Pasar Legi Songgolangit

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pasar Legi Songgolangit adalah nama pasar besar utama kota Ponorogo yang terletak di Kecamatan Ponorogo, Ponorogo. Walaupun terletak di dekat pusat kota Ponorogo, pasar ini merupakan pusat utama kegiatan jual beli masyarakat Ponorogo dan sekitarnya. Para pedagang dari beberapa daerah seperti Madiun, Pacitan, dan Trenggalek juga sering melakukan kegiatan jual beli di pasar ini.

Sejarah Pasar Legi Songgolangit[sunting | sunting sumber]

Dulu pasar ini bernama Pasar Legi saja. Di masa Ponorogo lama, ada beberapa besar yang tersebar di area Ponorogo. Pasar Pon di kota lama yang sekarang termasuk dalam wilayah Kecamatan Babadan, Pasar Pahing di Kecamatan Balong, Pasar Wage di Kecamatan Jetis, Pasar Kliwon di Sumoroto, Kecamatan Kauman, dan Pasar Legi di Mernung kota tengah, sampai saat ini.[1]

Kota Ponorogo tidak memiliki stasiun kereta, tetapi pada masa lalu stasiun kereta berada di dekat Pasar Legi ini.[2] Setelah stasiun kereta ini tidak dipakai maka beralih fungsi sebagai perluasan area Pasar Legi Songgolangit. Pasar ini terdiri atas pasar pagi atau yang sering disebut dengan pasar subuh dan pasar siang. Kegiatan pasar subuh telah dimulai sejak dini hari dengan kebanyakan pedagang hasil bumi dari luar kota berdatangan serta para penjaja sayur keliling mulai mempersiapkan dagangannya. Sedangkan di pasar siang yang merupakan pasar utama, menjual bukan hanya hasil bumi, melainkan kebutuhan sandang, pangan, dan kebutuhan sampingan lainnya.

Berdasarkan sejarah modern sampai pada awal tahun 2000-an pasar ini masih bernama Pasa Legi, yang merupakan salah satu nama hari dalam sistem penanggalan Jawa. Namanya beralih menjadi Pasar Legi Songgolangit setelah mengalami kebakaran pada tahun 2002. Kejadian kebakaran itu berlangsung saat bulan Ramadan. Saat itu pasar terbakar habis. Pasca kebakaran pasar ini direnovasi total sehingga jauh berbeda dengan kondisi awalnya.

Bangunan pasar ini sekarang sudah cukup modern jika dibandingkan dengan sebelum peristiwa kebakaran. Jika sebelumnya sebagian besar pasar masih beralaskan tanah setelah dibangun pasar ini memiliki dua lantai dengan bangunan yang permanen. Selain itu, setelah peristiwa kebakaran ini pasar ini berubah nama menjadi Pasar Legi Soggolangit atau Pasar Songgolangit. Nama pasar ini diambil dari nama seorang putri, Dewi Songgolangit. Dia adalah seorang putri dari Kerajaan Daha (sebuah wilayah di dekat Kediri) yang termahsyur pada masanya yang kisahnya termasuk dalam salah satu legenda kota Ponorogo utamanya berhubungan dengan asal-usul terjadinya Reog Ponorogo.[3]

Pasar Legi Songgolangit kembali mengalami kebakaran pada Mei 2017 dengan kurang lebih 500-an kios terbakar. Walaupun tidak sebesar kebakaran yang sebelumnya, tetapi kerugian yang diderita juga tidak sedikit. Sama seperti pada kebakaran sebelumnya, kebakaran Pasar Legi Songgolangit juga terjadi pada bulan Ramadhan.

Legenda Dewi Songgolangit dan Asal-Usul Reog Ponorogo[sunting | sunting sumber]

Nama Dewi Songgolangit memiliki arti menyangga langit. Sehingga diartikan bahwa jika mendekati Dewi Songgolangit sama halnya dengan mendekatkan diri kepada Tuhan. Dewi Songgolangit digambarkan sebagai putri kerajaan yang rupawan serta memiliki budi pekerti yang terpuji. Hal ini membuat banyak pangeran dan bangsawan berhasrat untuk menjadikannya istri. Salah satunya adalah Klonosewandono, yaitu salah satu pangeran dari Kerajaan Bantarangin (salah satu kerajaan di dekat daerah Ponorogo), yang ingin mempersunting Dewi Songgolangit.[4] Disebutkan bahwa Dewi Songgolangit memberikan syarat bahwa dia mau menikah dengan Prabu Klonosewandono dengan sebuah syarat. Syarat ini didapatkan Sang Dewi dengan memohon petunjuk dari Sang Hyang Widhi dengan bersemedi. Syarat itu adalah Dewi menginginkan sebuah pertunjukan yang belum pernah ada sebelumnya, sehingga pada akhirnya Prabu Klonosewandono berhasil mendapatkan hati Dewi Songgolangit dengan mempertontonkan kesenian baru dan hewan berkepala dua sesuai syarat yang telah diucapkannya.

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Purwadi (2005). Babad Majapahit. Media Abadi. ISBN 9789793525488. 
  2. ^ Bahar, S. M. (1957). Kamus ilmu bumi Indonesia. Triguna. 
  3. ^ Fauzanafi, Muhammad Zamzam (2005). Reog Ponorogo: menari di antara dominasi dan keragaman. Kepel Press. ISBN 9789793075037. 
  4. ^ Boellstorff, Tom (2005-10-17). The Gay Archipelago: Sexuality and Nation in Indonesia (dalam bahasa Inggris). Princeton University Press. ISBN 9781400844050.