Sikap bahasa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Sikap Bahasa yang juga dikenal dengan pandangan Bahasa, yang ada di dalam antropologi (khususnya antropologi linguistik), sosiolinguistik, dan studi lintas budaya, dan kepercayaan yang berkaitan dengan bahasa sebagaimana bahasa itu digunakan dalam kehidupan sosial. Ideologi bahasa adalah konsep mengenai bahasa, pembicara, dan praktik diskursif. Seperti ideologi lainnya, ideologi bahasa juga terpengaruhi oleh politik dan kecenderungan moral, dan itu terbentuk dalam suatu susunan budaya.

Status sosial[sunting | sunting sumber]

Merupakan suatu faktor yang paling berpengaruh dalam membentuk sikap berbahasa yang ditampilkan seseorang tersebut adalah status sosial. Orang-orang dari kelas sosial yang berbeda mungkin memiliki sikap yang berbeda terhadap bahasa yang digunakan oleh golongan lain. Misalnya, orang dari kelas atas mungkin lebih suka menggunakan dialek standar atau aksen prestise, sedangkan orang dari kelas sosial bawah mungkin merasa lebih nyaman menggunakan dialek atau aksen non-standar. Selain itu, orang dari kelas sosial yang berbeda mungkin memiliki sikap yang berbeda terhadap bahasa atau dialek lain. Orang-orang dari kelas atas mungkin menganggap bahasa yang digunakan oleh imigran atau minoritas sebagai bahasa yang lebih rendah atau tidak berharga, sedangkan orang-orang dari kelas bawah mungkin melihatnya sebagai simbol identitas dan kepemilikan.

Pendidikan[sunting | sunting sumber]

Pendidikan adalah faktor penting lain yang membentuk sikap bahasa yang digunakan oleh seseorang. Pendidikan memberikan paparan bahasa dan dialek yang berbeda dan membantu dalam mengembangkan pemahaman dan apresiasi keragaman linguistik. Orang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung memiliki sikap positif terhadap keragaman linguistik dan mungkin lebih menerima dialek atau aksen yang tidak baku. Sebaliknya, orang dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah mungkin memiliki sikap negatif terhadap keragaman linguistik dan mungkin lebih suka menggunakan bahasa atau dialek yang dominan saja. Sehingga, dalam penggunaan bahasa yang dipilih oleh sesorang tersebut dapat menampilkan tingkat pendidikan penuturnya.

Etnisitas[sunting | sunting sumber]

Etnisitas adalah faktor penting lainnya yang membentuk sikap bahasa yang digunakan oleh penutur bahasa tersebut. Seseorang yang mungkin memiliki sikap positif terhadap bahasa etnis mereka dan sikap negatif terhadap bahasa atau dialek lain karena perbedaan yang ada di antara bahasa-bahasa tersebut. Misalnya, orang dari kelompok etnis tertentu mungkin menganggap bahasa mereka sebagai bahasa yang terbaik atau terindah, sementara mereka mungkin menganggap bahasa lain kurang menarik atau kurang berharga. Sikap seperti itu dapat menyebabkan hambatan bahasa dan diskriminasi terhadap orang yang tidak berbicara bahasa dominan. Hal ini juga berkaitan dengan kurangnya kesinambungan dan pengetahuan antar penutur bahasa yang dapat mengakibatkan ketidakcocokan. Sehingga diperlukan adanya komunikasi dan hubungan yang baik antar penutur bahasa yang berbeda-beda.

Usia[sunting | sunting sumber]

Usia merupakan faktor yang tidak kalah penting dalam membentuk sikap bahasa yang digunakan oleh seorang penutur. Generasi yang lebih muda mungkin memiliki sikap yang lebih positif terhadap keragaman linguistik dan mungkin lebih menerima dialek atau aksen non-standar hal ini dikarenakan penutur muda masih fleksibel dalam menerima keberagaman. Sebaliknya, generasi yang lebih tua mungkin memiliki sikap negatif terhadap keragaman linguistik dan mungkin lebih suka menggunakan bahasa atau dialek yang dominan saja, hal ini dapat berkaitan dengan lamanya penggunaan dialek tertentu tersebut. Sikap bahasa terkait usia dapat dihasilkan dari tingkat paparan yang berbeda terhadap bahasa dan dialek yang berbeda dan mungkin juga dipengaruhi oleh pola sosialisasi. Sehingga, penutur-penutur bahasa yang berkembang dan berubah-ubah didominasi oleh penutur muda yang dilatar belakangi kemampuan mereka dalam menerima bahasa baru yang berbeda dengan bahasa yang sudah sering mereka gunakan.

Letak geografis[sunting | sunting sumber]

Lokasi geografis adalah faktor lain yang membentuk sikap bahasa seorang penutur. Seorang penutur yang tinggal di daerah yang berbeda mungkin memiliki sikap yang berbeda terhadap bahasa lainnya. Misalnya, orang yang tinggal di daerah perkotaan mungkin lebih suka menggunakan dialek standar atau aksen prestise, sedangkan orang yang tinggal di daerah pedesaan mungkin merasa lebih nyaman menggunakan dialek atau aksen non-standar. Selain itu, orang yang tinggal di daerah berbeda mungkin memiliki sikap berbeda terhadap bahasa atau dialek lain. Orang yang tinggal di daerah dengan tingkat keragaman linguistik yang tinggi mungkin memiliki sikap yang lebih positif terhadap keragaman linguistik dan mungkin lebih menerima dialek atau aksen yang tidak baku. Penting juga mengetahui bagaimana suatu dialek digunakan di suatu lokasi tertentu sehingga penggunaan bahasa yang digunakan oleh penutur di lokasi tersebut tepat guna.