Kronisme

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kronisme (bahasa Yunani:χρόνιος) adalah perilaku yang memiliki kecenderungan memihak dalam penunjukan kedudukan dan kemudahan lain kepada teman atau rekan dekat, khususnya dalam bidang politik di antara para politisi dengan pihak pendukung. Sebagai contoh, penunjukan para "kronis" dalam posisi kekuasaan, tanpa mementingkan kelayakan mereka.[1][2]

Kronisme ada ketika pihak pemberi dan penerima sedang berada dalam urusan sosial atau bisnis. Lazimnya, pihak pemberi membutuhkan bantuan dalam proposal, pekerjaan atau posisi jabatan. Dengan alasan ini, pihak pemberi menunjuk orang-orang yang dirasa takkan menentang atau mengkritik proposal atau berseberangan pandangan.[3] Meskipun demikian, "kronisme" merupakan istilah yang mengisyaratkan pembelian atau penjualan kepentingan, semisal suara dalam legislasi, kepentingan terhadap kelompok tertentu, memberikan balas jasa untuk berlibur, dsb.

Pejabat negara merupakan pihak yang sering dikecam terkait kronisme, sebagaimana mereka yang "menghabiskan" uang dari para pembayar pajak. Banyak pemerintah yang demokratis yang mengupayakan adanya transparansi administratif dalam pembukuan dan proyek kegiatan, sebaliknya, tidak ada pernyataan jelas pada sebuah pemerintahan yang telah terjangkit 'kronisme.'[4]

Penentangan umumnya diberi terhadap politisi yang sekalipun dibantu pihak berkompeten, masih mengadakan kegiatan sosial, bisnis, atau rekanan politis yang berujung pada penunjukan proyek pemerintahan atau jabatan kepada kolega dengan hanya didasari kedekatan dan keakraban tanpa menjunjung kelayakan. Politisi dengan kepentingan bisnis atau kepentingan tertentu, dengan kelompok dan organisasi profesional mendapat jaminan kroni-bisnis dalam urusan politik, khususnya dengan honor yang sesuai dan banyak. Pengaruh kapitalisme kronis menyebabkan dampak bisnis curang yang sering ditemui pada sosial dengan sistem peradilan yang tidak efektif. Akibatnya, terdapat upaya pada cabang legislatif pemerintahan untuk mengadakan cara paksa tentang undang-undang yang memungkinkan partai tertentu melakukan tindakan manipulasi dengan campur tangan pebisnis dan pemerintahan kronis.[5][6][7]

Dampak kronisme pada ekonomi dan sosial ditanggung oleh masyarakat luas. Beban yang harus dipikul adalah berkurangnya peluang bisnis bagi kebanyakan masyarakat, menurunnya persaingan pasar, inflasi harga, lesunya kondisi bisnis, ketidakefektifan siklus investasi, melemahnya dorongan dari kalangan yang terdampak dan penyusutan aktivitas produksi. Risiko yang tampak jelas adalah kelompok pekerja hanya didominasi sumber daya manusia yang lemah baik di sektor pemerintah maupun swasta. Kronisme dianggap hal yang mendarah-daging, sebab kronisme melahirkan budaya kronisme. Hal ini dapat diberantas hanya melalui undang-undang hukum yang dapat diandalkan, efektif dan paten, dengan lembaga pemerintahan yang menjunjung keadilan dalam peradilan.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Macmillandictionary
  2. ^ Dictionary
  3. ^ Daniel Garza. "Government Cronyism is Back". Diarsipkan dari April 2012 versi asli Periksa nilai |url= (bantuan) tanggal 2015-03-08. Diakses tanggal 2016-01-22. 
  4. ^ "Oxford Dictionaries - Dictionary, Thesaurus, & Grammar". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-03-13. Diakses tanggal 2016-01-22. 
  5. ^ Staff (2010). "Do Old Boys' Clubs Make The Market More Efficient?". The Free Marketeers. Diakses tanggal 26 April 2012. 
  6. ^ "Definition". askdefine.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-05-07. Diakses tanggal 2016-01-22. 
  7. ^ CED.com, official website of: The Committee for Economic Development (CED), "Crony Capitalism: Unhealthy Relations Between Business and Government"

Pustaka[sunting | sunting sumber]

  • Begley, T., Khatri, N., Tsang, EWK. 2010. Networks and cronyism: A social exchange analysis. Asia Pacific Journal of Management, 27:281-297
  • Khatri, N., Tsang, E.W.K., & Begley, T. 2006. Cronyism: A cross-cultural analysis. Journal of International Business Studies, 37(1): 61-75. [Also in T. G. Andrews and R. Mead (Eds.), Cross Cultural Management, Volume 2 -The Impact of Culture 1: 126-150. Routledge, UK.]
  • Khatri, N., Tsang, E.W.K., & Begley, T. 2003. Cronyism: The downside of social networking. The Best Papers Proceedings of the Academy of Management, Seattle
  • Khatri, N. & Tsang, E.W.K. 2003. Antecedents and consequences of cronyism in organizations. Journal of Business Ethics, 43: 289-303.

Pranala luar[sunting | sunting sumber]