Mekarsari, Tukdana, Indramayu

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Mekarsari
Negara Indonesia
ProvinsiJawa Barat
KabupatenIndramayu
KecamatanTukdana
Kode Kemendagri32.12.30.2008
Luas... km²
Jumlah penduduk... jiwa
Kepadatan... jiwa/km²

Mekarsari Carakan Aksara Jawa :ꦩꦼꦏꦂꦱꦫꦶ Adalah sebuah desa di Kecamatan Tukdana, Kabupaten Indramayu

Geografis[sunting | sunting sumber]

Desa Mekarsari terletak di Kecamatan Tukdana, Indramayu. Desa ini berada di Barat Desa Tukdana, di Selatan Desa Malangsari, di Timur Desa Mulyasari dan di Utara Desa Karangkerta dan Desa Sukamulya.

Desa ini juga dilewati oleh Ruas Jalan Kabupaten, seperti Jalan Bukit Barisan dan Jalan Wanasari - Mekarsari. Kedua Ruas Jalan Kabupaten ini menjadikannya sebagai jalan utama penduduk untuk melakukan bepergian ke Jatibarang atau Desa lain.

Selain itu desa ini juga dilewati dua sungai utama yang mengairi lahan persawahan beberapa Desa termasuk Desa Mekarsari. Industri Pertanian dan Perkebunan adalah pekerjaan utama Masyarakat Desa ini dan beberapa diantaranya Pekerja Lepas, Tentara Nasional, Kepolisian, Keagamaan, Kedokteran, Pedagang dan Pengusaha Swasta.

Pada musim penghujan yang biasanya terjadi pada bulan Desember hingga April, masyarakat desa ini memiliki kewaspadaan terhadap bencana banjir. Sungai yang melewati desa ini kerap kali meluap dan terakhir terjadi pada tahun 2022 lalu, yang mana sebagai kecil RT 6 dan 5 di desa ini terendam banjir setinggi lulut orang dewasa.

Dalam Catatan Tahunan Desa Mekarsari sejak tahun 2003 sampai 2022, bahwa RT 6, 5, 2 beresiko tinggi terendam banjir. Hal itu dikarenakan Desa Mekarsari memiliki kekurangan saluran irigasi kecil untuk pembuangan air di RT 5 dan 2 dari sungai utama ke sungai Penarikan sebagai pembuangan air akhir.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Dahulu ada seorang ulama asal persia yang bernama Syeikh Subaqir menuju ke desa Gumi Hwang (Sukagumihwang, Indramayu) tahun 1398 masehi, namun ditengah perjalanannya itu Syeikh Subaqir menemukan sumber mata air yang masih dipenuhi hutan penjalin di sekelilingnya atau belum menjadi wilayah yang terbuka menjadi lahan persawahan.

Syeikh Subaqir mulai memberitahu beberapa penduduk Tionghoa Muslim di Kademangan Jatibarang bagi yang membutuhkan air bersih pergi ke selatan. Penduduk-penduduk pernakan tionghoa itu mulai berbondong-bondong mengambil air bersih pada sumber mata air itu, namun lama kelamaan penduduk itu mulai menetap untuk tidak bolak-balik mengambil air lagi dan mulai mendirikan desa ini dengan nama Desa Kedhokkan yang artinya sumber mata air sekaligus tentang ethnis atau sukunya yaitu Hokkien atau Hokkan.

Pendiri Desa Kedhokkan yang menjadi kepala desa pertama yaitu Kiyai Ageng Dharman seorang ulama desa mekarsari pertama dan beliau adalah murid dari Syeikh Subaqir (persia atau Iran), Syeikh Rakinem (sukagumihwang), Syeikh Dzatul Khafi (Champa atau Thailand yang tinggal di Sukagumihwang), Syeikh Hasanuddin (Champa atau Thailand), Syeikh Wongsoyudo (dari Semarang dan tinggal di Rancajawat), Syeikh Syahid (Sunan Kalihjaga) ketika di Dermayu dan Habib Keling di Krangkeng.

Desa ini mulai memiliki beberapa pendatang dari luar desa yang bermigrasi ke desa kedhokkan ini seperti dari desa Juntinyuat, desa Tunggul Payung (Tugu),desa Sukadhana, Sukagumihwang dan desa Tukdana.

Desa Kedhokkan ini dahulunya masih satu desa dengan Desa Malangsari, Desa Kalensari dan Desa Cangrung sebelum Kecamatan Bangodua melakukan pemekaran menjadi dua Kecamatan yakni Kecamatan Bangodua dan Kecamatan Tukdana, yang mana Desa Kedhokkan menjadi satu satunya desa yang masuk ke wilayah Kecamatan Tukdana dan Desa Kedhokkan berganti nama menjadi Desa Mekarsari.

Mekarsari memikiki 2 blok, yaitu.

  • Sukadarma Kidhul.
  • Sukadarma Lor.
  • Sukajaya.
  • Sukajaya Lor.
  • Gendheng.

Sejarah Konflik[sunting | sunting sumber]

Di pisahkannya Desa Kedhokkan (Mekarsari) dari Desa Malangsari, Kecamatan Bangodua dan dimasukan kedalam desa Tukdana diwarnai keributan terutama luas wilayah desa Kedhokkan (mekarsari) dikurangi oleh pihak Kepala Kecamatan Bangodua tahun 1977.

Luas wilayah desa Kedhokkan (mekarsari) yang mencangkup wilayah timur dan selatan dari desa Mulyasari tiba-tiba dimasukan ke dalam desa Mulyasari. Sebenarnya di selatan atau di timur dari desa Mulyasari terdapat batas berupa Kedhokkan (sumber mata air), yang mana Kedhokkan tersebut masuk ke wilayah desa Kedhokkan (mekarsari), namun desa Kedhokkan hanya sampai memiliki luas wilayah dari timur sungai desa sukamulya dan itu jelas menjadi konflik kepada Kepala Kecamatan Bangodua.

Konflik berupa perlawan penduduk desa Kedhokkan (mekarsari) untuk menuntut hak milik tanah persawahan di sebelah barat sungai Sukamulya kepada pegawai negeri sipil di Bangodua dan konflik baru bisa diredam pasca kehadiran Apparat Kepolisian dari Polres Indramayu yang menerjunkan lebih dari 11 kendaraan Mobil Truk pengangkut kepolisian.

Keterangan konflik, bahwa Kepala Desa Kedhokkan (mekarsari) saat itu adalah Kuwu Sudhono menuntut Kepala Kecamatan Bangodua untuk memetakan luas wilayah dengan tepat dan benar. Penuntutan itu berhasil dimenangkan oleh desa Kedhokkan (mekarsari), yang sebelah timur dari sungai desa Sukamulya dahulunya berupa hutan penjalin yang kemudian dialih fungsikan menjadi lahan pertanian oleh penduduk desa Kedhokkan sampai batas Sungai Tebu Mulyasari yang ditandai dengan Kedhokkan (sumber mata air) di sebelah timur atau selatan dari desa Mulyasari.

Sumber Mata Air itu bekas tusukan Keris Setan Kober milik pendiri desa Kedhokkan (mekarsari) di masa lalu yaitu Kiyai Ageng Dharman (ulama desa mekarsari pertama) murid dari Syeikh Subaqir (persia atau Iran), Syeikh Rakinem (sukagumihwang), Syeikh Dzatul Khafi (Champa atau Thailand yang tinggal di Sukagumihwang), Syeikh Hasanuddin (Champa atau Thailand), Syeikh Wongsoyudo (dari Semarang dan tinggal di Rancajawat), Syeikh Syahid (Sunan Kalihjaga) ketika di Dermayu dan Habib Keling di Krangkeng.