Kesalehan dan kecerdasan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Studi tentang kesalehan dan kecerdasan (religiositas dan inteligensi) mengeksplorasi hubungan antara kesalehan (religiositas) dan masalah yang terkait dengan kecerdasan (inteligensi) dan tingkat pendidikan (menurut negara dan pada tingkat individu). Kesalehan dan kecerdasan keduanya merupakan topik kompleks yang mencakup beragam variabel, dan interaksi-interaksi antara variabel tidak selalu dipahami dengan baik. Misalnya, kecerdasan sering didefinisikan secara berbeda oleh para peneliti yang berbeda,[1] dan juga semua nilai dari tes kecerdasan hanya perkiraan kecerdasan karena pengukuran konkret, seperti pengukuran massa atau jarak, tidak dapat dicapai mengingat sifat abstrak dari konsep "kecerdasan".[2] Kesalehan juga rumit karena melibatkan beragam variasi interaksi antara keyakinan, praktik, perilaku, dan afiliasi keagamaan dalam beragam budaya.[3]

Sebuah analisis meta menemukan korelasi negatif yang terukur antara kecerdasan intelektual (IQ) dan kesalehan untuk masyarakat barat, tetapi banyak uji coba yang dilakukan menghasilkan hasil yang sangat ambigu.[4] Korelasi ini dikemukakan sebagai hasil dari ketidaksesuaian, lebih banyak gaya berpikir kognitif dan kurang intuitif di antara yang kurang religius, dan kurangnya kebutuhan akan agama sebagai sebuah mekanisme koping.[5] Beberapa penelitian telah menunjukkan korelasi antara IQ rata-rata nasional dan tingkat ateisme dalam masyarakat,[6] walaupun yang lain mempertanyakan apakah ada korelasi karena berbagai faktor sosial, ekonomi, pendidikan, dan sejarah yang kompleks, yang berinteraksi dengan agama dan IQ dengan cara yang berbeda.[7][8] Negara-negara yang kurang berkembang dan miskin cenderung lebih religius, mungkin karena agama memainkan peran sosial, moral, dan budaya yang lebih aktif di negara-negara tersebut.[9]

Satu studi menunjukkan bahwa pemikiran intuitif mungkin merupakan satu dari banyak sumber yang memengaruhi tingkat kesalehan dan bahwa pemikiran analitis mungkin satu dari banyak sumber yang mempengaruhi ketidakpercayaan.[10] Namun, lainnya yang telah meninjau studi tentang pemikiran analitik dan kalangan orang yang tidak percaya agama mengemukakan bahwa pemikiran analitis tidak menyiratkan refleksi yang lebih baik tentang masalah agama atau ketidakpercayaan.[11]

Sebuah studi global tentang pencapaian pendidikan menemukan bahwa orang-orang Yahudi, Kristen, orang-orang yang tidak beragama, dan umat Buddha, rata-rata memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi daripada rata-rata global.[12]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Neisser, Ulrich; Boodoo, Gwyneth; Bouchard, Thomas J.; Boykin, A. Wade; Brody, Nathan; Ceci, Stephen J.; Halpern, Diane F.; Loehlin, John C.; Perloff, Robert; Sternberg, Robert J.; Urbina, Susana (1996). "Intelligence: Knowns and unknowns" (PDF). American Psychologist. 51 (2): 77–101. doi:10.1037/0003-066x.51.2.77. ISSN 0003-066X. Diakses tanggal 9 October 2014. 
  2. ^ Haier, Richard (2016-12-28). The Neuroscience of Intelligence. Cambridge University Press. hlm. 18–19. ISBN 9781107461437. 
  3. ^ Holdcroft, Barbara (September 2006). "What is Religiosity?". Catholic Education: A Journal of Inquiry and Practice. 10 (1): 89–103. 
  4. ^ Winston, Kimberly (August 16, 2013). "Are atheists smarter than believers? Not exactly". Washington Post. 
  5. ^ Zuckerman, Miron; Silberman, Jordan; Hall, Judith A. (2013). "The Relation Between Intelligence and Religiosity: A Meta-Analysis and Some Proposed Explanations". Personality and Social Psychology Review. 17 (4): 325–354. doi:10.1177/1088868313497266. PMID 23921675. 
  6. ^ Lynn, Richard; John Harvey; Helmuth Nyborg (2009). "Average intelligence predicts atheism rates across 137 nations". Intelligence. 37: 11–15. doi:10.1016/j.intell.2008.03.004. 
  7. ^ Graeme, Paton (11 June 2008). "Intelligent people 'less likely to believe in God'". The Telegraph. 
  8. ^ Barber, Nigel (May 4, 2010). "The Real Reason Atheists Have Higher IQs: Is Atheism a Sign of Intelligence?". Psychology Today. 
  9. ^ Crabtree, Steve; Pelham, Brett (6 March 2009). "Religion Provides Emotional Boost to World's Poor". Gallup Poll. 
  10. ^ Gervais, W. M.; Norenzayan, A. (26 April 2012). "Analytic Thinking Promotes Religious Disbelief" (PDF). Science. 336 (6080): 493–496. doi:10.1126/science.1215647. PMID 22539725. Diakses tanggal 24 January 2016. 
  11. ^ Farias, Miguel (2013). "30. Psychology of Atheism". Dalam Bullivant, Stephen; Ruse, Michael. The Oxford Handbook of Atheism. Oxford: Oxford Univ. Press. ISBN 978-0199644650. 
  12. ^ "Religion and Education Around the World" (PDF). Pew Research Center. December 13, 2016. hlm. 5. 

Bacaan lebih lanjut[sunting | sunting sumber]