Naskah ketaro

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Naskah ketaro adalah naskah yang berisikan aturan-aturan tentang cara masyarakat adat Lampung untuk bertahan hidup. Naskah tersebut bersifat memaksa dan mengatur maka hal itu menjadi mengikat dalam masyarakat lampung pepadun. Didalam naskah tersebut terdapat aturan-aturan yang bersumber dari hukum kebiasaan masyarakat setempat dan dalam naskah tersebut terdapat beberapa bab yaitu terdapat persoalan tentang perkawinan, pengangkatan penyeimbang, denda bagi yang menlanggar hukum adat yang tercantum pada naskah ini dan sanksi-sanksi yang lain (selain denda) apabila ada yang melakukan perbuatan melawan hukum adat setempat.[1]

Isi[sunting | sunting sumber]

Dalam isi naskah ketaro adat lampung terdapat 3 bagian subtitasi, yaitu:

  • Pertama, Menyangkut Petunjuk karena didalamnya berisikan sebuah aturan-aturan baik untuk kehidupan diri ataupun untuk interaksi sosial dan aturan ini pula memiliki sifat yang memaksa dan mengatur, adapun melampirkan tatacara atau proses mengerjakan adat lampung dan bagaimana menjadi seperti masyarakat lampung.[1]
  • Kedua, Dalam hal lain dilampirkan juga peraturan perundang-undangan hukum adat lampung yang tertulis yaitu cepalo 12 dan cepalo 80 yang merupakan arahan supaya membentuk kepribadian masyarakat lampung agar tetap menjaga adatnya atau yang terkenal dalam sebutan piil pesengirei.[1]
  • Ketiga, pada akhir buku dijelaskan tentang silsilah asal-usul keturunan, yakni mulai dari Tali Tunggal, sampai dengan awal abad ke-19 untuk beberapa kampung yang saat ini berada di Lampung Tengah, Lampung Timur dan Lampung Utara. Ini juga bisa dijadikan petunjuk atau pedoman untuk melacak atau menelusuri atau menjelajahi asal-mula keturunan nenek moyang orang Lampung. Nilai-nilai yang terkandung dalam naskah Ketaro Adat Lappung masih banyak yang relavan dengan kehidupan masyarakat Lampung pada saat ini.[1]

Fisik Naskah Ketaro Lampung[sunting | sunting sumber]

Dalam kajian literatur naskah-naskah kuno lampung ternyata ditemukan berbagai bentuk dalam sebuah media penulisan dengan diklasifikasikan beberapa subtitusi seperti kulit kayu, lontar, batang bambu, kertas dluwang dan tanduk kerbau seperti yang terdapat di museum lampung. Naskah tersebut menggunakan aksara lampung kuno, Bahasa arab, dan Bahasa bali kuno. Secara keseluruhan Bahasa yang digunakan adalah Bahasa lampung, melayu, Bahasa arab, Bahasa batak, Bahasa jawa kuno dan Bahasa banten.[2]

Referensi[sunting | sunting sumber]