Tumenggung Surapati

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 23 November 2012 09.10 oleh Alamnirvana (bicara | kontrib)
Tumenggung Surapati
Panglima Perang Banjar-Barito
PanglimaLihat daftar
AyahNgabei Lada bin Ngabei Tuha
Anak♂ Tumenggung Jidan (Raden Dipati Mangku Negara)
♂ Tumenggung Kornel
♂ Tumenggung Atal
♂ Tumenggung Lada
♂ Tumenggung Umar
♀ Nyai Amban
♀ Nyai Ambun

Tumenggung Surapati[2] (Belanda:Tomongong Suro-patty[3]) atau Kiai Dipati Jaya Raja[4], kemudian bergelar Pangeran Dipati (lahir : Kalimantan Tengah, wafat : 1875, Kalimantan Tengah) adalah hoofd (kepala daerah) Dusun Atas, Murung dan Siang (dalam susunan pemerintahan Hindia Belanda tahun 1845). Ia merupakan kepala suku Dayak yang memihak kepada Pangeran Antasari. Ia menjadi panglima perang dalam Perang Barito yang merupakan bagian dari Perang Banjar.[5] Perang Banjar berlangsung dalam tiga wilayah yaitu Martapura dan sekitarnya, wilayah Banua Lima (Hulu Sungai) dan wilayah sepanjang sungai Barito (Tanah Dusun). Tumenggung Surapati setia kepada kepemimpinan Pangeran Antasari selaku pemimpin tertinggi di Kesultanan Banjar pasca ditangkapnya Pangeran Hidayatullah yang kemudian diasingkan ke Cianjur. Tumenggung Surapati anak dari Ngabe Lada bin Ngabe Tuha (wakil Sultan Banjar di kalangan suku Bakumpai). Ngabe (ngabehi) adalah salah satu gelar pejabat kepala wilayah di kesultanan Banjar. Ngabe Tuha mungkin salah seorang anak dari Patih Darta Suta. Menurut suatu riwayat Patih Darta Suta memiliki lima orang anak yaitu Ngabe Tuha, Ngabe Tumpang, Ngabe Basirun, Ngabe Basunga, dan seorang anak perempuan bernama Jimah. Setelah wafatnya Tumenggung Surapati karena sakit, perjuangannya diteruskan oleh anaknya yaitu Tumenggung Jidan. Seorang cucu perempuan dari Pangeran Antasari menikah dengan Tumenggung Jidan, karena pernikahan tersebut Tumenggung Jidan dianugerahkan gelar bangsawan Raden Dipati Mangku Negara.

Mendirikan Pagustian

Setelah Pangeran Antasari meninggal, perjuangan dilanjutkan dengan pimpinan Sultan Muhammad Seman bin Pangeran Antasari dibantu Anak-anak Tumenggung Surapati dan pimpinan lainnya. Mereka membangun sebuah Pagustian atau pemerintahan terdiri dari gusti-gusti (bangsawan Banjar) yang terletak di Gunung Bondang, sebelah udik sungai Lawung, Puruk Cahu. Pagustian ini dibantu oleh Gusti Mat Said, Raden Mas Natawijaya, Muhammad Nasir dan lainnya. Dua tahun berturut-turut yaitu tahun 1864 dan 1865 Tumenggung Surapati menyerang benteng Belanda di Muara Teweh sehingga seluruh isi benteng itu musnah. Begitu pula Benteng Belanda di Muara Montalat dihancurkan oleh suatu serangan Tumenggung Surapati. Untuk menghadapi serangan Tumenggung Surapati ini Belanda bersama orang Dayak Sihong (suku Maanyan) yang selama ini membantu Belanda di bawah pimpinan kepala sukunya Suta Ono dan di sisi ([suku dayak ngaju]) kepala sukunya adalah Temanggung Nikodemus Ambo Jaya Negara (kepala distrik Kwala Kapoeas) membantu Belanda memadamkan perlawanan temanggung surapati. Karena jasa-jasanya terhadap Belanda Suta Ono diberi pangkat Overste (Letnan Kolonel) dan diberi penghormatan bintang Singa Belanda adalah pengahargaan tertinggi atas keberanian. Dayak Sihong ini terkenal pemberani, dan tetap memiliki ketetapan hati kepada agama leluhur yang dianutnya yaitu Kaharingan. Tumenggung Surapati dalam perlawanannya selalu berpindah-pindah dan selama bertahun-tahun dia bertempur melawan Belanda di sepanjang Sungai Barito. Kadang-kadang dia muncul di hilir Barito di sekitar Distrik Bakumpai, tetapi sebentar lagi ada di hulu Barito di sekitar Manawing, sehingga sangat membingungkan pihak Belanda. Berbagai muslihat dilakukan pihak Belanda untuk menangkap Tumenggung Surapati hidup atau mati, tetapi selalu gagal. Pertempuran dan perjuangan yang bertahun-tahun melawan Belanda melemahkan fisiknya yang memang sudah tua dan akhirnya jatuh sakit, meskipun semangat juangnya tidak pernah mundur. Setelah menderita sakit yang agak lama pada tahun 1875 Tumenggung Surapati meninggal dunia sebagai pahlawan, meninggal karena sakit. Tumenggung Ajidan putera Tumenggung Surapati meneruskan perjuangan ayahnya bersama-sama Sultan Muhammad Seman bin Pangeran Antasari. Kalau keluarga Sultan Muhammad Seman yang tertangkap dibuang ke Bogor (Jawa Barat) maka keluarga Tumenggung Surapati yang tertangkap dibuang ke Bengkulu, Sumatera

Rujukan


Referensi

  1. ^ dianugerahkan oleh Sultan Muhammad Seman, merupakan gelar tertinggi
  2. ^ (Indonesia) Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1992). Sejarah nasional Indonesia: Nusantara di abad ke-18 dan ke-19. PT Balai Pustaka. hlm. 278. ISBN 9794074101. ISBN 9789794074107
  3. ^ (Belanda) (1860)De gids: nieuwe vaderlandsche letteroefeningen. G. J. A. Beijerinck. hlm. 817. 
  4. ^ Tamar Djaja, Pustaka Indonesia: riwajat hidup orang-orang besar tanah air, Jilid 2, Bulan Bintang, 1965
  5. ^ (Indonesia) Merle Calvin Ricklefs, Sejarah Indonesia modern 1200-2004, Penerbit Serambi, 2005 ISBN 9791600120, 9789791600125