Pneumonia eosinofilik

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pneumonia eosinofilik adalah kondisi langka di mana terjadi penumpukan jenis sel darah putih tertentu di paru-paru dan darah, menyebabkan peradangan dan kerusakan. Pneumonia eosinofilik mencakup beragam kelainan yang ditandai oleh penumpukan infiltrat eosinofilik di parenkim paru-paru, kadang-kadang dengan eosinofilia darah tepi. Kondisi ini dapat disebabkan oleh faktor menular maupun tidak menular yang berbeda, menimbulkan berbagai macam penyakit paru-paru. [1]

Etiologi[sunting | sunting sumber]

Gejala pneumonia eosinofilik dapat bervariasi dari ringan hingga mengancam nyawa. Pneumonia eosinofilik simplek (Sindroma Loffler) dan jenis serupa lainnya seperti eosinofilia tropikal akibat infestasi cacing filaria, biasanya menimbulkan demam ringan dan gejala saluran nafas ringan seperti batuk, mengi (wheeze), dan sesak napas. Namun, gejalanya umumnya membaik dengan cepat.

- Pneumonia eosinofilik akut dapat menyebabkan penurunan kadar oksigen yang signifikan dalam darah, yang dapat mengakibatkan gagal napas dalam beberapa jam atau hari jika tidak diobati.

- Pneumonia eosinofilik kronis berkembang secara perlahan dalam beberapa minggu hingga bulan dan dapat menyebabkan gejala sesak napas yang berat. Kondisi ini dapat berakibat fatal jika tidak ditangani dengan tepat.[2]

Epidemiologi[sunting | sunting sumber]

Pneumonia eosinofilik akut idiopatik dapat terjadi pada berbagai usia, tetapi lebih sering terjadi pada pria usia 20-40 tahun. Kondisi ini juga dapat terkait dengan leukemia mielogenus kronis (CML), infeksi HIV, dan kebiasaan merokok.

Sementara itu, kelompok pneumonia eosinofilik kronis yang paling umum terjadi pada wanita berkulit putih, dengan insiden tertinggi terjadi antara usia 30-40 tahun. Sekitar 50 persen dari pasien dalam kelompok ini juga memiliki riwayat asma.[3]

Manifestasi Klinis[sunting | sunting sumber]

Secara umum, AEP (acute eosinophilic pneumonia) ditandai dengan gejala dispnea akut yang disertai batuk dan demam atau menggigil. Lebih dari 80% pasien mengalami kombinasi dispnea, batuk, dan demam atau menggigil. Produksi sputum jarang terjadi, tetapi gejala nyeri dada dan mialgia terjadi pada sekitar 30-50% pasien. Yang penting, sebagian besar gejala dapat berkembang dalam beberapa hari setelah serangan akut.

Hipoksemia berat dan/atau gagal napas yang menyebabkan sindrom gangguan pernapasan akut sering ditemukan pada pasien dengan AEP. Sebagian besar pasien menunjukkan tingkat oksigen dalam darah (SpO2) kurang dari 90% di udara ruangan. Studi oleh Uchiyama dan rekan-rekan melaporkan rata-rata PaO2 sebesar 60,3 ± 11,6 torr pada 33 pasien dengan AEP, sedangkan Rhee et al. melaporkan rata-rata rasio P/F sebesar 284,3 (dengan kisaran antara 232-334) pada 137 pasien dengan AEP.

Oleh karena itu, banyak pasien dengan AEP memerlukan perawatan di unit perawatan intensif, dengan angka bervariasi antara 30-80%. Kasus dengan hipoksemia berat juga sering memerlukan ventilasi mekanis untuk penanganan yang adekuat.

Penatalaksanaan[sunting | sunting sumber]

Perawatan suportif dengan oksigen tambahan dan glukokortikoid merupakan langkah pertama dalam penanganan kasus pneumonia eosinofilik akut. Sambil menunggu hasil kultur, pemberian ventilasi mekanis dan antibiotik empiris juga merupakan tindakan terapeutik yang dapat dipertimbangkan.

Terapi glukokortikoid sistemik, baik melalui suntikan intravena atau penggunaan oral, direkomendasikan untuk semua pasien dan sebaiknya dimulai sesegera mungkin untuk mempercepat perbaikan dalam waktu 12-48 jam. Dosiskortikosteroid yang diberikan harus disesuaikan dengan tingkat keparahan kondisi pasien. Tanpa terapi glukokortikoid, risiko gagal napas progresif pada pasien dengan pneumonia eosinofilik akut dapat meningkat.

Setelah keberhasilan dalam mengatasi kegagalan pernafasan, penggunaan prednison secara oral dapat dilanjutkan selama 2-4 minggu dan kemudian dikurangi secara bertahap dalam beberapa minggu berikutnya.

Pada kasus pneumonia eosinofilik kronis, terapi dengan prednison dosis 40-60 mg dapat diberikan hingga dua minggu setelah gejala dan kelainan pada sinar-X menghilang. Perawatan dengan kortikosteroid perlu dipertahankan minimal selama tiga bulan, optimalnya hingga 6 hingga 9 bulan, dengan beberapa pasien mungkin memerlukan terapi yang lebih lama. Selanjutnya, penggunaan kortikosteroid inhalasi dapat dipertimbangkan untuk menggantikan penggunaan steroid oral secara bertahap.[4]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "Eosinophilic Pneumonia: Causes, Symptoms & Treatment". Cleveland Clinic (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-05-13. 
  2. ^ "Pneumonia Eosinofilik, Pengertian, Penyebab, Gejala, Pengobatan, dan Dokter Spesialis Pneumonia Eosinofilik | Medicastore.com". medicastore.com. Diakses tanggal 2024-05-13. 
  3. ^ Pahal, Parul; Penmetsa, Gopi K.; Modi, Pranav; Sharma, Sandeep (2024). Eosinophilic Pneumonia. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing. PMID 30725854. 
  4. ^ Pahal, Parul; Penmetsa, Gopi K.; Modi, Pranav; Sharma, Sandeep (2024). Eosinophilic Pneumonia. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing. PMID 30725854.