672.2001.01495.x. ISSN 1364-5072.
- ^ Walker L, Levine H, Jucker M (2006). "Koch's postulates and infectious proteins". Acta Neuropathologica. 112 (1): 1–4. doi:10.1007/s00401-006-0072-x. PMID 16703338.
- ^ a b Koch Robert (1893). "Über den augenblicklichen Stand der bakteriologischen Choleradiagnose". Zeitschrift für Hygiene und Infektionskrankheiten (dalam bahasa German). 14: 319–33. doi:10.1007/BF02284324.
- ^ Koch Robert (1884). "Die Aetiologie der Tuberkulose". Mittheilungen aus dem Kaiserlichen Gesundheitsamte. 2. hlm. 1–88.
- ^ Evans AS (May 1976). "Causation and disease: the Henle-Koch postulates revisited". Yale Journal of Biology and Medicine. 49 (2): 175–95. PMC 2595276 . PMID 782050.
- ^ Brock TD (1999). Robert Koch: a life in medicine and bacteriology. Washington DC: American Society of Microbiology Press. ISBN 1-55581-143-4.
- ^ Jacomo V, Kelly P, Raoult D (2002). "Natural history of Bartonella infections (an exception to Koch's postulate)". Clinical and Diagnostic Laboratory Immunology. 9 (1): 8–18. doi:10.1128/CDLI.9.1.8-18.2002. PMC 119901 . PMID 11777823.
- ^ Falkow S (1988). "Molecular Koch's postulates applied to microbial pathogenicity". Reviews of Infectious Diseases. 10 (Suppl 2): S274–76. doi:10.1093/cid/10.Supplement_2.S274. PMID 3055197.
- ^ Inglis TJ (November 2007). "Principia aetiologica: taking causality beyond Koch's postulates". Journal of Medical Microbiology. 56 (Pt 11): 1419–22. doi:10.1099/jmm.0.47179-0 . PMID 17965339. Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 March 2010. Diakses tanggal 3 December 2012.
- ^ Arunakul, Nikorn R (2003-03). "Dr. Joseph Lister:". Primary Care Update for OB/GYNS (dalam bahasa Inggris). 10 (2): 71–72. doi:10.1016/S1068-607X(02)00165-8.
- ^ "Lord Lister, 'Father of antiseptic surgery' | Feature from King's College London". www.kcl.ac.uk (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-10-18.
- ^ a b c Jessney, Benn (2012-08). "Joseph Lister (1827–1912): a pioneer of antiseptic surgery remembered a century after his death". Journal of Medical Biography. 20 (3): 107–110. doi:10.1258/jmb.2011.011074. ISSN 0967-7720.
- ^ a b c Barr, Justin; Podolsky, Scott H (2017-03). "Listerism then and now". The Lancet. 389 (10073): 1002–1003. doi:10.1016/s0140-6736(17)30652-9. ISSN 0140-6736.
- ^ a b Pitt, Dennis; Aubin, Jean-Michel (2012-10-01). "Joseph Lister: father of modern surgery". Canadian Journal of Surgery. 55 (5): E8–E9. doi:10.1503/cjs.007112. ISSN 0008-428X.
- ^ "Bloody hands, dirty knives: The horrors of Victorian medicine". AAMC (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-10-18.
- ^ Ackerknecht, Erwin H. (1982). A short history of medicine (edisi ke-Revised edition). Baltimore: Johns Hopkins University Press. ISBN 0-8018-2726-4. OCLC 8172172.
- ^ Toledo-Pereyra, Luis H. (2010-09). "Joseph Lister's Surgical Revolution". Journal of Investigative Surgery (dalam bahasa Inggris). 23 (5): 241–243. doi:10.3109/08941939.2010.520574. ISSN 0894-1939.
- ^ Hollingham, Richard. "The pioneering surgeons who cleaned up filthy hospitals". www.bbc.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-10-18.
- ^ "Lord Lister, 'Father of antiseptic surgery' | Feature from King's College London". www.kcl.ac.uk (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-10-18.
Pranala luar
- Stephen T. Abedon [1] Supplemental Lecture (98/03/28 update)
- William C. Campbell - The Germ Theory Timeline