Reresik Lak

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Reresik Lak adalah sebuah tradisi ritual yang dilakukan oleh leluhur Dusun Ngiring, Desa Jaten, Kabupaten Karanganyar sebagai bentuk cipta budaya sekaligus ritual agraris akan keberadaan sumber air melalui praktek konservasi air. Reresik lak juga berkaitan dengan sistem mentalitas masyarakat dengan nilai filosofis religiusitas dan agraris yang dihayati sebagai etika dan kebijaksanaan dalam hidup.

Etimologi[sunting | sunting sumber]

Reresik secara harfiah berasal dari kata “resik” yang berarti bersih, mendapat imbuhan "re" menjadi "reresik" yang berarti menjadi kata kerja membersihkan. Membersihkan mengarah pada subjek yang membersihkan. Sedangkan "lak" merupakan seminasi sumber air yang diyakini menjadi sumber utama kehidupan masyarakat Ngiring. Secara filosofis, masyarakat Jawa meyakini air sebagai bagian penting dalam segala ritual upacara, sebagai tolak bala, menghilangkan gangguan, sekaligus lambang kesucian, penyucian, dan sumber ketenangan. Kesimpulannya ‘’reresik lak’’ dalam praktik sosial menyentuh sisi personal sebagai subjek penghayat dan pelaku. Berdasar pemaparan di atas fokus dapat diidentifikasi bahwa fenomena dan dinamika reresik lak yang diproduksi dan direproduksi masyarakat Dusun Ngiring. Membahas reresik lak sebagai bentuk cipta budaya sekaligus ritual agraris akan keberadaan air sumber. Menyuarakan nilai simbolik yang terkandung di dalam reresik lak dalam proses penciptaan, maupun budaya yang menciptakan, sekaligus bagaimana ritual reresik lak tercipta. Pengkajian kemudian dikembangkan dengan merekontruksi bagaimana ritual reresik lak beroperasi dalam sistem budaya, sehingga mampu menjadi bagian dari identitas budaya, mempengaruhi dan membentuk sistem metalitas, hingga mengendalikan tingkah laku personalitas sebagai bagian dari upaya pelestarian budaya dan wujud konservasi air. Budaya dipandang sebagai sistem ideasional sehingga harus ditelusuri dan dipetakan dalam ungkapan-ungkapan pelakunya. Budaya dipandang sebagai sistem yang menghubungkan manusia dengan lingkungan ekologi, dalam cara hidup komunitas, termasuk teknologi dan organisasi ekonomi, serta pengelompokan organisasi sosial, politik, kepercayaan, dan praktek keagamaan. Dalam ritual ini memungkinkan adanya pitutur (nasihat), piwulang (ajaran), dan wewaler (larangan) yang menjadi bagian dari terstrukturnya ritual upacara reresik lak tercipta dan terdomestifikasi, serta beroperasi dalam sistem budaya setempat.[1]

Implikasinya menunjukkan sistem mentalitas masyarakat dengan nilai filosofis religius dan agraris yang dihayati sebagai etika dan kebijaksanaan hidup. Dalam melaksanakan ritual reresik lak menjadi bagian dari identitas kultural dalam interaksi dan pertukaran sosial masyarakat. Budaya reresik lak bukan semata sebagai reproduksi simbolik dan mitos, melainkan sebagai upaya menyentuh sisi kesadaran personal agar menjadi seseorang yang peduli terhadap lingkungan. Mengingat kembali pengetahuan indigeneous yang hampir terlupakan sebagai akumulasi pengalaman kolektif yang patut dikembangkan sebagai upaya memperkaya dan melengkapi inovasi teknologi masa depan yang berkelanjutan untuk konservasi air. Membawa relevansi nilai filosofis, religious humanis yang terkandung dalam budaya ‘’adiluhung reresik lak’’ sebagai kearifan lokal dengan konteks kekinian.[2]

Sumber air[sunting | sunting sumber]

Air merupakan sumber kehidupan dan sebagai sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Implikasinya, konservasi air menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari tugas manusia di bumi. Air tanah dalam sistem perekonomian, terutama pertanian menjadi penentu utama keberhasilan panen. Oleh karena itu, dalam sistem perekonomian kerakyatan kerap membingkai air tanah dengan budaya agraris, menghasilkan pengetahuan akan upaya konservasi dalam bentuk tradisi, begitu juga dalam konteks air dalam masyarakat Ngiring. Kepercayaan lokal sering kali berpusat pada lokus sakral. Tempat-tempat seperti sumber air, pundhen dapat menjadi lokus sakral bagi masyarakat sekitarnya. Begitu juga dengan masyarakat Ngiring. Lak menjadi asal usul air kehidupan yang diyakini masyarakat Ngiring. Sumber air lak memiliki arti mendalam, yaitu bukan hanya sebagai sumber kehidupan, melainkan air adalah kehidupan itu sendiri. Penamaan lak menggambarkan pandangan hidup dan aturan yang memiliki fungsi kuat sebagai alat kontrol sosial dan pendidikan dalam memperlakukan alam. Penamaan lak mengidentifikasikan pandangan hidup masyarakat Ngiring yang berupaya melestarikan air dalam bentuk ritus sebagai konservasinya. Cerita rakyat di balik sumber air lak adalah sebagai air kehidupan diwariskan dari waktu ke waktu secara lisan. Muatan cerita rakyat air lak menggambarkan akan adanya bahaya kekeringan dan gagal panen apabila tidak melakukan reresik lak. Cerita ini mendeskripsikan liku kehidupan masyarakat Ngiring dalam tatanan biologis dan sosial terkait dengan keberadaan air sebagai pendukung pertanian. Sebagai tatanan biologis reresik lak berperan sebagai cerita penyambung generasi, yaitu melestarikan ajaran dan pengetahuan, serta ritual. Pada tataran sosial cerita sumber air ‘’lak’’ memiliki fungsi sesuai norma dan nilai yang menjadi pandangan hidup (the way of life) masyarakat setempat.[3]

Pelestarian lak tidak dapat dipisahkan dari adanya mitos yang menyertai cerita sumber air setempat. Mitos jelas memiliki fungsi seperti aturan adat (pemali) yaitu menjadi media dalam pelestarian lingkungan dengan yang baik dan tidak. Mitos ‘’banyu lak’’ (air sumber) juga mengidentifikasikan kepercayaan masyarakat atas kekuatan adikodrati yang mampu membuat banyu kasat (kekeringan) apabila tidak melakukan ritual reresik. Mitos ini mengacu pada alur dan struktur naratif sehingga, bertransformasi menjadi wacana komunal yang disakralkan dalam ritus, yaitu lak dan prosesi reresik sebagai ritual. Mitos menjadi bentuk ujaran yang menyentuh sisi kepercayaan dan berkaitan dengan hal-hal mistis. Meskipun dalam perjalanan perkembangannya juga beralih menjadi kebiasaan yang berlangsung secara terus-menerus, tanpa dikaitkan dengan hal mistis (profan). Mitos di balik posisi ‘’reresik lak’’ dan ritualnya dalam cerita masyarakat menjadi bentuk wejangan yang mengarah pada tata aturan bertingkah laku dalam keseharian. Fungsinya sebagai penyadaran tentang adanya kekuatan-kekuatan lain di luar diri manusia yang menguasai dan mempengaruhi alam semesta. Ritual berfungsi sebagai perantara antara manusia dengan kekuatan alam yang memberikan jaminan masa depan sehingga, menjadi pedoman bersikap dalam interaksi sosial. Mitos ini menyentuh segi aksi, yaitu mitos perbuatan untuk tidak melakukan dan mengharuskan dilakukan suatu tindakan tertentu yang diyakini bersama sebagai kebenaran baik untuk konservasi alam dan air.[4]

Budaya agraris[sunting | sunting sumber]

Dinamika perkembangan kebudayaan menunjukkan bagaimana proses suatu masyarakat bertransformasi, mengembangkan, melestarikan, dan menghidupkan aspek kehidupan sosial termasuk di dalamnya kebudayaan materi. Analisis terhadap reresik lak menjadi upaya untuk menyuarakan nilai simbolik yang terkandung di dalam simbolisme tersebut baik dalam proses penciptaannya, maupun budaya yang menciptakan, sekaligus bagaimana ritual reresik lak tercipta. Kemudian dikembangkan dengan merekontruksi bagaimana ritual reresik lak beroperasi dalam sistem budaya, sehingga mampu menjadi bagian dari identitas budaya, mempengaruhi dan membentuk sistem metalitas kembali, hingga mengendalikan tingkah laku personalitas.

Budaya yang menciptakan reresik lak berupa cognition (pengetahuan) dalam bentuk kecerdasan ekologis leluhur Ngiring. Proses penciptaannya dekat dengan nilai simbolik kepedulian pada alam yang sejak awal diyakini sebagai akar penciptaan manusia. Ritus lak menjadi wujud dari realisasi proses pikiran dalam menciptakan dunia simbolik (creation of mind). Creation of mind melahirkan ritus-ritus pemujaan dengan nilai transendental sebagai refleksi dari kepercayaannya tentang kekuatan di luar diri manusia. Filosofis agraris masyarakat semakin mendukung melembaganya ritual reresik lak sebagai identitas.[5]

Ritual reresik lak menjadi bagian dari identitas budaya masyarakat Dusun Ngiring dalam wujud konservasi air dalam praktik pertanian. Ritual ini melahirkan bentuk kesadaran, pengetahuan, dan kreativitas masyarakat lokal mengenai wawasan dan sikap terhadap lingkungan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Bentuk kebijaksanaan hidup dalam mengelola alam untuk perekonomian jauh sebelum kebijakan dan hukum tertulis terkait alam, air, hutan, tanah di atur dalam hukum negara. Sebuah kearifan dalam memandang dan memperlakukan alam dengan konsepsi sangkan paraning dumadi, budi hawa sebagai dasar tingkah laku yang dibingkai dengan pentingnya keselarasan dan harmonisasi dengan alam.[6]

Ritual reresik lak dilakukan pada bulan-bulan setelah masa panen selesai. Proses ini sekaligus menjadi penanda bahwa masa tanam sudah dekat. Reresik lak sebagai buah pikir masyarakat Ngiring juga berkaitan dengan hubungannya dengan Dewi Sri. Sebagai dewi kesuburan yang berkaitan dengan tumbuh-tumbuhan, sehingga air lak menjadi termaknai sebagai banyu kesuburan (air kesuburan). Hal ini juga dapat dikuatkan dengan adanya konsep Dewi Ibu (mother godess) yang dalam kebudayaan agraris dianggap melahirkan tumbuh-tumbuhan yang dibutuhkan manusia dan dihubungkan dengan simbol lain sebagai sumber kehidupan. Reresik lak adalah upacara yang diselenggarakan sebagai rasa syukur sekaligus permohonan akan lancarnya air perairan untuk pertanian. Upacara dimaksudkan untuk menjaga kebersihan dan sekaligus bentuk pemertahanan aliran air yang melewati sepanjang daerah pertanian Ngiring. Pada umumnya, dalam menyelenggarakan upacara dilakukan serangkaian upacara, antara lain: pembuatan ketupat dan lepet, tumpeng, dan beberapa sesaji lain. Selain itu, untuk kaum laki-laki dengan membawa cangkul, arit, untuk membersihkan segala yang melintangi daerah aliran air.[7]

Proses pembuatan ketupat, lepet, dan tumpeng serta beberapa sesaji lainnya menjadi tugas perempuan. Konsepsi ini berkaitan dengan pembagian kerja yang ada dalam masyarakat Jawa. Terlebih dalam hal ini kaitannya dengan konsepsi “Mboyong Mbok Sri” syukur setelah panen, sekaligus pengharapan akan kesuburan kembali (awal pertanian) akan dilakukan kembali. Proses ini menggambarkan bahwa dalam masyarakat Ngiring keberadaan air lak telah mengakar dalam proses pertanian. Oleh karena itu, dalam prosesnya bukan hanya dengan merti bumi, melainkan juga reresik lak.[7]

Rujukan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Dikawati, Reni (2019). "Tinjauan Filosofis Budaya Agraris Reresik Lak; Konversi Air dalam Praktik Pertanian Dusun Ngiring". Jantra. 14 (1): 27. 
  2. ^ Geertz, Clifford (1983). Involusi pertanian: proses perubahan ekologi di Indonesia. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. hlm. 12. 
  3. ^ Anne, Shakka Ariyani (2018). Nasionalisme di Tengah Kewargaan Budaya dan Ekstrimisme Global. Yogyakarta: Sanatadharma press. hlm. 257. 
  4. ^ Dikawati, Reni (2019). "Tinjauan Filosofis Budaya Agraris Reresik Lak Konversi Air Dalam Praktik Pertanian Dusun Ngiring". Jantra. 14 (1): 31. 
  5. ^ Purwaningsih, Ernawati (2007). "Air, Makna, Fungsi, dan Tradisi" (PDF). Jurnal Jantra. 2 (3): 129. 
  6. ^ Dikawati, Reni (2019). "Tinjauan Filosofis Budaya Agraris Reresik Lak: Konversi Air Dalam Praktik Pertanian Dusun Ngiring". Jantra. 14 (1): 32. 
  7. ^ a b Dikawati, Reni (2019). "Tinjauan Filosofis Budaya Agraris Reresik Lak: Konversi Air Dalam Praktik Pertanian Dusun Ngiring". Jantra. 14 (1): 33.