Line-Item Budgeting

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Line-Item budgeting adalah salah satu metode penganggaran sektor publik atau lebih dikenal dengan sistem penganggaran tradisional. Ciri utamanya adalah struktur anggaran bersifat line-item yang didasarkan atas dasar sifat (nature) dari penerimaan dan pengeluaran. Akibatnya, anggaran akan dibuat berdasarkan kebutuhan tahun lalu kemudian dilakukan penyesuaian penyesuaian kecil. Tujuan utama Iine Item budgeting adalah untuk melakukan kontrol keuangan dan sangat berorientasi pada input organisasi.

Karakteristik Line-Item Budgeting[sunting | sunting sumber]

  1. Bersifat incrementalism, yaitu hanya menambah atau mengurangi jumlah rupiah pada item-item anggaran yg sudah ada sebelumnya dengan data tahun sebelumnya sebagai dasar menyesuaikan besarnya penambahan/pengurangan tanpa kajian yg mendalam/kebutuhan yg wajar.
  2. Masalah utama anggaran tradisional adalah tidak memperhatikan konsep value for money (ekonomi, efisiensi dan efektivitas).
  3. Kinerja dinilai berdasarkan habis tidaknya anggaran yang diusulkan, bukan pada pertimbangan output yang dihasilkan dari aktivitas yg dilakukan dibandingkan dengan target kinerja yang dikehendaki (outcome).
  4. Penekanan & tujuan utama pendekatan tradisional adalah pada pengawasan dan pertanggungjawaban yg terpusat.

Keunggulan Line-Item Budgeting[sunting | sunting sumber]

  1. Sederhana dan mudah dioperasikan karena tidak memerlukan analisis yang rumit.
  2. Lebih mudah dalam melakukan pengawasan.

Kelemahan Line-Item Budgeting[sunting | sunting sumber]

  1. Anggaran tradisional bersifat tahunan. Anggaran tersebut tak terlalu pendek, terutama untuk proyek modal & mendorong praktik yg tak sehat (KKN).
  2. Hubungan yang tidak memadai (terputus) antara anggaran tahunan dengan rencana pembangunan jangka panjang.
  3. Pendekatan incremental menyebabkan sejumlah besar pengeluaran tidak pernah diteliti secara menyeluruh efektivitasnya.
  4. Lebih berorientasi pada input daripada output. Hal tersebut menyebabkan anggaran tradisional tidak dapat dijadikan sebagai alat untuk membuat kebijakan dan pilihan sumber daya, atau memonitor kinerja. Kinerja dievaluasi dalam bentuk apakah dana telah habis dibelanjakan, bukan apakah tujuan tercapai.
  5. Sekat-sekat antar departemen yang kaku membuat tujuan nasional secara keseluruhan sulit dicapai. dan berpeluang menimbulkan konflik, overlapping, kesenjangan, & persaingan antar departemen.
  6. Perhatian terhadap laporan pelaksanaan anggaran penerimaan dan pengeluaran sangat sedikit.
  7. Diabaikannya pencapaian prestasi realisasi penerimaan dan pengeluaran yang dianggarkan.
  8. Para penyusun anggaran tidak memiliki alasan rasional dalam menetapkan target penerimaan dan pengeluaran.
  9. Aliran informasi (sistem informasi keuangan) yang tidak memadai yang menjadi dasar mekanisme pengendalian rutin, mengidentifikasi masalah dan tindakan.