Taka (tumbuhan)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Taka
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
Plantae
Upakerajaan:
Viridiplantae
Superdivisi:
Embryophyta
Divisi:
Tracheophyta
Subdivisi:
Spermatophyta
Kelas:
Magnoliopsida
Superordo:
Lilianae
Ordo:
Dioscoreales
Famili:
Taccaceae
Genus:
Tacca
Spesies:
T. leontopetaloides

Taka (Tacca leontopetaloides) adalah tumbuhan berumbi yang masuk ke dalam famili Dioscoreaceae. Tumbuhan ini berasal dari Asia Tenggara, namun tersebar pula ke wilayah Indo-Pasifik sebagai tumbuhan introduksi. Penyebarannya dibawa oleh orang Austronesia selama masa prasejarah.

Morfologi[sunting | sunting sumber]

Taka merupakan tumbuhan terna berumbi yang tingginya dapat mencapai hingga 2 m. Umbinya membulat dan memipih atau menjorong lebar, berkulit tipis, berwarna cokelat muda jika masih muda dan berubah menjadi abu-abu gelap atau cokelat tua ketika sudah tua. Bagian dalamnya berwarna putih susu, tumbuh di bawah permukaan tanah hingga kedalaman 50 cm. Dalam pertumbuhannya, umbi yang terbentuk terlebih dahulu biasanya berukuran kecil dan berubah menjadi guan (cokelat keabu-abuan), sedangkan umbi anakannya berwarna lebih muda dan berukuran lebih besar.[1]

Bunga taka

Daunnya berjumlah 1–3 helai, berbentuk membundar telur sungsang melebar, membundar telur, melonjong-membundar telur, bertulang daun menjari, putih-kehijauan (varian hijau) atau keunguan (varian hitam). Setiap segmen bercuping menyirip, cupingnya membundar atau memita. Tangkai daun berlubang, berpelepah, beralur vertikal, berwarna hijau muda atau keunguan tua-kehitaman (varian hitam).[1]

Perbungaannya memiliki bunga 1, 2, 5, dan 20–40. Bunganya dilindungi pembalut luar dan dalam, berwarna hijau atau kekuningan, hijau bertepi keunguan, berbentuk belah ketupat, membundar telur sungsang, daun gagang berbentuk filiform seperti lidi, berwarna hijau bersemburat ungu. Bunga tidak membuka sempurna, tersusun dalam tajuk (3+3) yang bagian dalamnya membundar telur lebar, berwarna hijau bertepi keunguan dan kuning kehijauan, bagian tepi ujungnya berwarna keputihan. Adapun bagian luarnya berbentuk melanset, berwarna hijau keunguan. Dasar bunganya menonjol (torus), rompang pada bagian ujungnya, berwarna ungu, berbulu kelenjar ungu (varian hitam), atau putih dengan bulu kelenjar putih (varian hijau) (Gambar 2). Buah membulat berlingiran, diameter buah 1,5–2,5 cm, jarang menjorong, menggantung, berwarna hijau pucat hingga hijau gelap, buah masak kekuningan, tebal lapisan dalam buah 1,5 mm, (2) 5–40, (-76, semi-budi daya). Biji banyak, berbentuk membulat telur hingga menjorong, pipih, permukaan beralur, panjang 5–8 mm, lebar 1,5–3 mm, gundul, berwarna kuning kecokelatan dengan testa seperti bunga karang, putih, beralur 15–19. Dalam kondisi habitat tertentu, bentuk umbi dapat memanjang hingga 10 cm.[1]

Ekologi[sunting | sunting sumber]

Di Yogyakarta, kajian ekologi dilakukan tepatnya di Kabupaten Gunungkidul, Kulon Progo, dan Bantul. Kerapatan populasi taka di Gunung Batur dipengaruhi oleh lokasi yang jauh dari permukiman. Selain itu, sering kali pada lokasi pengamatan dijumpai pengembangan tanaman budi daya, seperti singkong dan kacang-kacangan. Sementara itu, taka umumnya dimanfaatkan sebagai pakan ternak.[2]

Di beberapa lokasi di Taman Nasional Karimunjawa, taka umumnya dijumpai dekat pinggir pantai dengan topografi agak datar. Tingkatan semai jenis ini cukup berlimpah dengan tinggi sekitar 20 cm dan diameter batang kurang dari 1 cm. Semai umumnya dijumpai tumbuh secara berkelompok. Hal ini dapat dianggap sebagai generasi pertama serta hasil dari buah yang jatuh di permukaan tanah dari batang taka yang mati. Individu dalam populasi semai tersebut akan berkompetisi untuk tetap hidup dan hanya 1–2 individu yang akan tetap bertahan dengan membentuk umbi pada generasi selanjutnya. Dari beberapa lokasi tersebut, kerapatan dan kelimpahan tertinggi terlihat di Pulau Katang. Di wilayah tersebut, banyak taka yang sebagian besar berdiameter lebih dari 1 cm dan dapat dianggap sebagai generasi kedua dari taka. Perbedaan dengan lokasi lain mengenai kerapatan dapat terjadi karena adanya jenis tanaman lain yang tumbuh di sekitar taka yang menjadi naungan utama, selain tipe tanah dan kandungan haranya.[3]

Pengamatan taka menggunakan demonstrasi plot (demplot) di Garut pada kondisi alami, berpasir, dan yang mendapatkan naungan untuk mempertahankan kelembapan akan lebih produktif dibandingkan pada kondisi yang tanpa naungan. Hal ini terlihat dari besarnya batang dan umbi. Faktor kekeringan yang terjadi tanpa naungan juga dapat mengakibatkan sebagian warna daun dari tumbuhan tersebut menjadi lebih kekuningan dan sebagian kondisi tumbuhan terlihat mati.[4]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c Erlinawati, Ina, editor. Taka (Tacca leontopetaloides) untuk kemandirian pangan. ISBN 978-979-799-986-5. OCLC 1083703041. 
  2. ^ Erlinawati, I. 2014. “Studi Populasi Tacca leontopetaloides (Mure) sebagai Pangan Alternatif di Kabupaten Gunung Kidul, Kulon Progo dan Bantul, Yogyakarta.” Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi X: Presentasi dan Poster, 1539–1554. Jakarta: LIPI Press, 2014.
  3. ^ Alhamd, L., dan Susila. 2011. “Kajian Ekologi dan Plasma Nutfah Tumbuhan Taka (Tacca leontopetaloides) di Beberapa Pulau di Sekitar Taman Nasional Karimunjawa, Jawa Tengah.” Laporan Perjalanan. Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi LIPI.
  4. ^ Wardah dan E.N. Sambas. 2012. “Studi Ekologi Tacca (Tacca leontopetaloides) di Kabupaten Garut.” Laporan Perjalanan. Pusat Penelitian Biologi LIPI.