Pembelian impulsif

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Ilustrasi pembelian impulsif ketika membeli suatu produk, karena terpikat dengan pemajangan produk.

Pembelian impulsif atau pembelian spontan adalah perilaku atau sebuah keputusan yang tidak terencana untuk membeli produk atau jasa. Keputusan untuk membeli ini terjadi secara tiba-tiba dan seketika sebelum melakukan pembelian. Pembelian impulsif terjadi ketika emosi, perasaan, dan sikap memainkan peran yang menentukan dalam pembelian, dipicu dengan melihat produk atau setelah terpapar dengan pesan promosi yang dibuat dengan baik. Pembelian impusif terjadi ketika seseorang misalnya makan siang di sebuah restoran di pusat perbelanjaan. Setelah makan siang dengan niat berkeliling atau melihat gerai toko, namun kemudian timbul dorongan untuk melakukan pembelian yang sebelumnya tidak direncanakan.[1]

Pembelian impulsif merupakan suatu gaya berbelanja yang hanya berdasarkan kepada emosi yang berasal dari dalam individu konsumen itu sendiri, sehingga mengenyampingkan faktor sosial dan interaksi dalam pengambilan keputusan yang mereka buat. Faktor emosi erat kaitannya melakukan kegiatan tersebut dan identik dengan pembelian tidak terencana.[2] Pembelian ini ditandai dengan pengambilan keputusan yang relatif cepat serta keinginan yang kuat untuk segera memiliki barang atau jasa tersebut. Hal ini digambarkan sebagai hal yang membangkitkan gairah, tidak disengaja, dan perilaku pembelian yang dinilai lebih menarik dibandingkan dengan yang direncanakan. Konsumen tipe ini jarang memikirkan konsekuensi atau dampak negatif yang timbul dari tindakan mereka.[3]

Latar belakang[sunting | sunting sumber]

Istilah pembelian impulsif dicetuskan sejak awal tahun 1950, saat itu ada penel untuk meneliti pengambilan keputusan konsumen dalam membeli produk yang diinginkan setelah individu mengenal industri retail. Penelitian saat itu bernama DuPont Consumer Buying Habits Studies. Penelitian ini memberikan paradigma bahwa impulsive buying adalah pembelian tanpa perencanaan.[4][5]Kemudian definisi pembelian impulsif meluas, mengacu pada dorongan kuat bahwa suatu perasaan konsumen saat ingin membeli suatu barang, seringkali menimbulkan disonansi kognitif bagi konsumen. Hal ini kemudian mengubah fokus definisi dari produk ke konsumen. Oleh karena itu, disimpulkan pembelian impulsif adalah hasil dari kebutuhan sendiri untuk memuaskan keinginan mereka yang juga menimbulkan perdebatan ideologi rasional dengan prinisip diri mereka sendiri. Peningkatan pembelian impulsif juga telah dikaitkan dengan munculnya materialisme, yang sering menyebabkan orang berbelanja secara royal atau melakukan pembelian tanpa informasi.[6]

Jenis pembelian impulsif[sunting | sunting sumber]

Dalam artikelnya yang berjudul, "The Significance of Impulse Buying Today" Sid Hawkins Stern menjelaskan empat jenis pembelian impulsif yang dapat dilihat. Yang pertama disebut "Pembelian Impuls Murni" di mana konsumen melanggar pola konsumsi normal mereka. Selanjutnya disebut “Reminder Impulse Buying”, yaitu ketika seorang konsumen lupa menambahkan suatu barang ke daftar belanjaannya, dan ketika melihat barang tersebut di toko, mereka ingat bahwa mereka membutuhkan barang tersebut dan membelinya. Jenis pembelian impulsif ketiga yaitu "Pembelian Impuls Saran" di mana seorang konsumen melihat produk yang belum pernah mereka lihat sebelumnya, dan meyakinkan diri mereka sendiri bahwa mereka membutuhkan barang tersebut meskipun ini adalah pertemuan awal mereka dengannya. Jenis pembelian impulsif terakhir yang termasuk Stern adalah "Pembelian Impuls yang Direncanakan".[7]

Ciri-ciri pembelian impulsif[sunting | sunting sumber]

Berikut beberapa ciri pembelian impulsif Dennis W. Rook:

  1. spontanitas, pembelian jenis memotivasi konsumen untuk membeli sekarang atau saat itu juga, hal ini terjadi sebagai respons stimulasi visual yang langsung di tempat penjualan. Pembelian impulsif merupakan proses yang memang spontan dan terjadi ketika konsumen mengalami dorongan tak terduga.
  2. adanya intensitas yang berulang, pembelian impulsif mungkinkan adanya motivasi untukmengesampingkan semua yang lain dan bertindak seketika. Selain itu pembelian impulsif juga berkaitan dengan dorongan tak terduga dan tak henti-hentinya untuk mencapai sesuatu secara instan.
  3. stimulasi, pembelian ini ditandai dengan adanya desakan mendadak untuk membeli barang sering disertai dengan emosi yang dicirikan sebagai sesuatu yang mengairahkan. Pembelian impulsif yang tinggi cenderung tidak reflektif dalam filosofi mereka, tertarik secara emosional ke objek tersebut, dan menginginkan kepuasan segera. Selain itu, keinginan untuk membeli secara impulsif bersifat kompleks secara hedonis dan sebagian besar pada akhirnya juga mendorong konflik emosional.
  4. abai pada akibat, esakan untuk membeli dapat menjadi begitu sulit untukditolak sehingga akan muncul akibat negatif yang mungkin akan ditimbulkan. Konflikemosional yang terjadi setelahnya terjadi karena pembelian impulsif terjadi denganberkurangnya perhatian akan konsekuensinya. Konsumen ini seringkali kurang memperhatikan konsekuensi negatif potensial yang mungkinditimbulkan dari tindakan mereka.[8][9]

Faktor-faktor terjadinya pembelian impulsif[sunting | sunting sumber]

Selain dicirikan sebagai pembelian yang terjadi karena spontan, berikut beberapa faktor yang mendorong terjadinya pembelian impulsif:

  1. faktor display dan suasana toko, pemajangan produk yang menarik meliputi warna, pencahayaan, musik, aroma dan lokasi menjadi faktor terjadinya pembelian impulsif. Keputusan pembelian terhadap produk yang dipajang membuat konsumen tertarik untuk mampir ke dalam toko dan melihat-lihat produk yang dipajang.
  2. promosi penjualan, materi promosi meliputi diskon, bantuan karyawan, produk yang unik, dan kebaruan produk menjadi faktor terjadinya pembelian impulsif. Beberapa faktor tersebut menjadi penyebab dan alasan konsumen melakukan pembelian tanpa mempetimbangkan pola konsumsi mereka terlebih dahulu.
  3. gaya hidup, bagi sebagian orang berbelaja merupakan kegiatan yang menyenangkan. Gaya hidup yang menjadikan kegiatan berbelanja sebagai bagian untuk melepaskan emosi negatif dan emosi positif memicu terjadinya pembelian impulsif.[10]

Pembelian impulsif saat pandemi Covid-19[sunting | sunting sumber]

Merebaknya pandemi Covid-19 menjadi salah satu faktor terjadinya pembelian impulsif. Situasi pandeami salah satunya berdampak pada timbulnya rasa takut dan khawatir akan kehidupan sehari-hari. Hal ini berpengaruh pada prilaku membeli yang impulsif. Emosi negatif serta keadaan yang tidak menyenangkan mendorong munculnya rasa ingin berbelanja. Kegiatan belanja ini dianggap sebagai suatu cara untuk meredakan stress dan memberikan rasa aman dan nyaman.[11] Kondisi pandemi Covid-19 menimbulkan rasa cemas akan kondisi kesehatan, hal ini kemudian menjadi alasan untuk melakukan pembelian impulsif pada produk yang diyakini dapat melindungi diri dari paparan virus corona, seperti masker wajah, pembersih tangan, cairan disinfektan, dan suplemen vitamin beserta bahan pangan lainnya. Situasi pandemi yang juga menyebabkan stok barang tertentu menjadi langka juga menjadi faktor pembelian impulsif, karena seseorang akan cenderung membeli ketika barangtersebut tersedia.[11]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Hardiyanto, Sari, ed. (2020-05-27). "Mengenal Impulsive Buying, Kebiasaan Boros yang Dapat Direm Saat Pandemi". Kompas.com. Diakses tanggal 2021-11-02. 
  2. ^ Arifianti, Ria; Gunawan, Wahju (2021-02-02). "PERILAKU IMPULSE BUYING DI MASA PANDEMI". Sosioglobal : Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi (dalam bahasa Inggris). 5 (1): 43–60. doi:10.24198/jsg.v5i1.30759. ISSN 2548-4559. 
  3. ^ Eka Sari, Aprilia (Mei 2014). "ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBELIAN SPONTAN". JURNAL SAINS PEMASARAN INDONESIA. Volume XIII (No. 1): halaman 55 – 73. 
  4. ^ RIZAL, BAHARRUDIN (2014). "PERAN DARI FAKTOR MATERIALISM, LOCUS OF CONTROL, DAN FINANCIAL LITERACY DAN PENGARUHNYA PADA IMPULSIVE BUYING DALAM PERSPEKTIF DEMOGRAFI" (dalam bahasa Inggris). STIE PERBANAS SURABAYA. 
  5. ^ Rook, Dennis W. (1987). "The Buying Impulse". Journal of Consumer Research. 14 (2): 189–199. doi:10.1086/209105. ISSN 0093-5301. JSTOR 2489410. 
  6. ^ Podoshen, Jeffrey S.; Andrzejewski, Susan A. (2012). "An Examination of the Relationships Between Materialism, Conspicuous Consumption, Undecided Purchase, Impulse Buying, and Brand Loyalty". Journal of Marketing Theory and Practice. 20 (3): 319–333. doi:10.2753/MTP1069-6679200306. ISSN 1069-6679. JSTOR 23243709. 
  7. ^ Stern, Hawkins (1962). "The Significance of Impulse Buying Today". Journal of Marketing. 26 (2): 59–62. doi:10.2307/1248439. ISSN 0022-2429. JSTOR 1248439. 
  8. ^ Rook, Dennis W.; Fisher, Robert J. (1995-12-01). "Normative Influences on Impulsive Buying Behavior". Journal of Consumer Research. 22 (3): 305–313. doi:10.1086/209452. ISSN 0093-5301. 
  9. ^ Arifianti, Ria, Wahju Gunawan (Desember 2020). "Perilaku Impulse Buying dan Interaksi Sosial dalam Pembelian di Masa Pandemi". SOSIOGLOBAL : Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi. Vol. 5 (No.1). 
  10. ^ Ompi, Alfani P.; Sepang, Jantje L.; Wenas, Rudy S. (2018-10-23). "ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA PEMBELIAN IMPULSIF PRODUK FASHION DI OUTLET CARDINAL MEGA MALL MANADO". Jurnal EMBA : Jurnal Riset Ekonomi, Manajemen, Bisnis dan Akuntansi. 6 (4). doi:10.35794/emba.v6i4.21318. ISSN 2622-6219. 
  11. ^ a b Julianti, Annisa (2021-03-01). "KECEMASAN DAN PEMBELIAN IMPULSIF PADA SAAT PANDEMI COVID-19". UG Journal. 14 (12). ISSN 1978-4783.