Kekerasan di sekolah: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 1: Baris 1:
{{Sedang ditulis}}
{{Sedang ditulis}}


'''Kekerasan di sekolah''' merupakan tindak kekerasan yang melibatkan murid dan atau staf sekolah yang dapat mengganggu proses pengajaran dan pembelajaran.<ref>{{Cite web|date=2020-10-28|title=Preventing school violence|url=https://www.cdc.gov/violenceprevention/youthviolence/schoolviolence/fastfact.html|website=Centers for Disease Control and Prevention|language=en-us|access-date=2021-06-04}}</ref><ref name=":0" /> Salah satu definisi kekerasan di sekolah yang sering dirujuk dalam studi terkait adalah yang dikemukakan oleh Osofky dan Osofsky. Mereka mendefinisikan kekerasan di sekolah sebagai "konstruksi multi faset yang melibatkan tindakan kriminal dan agresi di sekolah, yang menghambat perkembangan dan pembelajaran, serta merusak iklim sekolah".<ref>{{Cite journal|last=Furlong|first=Michael|last2=Morrison|first2=Gale|date=2000-04-01|title=The School in School Violence: Definitions and Facts|url=https://doi.org/10.1177/106342660000800203|journal=Journal of Emotional and Behavioral Disorders|language=en|volume=8|issue=2|pages=71–82|doi=10.1177/106342660000800203|issn=1063-4266}}</ref> Pelaku dan korban kekerasan dapat berasal dari kalangan murid ataupun staf sekolah (guru, staf administrasi, petugas kebersihan, dan staf yang lain).<ref name=":0" />Kekerasan di sekolah merupakan isu yang terkait dengan [[hak asasi manusia]], [[kesehatan masyarakat]], dan masalah sosial.<ref name=":0">{{Cite journal|last=Ferrara|first=Pietro|last2=Franceschini|first2=Giulia|last3=Villani|first3=Alberto|last4=Corsello|first4=Giovanni|date=2019-06-27|title=Physical, psychological and social impact of school violence on children|url=https://doi.org/10.1186/s13052-019-0669-z|journal=Italian Journal of Pediatrics|volume=45|issue=1|pages=76|doi=10.1186/s13052-019-0669-z|issn=1824-7288|pmc=PMC6598284|pmid=31248434}}</ref>
'''Kekerasan di sekolah''' merupakan tindak kekerasan yang melibatkan murid dan atau staf sekolah yang dapat mengganggu proses pengajaran dan pembelajaran.<ref>{{Cite web|date=2020-10-28|title=Preventing school violence|url=https://www.cdc.gov/violenceprevention/youthviolence/schoolviolence/fastfact.html|website=Centers for Disease Control and Prevention|language=en-us|access-date=2021-06-04}}</ref><ref name=":0" /> Salah satu definisi kekerasan di sekolah yang sering dirujuk dalam studi terkait adalah yang dikemukakan oleh Osofky dan Osofsky. Mereka mendefinisikan kekerasan di sekolah sebagai "konstruksi multi faset yang melibatkan tindakan kriminal dan agresi di sekolah, yang menghambat perkembangan dan pembelajaran, serta merusak iklim sekolah".<ref>{{Cite journal|last=Furlong|first=Michael|last2=Morrison|first2=Gale|date=2000-04-01|title=The School in School Violence: Definitions and Facts|url=https://doi.org/10.1177/106342660000800203|journal=Journal of Emotional and Behavioral Disorders|language=en|volume=8|issue=2|pages=71–82|doi=10.1177/106342660000800203|issn=1063-4266}}</ref> Pelaku dan korban kekerasan dapat berasal dari kalangan murid ataupun staf sekolah (guru, staf administrasi, petugas kebersihan, dan staf yang lain).<ref name=":0" /> Kekerasan di sekolah merupakan isu yang terkait dengan [[hak asasi manusia]], [[kesehatan masyarakat]], dan masalah sosial.<ref name=":0">{{Cite journal|last=Ferrara|first=Pietro|last2=Franceschini|first2=Giulia|last3=Villani|first3=Alberto|last4=Corsello|first4=Giovanni|date=2019-06-27|title=Physical, psychological and social impact of school violence on children|url=https://doi.org/10.1186/s13052-019-0669-z|journal=Italian Journal of Pediatrics|volume=45|issue=1|pages=76|doi=10.1186/s13052-019-0669-z|issn=1824-7288|pmc=PMC6598284|pmid=31248434}}</ref>


Tindak kekerasan yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan di sekolah antara lain adalah penganiayaan (kekerasan fisik, seksual, dan psikologis), [[penindasan]] (fisik dan virtual), kekerasan remaja, kekerasan dalam hubungan ([[kekerasan dalam pacaran]] dan mungkin juga [[kekerasan dalam rumah tangga]]), kekerasan seksual, serta kekerasan psikologis.<ref name=":0" /> Di tingkat internasional, angka jumlah kekerasan di sekolah cukup tinggi. Diperkirakan sebanyak 1 miliar anak berusia 2-17 tahun pernah menjadi korban kekerasan fisik, seksual, dan kekerasan serta penelantaran emosional di lingkungan sekolah.<ref name=":0" /> Berdasarkan data [[International Center for Research on Women]] (ICRW) yang dirilis pada 2015, sebanyak 84% anak di [[Indonesia]] mengalami kekerasan di sekolah<ref>{{Cite web|last=Hartik|first=Andi|date=2016-11-29|title=84 Persen Siswa Indonesia Alami Kekerasan di Sekolah|url=https://regional.kompas.com/read/xml/2016/11/29/16005801/84.persen.siswa.indonesia.alami.kekerasan.di.sekolah|website=KOMPAS.com|language=id|access-date=2021-06-05}}</ref>, menjadikannya salah satu negara dengan jumlah kasus tertinggi di Asia<ref name=":3">{{Cite web|last=Setyawan|first=Davit|date=2017-02-21|title=Indonesia Peringkat Tertinggi Kasus Kekerasan di Sekolah|url=https://www.kpai.go.id/publikasi/indonesia-peringkat-tertinggi-kasus-kekerasan-di-sekolah|website=Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)|language=id-ID|access-date=2021-06-05}}</ref>. Kekerasan di sekolah terkadang juga melibatkan penyalahgunaan obat-obatan dan minuman keras, kepemilikan senjata, keanggotaan geng, kehamilan pada remaja, dan penyerangan.<ref name=":1">{{Cite journal|last=Osofsky|first=H. J.|last2=Osofsky|first2=J. D.|date=2001|title=Violent and aggressive behaviors in youth: a mental health and prevention perspective|url=https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/11822206/|journal=Psychiatry|volume=64|issue=4|pages=285–295|doi=10.1521/psyc.64.4.285.18603|issn=0033-2747|pmid=11822206}}</ref>
Tindak kekerasan yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan di sekolah antara lain adalah penganiayaan (kekerasan fisik, seksual, dan psikologis), [[penindasan]] (fisik dan virtual), kekerasan remaja, kekerasan dalam hubungan ([[kekerasan dalam pacaran]] dan mungkin juga [[kekerasan dalam rumah tangga]]), kekerasan seksual, serta kekerasan psikologis.<ref name=":0" /> Di tingkat internasional, angka jumlah kekerasan di sekolah cukup tinggi. Diperkirakan sebanyak 1 miliar anak berusia 2-17 tahun pernah menjadi korban kekerasan fisik, seksual, dan kekerasan serta penelantaran emosional di lingkungan sekolah.<ref name=":0" /> Berdasarkan data [[International Center for Research on Women]] (ICRW) yang dirilis pada 2015, sebanyak 84% anak di [[Indonesia]] mengalami kekerasan di sekolah<ref>{{Cite web|last=Hartik|first=Andi|date=2016-11-29|title=84 Persen Siswa Indonesia Alami Kekerasan di Sekolah|url=https://regional.kompas.com/read/xml/2016/11/29/16005801/84.persen.siswa.indonesia.alami.kekerasan.di.sekolah|website=KOMPAS.com|language=id|access-date=2021-06-05}}</ref>, menjadikan Indonesia salah satu negara dengan jumlah kasus tertinggi di Asia<ref name=":3">{{Cite web|last=Setyawan|first=Davit|date=2017-02-21|title=Indonesia Peringkat Tertinggi Kasus Kekerasan di Sekolah|url=https://www.kpai.go.id/publikasi/indonesia-peringkat-tertinggi-kasus-kekerasan-di-sekolah|website=Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)|language=id-ID|access-date=2021-06-05}}</ref>. Kekerasan di sekolah terkadang juga melibatkan penyalahgunaan obat-obatan dan minuman keras, kepemilikan senjata, keanggotaan geng, kehamilan pada remaja, dan penyerangan.<ref name=":1">{{Cite journal|last=Osofsky|first=H. J.|last2=Osofsky|first2=J. D.|date=2001|title=Violent and aggressive behaviors in youth: a mental health and prevention perspective|url=https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/11822206/|journal=Psychiatry|volume=64|issue=4|pages=285–295|doi=10.1521/psyc.64.4.285.18603|issn=0033-2747|pmid=11822206}}</ref>


== Jenis kekerasan ==
== Jenis kekerasan ==
[[Berkas:National School Walkout against gun violence (41613738361).jpg|jmpl|Demonstrasi di St. Paul, Minnesota, menentang kekerasan dengan senjata api di sekolah]]
[[Berkas:National School Walkout against gun violence (41613738361).jpg|jmpl|Demonstrasi di St. Paul, Minnesota, menentang kekerasan dengan senjata api di sekolah]]
Tipe kekerasan dapat digolongkan ke dalam enam jenis.<ref name=":0" /> Pertama, penganiayaan. Kekerasan dan hukuman fisik dengan maksud melukai anggota tubuh termasuk di dalamnya bersama dengan kekerasan emosional dan seksual. Hukuman fisik adalah kekerasan dengan melibatkan kekuatan fisik dan bertujuan menyebabkan rasa sakit atau ketidaknyamanan bagi korban, perbuatan menghukum siswa yang mendapatkan nilai rendah atau mereka yang melanggar peraturan sekolah. Sedangkan contoh kekerasan fisik adalah penembakan di lingkungan sekolah.<ref name=":8">{{Cite journal|last=Eisenbraun|first=Kristin D.|date=2007-07-01|title=Violence in schools: Prevalence, prediction, and prevention|url=https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S1359178907000043|journal=Aggression and Violent Behavior|language=en|volume=12|issue=4|pages=459–469|doi=10.1016/j.avb.2006.09.008|issn=1359-1789}}</ref> Kedua, penindasan, termasuk penindasan lewat dunia maya. Ketiga, kekerasan remaja yang melibatkan anak, remaja, dan orang dewasa muda dengan rentang usia 10-29 tahun. Kekerasan remaja umumnya terjadi di lingkungan masyarakat dan melibatkan kenalan dan orang asing, misalnya [[tawuran]]. Keempat, kekerasan fisik, seksual, dan emosional yang terjadi dalam hubungan. Pelaku kekerasan adalah pasangan dan mantan pasangan, baik dalam hubungan pacaran maupun pernikahan. Kelima, kekerasan seksual yaitu semua penindasan yang bersifat seksual, seperti [[pelecehan seksual]], sentuhan yang tidak diinginkan, pemaksaan seksual, dan [[pemerkosaan]] /percobaan pemerkosaan. Terkadang kekerasan seksual dilakukan tanpa adanya kontak fisik antara pelaku dan korban, misalnya pelecehan seksual yang dilakukan di forum internet dan media sosial. Keenam, kekerasan psikologis yang terdiri atas kekerasan emosional dan verbal, seperti mengucilkan, menolak, mengabaikan, menghina, menyebarkan gosip, mengarang kebohongan, memanggil dengan nama yang kurang baik, mengejek, menghina, mengancam, dan kekerasan psikologis lainnya.<ref name=":0" /> Hukuman psikologis juga dikategorikan sebagai kekerasan psikologis, misalnya tindakan mempermalukan dan menyoraki di depan umum.<ref name=":8" /><ref name=":7">{{Cite web|last=Magfirah|first=Ulfah|last2=Rachmawati|first2=Mira Aliza|date=2010|title=Hubungan antara iklim sekolah dengan kecenderungan perilaku bullying|url=https://scholar.google.com/scholar?hl=en&as_sdt=0%2C5&q=Hubungan+antara+iklim+sekolah+dengan+kecenderungan+perilaku+bullying+rachmawati&btnG=|website=CORE – Aggregating the world's open access research papers|access-date=2021-06-06}}</ref> Kekerasan di sekolah menimbulkan rasa tidak aman dan ketakutan yang dapat merusak iklim sekolah dan melanggar hak siswa untuk belajar di lingkungan yang aman.<ref name=":0" />
Tipe kekerasan dapat digolongkan ke dalam enam jenis.<ref name=":0" /> Pertama, penganiayaan. Kekerasan dan hukuman fisik dengan maksud melukai anggota tubuh termasuk kategori penganiayaan bersama dengan kekerasan emosional dan seksual. Hukuman fisik adalah kekerasan dengan melibatkan kekuatan fisik dan bertujuan menyebabkan rasa sakit atau ketidaknyamanan pada korban, misalnya perbuatan menghukum siswa yang mendapatkan nilai rendah atau mereka yang melanggar peraturan sekolah. Sedangkan contoh kekerasan fisik adalah penembakan di lingkungan sekolah.<ref name=":8">{{Cite journal|last=Eisenbraun|first=Kristin D.|date=2007-07-01|title=Violence in schools: Prevalence, prediction, and prevention|url=https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S1359178907000043|journal=Aggression and Violent Behavior|language=en|volume=12|issue=4|pages=459–469|doi=10.1016/j.avb.2006.09.008|issn=1359-1789}}</ref> Kedua, penindasan, termasuk yang dilakukan lewat dunia maya. Ketiga, kekerasan remaja. Kekerasan ini melibatkan anak, remaja, dan orang dewasa muda dengan rentang usia 10-29 tahun. Kekerasan remaja umumnya terjadi di lingkungan masyarakat dan melibatkan kenalan dan orang asing, contohnya [[tawuran]]. Keempat, kekerasan fisik, seksual, dan emosional yang terjadi dalam hubungan. Pelaku kekerasan adalah pasangan atau mantan pasangan, baik dalam hubungan pacaran maupun pernikahan. Kelima, kekerasan seksual yaitu semua penindasan yang bersifat seksual, seperti [[pelecehan seksual]], sentuhan yang tidak diinginkan, pemaksaan seksual, dan [[pemerkosaan]] /percobaan pemerkosaan. Terkadang kekerasan seksual dilakukan tanpa kontak fisik antara pelaku dan korban, misalnya pelecehan seksual yang dilakukan di forum internet dan media sosial. Keenam, kekerasan psikologis yang terdiri atas kekerasan emosional dan verbal, seperti mengucilkan, menolak, mengabaikan, menghina, menyebarkan gosip, mengarang kebohongan, memanggil dengan nama yang kurang baik, mengejek, menghina, mengancam, dan kekerasan psikologis lainnya.<ref name=":0" /> Hukuman psikologis juga dikategorikan sebagai kekerasan psikologis, misalnya tindakan mempermalukan dan menyoraki di depan umum.<ref name=":8" /><ref name=":7">{{Cite web|last=Magfirah|first=Ulfah|last2=Rachmawati|first2=Mira Aliza|date=2010|title=Hubungan antara iklim sekolah dengan kecenderungan perilaku bullying|url=https://scholar.google.com/scholar?hl=en&as_sdt=0%2C5&q=Hubungan+antara+iklim+sekolah+dengan+kecenderungan+perilaku+bullying+rachmawati&btnG=|website=CORE – Aggregating the world's open access research papers|access-date=2021-06-06}}</ref>


Kekerasan di sekolah merupakan isu yang kompleks, misalnya terlihat pada kasus bunuh diri di dalamnya. Baik pelaku kekerasan maupun korban kekerasan sama-sama berpotensi terlibat dalam aksi bunuh diri. Sejumlah pelaku penembakan di sejumlah di [[Amerika Serikat]], misalnya, pernah mempertimbangkan bunuh diri atau melakukan hal-hal yang dapat mengancam jiwa sebelum akhirnya melakukan penyerangan di sekolah.<ref>{{Cite book|last=Denmark|first=Florence|last2=Gielen|first2=Uwe|last3=Krauss|first3=Herbert H.|last4=Midlarsky|first4=Elizabeth|last5=Wesner|first5=R.|date=2006-06-14|url=https://books.google.com.au/books?id=N2ow4sK5RjkC&newbks=0&printsec=frontcover&dq=violence+in+schools+florence&hl=en&redir_esc=y|title=Violence in Schools: Cross-National and Cross-Cultural Perspectives|publisher=Springer Science & Business Media|isbn=978-0-387-28811-6|language=en}}</ref> Sedangkan korban kekerasan memutuskan bunuh diri akibat tekanan mental dan fisik yang dihadapi. Demikian juga dengan penyebab kekerasan di sekolah, faktornya berlapis dan bukan hanya sekadar kenakalan remaja. Menurut peneliti, [[kesenjangan sosial]], [[kemiskinan]] ekstrem, dan peminggiran sosial ([[eksklusi sosial]]) menjadi beberapa pemicu tindak kekerasan di sekolah.<ref name=":2">{{Cite journal|last=Kramer|first=Ronald C.|date=2000-01-01|title=Poverty, Inequality, and Youth Violence|url=https://doi.org/10.1177/000271620056700109|journal=The ANNALS of the American Academy of Political and Social Science|language=en|volume=567|issue=1|pages=123–139|doi=10.1177/000271620056700109|issn=0002-7162}}</ref><ref name=":4">{{Cite book|last=Astuti|first=Ponny Retno|date=2008|url=https://books.google.com.au/books?id=ZG8kNsHwDzoC&newbks=0&printsec=frontcover&pg=PR2&dq=Meredam+Bullying.+3+cara+efektif+mengatasi+kekerasan+pada+anak.&hl=en&redir_esc=y|title=Meredam bullying: 3 cara efektif menanggulangi kekerasan pada anak|location=Jakarta|publisher=Grasindo|isbn=978-979-025-464-0|language=id|url-status=live}}</ref> Hal ini dapat diperparah dengan bijakan pemerintah, misalnya legalisasi senjata api di AS yang dapat mengakibatkan kasus penyalahgunaan di kalangan remaja.<ref name=":5">{{Cite web|last=Constitutional Rights Foundation|date=2021|title=Causes of school violence|url=https://www.crf-usa.org/school-violence/causes-of-school-violence.html|website=www.crf-usa.org|access-date=2021-06-05}}</ref> Penegakan aturan yang tidak konsisten dan pengaruh media juga dapat menjadi pendorong yang lain.<ref name=":4" /><ref name=":5" />
Kekerasan di sekolah merupakan isu yang kompleks, misalnya terlihat pada kasus bunuh diri di dalamnya. Baik pelaku kekerasan maupun korban kekerasan sama-sama berpotensi terlibat dalam aksi bunuh diri. Sejumlah pelaku penembakan di sejumlah di [[Amerika Serikat]], misalnya, pernah mempertimbangkan bunuh diri atau melakukan hal-hal yang dapat mengancam jiwa sebelum akhirnya melakukan penyerangan di sekolah.<ref>{{Cite book|last=Denmark|first=Florence|last2=Gielen|first2=Uwe|last3=Krauss|first3=Herbert H.|last4=Midlarsky|first4=Elizabeth|last5=Wesner|first5=R.|date=2006-06-14|url=https://books.google.com.au/books?id=N2ow4sK5RjkC&newbks=0&printsec=frontcover&dq=violence+in+schools+florence&hl=en&redir_esc=y|title=Violence in Schools: Cross-National and Cross-Cultural Perspectives|publisher=Springer Science & Business Media|isbn=978-0-387-28811-6|language=en}}</ref> Sedangkan korban kekerasan memutuskan bunuh diri akibat tekanan mental dan fisik yang dihadapi. Demikian juga dengan penyebab kekerasan di sekolah, faktornya berlapis dan bukan hanya sekadar kenakalan remaja. Menurut peneliti, [[kesenjangan sosial]], [[kemiskinan]] ekstrem, dan peminggiran sosial ([[eksklusi sosial]]) menjadi beberapa pemicu tindak kekerasan di sekolah.<ref name=":2">{{Cite journal|last=Kramer|first=Ronald C.|date=2000-01-01|title=Poverty, Inequality, and Youth Violence|url=https://doi.org/10.1177/000271620056700109|journal=The ANNALS of the American Academy of Political and Social Science|language=en|volume=567|issue=1|pages=123–139|doi=10.1177/000271620056700109|issn=0002-7162}}</ref><ref name=":4">{{Cite book|last=Astuti|first=Ponny Retno|date=2008|url=https://books.google.com.au/books?id=ZG8kNsHwDzoC&newbks=0&printsec=frontcover&pg=PR2&dq=Meredam+Bullying.+3+cara+efektif+mengatasi+kekerasan+pada+anak.&hl=en&redir_esc=y|title=Meredam bullying: 3 cara efektif menanggulangi kekerasan pada anak|location=Jakarta|publisher=Grasindo|isbn=978-979-025-464-0|language=id|url-status=live}}</ref> Hal ini dapat diperparah dengan bijakan pemerintah, misalnya legalisasi senjata api di AS yang dapat mengakibatkan kasus penyalahgunaan di kalangan remaja.<ref name=":5">{{Cite web|last=Constitutional Rights Foundation|date=2021|title=Causes of school violence|url=https://www.crf-usa.org/school-violence/causes-of-school-violence.html|website=www.crf-usa.org|access-date=2021-06-05}}</ref> Penegakan aturan yang tidak konsisten dan pengaruh media juga dapat menjadi pendorong yang lain.<ref name=":4" /><ref name=":5" /> Kekerasan di sekolah menimbulkan rasa tidak aman dan ketakutan yang dapat merusak iklim sekolah dan melanggar hak siswa untuk belajar di lingkungan yang aman.<ref name=":0" />


== Penyebab tindak kekerasan di sekolah ==
== Penyebab tindak kekerasan di sekolah ==
Sejumlah peneliti di AS mensinyalir kesenjangan ekonomi yang lebar menjadi salah satu penyebab utama kekerasan di sekolah. Berdasarkan data, kesenjangan ekonomi dan sosial di AS termasuk yang tertinggi di antara negara-negara maju lainnya.<ref name=":2" /> Peneliti mendaftar beberapa faktor penyebab kekerasan terhadap anak, yaitu gender dan norma sosial, dan faktor struktural dan kontekstual yang lebih luas, seperti ketimpangan pendapatan, deprivasi, marginalisasi, dan konflik.<ref name=":0" /> Kondisi keluarga yang tidak stabil juga menjadi penyebab perilaku agresif pada anak-anak.<ref name=":5" /> Anak-anak saat ini lahir dan tumbuh di dalam keluarga yang kurang stabil baik secara sosial maupun emosional. Orang tua mereka bisa jadi adalah pecandu obat-obatan dan alkohol, pelaku kriminal dan narapidana, dan orang tua yang menghilang dan tidak bertanggung jawab.<ref name=":5" /> Media yang mempertontonkan adegan kekerasan, menurut sejumlah pakar, juga menjadi faktor yang mendorong terjadinya kekerasan di sekolah.<ref name=":5" />
Sejumlah peneliti di AS mensinyalir kesenjangan ekonomi yang lebar menjadi salah satu penyebab utama kekerasan di sekolah. Berdasarkan data, kesenjangan ekonomi dan sosial di AS termasuk yang tertinggi di antara negara-negara maju lainnya.<ref name=":2" /> Peneliti lain mendaftar beberapa faktor penyebab kekerasan terhadap anak, yaitu gender dan norma sosial, dan faktor struktural dan kontekstual yang lebih luas, seperti ketimpangan pendapatan, deprivasi, marginalisasi, dan konflik.<ref name=":0" /> Kondisi keluarga yang tidak stabil juga menjadi penyebab perilaku agresif pada anak-anak.<ref name=":5" /> Anak-anak pada beberapa dekade terakhir terlahir dan tumbuh di dalam keluarga yang kondisinya kurang stabil baik secara sosial maupun emosional. Orang tua mereka bisa jadi adalah pecandu obat-obatan dan alkohol, pelaku kriminal dan narapidana, dan orang tua yang menghilang dan tidak bertanggung jawab.<ref name=":5" /> Media yang mempertontonkan adegan kekerasan, menurut sejumlah pakar, juga menjadi faktor yang mendorong terjadinya kekerasan di sekolah.<ref name=":5" />


Kekerasan dan penindasan di sekolah juga dapat dilakukan oleh guru terhadap murid. Beberapa siswa memiliki kerentanan lebih tinggi daripada teman-temannya, antara lain mereka yang berlatar belakang keluarga miskin, berasal dari kelompok etnis tertentu dan minoritas, pengungsi dan imigran lainnya,<ref name=":9">{{Cite journal|last=Vitoroulis|first=Irene|last2=Georgiades|first2=Katholiki|date=2017-12-01|title=Bullying among immigrant and non-immigrant early adolescents: School- and student-level effects|url=https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0140197117301628|journal=Journal of Adolescence|language=en|volume=61|pages=141–151|doi=10.1016/j.adolescence.2017.10.008|issn=0140-1971}}</ref> berbicara bahasa lain, cacat, keluarga dengan HIV. Selain ditindas oleh guru, siswa-siswa tersebut juga rentan mendapatkan kekerasan dari teman sebayanya. Di dalam masyarakat yang hubungan antara warga lokal dengan imigrannya kurang berjalan dengan harmonis, imigran remaja berpotensi menjadi pelaku penindasan terhadap remaja dari etnik mayoritas. Mereka melakukannya sebagai bentuk perlawanan.<ref name=":9" />
Kekerasan dan penindasan di sekolah juga dapat dilakukan oleh guru terhadap murid. Beberapa siswa memiliki kerentanan lebih tinggi daripada teman-temannya, antara lain mereka yang berlatar belakang keluarga miskin, berasal dari kelompok etnis tertentu dan minoritas, pengungsi dan imigran lainnya,<ref name=":9">{{Cite journal|last=Vitoroulis|first=Irene|last2=Georgiades|first2=Katholiki|date=2017-12-01|title=Bullying among immigrant and non-immigrant early adolescents: School- and student-level effects|url=https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0140197117301628|journal=Journal of Adolescence|language=en|volume=61|pages=141–151|doi=10.1016/j.adolescence.2017.10.008|issn=0140-1971}}</ref> berbicara bahasa lain, cacat, dan memiliki keluarga dengan riwayat HIV.<ref>{{Cite journal|last=Devries|first=Karen M.|last2=Kyegombe|first2=Nambusi|last3=Zuurmond|first3=Maria|last4=Parkes|first4=Jenny|last5=Child|first5=Jennifer C.|last6=Walakira|first6=Eddy J.|last7=Naker|first7=Dipak|date=2014-09-29|title=Violence against primary school children with disabilities in Uganda: a cross-sectional study|url=https://doi.org/10.1186/1471-2458-14-1017|journal=BMC Public Health|volume=14|issue=1|pages=1017|doi=10.1186/1471-2458-14-1017|issn=1471-2458|pmc=PMC4192736|pmid=25270531}}</ref> Selain ditindas oleh guru, siswa-siswa tersebut juga rentan mendapatkan kekerasan dari teman sebayanya. Di dalam masyarakat yang hubungan antara warga lokal dengan imigrannya kurang terjalin dengan harmonis, imigran remaja berpeluang menjadi pelaku penindasan terhadap remaja dari etnik mayoritas. Mereka melakukannya sebagai bentuk perlawanan.<ref name=":9" />


== Dampak kekerasan ==
== Dampak kekerasan ==
Kekerasan di sekolah dapat menimbulkan dampak serius bagi korban, baik secara fisik maupun psikologis. Korban penindasan, misalnya, mengalami ketakutan dan merasa terintimidasi, memiliki citra diri dan percaya diri yang rendah, sulit berkonsentrasi dalam belajar, sulit bergaul dan berkomunikasi, serta enggan bersekolah.<ref name=":7" />
Kekerasan di sekolah dapat menimbulkan dampak serius bagi korban, baik secara fisik maupun psikologis. Korban penindasan, misalnya, mengalami ketakutan dan merasa terintimidasi, memiliki citra diri dan percaya diri yang rendah, sulit berkonsentrasi dalam belajar, sulit bergaul dan berkomunikasi, serta enggan pergi ke sekolah.<ref name=":7" />


=== Dampak fisik ===
=== Dampak fisik ===
Kekerasan di sekolah dapat menyebabkan cacat fisik permanen dan masalah kesehatan dalam jangka panjang. Dampak fisik dapat berupa luka ringan dan berat, memar, patah tulang, dan kematian akibat pembunuhan atau bunuh diri karena tekanan mental.<ref name=":0" /> Korban kekerasan juga berpotensi mengembangkan kebiasaan kesehatan yang buruk, seperti merokok dan mengkonsumsi alkohol secara berlebihan. Kekerasan juga mengakibatkan korban menjadi malas beraktivitas fisik, dan menderita beberapa penyakit, seperti [[obesitas]], [[Diabetes|diabetes melitus]], [[kanker]], [[penyakit jantung]], dan [[penyakit pernapasan]].<ref name=":0" />
Kekerasan di sekolah dapat menyebabkan cacat fisik permanen dan masalah kesehatan dalam jangka panjang. Dampak fisik dapat berupa luka ringan dan berat, memar, patah tulang, dan kematian akibat pembunuhan atau bunuh diri karena tekanan mental.<ref name=":0" /> Korban kekerasan juga berpotensi mengembangkan kebiasaan kesehatan yang buruk, seperti merokok dan mengkonsumsi minuman beralkohol secara berlebihan. Kekerasan juga mengakibatkan korban menjadi malas beraktivitas fisik dan menderita beberapa penyakit, seperti [[obesitas]], [[Diabetes|diabetes melitus]], [[kanker]], [[penyakit jantung]], dan [[penyakit pernapasan]].<ref name=":0" /> Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Plan Asia terhadap siswa dan siswi berusia 12-17 tahun di Kamboja, Indonesia, Vietnam, Pakistan, dan Nepal, korban kekerasan fisik didominasi oleh murid laki-laki.<ref>{{Cite web|last=Iyengar|first=Rishi|date=2015-03-03|title=7 of 10 Asian Children Experience School Violence|url=https://time.com/3729731/school-violence-asia-7-out-of-10-plan-peass/|website=Time|language=en|access-date=2021-06-06}}</ref>


=== Dampak emosional ===
=== Dampak emosional ===
Kekerasan bisa berdampak serius pada prestasi belajar korban dan mengganggu aspek kehidupan sosialnya.<ref>{{Cite journal|last=Beale|first=Andrew V.|last2=Scott|first2=Paula C.|date=2001/00/00|title=ERIC - EJ634445 - "Bullybusters": Using Drama To Empower Students To Take a Stand against Bullying Behavior., Professional School Counseling, 200|url=https://eric.ed.gov/?id=EJ634445|journal=Professional School Counseling|language=en|volume=4|issue=4|pages=300–5|issn=1096-2409}}</ref> Korban cenderung memiliki harga diri yang rendah dan berisiko menderita kecemasan dan depresi yang lebih tinggi daripada teman-teman mereka yang bukan korban. Para peneliti juga mengindikasikan adanya efek ganda dalam kekerasan di sekolah, korban diincar sebagai sasaran oleh pelaku yang biasanya teman sebaya, tapi dalam waktu yang sama mereka menjadi korban pengucilan.<ref>{{Cite journal|last=Bulach|first=Clete|last2=Fulbright|first2=Julie Penland|last3=Williams|first3=Ronnie|date=2003-06-01|title=Bullying behavior: what is the potential for violence at your school?|url=https://go.gale.com/ps/i.do?p=AONE&sw=w&issn=00941956&v=2.1&it=r&id=GALE%7CA105478985&sid=googleScholar&linkaccess=abs|journal=Journal of Instructional Psychology|language=English|volume=30|issue=2|pages=156–165}}</ref> Korban kekerasan juga berpotensi menjadi pelaku kekerasan di masa depan jika tidak dilakukan intervensi perilaku.<ref name=":1" /> Gangguan psikologis lain yang dapat mengancam korban adalah gangguan kelekatan reaktif ([[:en:Reactive_attachment_disorder|''reactive'' ''attachment disorder'']]) dan [[gangguan jiwa]] yang bersifat permanen.<ref name=":0" />
Kekerasan bisa berdampak pada prestasi belajar korban dan mengganggu aspek kehidupan sosialnya.<ref>{{Cite journal|last=Beale|first=Andrew V.|last2=Scott|first2=Paula C.|date=2001/00/00|title=ERIC - EJ634445 - "Bullybusters": Using Drama To Empower Students To Take a Stand against Bullying Behavior., Professional School Counseling, 200|url=https://eric.ed.gov/?id=EJ634445|journal=Professional School Counseling|language=en|volume=4|issue=4|pages=300–5|issn=1096-2409}}</ref> Korban cenderung memiliki harga diri yang rendah dan berisiko menderita kecemasan dan depresi yang lebih tinggi daripada teman-teman mereka yang bukan korban. Para peneliti juga mengindikasikan adanya efek ganda dalam kekerasan di sekolah, korban diincar sebagai sasaran oleh pelaku yang biasanya teman sebaya, tapi dalam waktu yang sama mereka menjadi korban pengucilan.<ref>{{Cite journal|last=Bulach|first=Clete|last2=Fulbright|first2=Julie Penland|last3=Williams|first3=Ronnie|date=2003-06-01|title=Bullying behavior: what is the potential for violence at your school?|url=https://go.gale.com/ps/i.do?p=AONE&sw=w&issn=00941956&v=2.1&it=r&id=GALE%7CA105478985&sid=googleScholar&linkaccess=abs|journal=Journal of Instructional Psychology|language=English|volume=30|issue=2|pages=156–165}}</ref> Korban kekerasan juga berpotensi menjadi pelaku kekerasan di masa depan jika tidak dilakukan intervensi perilaku.<ref name=":1" /> Gangguan psikologis lain yang dapat mengancam korban adalah gangguan kelekatan reaktif ([[:en:Reactive_attachment_disorder|''reactive'' ''attachment disorder'']]) dan [[gangguan jiwa]] yang bersifat permanen.<ref name=":0" />


== Kebijakan pencegahan dan penanganan ==
== Kebijakan pencegahan dan penanganan ==
Menurut [[Komisi Perlindungan Anak Indonesia]], salah satu solusi untuk mencegah terjadinya kekerasan di sekolah adalah dengan menyelenggarakan sekolah ramah anak.<ref name=":3" /> Sejumlah kriteria yang harus dipenuhi oleh sekolah ramah anak adalah aman, memenuhi hak anak, melindungi semua pihak dari kekerasan, memiliki iklim sekolah yang sehat, peduli, dan berbudaya serta mendukung partisipasi anak.<ref name=":3" /> Selanjutnya, penegakan regulasi juga menjadi faktor penguat sekolah ramah anak.<ref name=":3" /> Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Maghfirah dan Rachmawati terhadap 73 murid [[SMP Negeri 2 Bantul]], [[Yogyakarta]]. Kedua peneliti tersebut menemukan bahwa iklim sekolah yang positif berdampak pada tingkat penindasan yang rendah.<ref name=":7" />
Menurut [[Komisi Perlindungan Anak Indonesia]], salah satu solusi untuk mencegah terjadinya kekerasan di sekolah adalah dengan menyelenggarakan sekolah ramah anak.<ref name=":3" /> Sejumlah kriteria yang harus dipenuhi oleh sekolah ramah anak adalah aman, memenuhi hak anak, melindungi semua pihak dari kekerasan, memiliki iklim sekolah yang sehat, peduli, dan berbudaya serta mendukung partisipasi anak.<ref name=":3" /> Selanjutnya, penegakan regulasi juga menjadi faktor penguat sekolah ramah anak.<ref name=":3" /> Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Maghfirah dan Rachmawati terhadap 73 murid [[SMP Negeri 2 Bantul]], [[Yogyakarta]]. Kedua peneliti tersebut menemukan bahwa iklim sekolah yang positif berdampak pada tingkat penindasan yang rendah.<ref name=":7" />


Terkait penegakan disiplin di sekolah, para peneliti menemukan bahwa pendekatan positif dan non kekerasan membawa pengaruh yang lebih baik dan semua jenis hukuman dengan kekerasan dikaitkan dengan dampak negatif.<ref name=":0" />
Terkait penegakan disiplin di sekolah, para peneliti menemukan bahwa pendekatan positif dan non kekerasan membawa pengaruh yang lebih baik dan semua jenis hukuman dengan kekerasan dikaitkan dengan dampak negatif.<ref name=":0" />

Di negara yang penduduknya heterogen dan memiliki jumlah imigran yang besar, seperti Kanada, disarankan untuk mengembangkan kebijakan sekolah dengan keterwakilan sejumlah siswa dari latar belakang yang sama, misalnya berdasarkan latar belakang sebagai imigran.<ref name=":9" /> Berdasarkan hasil studi di Eropa, sekolah dengan jumlah imigran yang memadai bisa menjadi pencegah terjadinya penindasan antar siswa.<ref>{{Cite journal|last=Agirdag|first=Orhan|last2=Demanet|first2=Jannick|last3=Van Houtte|first3=Mieke|last4=Van Avermaet|first4=Piet|date=2011-07-01|title=Ethnic school composition and peer victimization: A focus on the interethnic school climate|url=https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0147176710001033|journal=International Journal of Intercultural Relations|language=en|volume=35|issue=4|pages=465–473|doi=10.1016/j.ijintrel.2010.09.009|issn=0147-1767}}</ref>


== Kekerasan di sekolah di sejumlah negara ==
== Kekerasan di sekolah di sejumlah negara ==


=== Amerika Serikat ===
=== Amerika Serikat ===
Berdasarkan laporan bersama Departemen Pendidikan, Pusat Statistik Pendidikan Nasional, dan Departemen Kehakiman AS, kasus kekerasan dan kejahatan di sekolah di AS cenderung mengalami penurunan selama kurun 1992 sampai 2017<ref>{{Cite web|last=Musu et al.|first=Lauren|date=2019|title=Indicators of School Crime and Safety: 2018, Washington, DC: U.S. Department of Education, National Center for Education Statistics and U.S. Department of Justice, Bureau of Justice Statistics|url=https://bjs.ojp.gov/content/pub/pdf/iscs18.pdf|website=Bureau of Justice Statistics|access-date=2021-06-06}}</ref>, tetapi angka kasus pembunuhan dengan jumlah korban tinggi terus meningkat.<ref name=":6">{{Cite web|last=Frederique|first=Nadine|date=2020-11-13|title=What Do the Data Reveal About Violence in Schools?|url=https://nij.ojp.gov/topics/articles/what-do-data-reveal-about-violence-schools|website=National Institute of Justice|language=en|access-date=2021-06-05}}</ref> Beberapa kasus yang paling menonjol adalah penembakan yang terjadi di SMA Marjory Stoneman Douglas, SD Sandy Hook, dan SMA Santa Fe.<ref name=":6" />
Berdasarkan laporan bersama Departemen Pendidikan, Pusat Statistik Pendidikan Nasional, dan Departemen Kehakiman AS, kasus kekerasan dan kejahatan di sekolah di AS cenderung mengalami penurunan selama kurun 1992 sampai 2017<ref>{{Cite web|last=Musu et al.|first=Lauren|date=2019|title=Indicators of School Crime and Safety: 2018, Washington, DC: U.S. Department of Education, National Center for Education Statistics and U.S. Department of Justice, Bureau of Justice Statistics|url=https://bjs.ojp.gov/content/pub/pdf/iscs18.pdf|website=Bureau of Justice Statistics|access-date=2021-06-06}}</ref>, tetapi angka kasus pembunuhan dengan jumlah korban besar terus meningkat.<ref name=":6">{{Cite web|last=Frederique|first=Nadine|date=2020-11-13|title=What Do the Data Reveal About Violence in Schools?|url=https://nij.ojp.gov/topics/articles/what-do-data-reveal-about-violence-schools|website=National Institute of Justice|language=en|access-date=2021-06-05}}</ref> Beberapa kasus yang paling menonjol adalah penembakan yang terjadi di SMA Marjory Stoneman Douglas, SD Sandy Hook, dan SMA Santa Fe.<ref name=":6" />


=== Indonesia ===
=== Indonesia ===
Kasus kekerasan dan penindasan di Indonesia tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga di tingkat [[perguruan tinggi]]. Budaya perpeloncoan turun menurun menjadi salah satu bentuk kekerasan di sekolah/kampus. Sejumlah kasus kekerasan yang terjadi antara lain adalah kasus [[perpeloncoan]] di kegiatan murid/mahasiswa baru di beberapa institusi, misalnya kasus di [[Institut Pemerintahan Dalam Negeri|IPDN]]<ref name=":7" /> dan di SMA Taruna Indoesia di Palembang.<ref>{{Cite web|last=Sidiq|first=Farih Maulana|title=Siswa SMA Taruna Meninggal Saat MOS, Mendikbud Larang Perpeloncoan|url=https://news.detik.com/berita/d-4624103/siswa-sma-taruna-meninggal-saat-mos-mendikbud-larang-perpeloncoan|website=detiknews|language=id-ID|access-date=2021-06-06}}</ref> Beberapa di antaranya berujung pada kematian korban.<ref>{{Cite web|last=Bramasta|first=Dandy Bayu|date=2020-09-16|title=Selain di Unesa, Berikut Sederet Kejadian Memilukan Saat Ospek Mahasiswa Baru Halaman all|url=https://www.kompas.com/tren/read/2020/09/16/140525665/selain-di-unesa-berikut-sederet-kejadian-memilukan-saat-ospek-mahasiswa|website=KOMPAS.com|language=id|access-date=2021-06-06}}</ref>
Kasus kekerasan dan penindasan di Indonesia tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga di [[perguruan tinggi]]. Budaya perpeloncoan turun menurun menjadi salah satu bentuk kekerasan di sekolah/kampus. Sejumlah kasus kekerasan yang terjadi antara lain adalah kasus [[perpeloncoan]] di kegiatan orientasi studi dan pengenalan kampus (OSPEK) murid/mahasiswa baru di beberapa institusi, misalnya kasus di [[Institut Pemerintahan Dalam Negeri|IPDN]]<ref name=":7" /> dan di SMA Taruna Indoesia di Palembang.<ref>{{Cite web|last=Sidiq|first=Farih Maulana|title=Siswa SMA Taruna Meninggal Saat MOS, Mendikbud Larang Perpeloncoan|url=https://news.detik.com/berita/d-4624103/siswa-sma-taruna-meninggal-saat-mos-mendikbud-larang-perpeloncoan|website=detiknews|language=id-ID|access-date=2021-06-06}}</ref> Beberapa di antaranya berujung pada kematian korban.<ref>{{Cite web|last=Bramasta|first=Dandy Bayu|date=2020-09-16|title=Selain di Unesa, Berikut Sederet Kejadian Memilukan Saat Ospek Mahasiswa Baru Halaman all|url=https://www.kompas.com/tren/read/2020/09/16/140525665/selain-di-unesa-berikut-sederet-kejadian-memilukan-saat-ospek-mahasiswa|website=KOMPAS.com|language=id|access-date=2021-06-06}}</ref>


== Daftar rujukan ==
== Daftar rujukan ==

Revisi per 6 Juni 2021 08.39

Kekerasan di sekolah merupakan tindak kekerasan yang melibatkan murid dan atau staf sekolah yang dapat mengganggu proses pengajaran dan pembelajaran.[1][2] Salah satu definisi kekerasan di sekolah yang sering dirujuk dalam studi terkait adalah yang dikemukakan oleh Osofky dan Osofsky. Mereka mendefinisikan kekerasan di sekolah sebagai "konstruksi multi faset yang melibatkan tindakan kriminal dan agresi di sekolah, yang menghambat perkembangan dan pembelajaran, serta merusak iklim sekolah".[3] Pelaku dan korban kekerasan dapat berasal dari kalangan murid ataupun staf sekolah (guru, staf administrasi, petugas kebersihan, dan staf yang lain).[2] Kekerasan di sekolah merupakan isu yang terkait dengan hak asasi manusia, kesehatan masyarakat, dan masalah sosial.[2]

Tindak kekerasan yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan di sekolah antara lain adalah penganiayaan (kekerasan fisik, seksual, dan psikologis), penindasan (fisik dan virtual), kekerasan remaja, kekerasan dalam hubungan (kekerasan dalam pacaran dan mungkin juga kekerasan dalam rumah tangga), kekerasan seksual, serta kekerasan psikologis.[2] Di tingkat internasional, angka jumlah kekerasan di sekolah cukup tinggi. Diperkirakan sebanyak 1 miliar anak berusia 2-17 tahun pernah menjadi korban kekerasan fisik, seksual, dan kekerasan serta penelantaran emosional di lingkungan sekolah.[2] Berdasarkan data International Center for Research on Women (ICRW) yang dirilis pada 2015, sebanyak 84% anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah[4], menjadikan Indonesia salah satu negara dengan jumlah kasus tertinggi di Asia[5]. Kekerasan di sekolah terkadang juga melibatkan penyalahgunaan obat-obatan dan minuman keras, kepemilikan senjata, keanggotaan geng, kehamilan pada remaja, dan penyerangan.[6]

Jenis kekerasan

Demonstrasi di St. Paul, Minnesota, menentang kekerasan dengan senjata api di sekolah

Tipe kekerasan dapat digolongkan ke dalam enam jenis.[2] Pertama, penganiayaan. Kekerasan dan hukuman fisik dengan maksud melukai anggota tubuh termasuk kategori penganiayaan bersama dengan kekerasan emosional dan seksual. Hukuman fisik adalah kekerasan dengan melibatkan kekuatan fisik dan bertujuan menyebabkan rasa sakit atau ketidaknyamanan pada korban, misalnya perbuatan menghukum siswa yang mendapatkan nilai rendah atau mereka yang melanggar peraturan sekolah. Sedangkan contoh kekerasan fisik adalah penembakan di lingkungan sekolah.[7] Kedua, penindasan, termasuk yang dilakukan lewat dunia maya. Ketiga, kekerasan remaja. Kekerasan ini melibatkan anak, remaja, dan orang dewasa muda dengan rentang usia 10-29 tahun. Kekerasan remaja umumnya terjadi di lingkungan masyarakat dan melibatkan kenalan dan orang asing, contohnya tawuran. Keempat, kekerasan fisik, seksual, dan emosional yang terjadi dalam hubungan. Pelaku kekerasan adalah pasangan atau mantan pasangan, baik dalam hubungan pacaran maupun pernikahan. Kelima, kekerasan seksual yaitu semua penindasan yang bersifat seksual, seperti pelecehan seksual, sentuhan yang tidak diinginkan, pemaksaan seksual, dan pemerkosaan /percobaan pemerkosaan. Terkadang kekerasan seksual dilakukan tanpa kontak fisik antara pelaku dan korban, misalnya pelecehan seksual yang dilakukan di forum internet dan media sosial. Keenam, kekerasan psikologis yang terdiri atas kekerasan emosional dan verbal, seperti mengucilkan, menolak, mengabaikan, menghina, menyebarkan gosip, mengarang kebohongan, memanggil dengan nama yang kurang baik, mengejek, menghina, mengancam, dan kekerasan psikologis lainnya.[2] Hukuman psikologis juga dikategorikan sebagai kekerasan psikologis, misalnya tindakan mempermalukan dan menyoraki di depan umum.[7][8]

Kekerasan di sekolah merupakan isu yang kompleks, misalnya terlihat pada kasus bunuh diri di dalamnya. Baik pelaku kekerasan maupun korban kekerasan sama-sama berpotensi terlibat dalam aksi bunuh diri. Sejumlah pelaku penembakan di sejumlah di Amerika Serikat, misalnya, pernah mempertimbangkan bunuh diri atau melakukan hal-hal yang dapat mengancam jiwa sebelum akhirnya melakukan penyerangan di sekolah.[9] Sedangkan korban kekerasan memutuskan bunuh diri akibat tekanan mental dan fisik yang dihadapi. Demikian juga dengan penyebab kekerasan di sekolah, faktornya berlapis dan bukan hanya sekadar kenakalan remaja. Menurut peneliti, kesenjangan sosial, kemiskinan ekstrem, dan peminggiran sosial (eksklusi sosial) menjadi beberapa pemicu tindak kekerasan di sekolah.[10][11] Hal ini dapat diperparah dengan bijakan pemerintah, misalnya legalisasi senjata api di AS yang dapat mengakibatkan kasus penyalahgunaan di kalangan remaja.[12] Penegakan aturan yang tidak konsisten dan pengaruh media juga dapat menjadi pendorong yang lain.[11][12] Kekerasan di sekolah menimbulkan rasa tidak aman dan ketakutan yang dapat merusak iklim sekolah dan melanggar hak siswa untuk belajar di lingkungan yang aman.[2]

Penyebab tindak kekerasan di sekolah

Sejumlah peneliti di AS mensinyalir kesenjangan ekonomi yang lebar menjadi salah satu penyebab utama kekerasan di sekolah. Berdasarkan data, kesenjangan ekonomi dan sosial di AS termasuk yang tertinggi di antara negara-negara maju lainnya.[10] Peneliti lain mendaftar beberapa faktor penyebab kekerasan terhadap anak, yaitu gender dan norma sosial, dan faktor struktural dan kontekstual yang lebih luas, seperti ketimpangan pendapatan, deprivasi, marginalisasi, dan konflik.[2] Kondisi keluarga yang tidak stabil juga menjadi penyebab perilaku agresif pada anak-anak.[12] Anak-anak pada beberapa dekade terakhir terlahir dan tumbuh di dalam keluarga yang kondisinya kurang stabil baik secara sosial maupun emosional. Orang tua mereka bisa jadi adalah pecandu obat-obatan dan alkohol, pelaku kriminal dan narapidana, dan orang tua yang menghilang dan tidak bertanggung jawab.[12] Media yang mempertontonkan adegan kekerasan, menurut sejumlah pakar, juga menjadi faktor yang mendorong terjadinya kekerasan di sekolah.[12]

Kekerasan dan penindasan di sekolah juga dapat dilakukan oleh guru terhadap murid. Beberapa siswa memiliki kerentanan lebih tinggi daripada teman-temannya, antara lain mereka yang berlatar belakang keluarga miskin, berasal dari kelompok etnis tertentu dan minoritas, pengungsi dan imigran lainnya,[13] berbicara bahasa lain, cacat, dan memiliki keluarga dengan riwayat HIV.[14] Selain ditindas oleh guru, siswa-siswa tersebut juga rentan mendapatkan kekerasan dari teman sebayanya. Di dalam masyarakat yang hubungan antara warga lokal dengan imigrannya kurang terjalin dengan harmonis, imigran remaja berpeluang menjadi pelaku penindasan terhadap remaja dari etnik mayoritas. Mereka melakukannya sebagai bentuk perlawanan.[13]

Dampak kekerasan

Kekerasan di sekolah dapat menimbulkan dampak serius bagi korban, baik secara fisik maupun psikologis. Korban penindasan, misalnya, mengalami ketakutan dan merasa terintimidasi, memiliki citra diri dan percaya diri yang rendah, sulit berkonsentrasi dalam belajar, sulit bergaul dan berkomunikasi, serta enggan pergi ke sekolah.[8]

Dampak fisik

Kekerasan di sekolah dapat menyebabkan cacat fisik permanen dan masalah kesehatan dalam jangka panjang. Dampak fisik dapat berupa luka ringan dan berat, memar, patah tulang, dan kematian akibat pembunuhan atau bunuh diri karena tekanan mental.[2] Korban kekerasan juga berpotensi mengembangkan kebiasaan kesehatan yang buruk, seperti merokok dan mengkonsumsi minuman beralkohol secara berlebihan. Kekerasan juga mengakibatkan korban menjadi malas beraktivitas fisik dan menderita beberapa penyakit, seperti obesitas, diabetes melitus, kanker, penyakit jantung, dan penyakit pernapasan.[2] Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Plan Asia terhadap siswa dan siswi berusia 12-17 tahun di Kamboja, Indonesia, Vietnam, Pakistan, dan Nepal, korban kekerasan fisik didominasi oleh murid laki-laki.[15]

Dampak emosional

Kekerasan bisa berdampak pada prestasi belajar korban dan mengganggu aspek kehidupan sosialnya.[16] Korban cenderung memiliki harga diri yang rendah dan berisiko menderita kecemasan dan depresi yang lebih tinggi daripada teman-teman mereka yang bukan korban. Para peneliti juga mengindikasikan adanya efek ganda dalam kekerasan di sekolah, korban diincar sebagai sasaran oleh pelaku yang biasanya teman sebaya, tapi dalam waktu yang sama mereka menjadi korban pengucilan.[17] Korban kekerasan juga berpotensi menjadi pelaku kekerasan di masa depan jika tidak dilakukan intervensi perilaku.[6] Gangguan psikologis lain yang dapat mengancam korban adalah gangguan kelekatan reaktif (reactive attachment disorder) dan gangguan jiwa yang bersifat permanen.[2]

Kebijakan pencegahan dan penanganan

Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia, salah satu solusi untuk mencegah terjadinya kekerasan di sekolah adalah dengan menyelenggarakan sekolah ramah anak.[5] Sejumlah kriteria yang harus dipenuhi oleh sekolah ramah anak adalah aman, memenuhi hak anak, melindungi semua pihak dari kekerasan, memiliki iklim sekolah yang sehat, peduli, dan berbudaya serta mendukung partisipasi anak.[5] Selanjutnya, penegakan regulasi juga menjadi faktor penguat sekolah ramah anak.[5] Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Maghfirah dan Rachmawati terhadap 73 murid SMP Negeri 2 Bantul, Yogyakarta. Kedua peneliti tersebut menemukan bahwa iklim sekolah yang positif berdampak pada tingkat penindasan yang rendah.[8]

Terkait penegakan disiplin di sekolah, para peneliti menemukan bahwa pendekatan positif dan non kekerasan membawa pengaruh yang lebih baik dan semua jenis hukuman dengan kekerasan dikaitkan dengan dampak negatif.[2]

Di negara yang penduduknya heterogen dan memiliki jumlah imigran yang besar, seperti Kanada, disarankan untuk mengembangkan kebijakan sekolah dengan keterwakilan sejumlah siswa dari latar belakang yang sama, misalnya berdasarkan latar belakang sebagai imigran.[13] Berdasarkan hasil studi di Eropa, sekolah dengan jumlah imigran yang memadai bisa menjadi pencegah terjadinya penindasan antar siswa.[18]

Kekerasan di sekolah di sejumlah negara

Amerika Serikat

Berdasarkan laporan bersama Departemen Pendidikan, Pusat Statistik Pendidikan Nasional, dan Departemen Kehakiman AS, kasus kekerasan dan kejahatan di sekolah di AS cenderung mengalami penurunan selama kurun 1992 sampai 2017[19], tetapi angka kasus pembunuhan dengan jumlah korban besar terus meningkat.[20] Beberapa kasus yang paling menonjol adalah penembakan yang terjadi di SMA Marjory Stoneman Douglas, SD Sandy Hook, dan SMA Santa Fe.[20]

Indonesia

Kasus kekerasan dan penindasan di Indonesia tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga di perguruan tinggi. Budaya perpeloncoan turun menurun menjadi salah satu bentuk kekerasan di sekolah/kampus. Sejumlah kasus kekerasan yang terjadi antara lain adalah kasus perpeloncoan di kegiatan orientasi studi dan pengenalan kampus (OSPEK) murid/mahasiswa baru di beberapa institusi, misalnya kasus di IPDN[8] dan di SMA Taruna Indoesia di Palembang.[21] Beberapa di antaranya berujung pada kematian korban.[22]

Daftar rujukan

  1. ^ "Preventing school violence". Centers for Disease Control and Prevention (dalam bahasa Inggris). 2020-10-28. Diakses tanggal 2021-06-04. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m Ferrara, Pietro; Franceschini, Giulia; Villani, Alberto; Corsello, Giovanni (2019-06-27). "Physical, psychological and social impact of school violence on children". Italian Journal of Pediatrics. 45 (1): 76. doi:10.1186/s13052-019-0669-z. ISSN 1824-7288. PMC 6598284alt=Dapat diakses gratis. PMID 31248434. 
  3. ^ Furlong, Michael; Morrison, Gale (2000-04-01). "The School in School Violence: Definitions and Facts". Journal of Emotional and Behavioral Disorders (dalam bahasa Inggris). 8 (2): 71–82. doi:10.1177/106342660000800203. ISSN 1063-4266. 
  4. ^ Hartik, Andi (2016-11-29). "84 Persen Siswa Indonesia Alami Kekerasan di Sekolah". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2021-06-05. 
  5. ^ a b c d Setyawan, Davit (2017-02-21). "Indonesia Peringkat Tertinggi Kasus Kekerasan di Sekolah". Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Diakses tanggal 2021-06-05. 
  6. ^ a b Osofsky, H. J.; Osofsky, J. D. (2001). "Violent and aggressive behaviors in youth: a mental health and prevention perspective". Psychiatry. 64 (4): 285–295. doi:10.1521/psyc.64.4.285.18603. ISSN 0033-2747. PMID 11822206. 
  7. ^ a b Eisenbraun, Kristin D. (2007-07-01). "Violence in schools: Prevalence, prediction, and prevention". Aggression and Violent Behavior (dalam bahasa Inggris). 12 (4): 459–469. doi:10.1016/j.avb.2006.09.008. ISSN 1359-1789. 
  8. ^ a b c d Magfirah, Ulfah; Rachmawati, Mira Aliza (2010). "Hubungan antara iklim sekolah dengan kecenderungan perilaku bullying". CORE – Aggregating the world's open access research papers. Diakses tanggal 2021-06-06. 
  9. ^ Denmark, Florence; Gielen, Uwe; Krauss, Herbert H.; Midlarsky, Elizabeth; Wesner, R. (2006-06-14). Violence in Schools: Cross-National and Cross-Cultural Perspectives (dalam bahasa Inggris). Springer Science & Business Media. ISBN 978-0-387-28811-6. 
  10. ^ a b Kramer, Ronald C. (2000-01-01). "Poverty, Inequality, and Youth Violence". The ANNALS of the American Academy of Political and Social Science (dalam bahasa Inggris). 567 (1): 123–139. doi:10.1177/000271620056700109. ISSN 0002-7162. 
  11. ^ a b Astuti, Ponny Retno (2008). Meredam bullying: 3 cara efektif menanggulangi kekerasan pada anak. Jakarta: Grasindo. ISBN 978-979-025-464-0. 
  12. ^ a b c d e Constitutional Rights Foundation (2021). "Causes of school violence". www.crf-usa.org. Diakses tanggal 2021-06-05. 
  13. ^ a b c Vitoroulis, Irene; Georgiades, Katholiki (2017-12-01). "Bullying among immigrant and non-immigrant early adolescents: School- and student-level effects". Journal of Adolescence (dalam bahasa Inggris). 61: 141–151. doi:10.1016/j.adolescence.2017.10.008. ISSN 0140-1971. 
  14. ^ Devries, Karen M.; Kyegombe, Nambusi; Zuurmond, Maria; Parkes, Jenny; Child, Jennifer C.; Walakira, Eddy J.; Naker, Dipak (2014-09-29). "Violence against primary school children with disabilities in Uganda: a cross-sectional study". BMC Public Health. 14 (1): 1017. doi:10.1186/1471-2458-14-1017. ISSN 1471-2458. PMC 4192736alt=Dapat diakses gratis. PMID 25270531. 
  15. ^ Iyengar, Rishi (2015-03-03). "7 of 10 Asian Children Experience School Violence". Time (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-06-06. 
  16. ^ Beale, Andrew V.; Scott, Paula C. (2001/00/00). "ERIC - EJ634445 - "Bullybusters": Using Drama To Empower Students To Take a Stand against Bullying Behavior., Professional School Counseling, 200". Professional School Counseling (dalam bahasa Inggris). 4 (4): 300–5. ISSN 1096-2409. 
  17. ^ Bulach, Clete; Fulbright, Julie Penland; Williams, Ronnie (2003-06-01). "Bullying behavior: what is the potential for violence at your school?". Journal of Instructional Psychology (dalam bahasa English). 30 (2): 156–165. 
  18. ^ Agirdag, Orhan; Demanet, Jannick; Van Houtte, Mieke; Van Avermaet, Piet (2011-07-01). "Ethnic school composition and peer victimization: A focus on the interethnic school climate". International Journal of Intercultural Relations (dalam bahasa Inggris). 35 (4): 465–473. doi:10.1016/j.ijintrel.2010.09.009. ISSN 0147-1767. 
  19. ^ Musu, Lauren; et al. (2019). "Indicators of School Crime and Safety: 2018, Washington, DC: U.S. Department of Education, National Center for Education Statistics and U.S. Department of Justice, Bureau of Justice Statistics" (PDF). Bureau of Justice Statistics. Diakses tanggal 2021-06-06. 
  20. ^ a b Frederique, Nadine (2020-11-13). "What Do the Data Reveal About Violence in Schools?". National Institute of Justice (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-06-05. 
  21. ^ Sidiq, Farih Maulana. "Siswa SMA Taruna Meninggal Saat MOS, Mendikbud Larang Perpeloncoan". detiknews. Diakses tanggal 2021-06-06. 
  22. ^ Bramasta, Dandy Bayu (2020-09-16). "Selain di Unesa, Berikut Sederet Kejadian Memilukan Saat Ospek Mahasiswa Baru Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2021-06-06.