Konflik keagamaan di Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Konflik keagamaan di Indonesia meningkat jumlah kasusnya pasca Orde Baru. Faktor-faktor penyebabnya antara lain intoleransi antara kelompok-kelompok keagamaan dan adanya keberpihakan aparatur negara terhadap suatu kelompok agama. Beberapa lembaga swadaya masyarakat di Indonesia telah memulai pelaporan berbagai kasus yang berkaitan dengan konflik keagamaan di Indonesia. Salah satu konflik keagamaan di Indonesia yang sifatnya berkepanjangan adalah Kerusuhan Poso.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Pasca-Orde Baru[sunting | sunting sumber]

Setelah Indonesia mengalami masa reformasi politik pada tahun 1998, konflik keagamaan mengalami peningkatan akibat menguatnya ideologi Islam yang bersifat radikal.[1] Konflik keagamaan di Indonesia pasca Orde Baru terbagi menjadi dua jenis, yaitu konflik intra-agama dan konflik antar-agama. Konflik intra-agama yang paling sering terjadi di Indonesia pada masa ini adalah konflik sektarian. Konflik ini berkaitan dengan ideologi anti-Syiah dan anti-Ahmadiyah. Sementara konflik antar-agama di Indonesia pada masa Pasca-Orde Baru berkaitan dengan permasalahan tempat peribadatan.[2]

Faktor-faktor[sunting | sunting sumber]

The Wahid Institute menyatakan bahwa ada dua faktor yang menjadi pemicu terjadinya konflik keagamaan di Indonesia. Pertama, keberadaan kelompok-kelompok agama yang awam namun mampu melakukan mobilisasi massa untuk menolak kelompok-kelompok agama lain yang dianggap sesat. Kedua, terdapat kecenderungan bahwa kehendak dari kelompok-kelompok awam diterima begitu saja oleh aparatur negara.[3]

Fanatisme keagamaan[sunting | sunting sumber]

Pemicu umum dari konflik keagamaan di Indonesia adalah sikap keberagamaan yang ekslusif dan adanya persaingan antara kelompok-kelompok agama dalam memperoleh dukungan. Kedua sikap ini menimbulkan konflik keagamaan ketika tidak disertai dengan toleransi.[4] Fanatisme keagamaan di Indonesia menimbulkan perselisihan dan konflik antar-agama maupun konflik intra-agama.[5]

Sarana[sunting | sunting sumber]

Pemilihan kepala daerah[sunting | sunting sumber]

Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di Indonesia merupakan sarana utama yang menimbulkan persaingan antarkekuatan sosial dan politik di Indonesia. Persaingan ini umumnya menimbulkan sentimen suku dan agama.[6] Beberapa daerah di Indonesia umumnya mengalami konflik sosial yang dilandasi oleh sentimen agama.[7] Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh pemilihan kepala daerah adalah tindakan kekerasan. Tindakan ini hanya muncul ketika terdapat mobilisasi kekuatan politik dan kekuatan sosial yang mengusung ideologi intoleran.[8]

Pelaporan kasus[sunting | sunting sumber]

Peningkatan konflik keagamaan di Indonesia pasca-Orde Baru telah dilaporkan oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat di Indonesia. Lembaga-lembaga ini memfokuskan pelaporannya di bidang demokrasi, pluralisme dan hak asasi manusia. Dalam catatan-catatan lembaga-lembaga ini, konflik keagamaan terdiri dari peristiwa-peristiwa kekerasan kolektif yang menyangkut persoalan umat antar-agama maupun intra-agam beda aliran. The Wahid Institute mencatat bahwa pada tahun 2010 di Indonesia terjadi 64 tindak penyerangan atau kekerasan mengatas-namakan agama. Jumlah tersebut meningkat pesan dibadingkan tahun 2009 yang tercatat sebanyak 35 kasus. Sedangkan Setara Institute melaporkan bahwa 88 kasus kekerasan atau kriminal yang berkaitan dengan keagamaan terjadi di 10 daerah di wilayah Indonesia. Laporan kasus ini belum termasuk ratusan kasus berupa tindakan-tindakan intoleran maupun diskriminasi dari kelompok keagamaan mayoritas terhadap kelompok-kelompok keagamaan minoritas yang berbeda paham keagamaan.[9]

Kasus berkepanjangan[sunting | sunting sumber]

Kerusuhan Poso[sunting | sunting sumber]

Kerusuhan Poso merupakan konflik keagamaan yang terjadi antara umat Islam dan umat Kristen di Kabupaten Poso. Konflik ini mulai terjadi sejak tahun 1992 dan terulang kembali pada tahun 1995, 1998, 2000, dan tahun 2001.[10]

Penyelesaian konflik[sunting | sunting sumber]

Berdasarkan laporan dari The Asia Foundation, Yayasan Waqaf Paramadina, dan Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Gadjah Mada, diketahui bahwa pada periode 1990–2008, dua per tiga insiden akibat konflik keagamaan di Indonesia diselesaikan secara damai. Hanya sepertiga saja yang diselesaikan melalui aksi kekerasan.[11]

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "Potret Konflik Bernuansa Agama di Indonesia (Signifikansi Model Resolusi Berbasis Teologi Transformatif)". Analisis,. XII (2): 316. 2012. 
  2. ^ Panggabean, R., dan Ali-Fauzi, I. (2014). Pemolisian Konflik Keagamaan di Indonesia (PDF). Jakarta: Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Yayasan Wakaf Paramadina. hlm. 1. ISBN 978-979-772-042-1. 
  3. ^ Wahab 2015, hlm. 1-2.
  4. ^ Wahab 2015, hlm. 2.
  5. ^ Hanafi, Imam (2018). "Agama dalam Bayang-Bayang Fanatisme". TOLERANSI: Media Komunikasi umat Beragama. 10 (1): 53. 
  6. ^ Ahnaf, dkk. 2015, hlm. 8.
  7. ^ Retnowati (2014). "Agama, Konflik, dan Integrasi Sosial (Integrasi Sosial Pasca Konflik, Situbondo)". Jurnal “Analisa”. 21 (4): 190. 
  8. ^ Ahnaf, dkk. 2015, hlm. 10.
  9. ^ Hasan, B., dan Mursalin, A. (2011). "Konflik Komunal Mengatasnamakan Agama di Indonesia: Analisis terhadap Konflik Ahmadiyah dalam Pemberitaan Media, 2005-2011". Kontekstualita. 26 (1): 72. 
  10. ^ Ulya, I., dan Anshori, A. A. (2016). "Pendidikan Islam Multikultural Sebagai Resolusi Konflik Agama di Indonesia". Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan. 4 (1): 21. 
  11. ^ Ruhana, Akmal Salim (2014). "Memadamkan Api, Mengikat Aspirasi:Penanganan Konflik Keagamaan di Kota Mataram". Harmoni: Jurnal Multikultural & Multireligius. 13 (2): 90–91. 

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]