Sejarah teh di Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Tradisi patekoan, membagikan minuman teh secara gratis di kawasan Glodok, Batavia.

Tanaman penghasil teh (Camellia sinensis) pertama kali masuk ke Indonesia tahun 1684, berupa biji teh (diduga teh sinensis) dari Jepang yang dibawa oleh seorang berkebangsaan Jerman bernama Andreas Cleyer, dan ditanam sebagai tanaman hias di Batavia. F. Valentijn, seorang rahib, juga melaporkan tahun 1694, bahwa ia melihat tanaman teh sinensis di halaman rumah gubernur jenderal VOC, Camphuys, di Batavia.

Pada abad ke-18 mulai berdiri pabrik-pabrik pengolahan (pengemasan) teh[1] dan didukung VOC.

Setelah berakhirnya pemerintahan Inggris di Nusantara, pemerintah Hindia Belanda mendirikan Kebun Raya Bogor sebagai kebun botani (1817). Pada tahun 1826 tanaman teh melengkapi koleksi Kebun Raya, diikuti pada tahun 1827 di Kebun Percobaan Cisurupan, Garut, Jawa Barat. Dari sini dicoba penanaman teh dalam skala luas di Wanayasa (Purwakarta) dan lereng Gunung Raung (Banyuwangi).[2]

Karena percobaan ini dianggap berhasil, mulailah dibangun perkebunan skala besar yang dipelopori oleh Jacobus Isidorus Loudewijk Levian Jacobson, seorang ahli teh, pada tahun 1828 di Jawa. Ini terjadi pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal van den Bosch. Teh pun menjadi salah satu tanaman yang terlibat dalam Cultuurstelsel.

Teh kering olahan dari Jawa tercatat pertama kali diterima di Amsterdam tahun 1835.[2] Setahun berikutnya, dilakukan swastanisasi perkebunan teh.

Teh jenis assamica mulai masuk ke Indonesia (Jawa) didatangkan dari Sri Lanka (Ceylon) pada tahun 1877, dan ditanam oleh R.E. Kerkhoven di kebun Gambung, Jawa Barat (sekarang menjadi lokasi Pusat Penelitian Teh dan Kina. Karena sangat cocok dan produksinya lebih tinggi, secara berangsur pertanaman teh sinensis diganti dengan teh assamica, dan sejak itu pula perkebunan teh di Indonesia berkembang semakin luas. Pada tahun 1910 mulai dibangun perkebunan teh pertama di luar Jawa, yaitu di daerah Simalungun, Sumatera Utara.[2]

1830 –1870[sunting | sunting sumber]

  • 1830 Dimulainya Sistem tanam paksa.
  • 1833 Terdapat 1.700.000 batang pohon teh dengan hasil 16.833 pon.
  • 1835 Hasil teh dari Nusantara mulai diangkut ke negeri Belanda sebanyak 200 peti, pertama kalinya diikutkan pelelangan teh Amsterdam.
  • 1841 Kebun teh di seluruh Jawa baru ada kira-kira 3.000 bau (2.129 hektar).
  • 1843 Robert Fortune, menemukan hitam dan hijau teh karena prosesnya bukan tanamannya .
  • 1846 Kebun teh di seluruh Jawa kira-kira 4.500 bau (3.193 hektar).
  • 1858 450 orang dikerahkan untuk penanaman kopi, 300.000 orang untuk menanam tebu, 110.000 orang menanam nila.
  • 1832-1867 Saldo Untung (Batig slot) pemerintah Belanda mencapai 967 juta Gulden.

1870 -1910[sunting | sunting sumber]

  • 1870 Awal peraturan hak Erfpacht (75 tahun), ada 15 perusahaan.
  • Periode Politik Kolonial Modern.
  • Undang-undang Gula (suikerwet), (Para petani selain harus mengerjakan penanaman juga, mengerjakan tanpa upah untuk pengangkutan, pengolahan gula di pabrik, pembuatan jalan, pembuatan saluran air dan jembatan).
  • 1872 Import benih teh Assam, sebelumnya dari Tiongkok dan Jepang.
  • 1875 Kebun teh rakyat terdapat di Sinagar dan Parakan; A.B.B. Crone; Biji teh cuma-cuma kepada rakyat di Cicurug dan Cibadak; Bapak perkebunan teh rakyat.
  • 1878 Datangnya varitas thea assamica di Nusantara.
  • 1880 Kebun Rakyat (Cibadak dan Cicurug).
  • 1893 Luas Kebun Rakyat 300 ha.
  • 1870-1900 Zaman Liberalisme (masuknya Modal Barat).
  • 1900-1914 Pemerintah Hindia Belanda mencari bentuk pemerintahan yang mensejajarkan Barat dan Timur dan mendudukkan keduanya dalam satu kesatuan politik. Perubahan ini dilatarbelakangi oleh keinginan merdeka dari rakyat.
  • 1901 Terjadi bencana hama pada tumbuhan tebu dan kopi.
  • 1902 Thee Proefstation (balai penelitian) yang pertama di Bogor, kemudian bernaung di bawah Centrale Proefstationsvereniging (CPV).
  • 1909 Luas Kebun Rakyat 8000 ha.

1910-1942[sunting | sunting sumber]

  • 1910-1914 dan 1920-1928 Periode puncak laju pertumbuhan teh per tahun per hektar menjadi rata-rata 6.3 % dengan laju pertumbuhan penanaman yang jauh lebih tinggi.
  • 1910-1940 Perluasan perkebunan di Selatan Priangan.
  • 1918-1921 Depresi ekonomi, hanya pabrik-pabrik dekat Sukabumi yang disewa pemerintah bertahan melakukan pengolahan teh rakyat.
  • 1918 Krisis perusahaan gula tahun di Hindia Belanda.
  • 1920 Ekspor menurun sehingga perusahaan-perusahaan di Eropa mengalami kerugian dan bahkan ada yang bangkrut.
  • 1921 Dibawah pemerintahan Gubernur Jenderal Fock mengalami krisis ekonomi; Pergantian pemerintahan ke tangan Gubernur Jenderal Fock
  • 1922 Terjadi pemogokan pegawai pegadaian.
  • 1923 Terjadi pemogokan pegawai kereta api.
  • 1925 Pelaksanaan pembangunan dilakukan oleh pemerintah yang mencakup:
    1. desentralisasi,
    2. perubahan pemerintahan,
    3. perbaikan kesehatan rakyat dan emigrasi,
    4. perbaikan pertanian dan peternakan, serta
    5. pembangunan irigasi dan lalu lintas

Menjelang PD II - Perdagangan teh memberikan keuntungan besar bagi kas negeri pemerintah kolonial (berkantor di Amsterdam dan Roterdam).-Terdapat 324 perusahaan (259 perusahaan di Jawa Barat atau 78%)

Referensi[sunting | sunting sumber]

  • Anonim. 1985. "Teh Sebagai Komoditi Ekspor Indonesia Khas Jawa Barat”: I dan II," Business News No. 4189: lc - 8c, 2, dan No. 4191: lc - 9c.
  • BPTK.,1989. "Tea: A Product of Unbroken Steadines," Indonesia Magazine, vol. XX No. 6. Hal. 38-39. Bandung.
  • Burger, 1984. “Sejarah Ekonomi Indonesia Dari Segi Sosiologi Sampai Akhir Abad XIX,” terj. Prajudi Atmosudirdjo, Prof. Dr. MR. Cetakan keempat. Jakarta: Pradnya Paramita
  • Vries, J.J. de. 1972. “Jarboek van Batavia en Omstreken, Batavia,” terj. Abdul Hakim. 1993. “Jakarta Tempo Doeloe” Jakarta.: Media Antar Kota Jaya.
  • Harkantiningsih, Naniek. 1989. "Perkebunan di P. Jawa Pada abad ke-19," AHPA 111. Jakarta: Depdikbud, hal. 300 - 314.
  • Harris, Tawaluddin. 1997. “Sistem Pertahanan Kota Jakarta (Batavia) Abad XVII-VIX: Telaah Kartografi, dalam Arung Samudera” Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, hal. 744 – 769.
  • Heuken, Adolf. SJ., 1999. Sumber-Sumber Asli Sejarah Jakarta, terjm., Jilid I, hal 28, Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta.
  • Kamarijani, 1978. “Sejarah Perusahaan-perusahaan Teh Indonesia 1824-1924” Bandung: BPTK
  • Pusat Dokumentasi Dan Informasi Ilmiah LIPI.,1990. Aspek Ekonomi Teh. Jakarta: LIPI.
  • Shanti, Desril Riva. 2000. “Teh Sebagai Komoditas Perkebunan Di Jawa Barat Pada Masa Kolonial,” editor Sunardi Edy, MSc., PhD., Munandar A.A., Rona Arkeologi. Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, hal 69-77.
  • Siswoputranto, P.S. 1976. “Komoditi Ekspor Indonesia” Jakarta: Gramedia. Sukarja, Rasyid et al.,1988 Peranan KUD Dalam Pengembangan Sub Sektor Perkebunan.
  • Wijono. H. 1987. "Komoditi Teh di Indonesia," Business News No. 4578, hal. K-12c.

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "Teh Java Preanger". Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM: E-Indikasi Geografis. 23 Desember 2015. Diakses tanggal 21 Januari 2024. 
  2. ^ a b c Setyamidjaya D. 2000. Teh. Budi Daya dan Pengolahan Pascapanen. Penerbit Kanisius. Yogyakarta