Sayyid Usman bin Abdurrahman

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sayyid Syarif Usman bin Abdurrahman Al-Syaikh Al-Ba'alawi
Marhum Barat
GelarAs-Sayyid Asy-Syarif Asy-Syeikh
NamaSayyid Syarif Usman bin Abdurrahman Al-Syaikh Al-Ba'alawi
LahirHadramaut, Yaman
Dimakamkan diKomplek Pemakaman Masjid Raya Senapelan Pekanbaru
Nama lainSyahabuddin, Shabuddin, Osman
Mazhab FikihSyafi'i
Mazhab AkidahAl-Asy'ari Al-Maturidi
Orang tuaSayyid Abdurrahman bin Sa'id

Sayyid Usman bin Abdurrahman Al-Syaikh Al-Ba'alawi (Arab:السيد عثمان بن عبدالرحمن الشيخ البعلوي) atau juga dikenali dengan Syaid Syarif Usman Shabuddin, atau Said Osman adalah seorang panglima perang dan ulama yang berperan penting dalam penyebaran agama Islam di tanah Melayu Riau.

Kelahiran[sunting | sunting sumber]

Sayyid Usman diperkirakan lahir di sekitar akhir abad ke-16 di Hadramaut dan wafat di Riau.

Hijrah ke Riau[sunting | sunting sumber]

Ia datang ke Riau, dan kemudian menikah dengan Tengku Embung Badariyah putri dari Sultan Siak, Sultan Alamuddin Syah bin Raja Kecik bin Sultan Mahmud Syah II dari Johor.

Pengetahuan yang dikuasai[sunting | sunting sumber]

Selain berdakwah beliau juga dikenal sebagai ahli strategi perang, militer, ahli politik, ahli diplomasi dan juga ahli ekonomi. Beliau juga dikenali Belanda sebagai ahli siasat yang sangat lihai dan menjabat sebagai Diplomat dan Mufti Kerajaan di Kesultanan Siak.

Keturunan[sunting | sunting sumber]

Sayyid Usman menikah dengan Tengku Embung Badariyah putri dari Sultan Siak, menurunkan :

  1. Sultan Syarif Ali, Sultan ke-7 Kerajaan Siak Sri Indrapura
  2. Sultan Syarif Abdurrahman, Sultan ke-1 Kesultanan Pelalawan
  3. Tengku Busu Said Ahmad, Yang Dipertuan Muda Tebing Tinggi di Sumatera Utara.

Nasab Silsilah[sunting | sunting sumber]

Usman bin Abdurrahman bin Sa'id bin Ali bin Muhammad bin Hasan bin Umar bin Hasan bin Ali bin Abubakar As Sakran bin Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Mauladdawilah bin Ali bin Alwi Al-Ghayur bin Muhammad al-Faqih Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali' Qasim bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa Ar-Rumiy bin Muhammad Annaqib bin Ali Al-Uraidhiy bin Ja'far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Hussein dari Fatimah az-Zahra Putri Rasulullah ﷺ.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Sejarah Kesultanan Siak mencatat, bahwa pada penghujung masa pemerintahan Raja Kecik, pendiri Kesultanan Siak, terjadi perselisihan diantara kedua putera beliau terkait takhta, yakni Raja Alam (Tengku Alamuddin) dan Raja Buwang (Tengku Buwang Asmara). Pertelikaian itu amatlah besar pengaruhnya terhadap sejarah Kesultanan Siak.

Awal dari perselisihan adalah mengenai pengganti Raja Kecik, yang waktu itu sudah mulai sakit-sakitan. Menurut lazimnya ketentuan adat istiadat Diraja Melayu, pengganti Sultan adalah putera sulungnya, yang dalam hal ini berarti adalah hak dari Raja Alam. Namun sebagian Datuk-datuk dan Orang Besar Kerajaan mendesak adiknya Raja Buwang untuk menjadi Sultan berikutnya. Akibatnya, terjadilah perselisihan yang berlanjut dengan ancaman dan perang kecil antara kedua bersaudara itu.

Di dalam Syair Perang Siak, peristiwa perselisihan antara Raja Alam dengan adiknya Raja Buwang secara jelas digambarkan dalam syair ;


Tiada berapa lama antara

Tiadalah mufakat dengan saudara

Hampirlah negeri huru hara

Hendak menanggung duka sengsara


Dengan saudara tiada mufakat

Masing-masing dengan hakikat

Sebab kebesaran tiada serikat

Kurang pendapat laksana sikat


Sudahlah takdir khaliqul bahri

Alamat susah isi negeri

Segala hulubalang dengan menteri

Gundahnya tiada lagi terperi


Mendirikan kubu sebelah menyebelah

Orang senegeri sudah berbelah

Sudahlah dengan takdir Allah

Tidak mencari benar dan salah


Banyaklah orang berhati pilu

Seorang di hilir seorang di hulu

Banyaklah kena sudah terlalu

Sebelah menyebelah menjadi malu


Berperang sama senegeri

Gundahlah hati segala menteri

Heran memandang tidak terperi

Kerana berkelahi sama sendiri


Yang keempat suku tidak bersatu

Baginda melihat berhati pilu

Remuk redam tidak tertentu

Laksana kaca jatuh ke batu


Demikianlah konon khabarnya gerang

Mufakat tak dapat lalu berperang

Didalam negeri serang menyerang

Ada yang lebih ada yang kurang


Bagindapun tahu lalulah murka

Merah padam kerana duka

Haram sekali tidak disangka

Akan menjadi malapetaka


Datanglah titah duli Baginda

Menyuruh menghadap Paduka anakanda

Pergilah menteri Anum berida

Tuanku, dipersilakan paduka Baginda


Datanglah menghadap Paduka anakanda

Serta dengan Adinda dan Kakanda

Lalu bertitah Paduka Baginda

Apa diperkelahikan dengan saudara


Didalam negeri jangan berperang

Engkau tidak dapat dilarang

Jangan menjangka larang wirang

Pergilah Engkau salah seorang!


Kutipan syair di atas menunjukkan bahwa pertentangan antara Raja Alam dengan adiknya Raja Buwang sudah berkembang menjadi peperangan sehingga menimbulkan huru hara di dalam negeri Siak. Hal ini menyebabkan kemurkaan Raja Kecik, selanjutnya Raja Kecik memanggil kedua puteranya itu untuk berdamai atau dengan pilihan pergi meninggalkan Siak jika menolak berdamai.

Keadaan ini sampai juga ke telinga Sang Ayahanda, Raja Kecik yang sedang sakit-sakitan dan menjadikan Sang Sultan amat murka, lalu memanggil kedua puteranya yang bertikai itu untuk menghadap. Pada waktu itu Sultan meminta agar keduanya berdamai, dan bila tidak ada yang mau berdamai maka salah satu diantara mereka harus keluar dari Siak.

Raja Alam lebih memilih mengalah pergi meninggalkan Siak dari pada terjadi pertikaian antar saudara yang dapat melibatkan rakyat. Dan adiknya Raja Buwang kemudian ditabalkan sebagai Sultan Siak ke 2 setelah Sultan Raja Kecik wafat pada tahun 1740.

Dalam bait-bait syair berikut ini, nampak bahwa yang memutuskan pergi meninggalkan Siak adalah Raja Alam, antara lain seperti dikisahkan dalam Syair Perang Siak :

Diputuskan hati oleh Tuanku Paduka

Meninggalkan Seri Baginda Ayahanda

Sebab kebesaran hati berbeda

Bercerai dengan saudara muda

Baiklah saat dengan ketika

Tuanku Paduka berangkat di dalam duka

Tinggallah sekalian adinda dan bunda

Kita nin jangan dikenang jua

Pasang surut air pun timpas

Tuanku Paduka berangkat menarik nafas

Turun ke perahu kajang dipapas

Dibongkar sauh dayung dikipas

Terkenanglah untung bukan suatu

Bakanak dagang piatu

Remuk redam hatipun mutu

Laksana kaca jatuh ke batu

Terkenanglah badan duduk seorang

Sakitnya bukan sebarang

Sampailah sudah ke negeri orang

Sedikit yang ada banyak yang kurang

Dari bait-bait syair ini secara jelas dilukiskan bagaimana remuk redam dan hancur luluhnya perasaan Raja Alam sebagai anak tertua harus pergi meninggalkan Ayahanda dan Ibunda, tersingkir oleh adiknya sendiri. Beliau diibaratkan bagai anak yatim piatu yang mengembara tiada menentu, menjadi seperti orang buangan.

Dalam Syair Perang Siak pula dikatakan, sepeninggal Raja Kecik, kedudukannya digantikan oleh Raja Buwang untuk menjadi penguasa Siak selanjutnya. Peralihan kekuasaan ini diperkirakan sekitar tahun 1746. Setelah naik tahta Raja Buwang dikenal dengan nama Sultan Mahmud atau Sultan Muhammad Abdul Jalil Syah yang memerintah sampai tahun 1761.

Sementara kakaknya, Raja Alam sudah meninggalkan Siak sejak 1735. Berpuluh tahun beliau mengembara di Jambi, Kepulauan Riau dan Natuna dan kemudian menuju Tanah Semenanjung.

Pada masa sepeninggal Raja Alam ke luar dari Siak, berbagai peristiwa penting telah terjadi di Kesultanan Siak. Tahun 1740, Raja Kecik mangkat dengan diberi gelar Marhum Buantan. Beliau digantikan oleh putera keduanya Raja Buwang (Tengku Buang Asmara), dengan nama penabalan Sultan Abdul Jalil Jalaluddin Syah (1740-1760), namun lebih dikenal sebagai Sultan Mahmud.

Raja Buwang atau Sultan Mahmud juga sempat berperang melawan Belanda di Pulau Guntung, Kuala sungai Siak. Perang ini dalam sejarah Siak disebut Perang Guntung I (1756).

Tahun 1760, Raja Buwang mangkat, dan digelar Marhum Mempura Besar, karena seusai Perang Guntung I beliau memindahkan pusat Kerajaan dari Buantan ke Mempura Besar.

Selanjutnya Raja Buwang digantikan oleh puteranya Raja Ismail sebagai Sultan Siak ke-3, dengan gelar penabalan Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah (1760-1761), atau lebih dikenal sebagai Sultan Ismail. Pada masa pemerintahan Sultan Ismail kembali terjadi peperangan melawan Belanda, dikenal dengan nama Perang Guntung II (1761).

Dimasa itu pula Raja Alam kembali ke Siak, dan Sultan Ismail kemudian menyerahkan tahta Kesultanan Siak dengan sukarela kepada Raja Alam, pamannya.

Akhirnya Raja Alam dinobatkan sebagai Sultan Siak ke 4, yang seharusnya sudah menjadi hak-nya setelah Raja Kecik mangkat. Raja Alam kemudian memakai nama penabalan dengan gelar Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah atau Sultan Alamuddin Syah.

Selama dalam pengembaraan, Raja Alam sendiri sudah menikahi putri Daeng Perani yang bernama Daeng Tijah. Dari pernikahan ini lahirlah empat anak yang semuanya putri yaitu, Tengku Embung Badariyah, Tengku Mas Ayu, Tengku Sukma dan Tengku Hawi.

Adapun saat masih berada di Siak, sebelum terusir dari pertikaian dengan adiknya, beliau sudah menikahi seorang putri dari Kesultanan Jambi. Dari pernikahan itu beliau memperoleh dua orang putera yaitu, Tengku Muhammad Ali dan Tengku Akil.

Tengku Muhammad Ali dinikahkan dengan keponakannya sendiri, Putri Embung Besar anak Raja Buwang. Sejarah Siak mencatat bahwa Tengku Muhammad Ali tidak mengikuti ayahandanya ketika mengembara keluar Siak. Beliau tetap di Siak dan menjadi menantu Raja Buwang. Ketika itu Tengku Muhammad Ali diberi jabatan sebagai Panglima Besar Siak.

Setelah putri-putri Raja Alam dari Daeng Tijah mulai dewasa, timbullah niat Raja Alam untuk mencarikan jodoh yang terbaik untuk mereka. Sebagai seorang bangsawan yang memiliki naluri tinggi, Raja Alam memikirkan dengan seksama tentang kriteria yang paling tepat untuk mendampingi putri-putrinya.

Dari pertimbangan-pertimbangan demikian akhirnya beliau memutuskan untuk mencari menantu dari kalangan bangsawan Arab, khasnya dari Bani Hasyim yang ketika masa itu mulai mendatangi negeri-negeri Melayu dan sudah terkenal akan kealiman dan kecerdasannya.

Pada akhirnya salah satu putri beliau, Tengku Embung Badariyah dinikahkan dengan Sayyid Usman bin Abdurrahman Al-Ba'alawi. Sedangkan putrinya yang lain, Tengku Hawi dinikahkan dengan Said Syech Al Jufri.

Sejarah Siak kemudian mencatat, bahwa mereka berhasil melahirkan keturunan yang menurunkan Raja-raja Siak selanjutnya dan juga Raja-Raja Pelalawan. Dari kedua menantunya inilah sejarah awal penambahan gelar baru bagi para Raja-Raja Melayu Riau dimulai. Dari yang tadi hanya bergelar Sultan dan Tengku didepan nama, bertambah menjadi Sultan Syarif bagi raja, Tengku Sayyid/Said bagi keturunan berjenis kelamin laki-laki dan Tengku Syarifah bagi yang berjenis kelamin perempuan.

Peranan di Kesultanan Siak[sunting | sunting sumber]

Ketika Raja Alam dinobatkan menjadi Sultan Siak ke-4 , situasi Kerajaan begitu kalut dan ekonomi sedang terpuruk parah akibat peperangan terus menerus dengan Belanda. Jalur pelayaran di Kuala Siak diblokade Belanda yang mengakibatkan perniagaan ke Siak terganggu dan akibatnya ekonomi Kerajaan terancam lumpuh.

Sementara di dalam istana Siak sendiri juga terjadi pecah belah akibat sikap Pembesar Kerajaan masih belum bulat dalam mendukung Raja Alam sebagai Sultan. Sebagian masih tetap loyal kepada Sultan Ismail, meski yang bersangkutan sendiri telah menyerahkan takhtanya kepada Raja Alam. Dalam situasi demikian, Raja Alam memerlukan pemikiran yang sangat teliti dan jernih untuk menentukan sikap terbaik agar segala kekalutan itu dapat teratasi.

Saat inilah tampil Sayyid Usman sebagai menantu Sultan yang sekaligus menjadi penasihat pribadi Sultan, beliau menyampaikan buah pikirannya sebagai tokoh yang sarat dengan pengalaman dan buah pikiran yang amat tepat dan bernas. Langkah pertama yang diambilnya adalah memadukan semua kekuatan yang ada di Siak, terutama di kalangan Istana dan pembesar Kerajaan. Untuk itu beliau menyarankan kepada Sultan agar bersikap lunak kepada bekas pengikut setia Sultan Ismail, dan tidak melucuti jabatan yang ada pada mereka.

Salah satunya Sayyid Usman ketika itu memberi masukan kepada Sultan untuk memindahkan ibukota kerajaan dari Mempura (Siak) ke Senapelan (Pekanbaru sekarang) yang lebih jauh ke hulu sungai Siak dengan pertimbangan antara lain ;

- Supaya lebih jauh dari loji Belanda di Kuala Siak (Pulau Guntung), sehingga kalaupun Belanda berniat hendak menyerang Siak, akan memakan waktu lama untuk menuju hulu.

- Supaya lebih dekat ke Tapung di hulu Siak yang pada masa itu menjadi penghasil kekayaan hasil hutan terbesar seperti kayu gaharu, damar, rotan, kemenyan dan perikanan sungai.

- Supaya dapat menghimpun kekuatan baru dengan menggalang Askar pasukan perang yang diambil dari masyarakat suku asli yang tersebar di sekitar pendalaman Siak hingga kehulunya.

- Membuka jalur dagang baru di bagian hulu Siak yang juga berdekatan dengan hulu Kampar dan hulu Rokan sehingga menghidupkan jalur perniagaan baru setelah Kuala Siak diblokade Belanda.

Pada tahun 1762 saran tersebut dilakukan, dimana ibukota kerajaan Siak dipindahkan ke Senapelan yang nantinya daerah ini menjadi cikal bakal kota Pekanbaru, ibukota Provinsi Riau saat ini. Disinilah beliau mulai menyusun kekuatan dan memulihkan perekonomian Kerajaan. Langkah tersebut berdampak sangat positif bagi Kesultanan Siak. Dengan adanya jalur perdagangan dan pusat perdagangan baru, ekonomi kerajaan Siak sangat meningkat, setelah sebelumnya terjebak didalam kekalutan demi kekalutan.

Dengan keahliannya, Sayyid Usman memberikan perananan yang besar dalam perkembangan kerajaan Siak dengan berkali-kali memimpin pertempuran. Hal ini membuat Kesultanan Siak memiliki 12 daerah jajahan atau yang disebut dengan jajahan 12 negeri, yang mencakup Kota Pinang, Pagarawan, Negeri Bedagai, Negeri Kualuh, Panai, Bilah, Batubara, Negeri Asahan, Negeri Serdang, Negeri Deli, Negeri Langkat, hingga akhirnya berhasil mengambil alih Karang Temiang dari Kesultanan Aceh.

Sayyid Usman juga memiliki peran yang besar dalam perkembangan dakwah Islam di Siak dan sekitarnya. Dengan berkeliling dari kampung ke kampung, Sayyid Usman mendekati berbagai lapisan masyarakat dalam rangka menerangkan akidah islam yang sebenarnya. Dengan berbekal ilmu pengetahuan agamanya yang luas, cara bicara yang memikat, dan dengan membaur dengan adat Melayu setempat, membuat ia mampu menanamkan nilai-nilai luhur ajaran Islam kedalam seluruh lapisan masyarakat kala itu, hingga akhirnya masyarakat Melayu Riau dikenal sangat identik dengan Islam.

Di dalam syair Cik Nakhoda Agam peranan beliau menyebarkan Islam diceritakan,

Tuan Sayyid Osman orang bertuah

Menyebarkan Islam tiada lengah

Budinya elok fiil pun indah

Mukanya manis mulutpun ramah

Engku Sayyid orang pilihan

Membawa Islam sampai ke Rokan

Mudik ke hulu memakai sampan

Banyaklah orang ikut berjalan

Peranan dalam dakwah[sunting | sunting sumber]

Sayyid Usman mengembangkan ajaran Islam di sepanjang Sungai Siak, Sungai Rokan, dan Pesisir Timur. Sebagai penyebar agama Islam, beliau dikenal namanya sebagai Tuan Said Osman atau Engku Said Osman. Said merupakan sebutan Sayyid bagi orang Melayu. Akibat keluasan ilmunya itu beliau digelari dengan "Syahabuddin".

Wafat[sunting | sunting sumber]

Sayyid Usman wafat di siak dan dimakamkan di Kompleks Pemakaman Islam Senapelan, Pekanbaru, Riau. Untuk mengenang jasanya setelah mangkat beliau diberi gelar Marhum Barat.

Rujukan[sunting | sunting sumber]

  1. https://repository.uin-suska.ac.id/10376/2/Het%20Rijk%20Van%20Siak.pdf
  2. https://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFKIP/article/view/10871/10526