Suku Kulawi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Suku Kulawi atau juga dikenal sebagai Suku To Kulawi[1] merupakan suku yang berasal dari provinsi Sulawesi Tengah, tepatnya di Kabupaten Sigi yang masih masuk daerah Donggala. Wilayahnya meliputi Danau Kulawi, Danau Lindau, Dataran Gimpu, dan sekitar aliran sungai Koro yang telah dihuni oleh leluhur mereka sejak masa zaman prasejarah.[2] Suku ini merupakan suku yang termasuk suku minoritas di provinsi Sulawesi Tengah yang berkomunikasi menggunakan bahasa Moma dan sebagian besar menganut agama Kristen sejak tahun 1913.[3] Adapun bukti daerah yang mereka tempati sudah ditempati sejak masa prasejarah adalah adanya penemuan benda aregologis dari tradisi megalitik yang sudah berumur lebih dari 3000 tahun.[4] Benda-benda purbakala yang masih dapat ditemukan di Kulawi adalah Batu Dakon, Bekas Kaki, Batu Lumpang, dan sebagainya.[5]

Asal Mula Suku Kulawi

Menurut pakar etnografi lama mengklasifikasikan Suku Kulawi sebagi salah satu bagian dari kelompok dari suku Toraja Barat. Saat ini estimasi jumlah penduduk Suku Kulawi adalah sekitar 50.000 jiwa. Menurut legenda dari Suku Kulawi, mereka berasal dari Sigi dan Bora yang terletak di lembah Palu, provinsi Sulawesi Tengah. Dahulu terdapat seorang tokoh dari daerah Bora beserta penhikutnya tengah pergi berburu beserta rombongannya sampai ke daerah hutan-hutan di Gunung Momi. Setelah penat berburu mereka pada akhirnya beristirahat dibawah sebuah pohon kayu yang mereka sebut sebagai pohok Kulawi. Setelah melihat daerah yang ditumbuhi pohon Kulawi tersebut subur, mereka pada akhirnya mereka memutuskan untuk menetap disana dan memberi nama tempat beserta suku mereka sendiri yaitu Kulawi.[3]

Suku Kulawi Pada Zaman Belanda

Pada tahun 1905 dibawah komando seorang pahlawan dari Suku Kulawi bernama Towualangi atau yang juga dikenal sebagai Taentorengke memimpin peperangan melawan pihak kolonial Belanda. Setelah kalah dari peperangan tersebut, akhirnya pihak Kolonial Belanda berkuasa dan membuat daerah Kulawi menjadi sebuah daerah kerajaan bernama Kerajaan Kulawi pada tahun 1906. Setelah membuat Kerajaan Kulawi, pihak kolonial Belanda juga mengangkat Towualangi atau Taentorengke sebagai raja pertama Kerajaan Kulawi den memasukkan dataran Lindu kedalam administrasi Kerajaan kulawi. Raja dalam Suku Kulawi disebut sebagai Magau atau Sangkala.[3] Raja beserta keluarganya tinggal didalam rumah adat yang disebut sebagai Sourja.[3] Selain itu pada tahun 1908 pihak kolonial Belanda diresetelmen kembali menjadi 3 daerah pemukiman yaitu:[6]

  • Penduduk yang tinggal di pemukiman Paku Anca yang kemudian disatukan menjadi satu tempat bernama Anca.
  • Penduduk yang tinggal di pemukiman Wongkodomo dan Langko yang kemudian disatukan menjadi satu tempat bernama Langko.
  • Penduduk yang tinggal di pemukiman Olu, Palili, dan Luo yang kemudian disatukan menjadi satu tempat bernama Tomado.

Setelah mengatur resetelmen pemukiman tersebut kemudian pihak kolonial Belanda menunjuk Lakese sebagai kepala kampung terhadap 3 daerah pemukiman tersebut dengan tugas pokok berupa membuka areal persawahan Langko dan membangun rumah sebagai tempat tinggal penduduk di pemukiman baru tersebut. Ketua kampung dalam Suku Kulawi disebut sebagai To Tua Ngata sementara keturunan Raja disebut sebagai Maradika.[3]

Ritual Rakeho Dan Ratompo

Ritual Rakeho merupakan salah satu ritual ekstrim yang cukup terkenal dari Suku Kulawi. Ritual Rakeho merupakan ritual untuk meratakan gigi bagian atas dan bawah menjadi rata dengan gusi dalam menyambut pertumbuhan dari masa kanak-kanak menuju dewasa pada kaum laki-laki Suku Kulawi.[7] Sebaliknya, ritual Ratompo merupakan ritual untuk meratakan gigi bagian atas dan bawah menjadi rata dengan gusi dalam menyambut pertumbuhan dari masa kanak-kanak menuju dewasa pada kaum perempuan Suku Kulawi.[8] Dalam proses kedua ritual tersebut menggunakan bahasa Ntodea dan bertujuan untuk mencegah terjadinya hal yang tidak diinginkan.

Adat Pernikahan Suku Kulawi

Adat pernikahan pada Suku Kulawi disebut dengan Pmemua yang biasanya memakan waktu selama dua hari. Saat menjalani ritual, kedua mempelai menggunakan baju adat yang terbuat dari serat kulit pohon beringin yang masih diproses secara tradisional yang disebut dengan Kumpe.[9] Adapun rangkaian Pmemua tersebut antara lain sebagai berikut:

  • Hari pertama dimulai dengan Tari Raego, tarian tradisional khas Suku Kulawi dengan lantunan syair-syair kuno untuk menyambut mempelai laki-laki. Utusan dan tokoh adat mempelai laki-laki tersebut menuju pintu mempelai perempuan yang pintunya tertutup kemudian menghentakkan kaki sebanyak tiga kali. Setelah mendengar sahutan Hema Hangami (siapa diluar?) baru mempelai laki-laki menyembut nama lengkapnya. Setelah itu baru pintu terbuka kemudian disambut dengan taburan beras kuning ke arah kepala sang mempelai laki-laki kemudian dilanjutkan dengan ritual makan kapur sirih yang dilanjutkan dengan makan bersama-sama.
  • Hari kedua dilanjutkan dengan ritual Mojunu yang artinya ritual untuk pembersihan diri sebelum menjalani mahligai rumah tangga yang kemudian dilanjutkan dengan ritual mantime Bengka yang berupa penyembelihan kerbau yang berjalan diatas pelepah daun pisang sebagai tanda penerimaan mempelai laki-laki terhadap mempelai perempuan.[4]

Zona Suaka Suku Kulawi

Terdapat 4 (empat) pembagian Suaka atau zona adat Suku Kulawi yang terdiri dari:

  • Suaka Nu Mardika yang dikenal sebagai Lambara merupakan kawasan yang khusus ditujukan sebagai tempat berburu, kadang juga digunakan sebagai kawasan untuk menggembalakan hewan. Terdapat beberapa tempat Nu Maradika seperti Keratambe (dekat Tomado), Walatana ( dekat Langko), Bamba (dekat paku), Tongombone (dekat Olu), Bulu Jara (dekat Tomado), Kana (dekat Luo/Palili), dan Malapi (dekat Tomado).
  • Suku Ngata yang kawasannya dibandingkan daerah wilayah adat Lindu lain dibatasi oleh puncak-puncak gunung.
  • Suaka Ntode atau Ntodea yang kawasannya berupa pemukiman atau sebagai lahan-lahan pertanian. Hak pemanfaatan di Suaka Ntodea dibatasi oleh hak-hak perorangan (privat individual) seperti ombo atau larangan menebang pohon Enau. Hak privat individual tersebut lahir ketika seseorang membuka Pangale (hutan perawan) untuk dijadikan ladang. Dahulu sistem perladangan yang digunakan Suku Kulawi adalah sistem perladangan berotasi yang artinya setelah mengelola sebuah ladang selama dua tau tiga musim kemudian diistirahaatkan (Ngura) dan membuka ladang di tempat lain (Taluboo). Lahan yang telah dibuka nantinya akan menjadi milik si pembuka Pangale tersebut.
  • Suaka Nu Wiata. Wiata dalam Bahasa Lindu artinya makhluk halus atau roh. Suaka Nu Wiata merupakan kawasan yang mutlak sebagai kawasan yang tidak boleh dirusak karena merupakan kawasan hutan konservasi yang apabila melanggar akan mendapat sanksi adat yang berat. Kegiatan yang merusak antara lain masuk kedalam hutan dan menebang hutan. Suku Kulawi percaya bahwa arwah atau roh orang yang sudah meninggal dunia sebenarnya mendiami daerah-daerah tertentu, kemudian mereka akan kembali ke tempat sanak keluarga pada waktu-waktu tertentu seperti saat upacara adat panen.[10][6]

Macam-Macam Tarian Raego

Tarian Raego merupakan tarian khas tradisional Suku Kulawi. Lagu pengiring untuk Tarian Raego biasanya dinyanyikan dalam tempo Presto, de Marcia, Forte, dan Con Brio yang sesuai dengan temo patriotik dan heroik. Vokal pengiring lagu tersebut disebut dengan Manoulia sementara syair dan liriknya disebut dengan Oila. Adapun banyak jenis tarian Rego antara lain sebagai berikut:

  • Raego Pangkasuwia untuk menyambut tamu yang baru datang.
  • Raego Potinowu untuk upacara saat pemberian mahar dari mempelai laki-laki
  • Raego Puncumania untuk upacara khitanan
  • Raego Pobalai untuk upacara pernikahan
  • Raego Vunca untuk upacara menyambut hasil panen
  • Raego Tarade untuk upacara menyambut hasil panen yang memuaskan
  • Raego Poparoma untuk upacara kematian menjelang hari terakhir
  • Raego Bobongka Ombo untuk upacara memperingati 7 hari kematian bangsawan
  • Raego Popatunahou untuk upacara mendirikan rumah yang baru
  • Raego Pantaka untuk upacara menyambut para pahlawan yang baru pulang dari medan perang
  • Raego Mpainu untuk upacara mandi bagi para pahlawan yang akan berangkat ke medan perang
  • Raego Popowata untuk upacara saat menunggu datangnya jenazah.[11]

Referensi

  1. ^ Ari, Robertus (2017-12-02). "Mengenal Adat Pernikahan Unik Milik Suku Kulawi di Sulawesi Tengah. Indonesia Memang Kaya!". Yukepo.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-22. Diakses tanggal 2019-03-22. 
  2. ^ Yani, Muchammad (2017-04-06). "Suku Kulawi, Pemegang Tradisi dari Zaman Prasejarah". MerahPutih. Diakses tanggal 2019-03-22. 
  3. ^ a b c d e Hidayah, Zulyani (2015). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. hlm. 194. ISBN 9789794619292. 
  4. ^ a b Andrianto, Fitra. "Pmemua, Tradisi Pernikahan Adat Suku Kulawi". Kumparan. Diakses tanggal 2019-03-22. 
  5. ^ antaranews.com. "Yang menarik dari kekayaan budaya Kulawi di Sigi". Antara News. Diakses tanggal 2019-03-22. 
  6. ^ a b "Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA)". brwa.or.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-27. Diakses tanggal 2019-03-22. 
  7. ^ "Mengenal Upacara Adat Rakeho Suku Kulawi, Sulawesi Tengah | Swara Papua Official" (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-27. Diakses tanggal 2019-03-22. 
  8. ^ "Ratompo » Perpustakaan Digital Budaya Indonesia". budaya-indonesia.org. Diakses tanggal 2019-03-22. 
  9. ^ stevensumolang (2018-09-18). "Kumpe, Pakaian Tradisonal Etnik Kulawi". Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Utara. Diakses tanggal 2019-03-22. 
  10. ^ "Suku Kulawi, Suku "Minoritas" di Sulteng". Negerisatu. 2019-01-18. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-27. Diakses tanggal 2019-03-22. 
  11. ^ "Raego, Tarian Tradisonal Bangsa Kulawi Sulawesi Tengah". Sportourism.id. Diakses tanggal 2019-03-22. [pranala nonaktif permanen]