Manajemen gaya Jepang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Manajemen gaya Jepang merupakan suatu sistem manajemen yang dianut oleh bangsa Jepang dalam meraih kunci kesuksesan di bidang pembangunan ekonomi pasca Perang Dunia II.[1] Sistem ini mencuri perhatian para cendekiawan bangsa lain karena dalam waktu kurang dari 40 tahun, Jepang mampu bangkit dari keterpurukan dan menjadi salah satu pemimpin dunia dalam bidang industrial, ilmu pengetahuan dan teknologi. Manajemen Jepang ini dianggap unik karena mengacu pada tradisi Zen dan Samurai yang didominasi oleh ciri efektivitas, efisiensi dan produktivitas tinggi. Manajemen gaya jepang yang dianut ini memiliki empat elemen utama, yaitu:

  1. Kebersamaan (Collectivism), dimana nilai kebersamaan mampu mempertahankan efektivitas dan semangat kerja (morale) untuk menghasilkan konsensus (nemawashi) sebelum mengambil keputusan.
  2. Kesamaan (Homogeneity), dimana letak geografis Jepang yang menyendiri dan terisolasi laut membuat masyarakat Jepang memiliki nilai kesamaan; saling pengertian dan percaya. "Ishin den shin" (Paham tanpa perlu dibicarakan), istilah ini menggambarkan bahwa Jepang menjunjung tinggi komunikasi vertikal maupun horizontal; struktur organisasi sederhana; dan uraian pekerjaan yang tegas.
  3. Falsafah Confusius, yang telah dikenalkan sejak abad ke-4 oleh Kaum Samurai. Falsafah ini mengajarkan tentang arti setia dan patuh terhadap senior atau atasan; kewajiban atasan terhadap bawahan; dan kerja keras.
  4. Tingkat pendidikan tinggi, dimana 90% penduduknya telah menyelesaikan studi sekolah menengah mampu menyukseskan Jepang dalam menyelesaikan Program Pengendalian Mutu (QCC).

Keempat elemen diatas mempengaruhi ciri utama manajemen Jepang yaitu karyawan dianggap sebagai sumber daya utama dengan memberikan penghargaan berupa:

  1. "Shusin koyo" yang berarti mempekerjakan karyawan seumur hidup (lifetime employment), dimana kesuksesan sistem ini tergantung dari sifat pribadi yang bersangkutan (seperti loyalitas).
  2. "Nenko" yang berarti promosi dan gaji berdasarkan tingkat senioritas. Di Jepang, karyawan dengan tingkat pendidikan; masa kerja; dan prestasi berbeda akan mendapat gaji yang sama. Mungkin dipandang tidak adil, namun bagi mereka yang berbakat pasti disediakan tugas dan posisi khusus.
  3. Pelatihan dan pengembangan, yang dilakukan terus-menerus sepanjang perjalanan karier. Melalui hal ini, diharapkan tiap karyawan mampu mengerjakan semua pekerjaan perusahaan. Jepang menerapkan sistem pelatihan in house (mengundang ahli-ahli universitas dan lembaga pendidikan sebagai pembicara), sistem ini membuat program pengembangannya semakin terkenal seperti Pengendalian Mutu Terpadu (Total Quality Control); Gugus Kendali Mutu (Quality Control Circle); dan Just In Time (JIT).
  4. Kerja sama kelompok, mampu mengubah mind-set masyarakatnya menganggap lingkungan sebagai tempat bermasyarakat bukan hanya tempat mencari nafkah. Sikap ini mencerminkan rasa kebanggaan dan keberhasilan terhadap perusahaan.
  5. Konsensus dalam pengambilan keputusan atau disebut "Ringi" (pengambilan keputusan di perusahaaan berdasarkan persetujuan yang berwenang).
  6. "Bottom up approach", dengan menempatkan manajer senior sebagai fasilitator dan manajer menengah sebagai pendorong.
  7. Penilaian karya yang rumit dilakukan berdasarkan sifat kepribadian masing-masing karyawan.
  8. Jaminan sosial, berupa perumahan; tunjangan transportasi; asrama untuk yang belum berkeluarga; beasiswa untuk anak karyawan dan pinjaman bunga rendah untuk perumahan. Hal ini sesuai dengan istilah "Keluarga besar" bagi perusahaan di Jepang.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Lumbantoruan, Magdalena; Soewartoyo, B. (1992). Ensiklopedia Ekonomi, Bisnis, dan Manajemen. Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka. hlm. 378. ISBN - Periksa nilai: length |isbn= (bantuan).