Kampung Adat Nagari Sijunjung

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Perkampungan Adat Jorong Padang Ranah dan Tanah Bato Nagari Sijunjung
Nama sebagaimana tercantum dalam
Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya
Patung Perempuan (Bundo Kanduang) dan Rumah Gadang di Kawasan Perkampungan Adat Nagari Sijunjung
Cagar budaya Indonesia
PeringkatNasional
KategoriKawasan
Lokasi
keberadaan
Jorong Padang Ranah dan Tanah Bato, Nagari Sijunjung, Kabupaten Sijunjung
No. SKSK Menteri No. 186/M/2017
Tanggal SK6 Juli 2017
PemilikKerapatan Adat Nagari (KAN) Sijunjung  Indonesia
PengelolaKerapatan Adat Nagari (KAN) Sijunjung
Koordinat0°42′27″S 100°58′57″E / 0.7076193°S 100.9824431°E / -0.7076193; 100.9824431
Kampung Adat Nagari Sijunjung di Indonesia
Kampung Adat Nagari Sijunjung
Kampung Adat Nagari Sijunjung
Lokasi Kampung Adat Nagari Sijunjung di Kabupaten Sijunjung

Kampung Adat Nagari Sijunjung adalah representasi perkampungan dan masyarakat Matrilineal Minangkabau. Kampung adat ini terletak di Jorong Padang Ranah dan Tanah Bato, Nagari Sijunjung, Kecamatan Sijunjung, Kabupaten Sijunjung, Provinsi Sumatera Barat. Secara geografis kampung adat ini terletak diantara dua sungai yakni Batang Sukam dan Batang Kulampi. Perkampungan ini terhampar sekumpulan Rumah Gadang (Rumah Adat Suku Minangkabau) sebanyak 76 buah sebagai simbol kaum (clan) berbasis matrilineal yang masih berfungsi dan dibangun serta tertata rapi dalam satu kawasan. Di lingkungan Nagari ini terdapat sawah dan ladang, pandam pakuburan, surau, masjid, pasar, jalan, dan balai adat tersusun pada area yang saling berdekatan dengan sungai.[1]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Pembentukan awal konsep nagari mulai dikenal pada abad ke 14. Sistem nagari terbentuk karena terpenuhinya syarat menurut adat, yaitu bataratak (menetap), badusun (sudah berkumpul), bakoto (kumpulan beberapa dusun) dan banagari. Pembentukannya diawali dengan perumusan beberapa tokoh yang berkumpul di Batang Kandih sekitar abad ke 14. Menurut legenda, dalam perjalanan rapat mereka melihat salah satu anak gadis tercebur ke lumpur dan tidak ada yang dapat mengangkat, sehingga harus menggunakan kemampuan spiritual dengan menggunakan tongkat ”di-junjuang”. Dari peristiwa tersebut muncul ide penamaan nagari ”Si Puti Junjuang”, namun karena pelafalan masyarakat akhirnya diberi nama Sijunjung. Perkampungan ini diperkirakan mulai ada sejak masa Kerajaan Pagaruyung (abad 16) yang memperlihatkan bentuk pola pemukiman Minangkabau.[2]

Persukuan[sunting | sunting sumber]

Perkampungan Adat Sijunjung dihuni oleh enam suku (klan): Chaniago, Piliang, Malayu, Tobo, Panai, dan Malayu Tak Timbago.

Arsitektur[sunting | sunting sumber]

Arsitektur rumah gadang di Kampung Adat Nagari Sijunjung merupakan tipe rumah gadang yang tergolong kecil. Bentuk bangunannya memiliki konsep persegi panjang dengan jumlah ruangan rumah gadang bisa sampai lima ruang.[3] Material utama yangdigunkan adalah kayu. Hal ini bisa terlihat dari tiang atau tonggak penyangga bangunan rumah gadang. Selain kayu, bambu juga menjadi material yang digunakan sebagai dinding, atap, dan lantai rumah gadang. Khusus untuk material lantai rumah gadang maka saat ini penggunaan bambu mulai digantikan oleh papan dari kayu surian atau kayu dari pohon kelapa. Layaknya lantai rumah gandang, saat ini penggunaan material penutup atap yang dulunya terbuat dari ijuk juga sudah tergantikan dengan seng. Hal ini dikarenakan material tradisional ijuk membutuhkan waktu lama dalam proses pembuatannya dan semakin sedikit orang yang mampu merakitnya.[2][3]

Tidak terdapat rangkiang[sunting | sunting sumber]

Terdapat 76 rumah gadang di Kampung Adat Nagari Sijunjung tetapi tidak ada satupun berdiri bangunan rangkiang di halamannya. Rangkiang sendiri memiliki bentuk seperti rumah kecil yang digunakan untuk menyimpan padi. Walaupun tidak memiliki rangkiang, rumah gadang ini menyimpan hasil panennya dibawah lantai rumah yang tinggikan. Padi hasil panen itu dimasukkan di bawah lantai kemudian ditutup dengan tikar. Tumpukan padi itu kadang juga sebagai pengganti kasur. Bahkan, konon katanya apabila tidur di atas tumpukan padi bisa sebagai terapi kesehatan.[3]

Konstruksi[sunting | sunting sumber]

Konstruksi bangunan dibuat yang mengembang ke atas, diakhiri dengan atap gonjong berbentuk pelana melengkung dan meninggi. Terdapat rumah gadang yang memiliki 2 gonjong hingga 8 gonjong. Jumlah anjuang, yaitu bagian bangunan yang lantainya ditinggikan, umumnya hanya dijumpai pada salah satu sisi saja. Pintu masuk ke dalam rumah sering diberi tambahan baru berupa teras dengan anak tangga terbuat dari susunan bata.[2]

Ukiran[sunting | sunting sumber]

Beberapa rumah gadang memiliki ukiran dekoratif seperti corak buah palo patah, kuciang lalok jo saik galamai, aka duo gagang, atau kaluak paku kacang balimbiang.[2]

Kegiatan Masyarakat[sunting | sunting sumber]

Kegiatan kampungan Adat Nagari Sijunjung diantaranyaa. Pertama adalah Batoboh yang merupakan sistem kongsi atau kerjasama dalam menggarap pertanian, aktifitas ke ladang atau panen karet, dan mendirikan rumah gadang. Kedua adalah Bakaul merupakan aktifitas budaya dalam bersyukur dengan menyembelih kerbau karena limpahan panen, bakaul juga dilakukan untuk meminta hujan pada musim ke sawah dan menolak bala yang menimpa perkampungan atau nagari tersebut. Ketiga adalah Mambantai adaik merupakan kegiatan ini dilaksanakan pada saat masuk dan sesudah puasa serta rayo puaso anam. Pada saat ini masyarakat berkumpul mambantai kabau (menyembelih kerbau) dan makan bersama.[4]

Pelestarian adat Minangkabau dilakukan melalui wirid adat oleh masyarakat Perkampungan Adat Nagari Sijunjung. Wirid Adat merupakan kegiatan yang diprakarsai oleh tetua adat untuk mentransformasikan pengetahuan adat Minang-kabau kepada generasi muda, diselenggarakan dalam waktu tertentu dan di rumah gadang yang sudah disepkati sebelumnya. Selain itu upaya pelestarian juga dilakukan dengan membuat kesepakatan sanksi socsal bagi anggota masyarakat yang melanggar ketentuan adat.[4]

Keistimewaan[sunting | sunting sumber]

Ada beberapa keistimeawaan dari kampung adat Nagari Sijunjung ini. Pertama merupakan konsepsi harmonisasi dan toleransi keselarasan Koto Piliang dan Bodi Chaniago. Kedua menerapkan syarat-syarat fisik sebuah nagari (sistem pemerintahan tradisonal berbasis himpunan desa). Ketiga adanya pola penataan permukiman linear yang mengikuti aliran sungai dan jalan.[2]

Galery[sunting | sunting sumber]

Referensi.[sunting | sunting sumber]

  1. ^ bpcbsumbar (2015-10-08). "PERKAMPUNGAN ADAT NAGARI SIJUNJUNG: Representasi Perkampungan dan Masyarakat Matrilineal Minangkabau". Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-08-11. 
  2. ^ a b c d e "Perkampungan Adat Jorong Padang Ranah dan Tanah Bato Nagari Sijunjung - Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya". cagarbudaya.kemdikbud.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-08-10. Diakses tanggal 2022-08-12. 
  3. ^ a b c Aditiya, Iip M. "76 Rumah Gadang Tua Menghiasi Perkampungan Adat di Nagari Sijunjung". www.goodnewsfromindonesia.id. Diakses tanggal 2022-08-12. 
  4. ^ a b admin (Juni 30, 2019 ;11:30). "Kampung Adat Sijunjung, Representasi Matrilineal Minangkabau". Pos Metro Padang. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-05-24. Diakses tanggal 13 Agustus 2022.