Jaka Linglung

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Jaka Linglung merupakan putera Aji Saka yang berwujud ular naga raksasa pada masa Kerajaan Medang Kamulan. Berbagai tempat dihubungkan dengan kisah perjalanan hidupnya hingga meninggal, salah satunya adalah Bleduk Kuwu.

Nama[sunting | sunting sumber]

Nama "Jaka Linglung" memiliki arti "jejaka (pria muda yang belum menikah) yang kebingungan/ linglung". Terdapat beberapa versi bagaimana nama tersebut diperoleh Jaka Linglung. Versi pertama (Serat Centhini) menyebutkan nama tersebut diperolehnya dari Ratu Anginangin.[1] Versi kedua menyebutkan bahwa saat dalam perjalanan kembali ke Medang Kamulan melalui bawah tanah, ia muncul pada suatu tempat sebagai anak kecil yang linglung sehingga dirawat oleh seorang wanita tua sampai sembuh. Karena itu, wanita tersebut menamainya Jaka Linglung. Setelah sembuh, Jaka Linglung kembali masuk ke lubang tempat ia keluar untuk melanjutkan perjalanan, sementara tempat ia menjadi linglung menjadi Bleduk Kuwu. Versi ketiga menyebutkan bahwa Prabu Aji Saka sendiri yang menamainya Jaka Linglung, karena putranya bercerita bahwa ia tersesat beberapa kali sebelum mencapai istana sehingga perjalanan pulangnya jauh lebih lama dibandingkan saat ia berangkat.

Jaka Linglung juga disebut dengan berbagai nama, antara lain Linglung Tunggulwulung, Prabu Anom Tunggulwulung, Tunggulwulung Jaka linglung,[1] dan Ki Joko Linglung.

Perjalanan hidup[sunting | sunting sumber]

Perjalanan hidup Jaka Linglung diceritakan dalam berbagai versi. Serat Centhini juga menceritakan kisah hidup Jaka Linglung hingga meninggal dalam 75 bait tembang (11 bait pocung, 36 bait megatruh, dan 28 bait gambuh).[1]

Versi Serat Centhini[sunting | sunting sumber]

Kisah hidup Jaka Linglung diceritakan oleh Ki Jatipitutur, juru kunci Kasanga (di wilayah Gabus, Grobogan), kepada Jayengresmi. Ki Jatipitutur juga menyebutkan lima tempat lain di wilayah Kasanga yang berupa sumber lumpur, yaitu Bedhug, Kuwu, Crewek, Mandhikal, dan Sedang Ramesan.[1]

Cerita dimulai dari Aji Saka yang telah menjadi prabu di Medang Kamulan. Ia terbiasa berburu di hutan dan gunung tanpa diiringi prajurit. Pada suatu ketika, ia membunuh seekor ular raksasa yang sedang bertapa dengan panahnya sehingga dirinya menerima kutukan. Setelah itu, Aji Saka bertamu ke rumah Nyi Janda Kasiyan di Desa Sangkeh yang memiliki putri kecil bernama Rarasati. Saat ia tiba, Nyi Janda sedang mengawasi para wanita menumbuk padi dan putrinya yang beranjak remaja ikut menumbuk. Rarasati selalu diikuti induk ayam kesayangannya yang berwarna putih bersih. Aji Saka bernapsu saat melihat kemolekan Rarasati sehingga nutfahnya menetes ke tanah, demikian pula dengan Rarasati. Ayam katai peliharaan Rarasati memagut keduanya sementara Aji Saka pulang karena malu.[1]

Ayam katai Rarasati bertelur beberapa hari kemudian dan telurnya disimpan Nyi Janda di tempat penyimpanan beras. Ternyata beras di sana terus bertambah meskipun tiap hari ditanak. Selanjutnya telur tersebut diletakkan di lumbung hingga menetas seekor ular. Saat Nyi Janda melihat ular besar di dalam lumbungnya, ia berlari ketakutan hendak melapor kepada patih. Ular tersebut keluar dari lumbung menemui Rarasati sambil memanggilnya ibu, Rarasati juga berlari ketakutan. Akhirnya ular tersebut menjelaskan perihal dirinya yang merupakan putra dari Aji Saka dan Rarasati kemudian meminta untuk dibawa ke istana.[1]

Aji Saka murka karena ular naga tersebut mengaku sebagai anaknya, terutama karena dirinya masih perjaka dan belum menikah. Setelah diberi penjelasan oleh sang ular, Aji Saka menjadi malu kemudian mengutusnya ke laut selatan menghadapi buaya putih penjelmaan Dewatacengkar sebelum diakui sebagai anak serta mencarikannya tunangan. Ular naga melesat ke laut selatan dan berkelahi dengan buaya putih selama beberapa hari dan menang. Kemenangan tersebut disambut bahagia oleh Ratu Anginangin yang selanjutnya memberinya hadiah memerintah di laut selatan selama tujuh hari, menjodohkannya dengan putrinya Nyi Blorong yang cantik, bersedia menjadi tunangan Aji Saka, dan memberinya gelar Linglung Tunggulwulung. Ia diberi ramalan akan merajai makhluk halus di gunung-gunung. Setelah tujuh hari, Jaka Linglung memohon pamit untuk pulang, Ratu Anginangin melarangnya melalui jalan yang sama seperti ia berangkat. Akhirnya ia pulang dengan cara menembus bumi dan muncul ke permukaan untuk melihat apakah sudah sampai. Tempat ia keluar dari dalam bumi berubah menjadi berbagai sumber lumpur.[1]

Setibanya di istana, Aji Saka mengangkatnya menjadi Pangeran Adipati dan menyuruhnya tinggal di Tunggulwulung. Namun, Jaka Linglung menghabiskan seluruh unggas di kediamannya sehingga Aji Saka memanggilnya dan mengajarinya ilmu kasar halus. Ia kemudian bertapa menganga di hutan selama bertahun-tahun sampai seluruh tubuhnya ditumbuhi semak belukar dan tidak kelihatan lagi. Pada suatu hari, ada sembilan anak gembala yang hendak berlindung dari hujan. Delapan anak masuk ke dalam mulut Jaka Linglung yang dikira mereka gua, sementara yang seorang dilarang masuk. Anak tersebut memanjat punggung Jaka Linglung kemudian membacokkan kudi ke punggung yang dikiranya adalah tanah, Jaka Linglung segera mengatupkan mulutnya sehingga kedelapan anak gembala yang lain mati. Anak kesembilan berlari pulang ketakutan.[1]

Prabu Aji Saka yang mendengar berita tersebut menjadi marah dan memerintahkan untuk memasak mulut Jaka Linglung sehingga akhirnya mati di tempat. Ki Jatipitutur sebagai juru kunci Kasanga menjelaskan bahwa Jaka Linglung tinggal di bawah Kasanga dan terkadang memberikan pertanda (ramalan) melalui ledakan lumpur di Kasanga yang "tingginya melebihi gunung".[1]

Versi lain[sunting | sunting sumber]

Berbagai variasi cerita Jaka Linglung adalah sebagai berikut:

  1. Sebelum mengalahkan Dewatacengkar, Aji Saka tinggal di rumah Kaki Grenteng yang memiliki putri bernama Rara Cangkek. Aji Saka tertarik pada kecantikan Rara Cangkek kemudian kencing, air seninya diminum seekor ayam jantan yang selanjutnya bertelur sebutir. Telur tersebut disimpan oleh Rara Cangkek di dalam lumbung padi. Padi di dalam lumbung tersebut tidak habis-habis sehingga menimbulkan kecurigaan Kaki Grenteng.
  2. Pemilik ayam yang menelurkan Jaka Linglung adalah seorang janda tua dari Desa Dadapan. Janda tersebut yang digantikan oleh Aji Saka saat Prabu Dewatacengkar hendak memakannya.
  3. Setelah diakui sebagai putera, Jaka Linglung tinggal di taman kerajaan bersama binatang-binatang yang lain. Namun, ia tidak diberi cukup makanan hingga kelaparan dan memakan binatang-binatang yang lain. Aji Saka menghukumnya ke Hutan Klampis dan melarangnya makan apapun selain yang masuk sendiri ke dalam mulutnya. Itulah sebabnya ia memakan delapan anak gembala yang masuk ke dalam mulutnya, sementara anak kesembilan berlindung di bawah pohon besar.
  4. Versi lain menyebutkan jumlah anak gembala yang berlindung dari hujan ada sepuluh orang. Sembilan orang masuk ke dalam mulut Jaka Linglung sementara yang satu tidak mau masuk. Setelah di dalam, kesembilan anak tersebut memukul-mukul golok mereka ke dinding gua sehingga Jaka Linglung kesakitan dan menelan semuanya. Karena kenyang, Jaka Linglung meneteskan air liur yang selanjutnya berubah menjadi letupan-letupan lumpur. Ia masuk ke dalam bumi untuk melanjutkan pertapaannya. Tempat tersebut akhirnya dinamai Kêsóngó (dari bahasa Jawa cah songo yang artinya "sembilan anak") atau Pêsóngó.
  5. Aji Saka menghukum Jaka Linglung dengan cara tubuhnya diikat ke tanah dan mulutnya dicengkal sehingga tidak bisa mengatup lagi dan meninggal dalam siksaan.

Lihat juga[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e f g h i Ranggasutrasna, Ngabei (1991). Centhini: Tambangraras-Amongraga, Jilid I, hal. 67-76. Jakarta: Balai Pustaka. ISBN 979-407-358-X.