Penindasan Kesusasteraan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Dalam sejarah Tiongkok, Penindasan Kesusasteraan (Hanzi: 文字獄; Pinyin: wénzìyù; harfiah: 'dipenjara akibat tulisan') adalah istilah yang mengacu kepada penindasan terhadap kelompok intelektual akibat tulisan-tulisan mereka yang dianggap menghina atau menyerang pihak kekaisaran. Penindasan ini dilakukan oleh setiap dinasti penguasa Tiongkok, walaupun dinasti yang paling dikenal sebagai pelaku penindasan kesusasteraan adalah Dinasti Qing. Penindasan dapat terjadi hanya karena satu kata atau kalimat yang dianggap menghina. Beberapa kejadian disebabkan oleh pamali atas nama tertentu, seperti penggunaan huruf Tionghoa yang dianggap sebagai bagian dari nama pribadi kaisar. Kadang-kadang tidak hanya penulisnya saja yang dihukum mati, tetapi juga semua sanak saudara dan orang-orang terdekatnya.

Praktik penindasan kesusasteraan telah tercatat semenjak masa Dinasti Qin. Penyair Su Shi dari Dinasti Song pernah dipenjara selama beberapa bulan oleh kaisar akibat beberapa tulisannya. Dalam novel klasik Batas Air yang berlatar di Dinasti Song, salah satu tokoh utamanya, Song Jiang, yang merupakan pejabat rendahan, dijatuhi hukuman mati karena menulis puisi yang menyerukan pemberontakan terhadap pemerintah saat ia sedang mabuk. Ia kemudian diselamatkan dan kemudian menjadi pemimpin kelompok pembangkang.

Penindasan juga terjadi pada masa Dinasti Ming dan penindasan paling sering terjadi pada masa awal dinasti tersebut. Sebelum ia menjadi kaisar, Zhu Yuanzhang (Kaisar Hongwu) buta huruf dan pernah menjadi pengemis. Setelah mendirikan Dinasti Ming, ia mempekerjakan banyak ahli dan menghormati mereka sembari ia belajar membaca. Namun, saat kaisar sedang belajar membaca, kadang-kadang ia salah paham dengan apa yang sebenarnya dimaksud oleh tulisan tersebut, dan kemudian memerintahkan agar si penulis dihukum mati.[1]

Dinasti yang sering kali dikaitkan dengan penindasan ini adalah Dinasti Qing yang dikuasai oleh bangsa Manchu. Bangsa Manchu sangat sensitif dengan sentimen rakyat Tiongkok yang mayoritas merupakan suku Han.[2] Banyak penulis dan pejabat yang sudah lama merasa bahwa suku Manchu merupakan suku barbar yang berbeda dari suku Han. Setelah suku Manchu berkuasa, pendapat ini disembunyikan dalam bentuk satir.[3] Suku Manchu pun menjadi paranoid dengan makna-makna yang terkait dengan huruf Tionghoa yang berarti "terang" atau "jelas", yaitu 'Ming' dan 'Qing'.[2] Salah satu peristiwa penindasan besar yang terjadi adalah "Kasus Zhuang Tinglong" (明史案) pada tahun 1661–1662 yang mengakibatkan pembunuhan 70 orang. Kemudian, pada tahun 1772 hingga 1793, Kaisar Qianlong mencoba membersihkan Tiongkok dari buku, puisi, dan drama yang dianggap "durjana". Ia mencoba menyingkirkan karya loyalis-loyalis Ming yang dituduh telah menulis sejarah anti-Qing. Kehancuran budaya yang disebabkan oleh peristiwa ini tidak diketahui secara pasti akibat kekosongan dalam arsip kekaisaran, tetapi diperkirakan 3.000 karya telah hilang ditelan sejarah. Diperkirakan 151.723 volume buku telah dihancurkan pada periode ini. Beberapa buku yang disingkirkan adalah buku yang dianggap menghina kaisar Qing atau dinasti-dinasti sebelumnya yang dikuasai oleh etnis minoritas. Semenjak tahun 1780, karya drama juga akan dimusnahkan jika dianggap vulgar atau mengandung materi anti-Manchu. Semua karya penulis yang berani mengkritik Dinasti Qing akan dimusnahkan, meskipun tidak semua karyanya mungkin mengkritik pemerintahan.[4] Beberapa contohnya penindasan yang dilakukan oleh Kaisar Qianlong adalah:

  • 1753: Kaisar Qianglong sering kali mengunjungi wilayah Jiangnan dan sebagian dananya berasal dari pemerintahan setempat. Salah satu pejabat lokal yang bernama Lu Lusen (menggunakan nama menteri yang berpangkat tinggi, Sun Jiajin) mengirim surat kepada kaisar yang meminta agar ia berhenti mengunjungi Jiangnan demi kepentingan rakyat setempat. Surat ini didukung oleh rakyat, tetapi pada akhirnya Lu Lusen dihukum mati dengan metode lingchi, dua anak laki-lakinya dipenggal, dan lebih dari seribu sanak saudara dan rekan-rekannya dihukum mati, dibuang, atau dijebloskan ke penjara.[5]
  • 1755: Seorang Komisioner Pendidikan Provinsi yang bernama Hu Zhongzao (胡中藻) menulis puisi yang menggunakan huruf qing 清, yang didahului oleh kata zhuo (浊), yang berarti "suram" atau "berlumpur". Hu pada akhirnya dipenggal.[6]
  • 1778: Anak seorang penyair dari Jiangsu yang bernama Xu Shukui [zh] (徐述夔) telah menulis sebuah puisi untuk mengenang ayahnya. Kaisar Qianlong merasa puisi tersebut menghina suku Manchu, sehingga ia memerintahkan agar peti mati Xu Shukui digali dan dibuka, mayatny dimutilasi, dan semua anak dan cucunya dipenggal.[7]
  • Cai Xian (蔡顯) menulis puisi "tidak ada warna yang sejati kecuali merah, bunga asing telah menjadi raja bunga-bunga", untuk menunjukkan bahwa ia lebih menyukai bunga merah daripada bunga ungu. Nama keluarga kaisar-kaisar Ming adalah Zhū (朱), yang juga berarti "merah" dalam bahasa Tionghoa. Cai Xian dianggap telah menghina suku Manchu dan lalu dihukum mati.

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Ku & Goodrich 1938, hlm. 255–257
  2. ^ a b Gu 2003, hlm. 126
  3. ^ Ku & Goodrich 1938, hlm. 254
  4. ^ Woodside 2002, hlm. 289–290
  5. ^ "'Kang-Qian shengshi' de wenhua zhuanzhi yu wenziyu" “康乾盛世”的文化專制與文字獄 [Cultural despotism and literary inquisitions in the 'Kangxi-Qianlong golden age'], in Guoshi shiliujiang 國史十六講 [Sixteen lectures on the history of China]. Beijing: Zhonghua shuju, 2006. Diakses 10 November 2008.
  6. ^ Guy 1987, hlm. 32
  7. ^ Schmidt 2003, hlm. 379

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

Further reading[sunting | sunting sumber]

  • Goodrich, Luther Carrington (1935), The Literary Inquisition of Ch'ien-Lung, Baltimore: Waverly Press 
  • Kessler, Lawrence D. (1971), "Chinese Scholars and The Early Manchu State", Harvard Journal of Asiatic Studies, 31: 179–200, JSTOR 2718716 
  • Yang, Fengcheng; et al. (1992), Qian wenziyu (Literary Inquisition Through the Ages: A Factual Record of the Qing Dynasty), Haikou: Nanhai chubanshe 
  • Zhongguo da baike quanshu. First Edition. Beijing; Shanghai: Zhongguo da baike quanshu chubanshe. 1980-1993.