Kekafiran menurut Islam

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kekafiran menurut Islam ditetapkan kepada orang yang mengingkari ajaran dari Allah dan para rasul utusan-Nya. Penyebab utama dari kekafiran menurut Islam ialah syirik besar dan ketidakberimanan atas hari kebangkitan. Seorang muslim yang mengucapkan ucapan kekafiran dalam keadaan terancam atau dipaksa tidak dapat disebut sebagai kafir.

Orang kafir tidak dapat menjadi wali pernikahan dalam Islam. Selain itu, orang kafir tidak dapat memberikan warisan kepada seorang muslim atau menerima warisan dari seorang muslim. Namun orang kafir memiliki hak untuk memperoleh dakwah Islam tanpa paksaan.

Penyebutan[sunting | sunting sumber]

Kafir atau kuffar adalah sebutan bagi orang yang berbuat kufur. Kufur berarti mengingkari ajaran Allah dan rasul-Nya serta mengingkari nikmat pemberian Allah. Penyematan ini disebutkan dalam Surah Ibrahim ayat ke-7.[1]

Penyebab[sunting | sunting sumber]

Syirik besar[sunting | sunting sumber]

Syirik besar merupakan penyebab utama seseorang dikategorikan sebagai kafir dalam Islam. Orang yang masuk dalam kategori syirik besar ialah yang mengadakan pemujaan dan penyembahan kepada selain Allah secara terang-terangan. Beberapa jenisnya ialah penyembah berhala, penyembah dua tuhan yang membawa sifat cahaya dan kegelapan, serta penyembah banyak tuhan.[2]

Ketidakberimanan terhadap hari kebangkitan[sunting | sunting sumber]

Ketidakberimanan terhadap hari kebangkitan menjadi penyebab kekafiran dalam Islam. Pernyataan ini diisyaratkan dalam dua ayat, yaitu Surah At-Tagabun ayat ke-7 dan Surah Yasin ayat ke-78 dan 79. Surah At-Tagabun ayat ke-7 menyebutkan tentang perkataan orang kafir bahwa mereka tidak akan mengalami hari kebangkitan. Sementara  Surah Ya Sin ayat ke-78 dan 79 menyebutkan pertanyaan orang kafir yang menyinggung tidak adanya sesuatu apapun yang mampu membuat tulang belulang yang telah hancur menjadi utuh kembali.[3]

Keterpaksaan[sunting | sunting sumber]

Seorang muslim yang dipaksa untuk mengucapkan kalimat yang membuatnya menjadi kafir karena adanya ancaman pembunuhan, tidak dinyatakan kafir. Namun seorang muslim diutamakan untuk tidak mengucapkannya sebagai suatu bentuk jihad atas kemuliaan syariat Islam. Seorang muslim tidak dikatakan kafir hanya karena mengucapkan kalimat kekafiran. Kekafiran hanya akan terjadi ketika seorang muslim meyakini kalimat kekafiran yang diucapkannya.[4]

Hak[sunting | sunting sumber]

Menerima dakwah Islam[sunting | sunting sumber]

Surah Al-Kahf ayat ke-29 menyatakan bahwa manusia diberi kebebasan oleh Allah untuk mempercayai atau mengingkari agama Islam. Karena itu, dakwah kepada orang kafir tidak dapat melalui pemaksaan. Persoalan beriman atau tidak beriman hanya sepenuhnya menjadi hak pilihan bagi orang yang didakwahi. Penyampaian yang diperbolehkan bahwa Allah akan memasukkan orang yang berdosa dalam kehidupannya ke neraka, sedangkan orang yang beriman akan dimasukkan ke dalam surga.[5]

Pernikahan[sunting | sunting sumber]

Salah satu syarat sah rukun nikah dalam Islam ialah kesamaan agama oleh wali. Pernikahan dalam Islam dinyatakan tidak sah salah satunya ketika wali dari muslim atau muslimah yang akan dinikahkan merupakan orang kafir.[6]

Pewarisan[sunting | sunting sumber]

Dalam persoalan warisan, tidak berlaku pewarisan dari orang kafir ke seorang muslim, maupun dari seorang muslim ke orang kafir. Ketentuan ini disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.[7]

Dampak[sunting | sunting sumber]

Kekafiran merupakan salah satu bentuk keyakinan yang merusak dan mencemari keimanan dalam Islam.[8]

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Rohidin 2020, hlm. 135-136.
  2. ^ Bakhtiar 2018, hlm. 74.
  3. ^ Bakhtiar 2018, hlm. 92-93.
  4. ^ Salam, Al-'Izz bin Abdus (2015). Hasmand, Fedrian, ed. Jawaban Pertanyaan Rumit dalam Islam [Al-Ajwibah Al-Qathi'ah Lihujaj Al-Khushum Lial-As'ilah Al-Waqi'ah Fi Kulli Al-Ulum]. Diterjemahkan oleh Irham, Masturi. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar. hlm. 219. ISBN 978-979-592-922-2. 
  5. ^ Bakhtiar 2020, hlm. 136.
  6. ^ Bakhtiar 2018, hlm. 164.
  7. ^ Bakhtiar 2018, hlm. 185-186.
  8. ^ Bakhtiar 2018, hlm. 73.

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]